Keesokan paginya Jessica terkejut sekali melihat Tommy sudah berdiri di depan pagar rumahnya. Tamu tak diundang itu pun tak kalah kagetnya melihat sang nona rumah muncul dengan penampilan formal seperti siap untuk berangkat kerja.
“Halo, Sica…,” sapa Tommy dengan suara parau. Dia masih memakai pakaian yang sama dengan kemarin siang sewaktu melihat-lihat rumah yang dipasarkan Jessica. Rambutnya agak awut-awutan. Sepertinya dia belum mandi sejak kemarin bertemu denganku, batin gadis itu keheranan. Dibukanya gembok pagar dengan kunci yang dipegangnya. Tercium bau alkohol yang menyengat dari tubuh Tommy yang berdiri tepat di depannya.
“Maaf, Pak. Tolong jangan berdiri di sini. Mobil saya tidak bisa keluar. Saya harus segera pergi bekerja.”
“Sica, bisakah kita bicara sebentar? Please….”
“Anda salah alamat. Rumah saya ini tidak dijual. Silakan pergi mencari Pak Moses untuk mencarikan rumah dijual yang sesuai dengan keinginan Anda.”
“Sica, tolong jangan begini. Aku tahu telah bersalah meninggalkanmu begitu saja tujuh tahun yang lalu. Aku benar-benar tak berdaya waktu itu. Kumohon berilah aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya.”
“Saya tidak mengerti apa yang Anda katakan! Siapa itu Sica? Nama saya Jessica. Orang-orang biasa memanggil saya Jessi. Anda salah mengenali orang. Sekarang silakan pergi atau saya berteriak dan bilang bahwa Anda mau melecehkan saya?!”
Tommy menatap mantan kekasihnya tak percaya. Dimana Sica-ku yang dulu begitu lemah-lembut? tanyanya galau dalam hati. Sekarang aku bagaikan berhadapan dengan seorang perempuan bengis yang siap menerkam bila aku tidak menuruti perintahnya!
“Baiklah,” kata laki-laki itu mengalah. “Mungkin waktunya belum tepat. Lain kali aku akan meneleponmu lebih dulu untuk membuat janji temu.”
“Anda tidak perlu repot-repot mencari saya. Bukankah sudah ada Pak Moses yang bisa membantu Anda mencari apa yang Anda mau?!”
Tommy menatap mata mantan kekasihnya dalam-dalam. Lalu dia berkata perlahan, “Aku tidak jadi mencari rumah, Sica. Aku batal menikah....”
Jessica tersentak. Ditatapnya pria yang dulu begitu dicintainya itu dengan sorot mata tak percaya. Banyak hal yang hendak ditanyakannya, tetapi lidahnya tiba-tiba terasa kelu. Bayangan Melani, calon istri Tommy yang cantik dan menor terbersit dalam benaknya. Kenapa tiba-tiba mereka batal menikah? Apakah karena…diriku? tanyanya dalam hati ingin tahu.
“Aku baru pulang dari Melbourne tiga bulan yang lalu, Sica. Selama ini aku kuliah dan bekerja di sana. Baru kali ini aku pulang ke Indonesia karena mamaku sakit kritis….”
Deg! Wanita kejam itu sakit kritis? Kanker, jantung, gagal ginjal, atau lainnya? batin Jessica penasaran.
“Kanker leher rahim stadium empat,” ucap Tommy seolah-olah dapat membaca isi hati gadis di depannya. Lalu pemuda itu melanjutkan, “Penyakitnya terlambat diketahui. Dokter-dokter di Surabaya, Jakarta, Malaysia, dan Singapore sudah angkat tangan. Aku akhirnya diminta untuk pulang dan dijodohkan dengan Melani, anak teman baik Mama yang sebenarnya sudah lama kukenal, tapi….”
“Tapi apa?”
“Tidak kucintai seperti dirimu, Sica….”
Jessica terperangah. Berani-beraninya kau datang tiba-tiba dan merayuku seperti ini setelah penderitaan yang kautimpakan padaku tujuh tahun yang lalu! Dasar laki-laki tidak tahu diri! umpatnya dalam hati.
“Maaf, ceritamu sama sekali tidak membuatku berempati. Silakan pergi dari sini. Aku mau berangkat kerja. Ada pertemuan penting yang harus kuhadiri.”
“Baiklah, Sica. Nanti siang aku akan chat nomor WA-mu, ya. Siapa tahu kita bisa janjian untuk ketemu dan meSngobrol.”
Dahi Jessica berkerut. Ia bertanya heran, “Dari mana kau tahu nomor WA-ku?”
Pemuda tampan berambut cepak ala tentara itu nyengir dan menjawab, “Kulihat di spanduk yang dipasang di depan rumah yang kamu tunjukkan kemarin. Aku senang mendengar dari Pak Moses bahwa kamu sekarang sudah menjadi agen properti yang berhasil, Sica.”
Gadis itu tersenyum sinis. Moses, Moses. Ia tahu laki-laki itu menaruh hati padanya sejak pertama kali mereka bertemu. Namun Jessica sudah trauma menjalin hubungan dengan pria manapun. Segala perhatian Moses tidak pernah dihiraukannya. Akhirnya pria tampan itu harus puas menjadi sahabat baiknya saja.
Ah, Tommy sudah tahu nomor ponselku yang sekarang. Nomor ponselku yang lama sudah kubuang tujuh tahun yang lalu beserta segala kenangan tentang kami berdua. Apakah benar kata Kak Jenny bahwa masih ada persoalan yang harus diselesaikan diantara aku dan Tommy sehingga kami berdua dipertemukan kembali? Enam bulan sebelum dia menikah pula! Dan hebatnya lagi, rencana itu kini kandas di tengah jalan.
Hmm…, baiklah. Tak ada salahnya aku melayani permintaannya untuk sekedar bertemu dan mengobrol. Barangkali ada gunanya. Siapa tahu?
“Aku pulang dulu, Sica. Seperti yang kaulihat, aku belum ganti baju sejak kemarin siang bertemu denganmu. Aku bertengkar hebat dengan Melani. Dia tidak terima rencana pernikahan kami kubatalkan sepihak. Dia kutinggalkan di rumahnya dalam keadaan marah besar. Aku sendiri langsung menelepon Pak Moses untuk meminta maaf karena batal mencari rumah. Sebenarnya aku menyukai rumah yang kemarin itu, saking calon pendampingku adalah orang yang salah….”
Gadis itu tak sanggup lagi mendengar ucapan-ucapan Tommy yang terdengar mengiba sekaligus menunjukkan perasaannya yang masih mendalam pada Jessica. Agen properti itu segera membuka pagarnya lebar-lebar dan masuk ke dalam mobilnya. Untung tadi pagi-pagi sekali mobil ini sudah kupanasi, pikirnya lega. Jadi sekarang bisa langsung kujalankan dan meninggalkan segala omong kosong yang diucapkan laki-laki tak tahu malu itu!
Jessica memundurkan mobilnya keluar dari halaman rumahnya. Tommy dengan sigap menutup pagar berwarna hitam itu dan mengunci gemboknya. Pemuda itu lalu menyerahkan kunci gembok kepada Jessica yang baru saja turun dari mobil.
“Terima kasih,” ucap gadis itu datar.
“Aku yang seharusnya berterima kasih karena kau masih mau berbicara denganku, Sica.”
Jessica tidak mempedulikan ucapan Tommy. Ia langsung masuk kembali ke dalam Sigra putihnya dan menyetirnya dengan kecepatan tinggi.
Betapa waktu telah membuat seseorang menjadi berubah seratus delapan puluh derajat! batin pemuda bertubuh tegap itu takjub. Sica-ku sudah bertransformasi menjadi seorang wanita karir yang intelek, elegan, dan berwibawa. Barangkali penderitaan yang bertubi-tubi dialaminya telah mengasahnya menjadi begitu tegar. Penderitaan yang salah satunya disebabkan olehku…, batin pemuda itu penuh penyesalan. Kini waktunya aku menebusnya, Sica Sayang. Tolong berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Laki-laki itu kemudian masuk ke dalam CRV silver miliknya. Beberapa saat kemudian mobil yang masih mulus itu melaju dengan kecepatan standar meninggalkan rumah itu. Baik Jessica maupun Tommy tidak menyadari bahwa sejak tadi Jenny memperhatikan mereka dari balik tirai jendela ruang tamu. Kakak kandung Jessica itu menghela napas panjang.
“Ini takdir,” ucapnya perlahan. “Adikku sudah dewasa. Aku tak berhak terlalu ikut campur urusan pribadinya. Mudah-mudahan dia dapat menyelesaikan persoalannya dengan Tommy secara bijaksana.”
Kemudian wanita berambut lurus panjang itu melanjutkan kegiatan sehari-harinya membersihkan rumah yang hanya ditempatinya berdua dengan adiknya itu.
