Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Ruang pesta dipenuhi kemewahan yang mencerminkan kekayaan para pesohor. Lampu gantung kristal berkilauan, memantulkan cahaya lembut ke seluruh aula yang luas. Meski begitu, tempat yang dipilih sejujurnya bukan tempat yang terlalu terbuka.Para tamu, berpakaian sempurna dengan gaun malam dan setelan mahal, bercakap-cakap sambil menyesap sampanye dari gelas kristal. Suara tawa ringan bercampur dengan dentingan alat musik dari orkestra yang bermain di sudut ruangan.Namun, momen itu seolah terhenti ketika sosok Reiner Barack melangkah masuk.Setelan jas hitamnya dibuat khusus, membingkai tubuh tegapnya dengan sempurna. Rambutnya disisir rapi ke belakang, tetapi sehelai jatuh ke dahinya, memberikan kesan santai yang memikat. Wajahnya membawa ekspresi dingin, namun karismanya tak terbantahkan. Setiap langkahnya memancarkan kepercayaan diri yang begitu kuat hingga semua kepala menoleh ke arahnya.Para wanita berbisik-bisik, beberapa menyembunyikan senyum malu-malu di balik kipas mereka. Sal
Rumah keluarga Barack berdiri megah di atas tanah seluas dua hektar, dikelilingi taman yang dirancang oleh arsitek terkenal. Gerbang besar dengan logo keluarga terpahat di tengahnya dijaga ketat oleh dua petugas keamanan, sementara kamera tersembunyi memantau setiap sudut. Para pelayan berlalu-lalang di lorong marmer yang dingin, memastikan setiap sudut rumah tetap sempurna. Keluarga Barack bukan hanya kaya raya—mereka adalah simbol kekuasaan dan kehormatan di kota ini.Di ruang makan yang luas, cahaya pagi menerobos tirai beludru, menerangi meja makan panjang yang dipenuhi peralatan porselen mahal. Di salah satu ujung meja, Nyonya Barbra Barack sedang menuangkan teh sambil berbicara dengan nada tajam, penuh keluhan."Aku sungguh tak habis pikir, Reiner!" suara Barbra melengking, matanya yang tajam menyipit menatap putranya. "Kau kabur dari pesta tanpa pemberitahuan, meninggalkan Eva begitu saja. Orang tuanya pasti menganggap keluarga kita tidak punya sopan santun!"Reiner, yang duduk
Pukul sepuluh pagi, dapur di rumah besar keluarga Barack terasa sepi dan hening. Hanya ada suara langit-langit yang berderak pelan saat angin dari luar menyentuhnya. Reiner duduk di meja kayu panjang, memegang gelas berisi air, namun matanya jauh lebih tertarik pada ketenangan sekelilingnya.Dia baru saja meninggalkan ruang makan setelah percakapan yang menegangkan dengan ibunya. Rasa kesal masih tertinggal di bibirnya, namun dia tidak peduli. Semua itu akan berlalu, seperti semuanya yang pernah terjadi di hidupnya. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian.Ketika Elise melangkah masuk dengan perlahan, pada kaki pelayan itu terselip aroma yang berbeda—sesuatu yang sederhana, namun kuat. Tidak ada keramahtamahan yang disampaikan melalui kata-kata, hanya seutas sapaan singkat yang penuh kehati-hatian. Reiner merasakan kehadirannya lebih dulu daripada mendengar langkahnya.Elise berjalan dengan perlahan, tubuhnya cenderung menyamping agar tidak mengganggu perhatiannya. Reiner tahu bahw
Sore itu, dapur rumah keluarga Barack dipenuhi aroma herbal yang baru saja diseduh. Elise sibuk membawa nampan berisi secangkir teh herbal untuk Tuan Abraham. Penampilannya sederhana, tapi menarik perhatian. Dengan tinggi badan 160 cm, tubuh mungilnya tampak anggun. Rambut hitam sebahunya selalu tertata rapi, meski wajahnya jarang dihiasi riasan. Sorot matanya lembut, menyiratkan kepribadian yang sabar, walau dalam hatinya sering tersimpan rasa gelisah.Elise, meskipun hanya pelayan, membawa aura yang berbeda. Ia terlihat tenang, tapi ada jejak kekuatan dari masa lalunya yang sulit—masa kecil di rumah yang penuh dengan pertengkaran, membuatnya belajar untuk menahan diri dan menghadapi segala situasi dengan kepala dingin.Salah seorang pelayan senior, Greta, berbisik pada rekannya sambil melirik Elise yang baru melewati mereka.“Lihat dia, baru beberapa hari di sini sudah begitu percaya diri melayani Tuan Abraham. Biasanya, pelayan lain lari dalam seminggu,” katanya sinis.“Entahlah,”
Reiner menuntun mobilnya melewati jalanan yang tak terlalu terang, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh Elise. Saat mobil berhenti di depan rumah yang sederhana namun sedikit kumuh, Reiner menatap bangunan itu sekilas dari dalam mobil. Tidak ada yang terlalu mencolok, hanya sebuah rumah dengan pagar kayu yang sudah mulai lapuk. Sangat kontras dengan rumah megah yang ia tinggali.Elise membuka pintu mobil, hendak turun. Reiner menundukkan wajahnya sejenak, berusaha menyembunyikan rasa keingintahuan yang tumbuh. Dengan sedikit ragu, dia mengikuti Elise keluar dari mobil dan berjalan mengikutinya ke pintu rumah. Dalam pikiran Reiner, rumah ini adalah tempat yang sangat berbeda dari kehidupannya yang mewah dan penuh privilese.Begitu masuk ke dalam, bau lembap dan udara pengap langsung terasa. Rumah itu tampak kacau, dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Ruangan yang seharusnya menjadi ruang tamu tampak kosong, hanya berisi kursi-kursi kayu usang dan meja yang sudah tidak terawa
Tobey duduk di kursi, wajahnya tegang dan penuh kemarahan. Tangan kanannya mencengkeram sandaran kursi dengan erat, sementara tangan kirinya meremas ponsel, matanya terpaku pada foto yang ada di layar—sebuah gambar pria yang tak lain adalah ayah Elise. Ketika matanya menyapu ruang itu, ia mendapati bawahannya masih sibuk mengutak-atik komputer, mencoba mencari solusi dari teka-teki yang membuatnya semakin jengkel. "Damn!" Tobey mengumpat kasar, suaranya serak penuh kekesalan. "Kau memang serakah, Harrys! Bahkan setelah mati, kau masih menyusahkan hidupku!" Ia melemparkan ponselnya ke meja dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir, berpikir keras. Ruangan itu terasa semakin sempit, seolah-olah setiap sudutnya menekan perasaan Tobey yang semakin membara. Di ambang pintu, Karl muncul, memandangnya dengan wajah ragu-ragu. “Apakah mungkin kode sandinya ulang tahun Roseta?” Tobey menoleh, matanya menyipit dengan keraguan. "Itu terlalu mudah, Karl." Suaranya terdengar taj
Di dalam ruangan yang cukup terang, suasana semakin tegang. Semua mata tertuju pada brankas besar yang terletak di tengah ruangan. Ahli IT yang duduk di depan komputer mulai mengoperasikan alatnya, dan layar di hadapannya menunjukkan data yang bergerak cepat. Semua orang menunggu dengan cemas, menyadari bahwa brankas itu hanya bisa dibuka dengan sidik jari yang cocok. Tentu saja, itu hanya masalah waktu. Tak lama lagi, brankas itu akan terbuka, dan rahasia yang tersembunyi di dalamnya akan terungkap. Semua mata kini beralih ke Elise yang terikat di sudut ruangan. Wajahnya tampak pucat dan penuh kecemasan. Tiba-tiba, salah satu suruhan lainnya yang tampaknya bertugas menjaga keamanan ruangan, berjalan mendekat dengan ekspresi cemas. Wajahnya menunjukkan ketegangan. "Tuan, kami mendeteksi gerakan di sekitar gedung. Sepertinya ada orang lain yang mendekat." Tobey mengerutkan keningnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Elise yang duduk di sudut ruangan, tampak semakin ketakutan. Tata
Pagi itu, tubuh Elise tersentak hebat, seakan terbangun dari mimpi buruk yang terlalu nyata. Matanya langsung terbuka lebar, menatap langit-langit gelap di atasnya. Napasnya memburu, dadanya naik-turun seiring ketakutan yang belum sepenuhnya hilang dari pikirannya. Dia bergumam pelan, hampir tidak terdengar, "Sudah pagi ternyata..." Namun, pagi itu tidak membawa ketenangan. Elise masih terikat di kursi kayu keras, dengan tali yang menggerus pergelangan tangannya. Dia mencoba lagi untuk membebaskan diri, menarik-narik tali bergantian dengan penuh harap, tetapi usahanya hanya membuat kulitnya semakin memerah dan perih. Rasa sakit itu seperti memperingatkan bahwa kebebasan masih jauh dari jangkauan. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Elise segera berhenti bergerak, memejamkan mata, dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Dia berpura-pura tidur, mencoba mendengarkan percakapan yang terjadi di luar ruangannya. "Tuan akan langsung membawa dia pergi?" suara berat Karl terde
Pukul delapan malam, suasana di luar rumah Eddie masih tampak tenang. Reiner memarkir mobilnya di depan pagar yang sudah mulai berkarat. Langkahnya terdengar berat dan cepat di atas jalan setapak menuju pintu utama. Ketika pintu terbuka, Eddie—dengan rambutnya yang mulai memutih dan postur tubuh sedikit membungkuk—terlihat terkejut mendapati Reiner berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegang. “Silakan masuk, Tuan... sepertinya ada yang genting,” kata Eddie sambil mempersilakan Reiner masuk ke ruang tamu. Tanpa menunggu basa-basi, Reiner langsung membuka pembicaraan. “Apa kau masih sering menemui Karl?” Kening Eddie berkerut. Nama itu seperti pisau tua yang kembali mengiris luka lama. “Ada apa dengan Karl?” tanyanya penuh kebingungan. Reiner mendesah berat, mencoba menahan ledakan emosinya. “Elise hilang.” Mata Eddie membelalak. “E-Elise hilang? Bagaimana bisa, Tuan?” Reiner meraup wajahnya dengan kasar, frustrasi. “Kau tahu kira-kira Karl tinggal di mana? Kau itu kakak kandun
Tubuh Elise gemetar, kedua tangannya terikat erat di belakang punggung, sementara kakinya dililit tali yang sama kuatnya. Lakban menutup rapat mulutnya, membuatnya hanya bisa mengeluarkan suara samar dari tenggorokannya. Dia duduk bersimpuh di lantai, punggungnya bersandar pada sebuah lemari kayu yang besar. Perlahan, Elise membuka matanya. Pandangannya buram pada awalnya, tapi sedikit demi sedikit, ruangan itu mulai terlihat jelas. Cahaya remang dari sebuah lampu gantung tua memantulkan bayangan menyeramkan di dinding. Jantungnya berdegup kencang saat ia menyadari bahwa dirinya berada di tempat asing, dalam kondisi tidak berdaya. Suara langkah kaki terdengar mendekat. Karl muncul dari kegelapan, mengenakan jaket kulit yang terlihat usang. Wajahnya dihiasi seringaian dingin yang mengirimkan hawa menakutkan ke seluruh ruangan. "Bangun juga kau, Elise," ucap Karl dengan nada mengejek, matanya menyipit tajam saat dia mendekati tubuh Elise yang terikat. Elise berusaha menggerakkan tub
Polisi mulai sibuk bergerak, menyebar ke seluruh area bangunan tua yang telah lama terbengkalai di tengah hutan. Mereka menggedor setiap sudut, membuka pintu-pintu berkarat dan menyisir ruang-ruang yang diselimuti debu tebal. Meskipun bangunan ini sudah lama ditinggalkan, tidak ada yang tahu bahwa di dalamnya masih tersimpan sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah banyak hal."Dua langkah ke kiri!" perintah seorang polisi dengan suara tegas saat ia menyisir ruang yang dipenuhi komputer-komputer tua dan alat-alat aneh. Dalam salah satu sudut ruangan, sebuah brangkas besar berdiri tegak, menunggu untuk dibuka oleh Tobey. Tapi kini, brangkas itu hanya menjadi objek misteri bagi para penyelidik."Jangan bergerak! Kalian sudah terkepung!" teriak polisi lain yang sudah mengarahkan senjata mereka ke empat orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Para pengikut Tobey terkejut, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Tangan mereka terangkat ke udara sebagai tanda menyerah.
