“Par, kamu ada duit cadangan, nggak?”
Parwo mengalihkan pandangan dari layar ponselnya. Tatapannya padaku agak ragu dan tidak enak. “Ada sih, Mar, tapi buat nambahin duit hape anakku. Sekarang ngerjain tugas serba pakai teknologi. Ndak cukup pake buku aja. Belum lagi kalau mesti belajar online di rumah. Mau kukasih hapeku, tapi entar aku pake apa buat terima orderan?”
Parwo adalah teman seprofesiku. Sama-sama tukang ojek online yang mengharuskan kami selalu siaga di depan layar ponsel menunggu dan menerima orderan.
“Kali ini kenapa, Mar? Buat bayar kontrakan?”
Aku menghela napas letih. “Kemarin abis beliin Bapak kursi roda, cuma bekas. Eda marah dan nuntut uangnya diganti. Itu memang jatah beli beras buat sebulan, sih.”
“Bikin pusing juga masalahmu, Mar. Antara orang tua atau istri. Kalo saya mungkin bakalan marah ke istri, tapi kalo dipikir-pikir memang ada benarnya. Mau makan apa selama sebulan kalo uangnya dipake beli kursi roda?”
“Aku lebih marah ke diri sendiri, Par. Karena belum sanggup mencukupi kebutuhan keluarga dan membahagiakan orang tua.”
Aku mendongak ke langit yang cukup mendung siang ini. “Andai waktu bisa diputar kembali, aku bakal kerja keras dan siapin tabungan. Seenggaknya cukup buat beliin popok, susu, dan kursi roda buat Bapak tanpa dicecar Eda.”
“Yah, mau bagaimana lagi, Mar. Nasi sudah jadi bubur. Waktu yang sudah hilang ndak bisa kita ulang lagi. Cuma bisa diterima dengan ikhlas dan dijalani.”
Gazebo kecil di samping pembuangan sampah ini menjadi tempat istirahat kami kala orderan sedang kosong. Dengan kopi bekal dari rumah sebab tak sanggup rehat di kafe dengan AC dan minuman mahal.
Ini sudah cukup, kok.
“Kira-kira Suki sama Bambang mau pinjemin nggak, ya?” Kutatap layar ponsel dengan ragu, tak ada tanda orderan akan masuk.
“Ini, sih pertengahan bulan, Mar. Palingan duitnya udah dipegang sama istri mereka, tapi coba aja tanya. Barangkali ada yang bisa disisipin ke kamu.”
Pikiranku menjadi ruwet. Dari mana lagi aku bisa dapat duit tambahan? Jangankan beli beras, uang tunggakan kontrakan saja belum bisa kubayar.
Bunyi ‘ting’ merusak lamunanku. Serta merta aku menunduk ke layar hape dengan harapan yang besar.
“Oh, aku dapat orderan, nih. Jalan dulu, ya.” Parwo menepuk bahuku yang menghela napas kecewa. Ternyata orderan milik Parwo.
Kalau begini aku harus keliling untuk mengambil penumpang secara manual. Kusimpan kembali ponselku lalu menyalakan mesin motor yang olinya sudah lama tidak diganti.
Kendati hujan gerimis ini membuat tak ada satu pun orang yang menunggu di pinggir jalan, aku tetap menyusuri jalanan dan berharap bisa dapat berapa saja untuk beli beras satu liter saja. Mengisi lumbung beras sedikit demi sedikit.
***
Pukul sembilan malam, kakiku baru menginjak teras rumah. Ada dua kantong hitam di tangan. Alhamdulillah hari ini bisa membeli seliter beras dan empat potong tahu serta dua potong es krim untuk Radit dan juga Bapak.
Rezeki 20 ribu hari ini sangat kusyukuri. Kendati kecil, tapi bisa membeli banyak. Kuketuk pintu rumah dengan senyum penuh harapan. “Assalamu’alaikum.”
Tiga kali ketukan belum ada jawaban, aku langsung masuk. Barangkali Eda sedang sibuk menidurkan Fauzi, anak bungsu kami. Yang kulihat pertama kali adalah Bapak dengan kursi rodanya di depan dapur. Sorot matanya menggambarkan kecemasan dan ketakutan.
“Bapak?”
Bapak langsung mengangkat wajah dan berbinar saat melihatku. Tangannya terentang sambil tergagap-gagap. “I-i-itu ….” Sambil menunjuk-nunjuk tirai dapur yang kumal dan sudah menguning.
“Kenapa? Bapak lapar? Haus?"
Bapak menggeleng dua kali. Digenggamnya lenganku dengan tangannya yang bergetar.Eda muncul dari dalam dapur, menyibak tirai dan berkacak pinggang memelototi Bapak. “Kalau mau main nggak usah di dapur! Di luar aja!”
“Kenapa, Da?” Aku mengernyit, kurang suka dengan perlakuan kasar Eda.
“Bapak kamu menumpahkan semua beras dan memecahkan telur di kulkas!”
Beras yang tinggal tiga liter dan cukup untuk dimakan tiga hari itu sengaja disimpan-simpan oleh Eda.
“Kok bisa?”
“Dia main sama Radit! Ngajakin Radit main di dapur dan ngacak-ngacak kulkas!”
“Berasnya bisa dicuci, Da. Maafin Bapak, ya?”
Eda mendengkus kasar sampai Bapak terlonjak. “Berasnya udah kecampur sama telur! Mau makan nasi amis?! Aku banyak pekerjaan, Bang. Ngurus dua anak, belum lagi Bapak yang rewel! Sekarang mesti nyuci beras itu lagi.”
Aku memasang wajah lelah. Kupikir akan disambut dengan senyuman sepulang kerja dan pujian bahwa aku sudah bekerja keras hari ini. Nyatanya, aku malah disuguhkan masalah lagi. Kutarik napas dalam-dalam untuk menyabarkan hati.
“Biar aku yang nyuci. Untuk malam ini masak yang ini saja, Insya Allah cukup buat besok.” Kuserahkan kantong beras dan tahu pada Eda, rasa kesal di wajahnya sedikit memudar.
“Nah, ini buat Bapak. Es krim cokelat panjang.”
Bapak bertepuk tangan saat melihatku membuka bungkusan es krim dua ribuan itu. Mulutnya mengucapkan ‘wahhh’ tanpa suara. Kuulurkan es krim itu ke depan mulut Bapak yang sudah terbuka lebar, tapi dalam sekejap langsung kuputarbalik ke depan bibirku. Bapak tertawa-tawa dan berusaha menggapai es krimnya.
“Baca bismillah dulu dong, Pak.” Kuberikan candaan agar Bapak melupakan omelan Eda.
Eda melengos melewati kami dengan langkah terentak-entak.
“Alhamdulillah, rejeki Amar cukup hari ini, Pak. Besok doain lagi, ya?”
“Ya ya.” Bapak mengangguk-angguk sambil menjilati es krim sampai bibirnya dipenuhi cokelat.
“Tunggu di sini ya, Pak. Amar bersihin beras dulu.” Kuberikan kecupan lama pada kening Bapak yang semakin mengeriput. Sebelum ke dapur membersihkan beras, aku ke kamar dulu untuk memberikan es krim pada Radit.
Radit, anak sulungku yang badannya kurus dan cukup tinggi berdiam di pojokan kamar sambil berusaha menahan tangis. Sementara Eda sedang sibuk menepuk-nepuk pantat Fauzi yang baru setengah tertidur. Kuhampiri anak sulungku dan memberikan es krim yang satunya. Radit langsung semringah. Meski begitu, ia tidak bersuara karena tahu adiknya sedang ditidurkan.
Melihat wajah bahagia bapak dan anakku, sudah menjadi obat dari segala kelelahan di hari ini. Mengajarkanku untuk bersyukur, bahwa hidup setiap orang sudah Allah beri keadilan sesuai porsinya. Aku bekerja keras dan pulang untuk menemui keluarga, istri, anak, dan juga orang tua yang masih tersisa.
“Habis ini kerjain PR terus tidur, ya? Bapak mau ke dapur dulu.”
Radit mengangguk sambil menjilati es krim cokelatnya. Padahal harganya cuma dua ribu rupiah, tapi mereka senang bukan main.
Kutinggalkan Radit yang masih menikmati es krim dan Eda yang sejak tadi menghela napas kasar. Eda sudah sangat lelah mengurus rumah, kedua anak kami, dan juga Bapak. Setidaknya aku ingin membantunya meski sedikit.
Bapak masih ada di depan tirai pemisah dapur. Menjilati es krimnya yang sudah meleleh sampai membasahi sarung dan mengotori lantai. Jika Eda melihatnya, pasti Bapak akan dimarahi lagi. Cepat-cepat aku berlutut di hadapan Bapak dan mengusap sarungnya yang terkena noda cokelat.
“Enyak enyak!” (enak enak!) Dengan suaranya yang serak dan senyumnya yang polos, Bapak meruntuhkan segala ego dalam diriku.
Kuusap mulut Bapak yang celemotan lalu membersihkan lantai sebelum Eda melihatnya. Mungkin segala tentang Bapak merepotkan, bagiku dan bagi Eda. Terlalu sulit merawat Bapak bersama kedua anak kami dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Namun, saat ini … aku merasakan betapa berharganya Bapak bagiku.
“Bapakmu kencing mulu, Bang! Aku capek!”Aku menghela napas sambil berusaha tetap mempertahankan posisi ponsel di dekat telinga. Di siang yang terik tanpa orderan ini, telepon keluhan dari Eda membuat keletihan semakin menumpuk. “Kan Bapak pakai popok, Da.”“Pakai sih pakai, tapi mesti digantiin mulu! Udah tiga kali kugantiin popoknya. Apa nggak habis duit kita belinya?!”“Jangan ngomong gitu. Itu bapakku, Eda. Kalau habis bakal kucari lagi duitnya.” “Ya udah, cari aja sampai mampus! Kerja keras sampai kamu bisa beli sepuluh popok tiap hari buat bapakmu!”Telepon terputus begitu saja. Dulu Eda menyebut Bapak tanpa embel-embel ‘bapakmu’. Sekarang Eda bahkan menganggap Bapak hanyalah orang tuaku saja. “Kenapa, Mar?”Kali ini Aziz yang tinggal menemaniku. Hari ini orderannya juga sulit masuk. Di antara aku, Parwo, dan Aziz, hanya aku yang selalu sepi penumpang setiap hari. “Rezeki selalu sempit, Ziz. Mau ngerokok aja susah.” Aku sangat jarang berpikir soal rokok lagi. Untuk makan se
“Kita nikah pun dia nggak datang dan nggak nyumbang duit sepeser pun. Kita gelar resepsi dari hasil tabungan kamu dan sebagian lagi minjam di bank. Setelah nikah, kamu malah nyusahin diri sendiri dan nyusahin aku juga.”Jantungku tersentak mendengar celotehan Eda. Suaranya cukup keras. Aku khawatir Bapak yang ada di luar bisa mendengarnya. “Jangan ngomong begitu, Eda. Dia tetap bapakku bagaimanapun juga.”“Dia nggak punya peran dalam hidupmu dan membantu dalam masa-masa sulit. Kamu juga cerita kalau bapakmu sudah nikah lagi setelah meninggalkan keluargamu. Terus mana istri barunya? Katanya dia punya anak tiri, ‘kan? Kok nggak keliatan batang hidungnya?”Suasana yang tadi sempat tenang kini berubah tegang. Dulu sebelum aku membawa Bapak, Eda cukup tenang dan jarang protes meski penghasilanku sedikit. Semenjak ada Bapak, Eda berubah drastis. Setiap hari mengeluh dan protes terus. “Aku sudah kasih lebih banyak dari biasanya, Eda. Kamu harusnya bersyukur. Allah bisa persempit rezeki kita
“Amar, hari ini jajan ciloknya seribu aja, ya? Yang tiga ribunya kita bawa pulang buat ibu dan adekmu.”Aku mengangguk. Diriku yang masih kecil dan lugu menuruti omongan Bapak. Usia sepuluh tahun adalah kenangan yang paling banyak kuingat bersama Bapak. Bapak punya kebiasaan. Dia selalu tertawa dengan suara renyah dan lembut lalu mengacak rambutku. “Adek umur berapa sih, Pak?” tanyaku. “Tiga tahun.”“Emang udah bisa makan cilok.”Bapak tertawa lagi. “Bisa. Yang penting jangan pedis-pedis, nanti perutnya meletus kayak gunung merapi.”Aku tertawa, Bapak pun begitu. Lalu aku bertanya apa itu gunung merapi, seperti apa bentuknya dan kenapa bisa meledak. Bapak menjelaskannya sambil membentuk gunung dengan lengannya. Di tepi jalan yang dipenuhi asap kendaraan, kami duduk dengan sepeda Bapak yang berdiri sambil menunggu penumpang. Cuaca tidak begitu panas. Di tanganku ada setusuk cilok yang kecapnya menetes ke kerikil. Di sore hari menjelang Maghrib, Bapak mengayuh sepeda untuk membawak
Aku berpindah ke kamar Bapak. Ruangan itu dua kali lebih sempit dari kamarku dan Eda. Hanya ada kasur yang sudah lembek, lemari plastik kecil, dan meja kecil untuk meletakkan obat-obatan serta barang yang lain.Bapak tertidur pulas sampai mendengkur. Dadanya bergerak naik turun dengan teratur. Aku tidak tahu apa saja yang dialami Bapak sejak pergi meninggalkan kami. Bapak menghilang sejak umurku 15 tahun dan kami baru bertemu enam bulan yang lalu.Ah, ternyata selama itu kami tidak pernah bertemu. Dua puluh tahun berpisah dengan Bapak membuatku terkejut hebat ketika kutemukan Bapak yang berbaring lemas di samping truk pembuangan sampah di pinggir jalan.Bapak punya riwayat sakit jiwa yang menurun dari orang tuanya. Terkadang dia linglung dan seperti orang yang kehilangan ingatan. Sampai akhirnya suatu hari, Bapak tiba-tiba menghilang dan meninggalkan utang yang banyak.
“Mau diangkutin barangnya, Bu? Kayaknya banyak banget ini.”Seorang ibu berjilbab cokelat dan kewalahan membawa tiga kardus yang cukup besar menurunkan barang bawaannya. “Capek banget ini, Mas. Tukang angkut, ya?” Ibu dengan tahi lalat besar di hidung itu menunjukku.Aku tersenyum ramah. “Iya, Bu. Sampingan habis ngojek.”Si ibu mengusap peluh di keningnya sambil mengerutkan hidung. “Saya mau diangkutin, Mas. Berapa ongkosnya?”“Kalau segini goceng bisa, Bu.”“Tiga ribu aja, ya? Duit saya di dompet sisa ongkos angkot sama tiga rebu itu.”Aku menghela napas tanpa memudarkan senyum. Itu adalah rezeki pertamaku sebagai buruh angkut. “Boleh, Bu. Sini saya bawain semua.” Total ada t
Motor yang sudah butut ini mengelilingi jalan poros, masuk ke gang-gang, dan mencari alamat sana-sini. Aku hanya mengandalkan ingatan puluhan tahun yang lalu soal letak rumah kerabat-kerabat Bapak yang dulu sering meminjam uang dan tidak dikembalikan.Sarung yang kuikat di punggung agar Bapak tidak terjatuh kulepas lalu membantunya turun dari motor. Kugendong Bapak di punggung lalu menyusuri lorong perumahan yang bersih. Setiap rumahnya bercat hijau dengan pagar hitam yang cukup tinggi. Sepertinya kerabat Bapak hidup sangat layak setelah memanfaatkan semua tabungan Bapak.Sambil menenteng tas berisi pakaian Bapak, aku mengingat-ingat nomor rumah Bik Ntun, salah satu sepupu jauh Bapak yang dulu meminjam uang cukup banyak. Aku bisa menitipkan Bapak dengan jaminan utang itu. Mudah-mudahan Bik Ntun masih tinggal di sekitar sini.“Permisi, Bu!” Aku melihat gerombolan i
“Sudah kujamu kau, kusambut dengan baik, tapi ternyata niatmu tidak bagus.” Mata Bik Ntun melotot. Segala keramahan yang tadi diperlihatkannya langsung sirna. “Mak, sudah. Nanti dadanya sakit lagi.” Nunu mengurut dada Bik Ntun sambil menatap kami penuh peringatan.“Tampaknya kau tak ikhlas membantu aku dulu, itu pun kau anggap utang, Kazim.”Aku menghela napas kasar. Bukan tak ikhlas, aku hanya ingin meminta tolong untuk mengurus Bapak selama beberapa hari saja. Bukan maksudku mengungkit, aku berharap Bik Ntun mengingat segala kebaikan Bapak. Jika tak ingin dilunasi, tak apa. Aku perlu menitipkan Bapak saja ke mereka. “Bapak saya sudah seringkali dihutangi, Bik Ntun. Uang dipinjam itu Bapak ambil dari tabungannya. Hampir tidak ada yang membayar sampai Bapak rugi besar. Kami pun anaknya jadi sengsara.” Dada Bik Ntun naik turun dengan cepat.“Bukan maksud saya menagih utang, saya ikhlas. Ambil saja untuk Bik Ntun, tapi tolong Bapak saya juga perlu bantuan. Dibantu sedikit saja.”“Mem
Aku tertegun. Itu adalah kalimat terpanjang yang pernah diucapkan Bapak selama ini. Jantungku berdenyut keras, dipenuhi harapan yang sangat besar, bahwa Bapak bisa sembuh. Bapak akan kembali sehat seperti dulu.Langsung kuambil tangan Bapak dan menggenggamnya erat. “Bapak bilang apa tadi?”“Pha pha!” Bapak membuka dan menutup bibirnya dengan keras sampai mengeluarkan bunyi letusan-letusan kecil.Aku semakin antusias meski kali ini Bapak bermain-main. “Pak, ayo kita ke rumah sakit. Kita bilang ke dokter kalau Bapak sudah bisa bicara.”“Jangan lebay kamu, Bang. Bapak itu cuma asal ngeluarin suara. Mau habis-habisin duit beli obat lagi? Bensin kamu kepenuhan?!” Eda berkacak pinggang.Semangatku merosot seketika. “Beli obat untuk Bapak
Bagi anak laki-laki, Bapak adalah pahlawan. Ia mengagumi dan mengandalkan Bapak. Bermimpi saat besar nanti akan seberani dan sekuat Bapak. Akan berdiri gagah melindungi keluarga seperti Bapak. Sedang bagi anak perempuan, Bapak adalah cinta pertama. Berharap suatu hari nanti ia akan menemukan laki-laki yang menjaga dan mencintai dirinya seperti Bapak. Ada berapa banyak pahlawan dan cinta pertama yang meninggalkan kita? Seperti aku dan Unur. Tapi … di saat-saat terakhir, kendati hanya sebentar, kami membuang ego dan menemukan kembali pahlawan dan cinta pertama kami. Menariknya kembali ke sisi kami. Sebab aku sangat tahu, betapa sulitnya hidup tanpa kehadiran Bapak. Fisik dan mental kami dipaksakan kuat oleh keadaan, bukan karena motivasi untuk menjadi kuat seperti Bapak lagi. Jika dia masih hidup, di mana pun dia berada, suatu hari nanti … raihlah Bapak yang telah pergi. Genggam kembali pahlawanmu yang sempat hilang dan cinta pertama yang sempat kandas itu jadikanlah sebagai
5 Juni 20XXSaya menikahi seorang perempuan hebat yang senyumnya sangat manis. Jannah namanya. Saya bahagia sekali.4 April 20XXAnak pertama kami lahir. Amar Kazim namanya. Mau kuberi nama Omar, tapi kata Jannah, kami bukan orang Arab. Takut diketawai orang. Jadi kuubah jadi Amar.10 Agustus 20XXAmar sudah besar. Saya harap dia tidak menjadi seperti saya. Semoga penyakit ini tidak menurun padanya. Aku mengernyit. Tangan sudah bergetar memegang buku cokelat kusam yang kertas-kertasnya sudah menguning itu. 25 September 20XXAnak perempuan lahir. Cantik sekali. Kuberi nama Nur Ainun. Suatu hari nanti dia akan menjadi gadis yang paling bercahaya. Masa depannya akan cerah. Unur terisak pelan di sampingku.30 Desember 20XXNur dan Amar tidak boleh tahu penyakitku. Mereka bisa malu jika tahu bapaknya gila. 12 Januari 20XXSebelum mereka tahu, saya harus pergi. Mereka tidak punya masa depan di tangan seorang Bapak yang sinting. Unur menggeleng keras. Air matanya tak berhenti menderas.
Aku dan Unur memutuskan untuk melaksakan amanat terakhir Bapak. Pergi ke Jalan Daun Mawar dan menemukan nomor rumah yang Bapak sebutkan. Saat aku mengetuk pintu, seorang wanita yang kira-kira seusia Eda membukakan pintu.“Iya, cari siapa?”“Mbak kenal Pak Kazim?” Wanita berkuncir dan berpipi tirus itu menghela napas. Pintu yang semula hanya dibuka sedikit sekarang ia buka semakin lebar. “Silakan masuk dulu.”Rumah itu cukup kecil. Ruang tamunya menyatu dengan ruang tengah dengan televisi kecil dan karpet tipis yang kumal, serta kursi kayu yang berbunyi ketika kami mendudukinya. “Anak-anaknya, ya?” Raut wajah perempuan itu terlihat yakin. “Iya, kami disuruh ke sini,” jawabku. “Saya buatin teh dulu, ya.” Perempuan yang belum kami tahu namanya itu meninggalkan ruang tengah dan masuk melewati tirai. Sepertinya itu adalah dapur. Mataku mengedar ke seluruh ruangan. Tak ada satu pun bingkai foto yang terpasang. Suasana rumah ini terasa suram dan pengap. Tirai dan jendela tidak dibuka.
Radio masjid mulai terdengar samar di telinga. Cahaya kekuningan dari langit petang hampir sepenuhnya menjadi merah. Sunyi menelan semua suara di antara kami. Kelopak mata Bapak terpejam kaku. Sehelai pun bulu matanya tak bergerak walaupun aku menepuk-neluk wajah dan tangannya hingga mengguncang tubuh pria itu dengan panik. “Bangun, Pak!” Bapak bergeming. Seolah sedang bermimpi indah dan tak ingin diganggu. Eda menepuk punggungku dari luar mobil. “Bang, sudah. Kita bawa Bapak masuk.” Detik ini aku menyadari tangan Bapak yang perlahan kaku menandakan pria itu telah pergi. Bapak meninggalkan kami. Bahuku meluruh pedih. Harapan yang sejak tadi melambung naik hancur dalam sekejap. Bapak sembuh bukan untuk tinggal lebih lama. Bapak ingin pulang bukan karena merasa sehat, tapi karena ia tahu ia benar-benar akan pulang pada Tuhan. Sesaat kemudian, Unur menangis hebat. Supir taksi masih duduk di belakang kemudi. Mematikan argo dan membiarkan kami tetap berada di dalam mobil. Unur merau
Pukul empat pagi. Bapak mengerang kesakitan. Kami memutuskan bermalam karena Bapak tak mau pulang ke kosan. Unur pun ikut bermalam. Aku yang tidur bersama Bapak langsung terbangun. Bapak muntah hebat. Membasahi kasur tipis lusuh yang seprainya sudah menguning. Kugendong Bapak dengan panik sambil berteriak memanggil Eda dan Unur. Tak lama kemudian, Eda dan Unur berlarian dari kamar.Eda menggendong Faiz yang menangis keras, sementara Unur ikut panik. Ada ketakutan yang sangat dari bias matanya. “Bawa ke rumah sakit, Bang! Aku pesankan taksi.” Unur-lah yang mempersiapkan segala keperluan Bapak karena Eda kewalahan menenangkan anak bungsu kami. Subuh yang dipenuhi tangisan dan erangan itu terasa sangat ramai sampai sebuah taksi datang. Aku dan Unur masuk sementara Eda tetap tinggal untuk menjaga anak-anak. Setelah ditangani di rumah sakit, Bapak dipindahkan ke ruang ICU. Selang infus dan selang lainnya terpasang di tubuhnya yang kian ringkih. Bapak bahkan tak punya tenaga lagi untuk
‘Unur, Abang diundang ke televisi sama Bapak. Tolong ditonton, ya.’Pesan itu kukirimkan untuk Unur yang sudah kembali ke Jerman selepas kedatangannya malam itu. Aku berharap ia berusaha menontonnya. Aku dengar semua acara TV bisa ditonton di Metube. Berbeda denganku yang merasa tegang, Bapak tampak senang dalam balutan baju batik yang rapi. Matanya berbinar-binar melihat beberapa kamera yang sudah bersiap merekam kami. Di sampingku ada Eda dan anak-anak serta Aziz dan Parwo yang sejak tadi mendampingi kami.“Jangan gugup, Mar. Nanti kau kelihatan kayak orang sawan. Santai,” ucap Parwo yang malah memakai setelan jas lengkap dengan dasi yang super rapi. “Lu mau tampil juga, Wo?” tanya Aziz yang memakai jaket ojeknya seperti biasanya. Dia lebih santai daripada kami semua. “Yang diundang ‘kan si Amar, Ziz, tapi mana tahu aku disorot juga.” Parwo memamerkan senyum penuh harapannya. “Yok siap-siap! Satu menit lagi mulai!” Suara teriakan salah satu kru membuat kami semua terlonjak. A
Hadiah kerapkali berdatangan ke kamar kos sempit yang bahkan hanya cukup untuk tikar dan lemari itu. Beberapa kardus makanan dan pakaian memenuhi kamar sampai aku mesti membagikannya ke tetangga, ibu kos, mengirimkannya ke Eda dan Unur serta ke Aziz dan Parwo. Dompetku tak pernah kosong lagi. Selalu ada orang yang menyelipkan uang saat aku keluar rumah, sebab kini aku dikenali. Terlebih jika aku membawa Bapak jalan-jalan. Mereka sering mengulurkan uang.Bapak sangat senang bertemu orang-orang. Senyumnya selalu lebar dan kini badannya tak lagi hanya tinggal tulang dan kulit. Ada sedikit perbedaan sejak kami pindah kos. “Nah, caranya gini, Mar. Aku udah belajar di Metube. Tinggal bikin channel-nya.”Saat ini aku, Aziz, dan Parwo berkumpul di kamarku. Banyak camilan yang bisa mereka makan selama beristirahat. Aziz sedang mengutak-utak ponselku membuatkan akun Outstagram sambil sesekali diganggu oleh Bapak, sedangkan Parwo mengajariku membuat channel Metube dari laptop yang kupinjam dar
Aku menerima amplop putih yang cukup tebal itu, juga membiarkan mereka merekam ekspresiku yang tengah kaget bercampur bingung. “Kalau ini dikirimkan oleh teman-teman metuber dan influencer kami, Pak. Tolong diterima, ya.” Salah satu dari mereka mengangkat kardus-kardus itu ke teras sementara aku kelimpungan antara mau membantu atau tetap diam di depan kamera.“Anu ….” Aku mengusap tengkuk, mengira ini adalah mimpi. “Ini serius, Mas–”“Saya Juanda, ini teman saya Eric dan kami sangat serius, Pak. Kami sangat tergerak dengan pengabdian Bapak dan berharap orang-orang juga bisa terinspirasi. Kita bisa mengobrol setelah ini, ‘kan?”“Bi-sa, Mas.”Mereka menanyakan keberadaan Bapak dan aku menunjuk ke dalam kamar. Mereka meminta izin masuk untuk melihat dan aku mempersilakannya. Mereka masuk, memfokuskan pandangan pada Bapak yang selalu terlihat menyedihkan bagi orang lain, ditambah dengan kamar kos kami yang tidak punya barang selain tikar dan tas kumal. Tatapan Mas Juanda dan temannya se
“Eh, Mar! Sini-sini!” Dari kejauhan, Parwo sudah melambaikan tangan memberikan tanda agar aku mendekat. Aziz juga ada di sampingnya, merokok seperti biasanya. Raut wajahnya serius alih-alih cuek. “Ke mana aja kau kemarin? Ndak narik-narik.”“Assalamu’alaikum.” Parwo dan Aziz menjawab bersamaan. Aziz malah menatapku lama sementara Parwo tampak tidak sabar ingin mengatakan sesuatu. “Lu udah liat Metube atau Facenew kagak?” tanya Aziz.“Nggak. Aku nggak ada waktu buat nonton. Aku pergi dari kontrakan sama Bapak.”“Hah? Kok bisa, Mar?” Parwo memajukan kepalanya, tampak sangat penasaran.“Yah … biasalah, soal Bapak. Kalian pasti paham perangai Eda gimana.”“Lu diusir sama bini lu?”“Bukan, aku yang pergi sendiri karena Eda sudah mau pulang ke rumah orang tuanya. Si bungsu masih kecil banget, si Radit masih sekolah di sini. Repot kalau pulang kampung, jadi mending aku aja yang pergi.”“Terus kau tinggal di mana sekarang, Mar?” tanya Parwo.“Di kosan. Aku udah dapat kosan tadi pagi.” “Wa