Pavel melangkah keluar dari ruangan dengan langkah tegap yang tak tergoyahkan. Namun, baru beberapa langkah, dia berhenti tiba-tiba dan berbalik, tatapannya langsung tertuju pada Owen dan Darius yang setia mengikutinya."Ada tugas tambahan," cetusnya dengan senyum menyeringai. "Pukul aku, buat aku babak belur."Mata Owen membelalak. Darius pun tampak sama terkejutnya, meski ekspresinya lebih tertarik daripada kaget."T—Tuan… apa saya melakukan kesalahan?" tanya Owen hati-hati.Pavel menggeleng santai. "Tidak. Cepat lakukan saja. Aku akan menambahkan gajimu."Darius langsung menegakkan tubuhnya penuh semangat. "Saya saja, Tuan! Saya mau—akh! Hei, kenapa kau memukul kepalaku?!"Darius mengusap kepalanya dengan geraman pelan setelah menerima pukulan keras dari Owen."Diam kau!" bentak Owen, galak. Tatapannya kembali beralih pada Pavel, kali ini lebih serius. "Tuan, bolehkah saya tahu alasannya dulu? Setidaknya beri saya penjelasan sebelum saya benar-benar menghaj—eh, mematuhi perintah an
Hari berganti, dan sejak Aleena mengobati luka Pavel, ada sesuatu yang perlahan berubah dalam dirinya. Perasaan familiar yang menghangatkan hati mulai menjalar tanpa bisa ia cegah. Rasa benci yang dulu begitu kuat perlahan terkikis, digantikan dengan ketertarikan yang muncul secara alami—sesuatu yang bahkan enggan diakuinya."Berhentilah menatapku begitu. Aku tahu aku tampan," ucap Pavel santai dengan percaya diri, melirik Aleena yang sedari tadi diam, hanya sesekali mengerjapkan mata. "Katakan saja, apa yang ingin kau tanyakan?"Aleena mengerutkan dahi. Kenapa pria ini seolah bisa membaca pikirannya? Ia berdeham pelan, lalu berkata, "Oh, ini... akhir pekan."Pavel menaikkan satu alis lalu memutar matanya malas. "Apa yang kau inginkan? Katakan saja, aku bukan ahli dalam menebak-nebak keinginan wanita."Aleena menelan ludah, merasa gugup dengan apa yang akan ia katakan. Namun, pada akhirnya, ia tetap memberanikan diri."Kau tidak berpikir untuk keluar dari mansion ini? Aku tahu kau sud
Senyum Aleena merekah saat menemukan mesin capit di pusat perbelanjaan setelah mengunjungi toko buku. Dengan Pavel yang masih mempertahankan konsep 'latihan berkencan' mereka, Aleena beberapa kali berhasil mendapatkan boneka lucu berbentuk kucing dan beruang—cukup besar untuk dipeluk.Pandangan Aleena kemudian beralih pada Pavel yang tampak sama sekali tak tertarik, hanya berdiri di sampingnya dengan ekspresi datar. Gadis itu menghela napas pelan, baru menyadari bahwa hanya dirinya yang benar-benar menikmati momen ini, sementara Pavel hanya sekadar menemaninya."Pavel, kita mau ke mana setelah ini? Apa kita lanjut makan malam di rumah saja?" tanyanya lembut.Pavel mengernyit samar sebelum menjawab dengan pertanyaan lain. "Kau sudah selesai?"Aleena menggigit bibir bawahnya, ragu sejenak sebelum mengangguk. "Ya, aku sudah cukup senang hari ini."Pavel menatapnya beberapa detik, lalu mengalihkan pandangan ke boneka-boneka yang kini berada di pelukan gadis itu. "Kau benar-benar seperti a
Cate menyenggol lengan Marvin dengan sikunya. Saat pria di sampingnya menoleh, Cate langsung memberikan isyarat lewat matanya ke arah pintu masuk kantin, tempat Kyne baru saja muncul dan tengah menatap sekeliling, seolah mencari seseorang.Marvin menangkap maksudnya. Dengan ekor matanya, ia melirik ke arah Kyne, yang akhirnya menemukan mereka—ralat, menemukan Aleena.'Tidak ada jalan keluar kali ini. Terlebih, Aleena bahkan belum menyadari perasaan Profesor Foster,' pikir Marvin, merasa waswas. Ia tidak ingin Aleena terlalu dekat dengan Kyne."Aleen!" panggil Kyne, melangkah mendekat dengan cepat hingga akhirnya berdiri tepat di samping meja mereka. "Kau akhirnya kembali belajar di universitas. Aku butuh waktumu untuk berbincang empat mata."Aleena belum sempat menjawab karena terlalu terkejut dengan kedatangan tiba-tiba itu, tapi Marvin segera menengahi. "Dia tidak bisa. Setelah makan, dia akan dijemput oleh kekasihnya." Lalu, ia menoleh ke Cate. "Benar, kan, Cate?"Cate, yang awalny
"Berhentilah. Aku tahu kau punya perasaan padanya." Suara pria yang lebih muda itu terdengar meremehkan, dengan nada yang jelas mencerminkan ketidaksukaannya.Kyne tetap diam, hanya menatapnya dengan ekspresi datar, tak tergoyahkan oleh kata-kata itu. Namun, pria yang lebih muda itu kembali berbicara, kali ini dengan nada lebih tajam."Aleena punya kekasih yang tak bisa kau tandingi. Aku bisa merasakannya hanya dari auranya. Jadi, sebaiknya kau berhenti berharap."Kyne menghela napas pelan, matanya tetap tenang meski ada kilatan emosi yang sulit diartikan. "Dan menurutmu aku peduli?" ujarnya datar.Pria yang lebih muda itu menyeringai, jelas menikmati situasi ini. "Tentu saja kau peduli. Kalau tidak, kau tak akan berdiri di sini, membuang waktumu untuk membicarakan Aleena denganku."Kyne menekan rahangnya, berusaha mengabaikan provokasi itu. "Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja," ucapnya, tetap tenang."Tentu saja dia baik-baik saja. Tapi kau tahu apa yang tidak baik?" Pria
Dua hari kemudian, Aleena akhirnya bisa kembali ke universitas. Ia harus memperbaiki nilainya akibat sering absen dari kelas. Namun, satu hal membuatnya bimbang—bagaimana ia bisa menemui Kyne tanpa memicu kecemburuan Pavel?"Aleena, kenapa kau diam saja? Ada masalah?" tanya Cate dengan nada khawatir. Sahabatnya itu sejak tadi hanya melamun, tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.Aleena tersenyum tipis, meskipun jelas ada kegelisahan yang ia sembunyikan. "Ini tentang perbaikan nilai dan kelas tambahan yang harus aku ikuti atas usulan Tuan Foster sendiri. Tapi... aku khawatir kekasihku akan cemburu buta, apalagi Tuan Foster selalu memberiku tatapan yang terasa aneh."Cate mengernyit, lalu bertukar pandang dengan Marvin yang sejak tadi mendengarkan dalam diam. Ada sesuatu dalam nada suara Aleena yang membuat mereka semakin waspada.Salah satu dari sahabatnya jelas memahami apa yang Aleena rasakan, tetapi memilih untuk tetap bungkam.Cate dan Marvin saling bertukar pandang, seolah men
Malam itu, Aleena menghela napas panjang saat menyadari Pavel tidak hadir di jam makan malam. Suasana meja makan yang sunyi membuatnya merasa serba salah. Dia bingung bagaimana harus menanggapi sikap Pavel yang begitu keras menolak dirinya didekati pria lain.Tanpa banyak berpikir, Aleena menyelesaikan makan malamnya dengan cepat. Setelah meletakkan peralatan makan, dia segera beranjak menuju ruang kerja Pavel. Dia tahu pria itu pasti ada di sana.Di depan pintu, Aleena mengangkat tangannya, bersiap mengetuk. Namun, keraguan menahannya sejenak. Napasnya terasa berat, pikirannya berkecamuk.Tapi akhirnya, dengan keberanian yang ia kumpulkan, ia mengetuk pintu pelan. Dirinya harus berbicara dengan Pavel. Harus memastikan pria itu memaafkannya—dan yang terpenting, mengizinkannya mengikuti kelas tambahan.Dari dalam, terdengar suara Pavel yang rendah namun jelas. "Masuk."Aleena menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan hati-hati. Saat pintu terbuka, pandangannya langsung tertuju pa
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya
Firasat kuat Pavel, disertai janji gelapnya, ternyata bukan sekadar isapan jempol belaka.Siang ini, Pavel baru saja menemani Aleena pulang dari kunjungan ke dokter terbaik di salah satu rumah sakit terbesar di kota. Tubuh gadis itu masih terasa lemas, bukan hanya karena perjalanan tadi, tetapi juga akibat kenyataan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Kenyataan yang membuatnya semakin terkekang—karena Pavel memang tak pernah berniat membiarkannya pergi.Keheningan menusuk memenuhi ruang mobil, hingga akhirnya suara Pavel memecahnya."Aku akan bersikap baik, sayang, jangan khawatir." Nada suaranya terdengar lembut, hampir menenangkan, tapi Aleena tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu.Pavel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Senyumnya samar, tenang, namun ada beban terselubung di balik kata-katanya. "Jadi, jadilah gadis baik dan penurut. Kandunganmu memang baru seminggu, tapi kau seharusnya tahu, berlari menjauh dariku bukanlah pilihan yang tepat."Kat
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Beberapa hari berlalu, dan sejauh ini kehidupan kampus Aleena terasa lebih tenang dalam pantauan Pavel. Tidak ada tindakan mencurigakan dari Kyne yang membuatnya harus terus waspada—meskipun di dalam hatinya, ia tahu Kyne tidak akan tinggal diam selamanya.Kini Pavel duduk dengan tenang di ruang pertemuan. Mata abu-abunya yang dingin memancarkan kepuasan, seolah segalanya berjalan sesuai dengan rencananya. Jika Kyne berniat membalas dendam, Pavel sudah menyiapkan langkah-langkah berikutnya. Bagi Pavel, Kyne hanyalah gangguan kecil—seekor hama yang tak sebanding dengan dirinya.Di dalam ruangan itu, Pavel dikelilingi oleh para petinggi dalam organisasi yang ia bangun dari nol—sebuah kerajaan bisnis yang telah menjalar ke banyak sektor. Saat ini, mereka tengah membahas pergerakan barang yang keluar dan masuk, memastikan segalanya berjalan lancar tanpa ada hambatan."Barang kita berkurang lagi." Pavel berbicara dengan nada datar namun tajam, matanya menyapu satu-persatu orang di sekelili
"Tidak... ini tidak mungkin," gumamnya, suaranya nyaris bergetar. Kepalanya menggeleng pelan, menolak menerima kenyataan yang terpampang jelas di depan matanya.Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar hancur—bukan hanya kehilangan sesuatu, tapi kehilangan segalanya. Tempat di mana ia tumbuh, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan tanpa tersentuh oleh siapa pun, kini hanya menyisakan puing-puing dan abu yang beterbangan, seakan keberadaannya tak pernah berarti.Ia sudah kehilangan keluarganya sejak kecil, dan sekarang... rumah yang bisu ini, satu-satunya tempat yang masih menghubungkannya dengan masa lalu, telah musnah. Hatinya mencengkeram perasaan sakit yang begitu dalam saat membayangkan semua foto, barang-barang penuh kenangan, semuanya lenyap tanpa bisa lagi ia lihat, ia sentuh, tanpa bisa ia peluk untuk terakhir kalinya."Kami turut prihatin atas kondisi yang Anda alami, Tuan Foster. Sepertinya saya tidak akan berlama-lama. Selamat sore," ujar Owen, suaranya datar, tan
Pagi tadi, Aleena akhirnya menemui Kyne untuk menyampaikan tujuannya. Ia tidak datang sendirian—Cate dan Marvin setia menemani, memastikan semuanya berjalan lancar tanpa menimbulkan masalah.Sekarang, di sinilah Aleena berada—dalam ruang kerja pribadi Kyne yang ternyata cukup nyaman untuk sesi pembelajaran. Namun, satu hal yang membuat suasana sedikit canggung adalah keberadaan Owen, yang duduk tak jauh, memantau setiap gerak-gerik mereka.Kyne nyaris frustrasi. Ia tidak menyangka bahwa kekasih Aleena bisa seposesif ini. Sulit baginya untuk berbicara leluasa dengan gadis itu, apalagi ketika pria yang dikirim untuk mengawasi mereka menatapnya dengan tatapan dingin yang seolah mengingatkan: "Jaga jarak."Aleena berusaha mengabaikan suasana tegang yang tak terhindarkan. Ia hanya ingin menyelesaikan urusannya dengan cepat. Dengan suara tenang, ia membuka buku catatannya dan menatap Kyne."Tuan Foster, saya ingin membahas materi yang tertinggal dan mencari cara untuk memperbaiki nilai saya