***
Dalam perjalanan menuju ke kantornya, Jessica terkenang akan peristiwa tujuh tahun lalu yang sangat menyakitkan hatinya. Waktu itu dia pergi mencari Tommy di rumahnya yang megah. Sudah tiga hari kekasihnya itu tak dapat dihubunginya, yaitu semenjak ayah Jessica divonis bersalah oleh pengadilan karena telah menggelapkan uang perusahaan tempatnya bekerja untuk berjudi. Orang tuanya itu memperoleh hukuman sepuluh tahun penjara. “Mau apa kamu datang kemari?” tanya Wanda, ibu kandung Tommy, sewot melihat kedatangan Jessica. Perempuan cantik berusia hampir lima puluh tahun namun masih tampak awet muda itu memandang gadis itu dengan tatapan tidak suka. Sungguh jauh berbeda dengan sikapnya dahulu yang selalu ramah setiap kali Jessica datang ke rumahnya. Maklum, putra tunggalnya telah berpacaran dengan gadis itu selama lima tahun. Hubungan keduanya direstui oleh Wanda karena melihat kepribadian kekasih a
Laki-laki bermata tajam dan berhidung mancung itu mengangguk. “Rumah itu memang paling cocok dihuni pasangan suami-istri muda sih, menurutku. Lingkungannya tenang, fasilitasnya lengkap, dan bangunannya sudah siap huni tanpa perlu renovasi lagi.”“Terima kasih atas pujiannya,” seloroh Jessica berkomentar.“Sama-sama, Cantik.”Mereka lalu berkonsentrasi menghabiskan makanan masing-masing. Beberapa menit kemudian, keduanya berpisah di halaman depan rumah makan itu untuk kembali beraktivitas. “Bye, Cantik. Besok kita makan siang bareng lagi, ya,” ujar Moses berpamitan.“Nggak janji. Hahaha…,” timpal Jessica cuek. Pemuda yang selalu sabar menghadapiya itu h
Dibiarkannya Jessica menangis sepuas-puasnya. Setelah isak tangis adiknya mulai mereda, perempuan yang lebih banyak makan asam garam dibandingkan Jessica itu berkata, “Pergilah mandi. Tommy akan kupersilakan untuk pulang saja.”“Apa yang akan Kak Jenny katakan padanya?”“Kubilang saja kamu sudah kecapekan dan mau istirahat. Apakah perlu Kakak beritahu dia supaya nggak usah datang lagi kemari?”Jessica terdiam sejenak. Otaknya berpikir keras. Tiba-tiba sebuah senyuman licik tersungging di bibirnya yang tipis. Bulu kuduk Jenny sampai berdiri melihatnya. Apa gerangan yang direncanakan adikku ini ya, Tuhan? ujarnya dalam hati penuh tanda tanya. Senyumannya terlihat begitu mengerikan! 
“Aku sekarang sudah dewasa, Sica. Sudah berumur dua puluh tujuh tahun. Selama tujuh tahun ini aku menuruti saja apa yang dikehendaki mamaku. Beliau menginginkanku kuliah dan bekerja di Melbourne, kuturuti. Tidak boleh menghubungimu sama sekali, kuturuti. Tidak boleh pulang ke Indonesia sama sekali juga kupatuhi. Jujur saja aku tidak tahu apa-apa tentang penyakitnya sampai beberapa bulan yang lalu Mama menyuruhku pulang. Aku kaget sekali dan memutuskan untuk pulang selamanya. Kutinggalkan semua yang sudah kuraih di Melbourne demi merawat Mama dan meneruskan perusahaan keluargaku.”“Juga untuk dijodohkan dengan Melani….”“Tentang itu aku terus-terang baru mengetahuinya setiba di sini, Sica….”“Lalu selama di
“Barangkali ini terdengar agak kejam. Tapi terpaksa kulakukan demi meraih kebahagiaan kita berdua, Sica….”“Aku tidak mengerti.”Tommy menghela napas panjang. Kemudian dia berkata dengan suara parau, “Mama sekarang kondisinya memang membaik, tapi kanker tetaplah kanker. Butuh pengobatan secara intensif dan membutuhkan dana yang besar seumur hidup.”“Lalu?”“Dia sekarang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan. Aku telah menggantikannya semenjak kembali dari Melbourne. Keuangan keluarga Saputra sekarang berada sepenuhnya di tanganku. Perusahaan, rumah, mobil, properti-properti ase
Jessica duduk di depan meja riasnya. Ditatapnya bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku memang sudah berubah,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Bukan lagi Sica yang lugu dan mudah ditipu orang lain.”Ingatannya kembali pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika itu dia baru menerima pesan WA dari Tante Wanda setelah tiga hari menunggu-nunggu dengan hati gelisah.“Silakan duduk, Sica,” kata perempuan itu ramah begitu melihat Jessica muncul di ruang tamunya.”“Terima kasih, Tante.”“Kamu kelihatan lebih segar dibanding beberapa hari yang lalu.” 
Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahw
Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatny
“Lukisannya sebenarnya sudah agak pudar dan plafond ada yang bocor. Maklum sudah hampir delapan tahun tidak pernah dipugar sama sekali. Akhirnya kuminta temanku untuk merenovasi ulang tanpa mengubah tata letak rumah ini. Lukisan itu benar-benar baru, Jess. Aku kan masih menyimpan foto lamanya. Tapi kuminta warnanya lebih menyolok dibandingkan dulu. Terus….” “Ditambahi pelangi,” sela lawan bicaranya menimpali. “Betul,” kata sang tuan rumah membenarkan. “Aku yang memintanya.” “Buat apa? Malah kelihatan rame. Norak,” komentar Jessica menusuk hati. Moses melongo mendengarnya. “Jadi kamu nggak suka? Ya udah, nanti biar kucari orang lain saja yang suka.”
Karena tak tahan menghadapi kebawelan putranya yang ingin segera bertemu dengan Moses, Jessica terpaksa menelepon pria itu. Jantungnya berdegup kencang ketika mendengar suara yang sangat dikenalnya menyapa ramah, “Halo, Jess.”“Ehm…, ini Nathan mau ngomong,” jawabnya cepat-cepat. Disodorkannya ponselnya pada sang anak yang menerimanya dengan wajah berseri-seri.“Halo, Om Moses?” sapa bocah itu ceria. “Om sekarang berada di mana? Nathan kangen pengen ketemu.”Jessica menyibukkan diri dengan mengetik di laptop. Tak diacuhkannya anaknya yang asyik ngobrol di telepon dengan om-nya tercinta. Tak lama kemudian Nathanael mengembalikan ponselnya.&nb
Dia menawari Moses untuk menginap di rumahnya daripada menghabiskan uang bermalam di hotel. Rumah laki-laki itu masih disewa orang dan baru satu bulan lagi selesai masa sewanya.Moses menerima tawaran itu. Dia tidur di kamar tamu lantai bawah. Kehadirannya membuat Nathanael agak terhibur. Pria itu sering menemaninya bermain dan bercanda sehingga tak bersedih terus-menerus akibat kehilangan ayah kandungnya.Satu minggu telah berlalu. Jenazah Tommy telah dimakamkan di pemakaman umum Surabaya Timur. Jessica agak bingung menghadapi Moses sekarang. Seminggu terakhir ini dia memperlakukan Moses layaknya sahabat lama yang datang berkunjung dan berbelasungkawa atas kepergian suaminya.Sekarang segala urusan mengenai Tommy sudah selesai. Wanita itu menjadi bimbang. Tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap pria
Tiba-tiba pintu apartemennya terbuka. Seorang remaja laki-laki yang parasnya mirip dirinya muncul sambil membawa tas ransel di punggung. Dia adalah William, putra semata wayangnya. Ini hari Jumat, waktunya remaja itu menginap di apartemen ayah tercinta.Pemuda kelas tiga SMP itu sudah biasa naik ojek ataupun taksi online sendiri untuk menuju kediaman Moses. Terkadang ibu kandung atau ayah sambungnya yang mengantarnya dengan mobil sampai ke depan pintu lobi.“Hai, Pa,” sapa William ramah. “Lagi mikirin apa? Kok kelihatannya serius gitu? Kita nanti malam jadi makan di resto all you can eat yang baru buka itu, nggak?” cecarnya bertubi-tubi.Sang ayah mendesah panjang. Dia menatap buah hatinya dengan perasaan sayang. “Duduklah dulu, Nak. Ada hal penting yang mau Papa bicarakan,” ucapnya dengan ekspresi serius.“Heh? What’s wrong?&
“Tidak lagi, Sayang,” jawab suaminya sambil tersenyum. “Di Jakarta Moses merintis pekerjaannya dari awal sebagai agen properti. Setiap hari dihabiskannya dengan bekerja, nge-gym, dan bermain dengan anaknya. William namanya. Sekarang sudah berumur enam belas tahun dan mau masuk SMA. Anak itu sering bertanya kapan papanya menikah lagi. Mamanya sendiri sudah lama membentuk keluarga baru. Tapi Moses cuma ketawa dan bilang sudah tidak tertarik pada wanita.”“Homo, kali!”kata sang istri cuek.“Hush! Nggak boleh sembarangan ngomong,”kata Tommy sembari mengelus-elus pipinya yang tadi ditampar Jessica. Sang istri jadi panik. “Masih sakit, ya?” tanyanya kuatir. “Sebentar kuambilkan waslap dan es batu buat kompres.”&n
Sore harinya waktu suaminya pulang, Jessica bersikap biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Dia melayani pria itu makan dan minum. Sama sekali tak ditanyakannya hasil pertemuan Tommy dengan pebisnis asal Cina di Jakarta. Justru suaminya itu yang bercerita sendiri tentang pembicaraannya dengan orang asing tersebut.“Sepertinya aku nggak jadi berbisnis dengan orang itu, Sica. Bahasa Inggrisnya parah sekali dan nggak pakai penerjemah. Aku yang cuma bisa sedikit-sedikit bahasa Mandarin kesulitan berkomunikasi dengannya. Daripada di belakang nanti ada apa-apa, lebih baik kuurungkan niatku menjalin kerja sama.”Jessica menatap suaminya tajam. Hebat sekali kamu berbohong, Suamiku Tercinta, sindirnya dalam hati. Dan begonya aku sudah berhasil kau tipu selama ini. Benar-benar tolol kau, Jessica Irawan!&nb
Karena tidak mau bertengkar dengan sang suami, dia akhirnya mengalah. Nah, sekarang tiba-tiba Tommy bilang mau pergi ke Jakarta besok untuk urusan bisnis. Sang istri kuatir pendamping hidupnya itu akan terserang sakit kepala lagi di perjalanan. “Aku temani kamu, ya,” pintanya dengan sorot mata memohon. “Nanti kalau sakit kepalamu kumat lagi bagaimana?” “Aku akan mengajak sopir kita. Dia akan menjagaku. Tapi sebenarnya yang kubutuhkan adalah doamu agar pembicaraan bisnis ini berhasil, Sayang.” “Kamu kan tahu aku selalu mendoakanmu dalam segala hal. Termasuk sakit kepalamu itu. Kubawakan minyak atsiri, ya. Jangan lupa dihirup sesering mungkin. Oleskan juga di dahi dan pelipis untuk mencegah sakit kepala. Kalaupun sakitnya masih muncul, seti
Dua minggu kemudian Tommy pergi menemui pengacaranya. Pria tua yang sudah puluhan tahun menjadi kuasa hukum keluarganya itu menatapnya serius. “Apakah sudah kau pikirkan masak-masak keputusanmu ini, Tom? Perusahaan itu adalah peninggalan keluargamu. Warisan buat anakmu kelak,” nasihatnya gundah. Bagaimanapun juga dia sudah lama sekali menangani aset keluarga Saputra. Ada ikatan antara dirinya dengan keluarga itu yang tak bisa dinilai dengan uang.Tommy tersenyum yakin. “Kesehatan saya tak memungkinkan untuk terus menjalankan perusahaan itu, Pak. Saya juga tidak mau memaksakan istri saya untuk meneruskan bisnis yang tak diminatinya. Dia pernah membantu saya di perusahaan sebelum Nathanael lahir. Selama berbulan-bulan itu saya bisa menilai bahwa minatnya bukan di bisnis pengalengan ikan.”“Kamu k
Gadis itu melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan rupawan. Mata Jessica berbinar-binar melihatnya. Tommy tersenyum bahagia. Benar kata Moses, batinnya menyadari. Sica sangat mendambakan seorang anak. Berbulan-bulan dia mencari-cari nama yang pas buat calon anak mereka. Kebetulan Melani sudah mengirimkan kabar bahwa janin yang dikandungnya berjenis kelamin laki-laki.“Akhirnya kau beri nama siapa, Sayang?” tanya Tommy sembari merangkul mesra sang istri. Dengan wajah berseri-seri Jessica menjawab, “Nathanael. Artinya hadiah dari Tuhan.”Sang suami mengangguk setuju. Bayi ini memang hadiah dari Tuhan untuk mengisi kekosongan dalam hati istrinya sekaligus menyempurnakan kebahagiaan perkawinan mereka.***Tujuh tahun telah berlalu. Nathanael tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas, baik hati, dan sangat menyayangi kedua orang tuanya. Jessica sudah tidak bekerja di perusaha