Kediaman Keluarga BarackReiner memarkir mobil di area halaman, suara mesin yang berhenti menarik perhatian Will yang sedang duduk di pos bersama para penjaga. "Baru pulang, Tuan?"Reiner hanya mengangguk singkat, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Udara di dalam terasa hangat, namun pikirannya tidak. Ada sesuatu yang mengganjal sejak dia melihat barang berserakan di jalan pinus tadi.Saat tiba di ruang tengah, suaranya bergema, memanggil, "Elise!"Yang muncul bukan Elise, melainkan Clara, dengan wajah sedikit ragu."Maaf, Tuan... Elise sedang tidak di rumah."Kening Reiner langsung berkerut, nada suaranya berubah. "Kemana dia?" "Saya kurang tahu, Tuan. Dari siang saya tidak melihat Elise."Reiner terdiam, pikirannya langsung berputar. Dia berjalan menuju tangga, melangkah ke lantai dua sambil mencoba menenangkan diri.Reiner membatin, "Apa dia pergi menemui ayah dan adiknya lagi? Atau ke galeri seni seperti biasa?"Tapi kenapa tidak ada pesan? Dia merogoh ponsel dari saku cela
Siang itu, matahari bersinar terang di halaman rumah keluarga Barbra. Elise sedang sibuk menyapu dedaunan kering yang berguguran. Dengan gerakan cepat, ia mencoba menyelesaikan pekerjaannya, namun perhatiannya terusik oleh percakapan yang terjadi di teras depan. "Reiner sering sekali mencuri pandang padaku waktu itu," suara Olivia terdengar jelas, diiringi tawa kecil. "Ah, aku ingat itu. Anak itu selalu mencari alasan untuk bertemu denganmu," sahut Barbra dengan nada bercanda, tetapi ada kehangatan di dalamnya. Mendengar obrolan itu, Elise menghentikan gerakan sapunya. Ia berdiri di balik pohon besar, mencuri dengar pembicaraan mereka. Dadanya terasa sedikit sesak, meskipun ia sendiri tidak mengerti mengapa. Olivia melanjutkan, "Dia benar-benar berbeda saat itu, Bibi. Lebih hangat, lebih perhatian. Tapi, yah, waktu memang mengubah segalanya." Elise mendengus pelan, mencoba mengalihkan rasa tak nyaman dengan menyapu daun-daun kering lebih keras. Tak lama kemudian, Reiner muncul da
Pagi itu, Elise sudah berdiri di depan kamar Reiner, memeluk keranjang pakaian yang semalam harus ia setrika ulang. Matanya menatap pintu kayu itu dengan ragu. Dia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri sebelum mengetuk. Namun, sebelum tangannya sempat menyentuh pintu, gagang pintu itu berputar, dan sosok Olivia muncul dari dalam. Olivia menguap kecil, tampak santai dengan piyama satin yang terkesan mahal. Rambutnya tergerai rapi, meskipun baru saja bangun tidur. Elise membeku. Pandangan mereka bertemu, dan Olivia tampak terkejut. “Eh, Elise? Kau di sini pagi-pagi sekali?” tanya Olivia sambil merapikan rambutnya. Elise menelan ludah. “Sa-saya… saya mau mengantar pakaian, Nona. Semua harus rapi sebelum Tuan Reiner bangun.” “Oh, begitu ya?” Olivia tersenyum tipis sambil menyingkir memberi jalan. “Silakan masuk saja.” Elise mengangguk canggung, melangkah masuk ke kamar sambil memeluk keranjang pakaian erat-erat. Dia tidak berani menoleh, tetapi langkah Olivia yang gemulai ta