Malam itu, suasana rumah besar Reiner sudah begitu sunyi. Jam dinding di ruang tamu berdetak perlahan, menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Elise masih duduk di kursi dekat jendela, mengenakan seragam pelayan yang sudah terasa tidak nyaman. Dia merapatkan selimut tipis di bahunya, mencoba melawan kantuk yang sudah sejak tadi menguasai matanya. Tapi dia tahu, jika dia tidak menunggu kepulangan Reiner, risikonya terlalu besar.Tepat ketika matanya hampir terpejam, suara derit pintu gerbang membuat Elise tersentak. Reiner akhirnya pulang. Langkah sepatu kulitnya terdengar jelas di lantai marmer, membuat Elise buru-buru berdiri. Lelaki itu masuk dengan tampilan yang tetap rapi meskipun jelas lelah. Dasinya ditarik, dan jas serta tas kerjanya ia lemparkan begitu saja ke tangan Elise yang cepat-cepat menyambut.“Kenapa kau belum tidur?” tanya Reiner sambil melangkah menuju ruang tamu, suaranya rendah tetapi tegas.Elise sedikit kesulitan mengikuti langkahnya yang panjang. “Saya menunggu
Elise duduk dengan gelisah di sofa kamar Reiner, tubuhnya tegak tapi tangannya saling meremas di pangkuannya. Matanya terlihat lelah, tapi dia tetap mencoba fokus.Reiner berjalan mondar-mandir di depan Elise, ponselnya masih tergenggam erat. Dia berhenti sejenak, lalu menatap Elise. "Kau sungguh kenal orang ini?" tanyanya tegas sambil kembali memperlihatkan foto di layar ponsel.Elise mengangguk pelan, mencoba menahan rasa kantuk yang makin menyerang. "Ya, Tuan. Dia Paman Karl, adik dari ayah tiri saya," jawabnya lirih, nada suaranya mencerminkan kejujuran sekaligus rasa khawatir.Reiner mengusap dagunya, tatapannya mengarah ke jendela yang tertutup tirai tebal. Pikirannya mulai menyusun potongan-potongan informasi yang baru ia dapatkan. Selama ini, ia tidak pernah merasa perlu mencari tahu lebih jauh tentang keluarga Elise—karena menganggap itu tidak relevan dengan pekerjaannya. Namun, situasi ini telah mengubah segalanya."Kau tahu di mana dia sekarang?" tanya Reiner, memecah kehen
Pagi ini, suasana ruang makan terasa berat. Sarapan pagi terhidang di meja besar, tetapi percakapan di antara mereka seolah mengambang tanpa arah. Reiner duduk di ujung meja, menyantap sarapannya dengan santai, meski pikirannya jauh dari sini. Sesekali matanya melirik ke arah ibunya, Barbra, yang tanpa henti membicarakan nama Eva. Reiner sudah tidak tahan mendengarnya.Barbra berbicara dengan nada memaksa,"Reiner, kau tak bisa terus menghindar dari kenyataan. Eva adalah pilihan terbaik untukmu. Dia pintar, dia punya segala yang kau butuhkan."Reiner dengan nada tegas menjawab, sedikit jengkel, "Ibu, aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak ingin menikahi Eva. Tolong hentikan pembicaraan ini."Barbra hanya mendesah, tampak kecewa, tetapi tak menyerah begitu saja."Jangan terlalu keras kepala, Reiner. Ini bukan hanya tentang perasaan, ini tentang masa depanmu. Jangan sampai kau menyesal di kemudian hari."Gale ikut bicara dengan lebih lembut, mencoba menenangkan, "Istriku, sudah cukup
Reiner sudah memegang gagang pintu mobil, siap untuk berangkat. Tapi suara panggilan Elise membuat langkahnya terhenti.“Elise!” seru Reiner dengan nada datar, menatap gadis itu yang berlari tergopoh-gopoh dari pintu belakang, tempat para pekerja biasa keluar-masuk.Elise tampak mengatur napas, lalu berdiri di hadapan Reiner. Wajahnya agak pucat, dan tangan mungilnya sibuk memilin-milin jari sendiri, menunjukkan kegugupan yang jelas terlihat."Ada apa? Aku sedang buru-buru sekarang," tanya Reiner dingin, matanya memicing, meneliti raut wajah Elise yang tampak gelisah.Elise menelan ludah, lalu memberanikan diri untuk bicara. "Maaf, Tuan... saya cuma mau minta izin.""Izin? Untuk apa?" Reiner mengangkat sebelah alis. "Mau pergi ke mana kau? Kalau bukan urusan kerjaan, aku tidak akan memberimu izin."Elise menggigit bibir bawahnya, berpikir keras untuk merangkai kata. Ia tahu Reiner bukan orang yang mudah memberikan kelonggaran, apalagi untuk urusan pribadi."Itu, Tuan..." Elise menarik
Elise mencoba untuk tetap tenang meskipun dia merasa seperti seekor rusa di bawah tatapan elang. Padma masih memerhatikannya dari kejauhan, dan Elise merasa setiap langkahnya diawasi. Mencoba mengabaikan tekanan itu, Elise mengitari sebuah patung besar di tengah ruangan, mengamati detail ukirannya meski pikirannya masih berkecamuk tentang lukisan di dinding."Kenapa hatiku mengatakan kalau lukisan itu milik ibuku?" Elise bergumam pelan, hanya untuk dirinya sendiri.Dia menoleh kembali ke arah lukisan yang terasa memanggilnya. Perlahan-lahan, dia mendekati dinding tempat lukisan itu tergantung. Jari-jarinya nyaris menyentuh kaca pelindungnya ketika dia menahan napas, air mata sudah menggenang di pelupuk mata.Namun, sebuah suara familiar memecah momen itu."Hei, Elise. Kau masih menatap lukisan itu?"Elise melompat kecil, buru-buru menghapus air mata di sudut matanya sebelum berbalik menghadapi Padma. Tatapan tajam wanita itu penuh rasa ingin tahu, seolah mencari sesuatu yang bisa dipe
Hujan turun dengan lembut di luar, suaranya mengetuk-ngetuk kaca jendela kamar seperti irama alami yang menenangkan. Namun, ketenangan itu tidak berlaku bagi Elise. Di ranjangnya yang sempit, ia berguling-guling gelisah, menarik dan menendang selimut berulang kali.Bayangan kejadian di mobil terus berputar di pikirannya. Sentuhan bibir Reiner, cengkeraman lembut di tengkuknya, dan tatapan tajam yang tak terbaca. Semua itu membuat Elise merasa tubuhnya memanas.Elise menggigit bibir bawahnya, lalu mendesah frustrasi. "Kenapa dia melakukan itu... Astaga!" gumamnya pelan.Dia mengambil bantal dan menutup wajahnya, berharap bisa meredam suara pikirannya sendiri. Kakinya menendang-nendang tak tentu arah di bawah selimut.Tanpa ia sadari, pintu kamar terbuka perlahan. Clara masuk dengan langkah tenang, matanya langsung tertuju pada Elise yang tampak gelisah di ranjang."Kau sedang apa, Elise?" suara Clara memecah keheningan.Elise tersentak. Kakinya langsung berhenti menendang, dan bantal d
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar Reiner, menciptakan pola-pola abstrak yang menari di dinding abu-abu lembut. Elise berdiri di depan pintu dengan nampan berisi sarapan. Jemarinya menggenggam pegangan nampan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Kejadian di mobil kemarin terus terngiang di kepalanya, seperti kaset rusak yang diputar ulang tanpa henti. "Selamat pagi, Tuan." Suara Elise terdengar pelan, hampir berbisik. Pandangannya menunduk, tidak berani langsung menatap Reiner yang berdiri di depan cermin, mengenakan kemejanya perlahan. Otot-ototnya yang tegas terlihat jelas di bawah kemeja putih itu, membuat Elise tanpa sadar menggigit bibir bawahnya. Reiner berbalik menatapnya dengan ekspresi tenang, tapi tajam. "Letakkan di sana," katanya singkat, menunjuk meja kecil di dekat ranjang. Elise berjalan mendekat dengan hati-hati, setiap langkahnya seperti suara drum kecil di dadanya. Setelah meletakkan nampan, ia berbalik cepat, berharap bisa segera keluar dari
Taman belakang itu sejuk dengan aroma tanah basah yang samar tercium di udara. Elise berdiri di dekat gazebo, menyapu daun-daun kering yang berserakan. Suara gemercik air dari kolam ikan di sampingnya memberikan sedikit ketenangan, meskipun pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian-kejadian sebelumnya.Sebenarnya, menyapu bukanlah tugasnya. Di dalam kontraknya, jelas tertulis bahwa Elise bertugas sebagai pelayan pribadi Tuan Abraham. Tapi sejak Reiner Barack, cucu Tuan Abraham, kembali ke rumah dan Elise berpindah tugas melayani lelaki itu, Greta tampaknya selalu menemukan alasan untuk menambah beban pekerjaannya."Kau tidak perlu mengomel, Elise," suara Greta terdengar dari arah dinding pembatas, saat dia menyiram tanaman dengan gerakan malas. "Selagi kau nganggur, kau juga wajib ikut bantu beres-beres."Elise menghela napas panjang, menahan komentar yang ingin meluncur dari bibirnya. Dia memilih untuk membuang muka, pura-pura sibuk dengan sapunya. Namun dalam hatinya, dia merasa kes
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta