Di dalam kamarnya, Aleena duduk diam, menatap surat yang ia temukan di dalam loker kampusnya tadi siang. Ada sesuatu tentang surat itu yang membuatnya ragu. Hatinya gelisah, tangannya gemetar sedikit saat hendak merobek amplopnya.Ia menatapnya penuh perhitungan, seakan takut dengan apa yang akan ia temukan di dalamnya. Tapi pada akhirnya, dengan napas tertahan, ia memberanikan diri untuk membuka dan membacanya.Saat ia menarik keluar kertas di dalam amplop, selembar foto terjatuh ke lantai. Tanpa berpikir panjang, Aleena mengambilnya. Namun, begitu matanya menangkap isi foto itu, tubuhnya membeku.Di dalam gambar itu, Pavel tengah mencium seorang wanita dengan mesra. Latar belakangnya mendukung suasana romantis—mungkin di sebuah restoran mewah atau suite hotel eksklusif. Mereka tampak begitu intim, seakan dunia hanya milik mereka berdua."Pavel…." Suaranya nyaris tak terdengar. Jantungnya berdebar keras, rasa sakit menjalar tanpa peringatan. "Ini bukan editan."Tangannya mengepal di
Keesokan harinya, Kyne membuka mata di tempat yang asing. Ruangan di sekelilingnya dipenuhi warna putih, begitu steril hingga membuat kepalanya berdenyut. Pandangannya sedikit buram, tetapi perlahan kesadarannya pulih.Ingatan terakhirnya?Dia hanya berniat untuk tidur—sampai seseorang dengan gerakan cepat dan terlatih menyuntikkan sesuatu ke tubuhnya. "Pavel… Ini pasti ulah pria itu," gerutunya, rahangnya mengeras menahan amarah.Kyne mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi segera menyadari bahwa otot-ototnya terasa sangat lemas. Entah apa yang telah mereka suntikkan sebelumnya, efeknya lebih buruk dari sekadar membuatnya kehilangan kesadaran—bahkan tenaganya pun hilang.Lamunannya buyar ketika suara langkah berat terdengar memasuki ruangan saat pintu terbuka. Tatapan Kyne langsung terarah ke sosok pria yang berjalan mendekat, diikuti beberapa bawahan bersenjata. Tidak butuh firasat tajam untuk mengetahui bahwa ini bukan peringatan baik.Kyne, yang sadar dirinya kalah jumlah, perlahan
Perutnya terasa sakit akibat seharian penuh tak terisi makanan ataupun minuman. Entah apa yang dipikirkan oleh Pavel—baru kali ini Aleena mendapatkan hukuman yang lebih buruk. Bukan berarti dia menginginkan hukuman ranjang, tetapi setidaknya itu tidak akan membuatnya kelaparan seperti ini. Lambungnya terus perih, ditambah tak ada seorang pun mendatanginya atau membuka pintu kamarnya.Sungguh, kali ini hukuman Pavel sangat menyiksa.Aleena meremas perutnya, mencoba menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Napasnya mulai berat, kepalanya pusing. Dia bersandar ke kepala ranjang, menatap kosong ke langit-langit."Brengsek," gumamnya, suaranya hampir tidak terdengar.Dia tahu Pavel kejam, tapi ini… ini benar-benar keterlaluan. Apakah pria itu benar-benar tidak peduli jika dia mati kelaparan di sini?Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Aleena menajamkan pendengarannya. Pintu kamar terbuka, dan sosok yang selama ini dia tunggu akhirnya muncul—Pavel, dengan ekspresi dinginn
Pavel memang gemar bermain kucing-kucingan. Baginya, ini bukan sekadar permainan biasa, melainkan seni berburu. Ia menikmati setiap momen ketika buruannya merasa bebas, padahal tanpa sadar justru semakin masuk ke dalam jaringnya. Tentu saja, dia tidak pernah benar-benar khawatir Aleena akan lolos. Tidak dengan caranya mengendalikan permainan."Astaga, Aleena... kau menggemaskan sekali, ya?" Pavel terkekeh, nada suaranya terdengar sinis, penuh ejekan. Tidak ada humor di sana—hanya kepuasan seorang predator yang tahu betul bahwa mangsanya tak akan bisa benar-benar kabur.Tatapan matanya terpaku pada layar ponsel di tangannya. Senyum tipis terukir di bibirnya ketika titik merah itu akhirnya semakin dekat. Keberadaan Aleena kini bukan lagi misteri.Dengan langkah santai namun penuh kepastian, Pavel bergerak. Seolah ia masih berpura-pura mencarinya, memberi gadis itu sedikit harapan palsu sebelum ia akhirnya kembali menariknya ke dalam genggamannya.Sedangkan di sisi lain, Aleena menahan n
Dengan kuat, hentakan keras itu membuat Aleena menjerit kencang pada pelepasan terakhir. Malam yang sunyi di tengah-tengah pepohonan rimbun itu akhirnya menjadi saksi bisu atas kebejatan Pavel dan kenikmatan penuh dosa di inti tubuhnya.Bibir pria itu mengecup bahu Aleena yang terbuka. Giginya menggigit meninggalkan bekas, sebagai tanda kepemilikan. "Haah, kau selalu saja mengujiku, sayang. Bukankah ini hukuman yang kau tunggu, hm?"Aleena terisak pelan sambil terengah, enggan mengakui jika dirinya sempat terhanyut ke dalam jeratan dosa yang berkali-kali Pavel buat. Wajahnya berpaling ke arah lain dengan mata bergetar, bukannya memancing simpati, hanya suara tawa Pavel yang terdengar sinis menghina.Tubuhnya masih gemetar akibat tekanan yang begitu kuat dari Pavel. Malam yang sunyi di tengah pepohonan rimbun seakan menelan suara napas mereka. Rasa takut, marah, dan sesuatu yang tak bisa ia definisikan bercampur menjadi satu di benaknya.Pavel menyentuh wajahnya, ibu jarinya menyapu le
Firasat kuat Pavel, disertai janji gelapnya, ternyata bukan sekadar isapan jempol belaka.Siang ini, Pavel baru saja menemani Aleena pulang dari kunjungan ke dokter terbaik di salah satu rumah sakit terbesar di kota. Tubuh gadis itu masih terasa lemas, bukan hanya karena perjalanan tadi, tetapi juga akibat kenyataan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Kenyataan yang membuatnya semakin terkekang—karena Pavel memang tak pernah berniat membiarkannya pergi.Keheningan menusuk memenuhi ruang mobil, hingga akhirnya suara Pavel memecahnya."Aku akan bersikap baik, sayang, jangan khawatir." Nada suaranya terdengar lembut, hampir menenangkan, tapi Aleena tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu.Pavel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Senyumnya samar, tenang, namun ada beban terselubung di balik kata-katanya. "Jadi, jadilah gadis baik dan penurut. Kandunganmu memang baru seminggu, tapi kau seharusnya tahu, berlari menjauh dariku bukanlah pilihan yang tepat."Kat
Meskipun sempat bingung, Aleena merasa sedikit lega saat ponsel lamanya akhirnya dikembalikan. Jari-jarinya dengan refleks menggenggam benda itu, seolah ada sedikit kenyamanan yang tersisa dari masa lalunya."Aku tidak tahu apa maksudmu mengembalikan ini," ucapnya pelan, matanya menatap layar yang mulai menyala. "Aku bahkan mengira kau sudah membuangnya sejak lama."Pavel mendengus kecil, matanya berputar dengan malas. Gadis ini benar-benar keras kepala. Seharusnya dia mengucapkan terima kasih, bukan malah menyelipkan tuduhan halus yang menyebalkan.Alih-alih terganggu, Pavel hanya menatap Aleena yang sibuk menyalakan ponselnya. Baginya, benda itu hanyalah sesuatu yang usang dan tak bernilai. Namun, dia bisa melihat sesuatu di mata Aleena—sebuah jejak emosi yang tidak bisa ia abaikan.Ah, jadi ini lebih dari sekadar ponsel. Ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya, sesuatu yang masih ingin Aleena pertahankan."Kau tetap harus memakai ponsel
Pagi itu terasa begitu indah bagi Pavel—pemandangan sempurna dari gadis yang akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kemenangan yang akhirnya dia rengkuh, kepuasan mutlak karena telah memiliki Aleena sepenuhnya. Gadisnya. Wanita yang kini berada dalam genggamannya, tak akan pernah bisa lepas.Di matanya, ini adalah simfoni hitam yang bergema indah—sebuah takdir yang dia ciptakan sendiri.Di atas tempat tidur yang luas, tubuh mungil Aleena tampak semakin kecil dalam dekapannya. Tidurnya begitu tenang, nyaris rapuh di mata Pavel yang menatapnya dengan intens. Jari-jarinya menyusuri wajah gadis itu dengan lembut, penuh kepemilikan."Aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri, sayang," bisiknya, suaranya terdengar dalam dan sarat makna. Dengan hati-hati, dia menyelipkan sejumput rambut Aleena yang jatuh di wajahnya, menikmati setiap inci dari keindahan yang kini menjadi miliknya."Kau hanya perlu menerima dan menjalaninya... aku jamin, kau akan bahagia hidup bersamaku."Pavel menarik nap
Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas
Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M
Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut