Firasat kuat Pavel, disertai janji gelapnya, ternyata bukan sekadar isapan jempol belaka.Siang ini, Pavel baru saja menemani Aleena pulang dari kunjungan ke dokter terbaik di salah satu rumah sakit terbesar di kota. Tubuh gadis itu masih terasa lemas, bukan hanya karena perjalanan tadi, tetapi juga akibat kenyataan yang sejak tadi berputar-putar di kepalanya. Kenyataan yang membuatnya semakin terkekang—karena Pavel memang tak pernah berniat membiarkannya pergi.Keheningan menusuk memenuhi ruang mobil, hingga akhirnya suara Pavel memecahnya."Aku akan bersikap baik, sayang, jangan khawatir." Nada suaranya terdengar lembut, hampir menenangkan, tapi Aleena tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik itu.Pavel meliriknya sekilas sebelum kembali fokus ke jalan. Senyumnya samar, tenang, namun ada beban terselubung di balik kata-katanya. "Jadi, jadilah gadis baik dan penurut. Kandunganmu memang baru seminggu, tapi kau seharusnya tahu, berlari menjauh dariku bukanlah pilihan yang tepat."Kat
Meskipun sempat bingung, Aleena merasa sedikit lega saat ponsel lamanya akhirnya dikembalikan. Jari-jarinya dengan refleks menggenggam benda itu, seolah ada sedikit kenyamanan yang tersisa dari masa lalunya."Aku tidak tahu apa maksudmu mengembalikan ini," ucapnya pelan, matanya menatap layar yang mulai menyala. "Aku bahkan mengira kau sudah membuangnya sejak lama."Pavel mendengus kecil, matanya berputar dengan malas. Gadis ini benar-benar keras kepala. Seharusnya dia mengucapkan terima kasih, bukan malah menyelipkan tuduhan halus yang menyebalkan.Alih-alih terganggu, Pavel hanya menatap Aleena yang sibuk menyalakan ponselnya. Baginya, benda itu hanyalah sesuatu yang usang dan tak bernilai. Namun, dia bisa melihat sesuatu di mata Aleena—sebuah jejak emosi yang tidak bisa ia abaikan.Ah, jadi ini lebih dari sekadar ponsel. Ada sesuatu yang tersimpan di dalamnya, sesuatu yang masih ingin Aleena pertahankan."Kau tetap harus memakai ponsel
Pagi itu terasa begitu indah bagi Pavel—pemandangan sempurna dari gadis yang akan segera menjadi pendamping hidupnya. Kemenangan yang akhirnya dia rengkuh, kepuasan mutlak karena telah memiliki Aleena sepenuhnya. Gadisnya. Wanita yang kini berada dalam genggamannya, tak akan pernah bisa lepas.Di matanya, ini adalah simfoni hitam yang bergema indah—sebuah takdir yang dia ciptakan sendiri.Di atas tempat tidur yang luas, tubuh mungil Aleena tampak semakin kecil dalam dekapannya. Tidurnya begitu tenang, nyaris rapuh di mata Pavel yang menatapnya dengan intens. Jari-jarinya menyusuri wajah gadis itu dengan lembut, penuh kepemilikan."Aku akan mencintaimu dengan caraku sendiri, sayang," bisiknya, suaranya terdengar dalam dan sarat makna. Dengan hati-hati, dia menyelipkan sejumput rambut Aleena yang jatuh di wajahnya, menikmati setiap inci dari keindahan yang kini menjadi miliknya."Kau hanya perlu menerima dan menjalaninya... aku jamin, kau akan bahagia hidup bersamaku."Pavel menarik nap
"Kau masih sama, belum mendapat kabar dari Aleena?" tanya Cate, matanya penuh kekhawatiran saat melihat Marvin yang hanya menggeleng pelan.Cate menghela napas kesal, lalu meletakkan ponselnya di meja dengan sedikit kasar. "Aku mulai curiga. Pasti pria bernama Pavel itu—kekasih Aleena—telah melakukan sesuatu pada sahabat mungil kita."Marvin tidak langsung menanggapi, tetapi ekspresinya mengeras. Pria itu duduk lebih tegak, matanya menyipit seakan sedang mencoba merangkai kemungkinan dalam pikirannya. "Sepertinya kau benar. Aku memang belum pernah melihat pria itu secara langsung, tapi aku yakin Aleena pasti tidak masuk universitas karena dia."Keduanya terdiam sejenak, lalu hampir bersamaan menghela napas berat, seolah memiliki firasat buruk yang sama.Saat sedang memikirkan Aleena, Cate mulai memperhatikan sekelilingnya. Ruang kelas masih sepi, dosen yang seharusnya mengajar belum juga datang. Dia lalu menoleh ke Marvin yang tampak sibuk memainkan ponselnya. Dengan cepat, dia menyen
Sejak mengetahui dirinya hamil, Aleena mulai merasakan perubahan. Setiap pagi, rasa mual datang tanpa permisi, dan saat akhirnya muntah, hanya cairan bening yang keluar. Meski begitu, ada sesuatu yang terasa berbeda, meski ia tak bisa menjelaskannya dengan pasti.Seperti sekarang, misalnya. Pavel bersikap jauh lebih lembut—dan sedikit... manja?Pria itu terus memeluknya setiap saat, seolah enggan melepaskan. Kadang-kadang, Aleena bahkan harus mengusap rambutnya seperti menenangkan anak kecil. Yang lebih mengejutkan, nafsu makan Pavel meningkat drastis. Ia melahap makanan cepat saji tanpa henti—sesuatu yang sebelumnya jarang ia lakukan."Apa kau tak merasa mual makan sambil tiduran seperti ini?" tanya Aleena heran, sementara tangannya tetap mengusap lembut kepala Pavel."Jangan larang aku, sayang... aku hanya ingin makan pizza," sahut Pavel santai, tetap mengunyah tanpa peduli.Aleena menghela napas. "Baiklah, terserah kau. Asal jangan berlebihan, itu tidak baik untuk kesehatanmu."Pav
Pavel memutuskan kembali ke kediaman Ellington setelah memastikan kemenangannya, meninggalkan vila pribadinya yang selama ini menjadi tempatnya bersama Aleena—usaha yang ia lakukan demi meluluhkan hati calon istrinya.Namun, hingga kini, ia belum mengabarkan kepada siapa pun bahwa hubungannya dengan Aleena telah membaik. Yang terakhir kali terdengar di kediaman Ellington hanyalah bahwa ia membawa Aleena pergi dalam keadaan emosi, berniat memperjelas posisinya. Akibatnya, orang-orang di sana masih mengira hubungan mereka belum menemui kejelasan.Seperti saat ini, Aleena secara tak sengaja mendengar bisikan para pelayan yang membicarakan hubungannya dengan Pavel. Namun, ia memilih untuk mengabaikan semua itu. Dirinya tak ingin membebani pikiran dengan omongan orang lain.Sementara itu, Pavel telah pergi untuk mengurus pekerjaannya dan berjanji akan kembali sore nanti, setelah mengantar Aleena kembali ke kediaman Ellington. Kini ia sudah diperbolehkan berakti
Owen memijat pangkal hidungnya, merasakan pening yang semakin menjadi akibat Pavel melimpahkan begitu banyak pekerjaan padanya. Seakan itu belum cukup, laporan terbaru masuk—gudang penyimpanan persenjataan kembali dibobol. Dugaan sementara, pelakunya kemungkinan besar masih orang yang sama.Pria itu menggeram pelan, menahan amarah yang ingin meledak. Namun, dia tidak bisa bertindak gegabah. Pavel selalu memiliki cara sendiri untuk menangani masalah semacam ini—membiarkan lawan menikmati hasilnya lebih dulu, hanya untuk kemudian membalasnya berkali-kali lipat. Begitulah Pavel bekerja. Begitulah mengapa nama Ellington begitu ditakuti.Owen bersandar di kursinya, memejamkan mata sejenak, berharap bisa meredakan kepenatan. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Pintu ruangannya terbuka tanpa ketukan, dan masuklah seseorang dengan langkah ringan—Darius, dengan setelan rapi yang menunjukkan ia akan pergi entah ke mana."Lihatlah perjaka satu ini," ucap Darius
Aleena menggigit pipi dalamnya, menahan rasa gemas yang hampir meledak. Tingkah Pavel semakin di luar kebiasaannya. Entah apa yang merasukinya hari ini, pria itu tiba-tiba menginginkan semua orang di kediaman ini—pelayan, penjaga, termasuk dirinya sendiri—untuk berpakaian layaknya abad pertengahan.Sekarang, dengan langkah malas, Aleena berjalan sambil mengenakan gaun panjang yang bagian bawahnya mengembang. Meski harus diakui dirinya terlihat memukau dalam pakaian ini, tetap saja, ide Pavel benar-benar di luar bayangannya. Ia selalu menganggap calon suaminya sebagai pria kaku, dingin, dan menyebalkan. Tapi hari ini? Tidak ada sedikit pun kesan itu.Begitu sampai di ruang makan, Aleena langsung disambut oleh pemandangan absurd—Pavel duduk dengan tenang, menyesap kopi sembari membaca koran, mengenakan pakaian khas bangsawan yang begitu melekat di tubuhnya yang gagah."Oh, astaga... dia benar-benar mendalami perannya," gumam Aleena, hampir tak percaya. Dan nyaris membuat kepalanya penin
Seorang wanita merintih kesakitan saat sepatu pantofel pria di atasnya menginjak punggung tangannya dengan kejam. Pria itu berdiri menjulang, memandangnya dengan tatapan penuh penghinaan. Tidak ada secuil pun belas kasihan di matanya—dan wanita itu tahu, permohonan apa pun tak akan mengubah nasibnya. "Agh…! Argh! Sakit… ampuni aku, Pavel!" Suara Louise bergetar, lemah dan penuh kepasrahan. Air matanya jatuh bercampur dengan darah yang mengotori lantai. Pavel tidak menjawab. Sebaliknya, ia memutar ujung sepatunya dengan kasar, menghancurkan sisa harapan di wajah Louise yang sudah penuh luka. Rasa sakit menjalar dari tangannya yang diinjak, menyebar ke seluruh tubuhnya yang sudah remuk. Lantai dingin di bawahnya semakin menambah siksaan, mengingat ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal seperti ini. Entah sudah berapa kali tubuhnya hancur. Diperkosa tanpa ampun, diinjak, ditampar, disiksa—dan tidak ada satu pun yang memberinya jeda untuk sekadar bernapas. Louise telah menerima
Aleena menggigit bibirnya, menahan rasa kesal yang perlahan merayapi dirinya. Ia tahu Pavel bukan pria yang terbiasa memberikan penjelasan, tapi setidaknya, bukankah mereka akan menikah? Bukankah seharusnya ada sedikit perubahan dalam caranya memperlakukannya? Kenji masih berdiri tegak di hadapannya, menjaga postur profesionalnya, namun Aleena bisa merasakan sedikit ketegangan dalam sikap pria itu. "Apa dia pergi sendirian?" tanyanya lagi, mencoba menggali informasi lebih jauh. Kenji terdiam sesaat sebelum akhirnya menjawab, "Tidak, Tuan Pavel pergi bersama Owen dan beberapa orang lainnya." Aleena memicingkan matanya. "Owen?" Kenji mengangguk. Itu berarti Pavel tidak sedang dalam perjalanan bisnis biasa. Jika Owen ikut serta, maka bisa dipastikan Pavel sedang melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan pekerjaan di luar sana. Aleena menegakkan tubuhnya, menyingkirkan rasa kecewa yang sempat ia rasakan. Ia seharusnya sudah terbiasa. Ini bukan pertama kalinya Pavel me
Tawa menggema memenuhi ruangan, bergema di dinding seperti ironi yang pahit. Arthur tertawa—bukan karena bahagia, melainkan karena betapa bodohnya dia telah memilih partner yang salah. Louise. Perempuan sialan itu telah mengecewakannya. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan kasar, lalu berjalan mondar-mandir, mencoba meredam emosinya yang meledak-ledak. Louise terlalu ceroboh, terlalu mudah dipermainkan oleh Pavel, dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Namun, bukan hanya Louise yang gagal. Beberapa pion pentingnya juga telah ditangkap oleh Pavel tanpa ada tanda perlawanan. Itu masalah besar. Sangat besar. Tapi Arthur tidak akan menyerah. Tidak sekarang. Tidak pernah. Ia menghentikan langkahnya, matanya menyipit tajam saat pikiran gilanya mulai bekerja. Lalu, tawa kembali lolos dari bibirnya—tawa liar, nyaris seperti orang kehilangan akal. "Ck, ck... ya, tampaknya aku har
Ruangan itu begitu pengap, seolah udara pun enggan berdiam di dalamnya. Dinding-dinding beton yang lembap terasa menekan dari segala arah, sementara bau darah yang sudah mengering bercampur dengan keringat dan rasa takut menyelimuti setiap sudutnya. Louise menggeliat, pergelangan tangannya perih akibat belenggu kasar yang mengikatnya. Napasnya memburu, dada naik turun dengan panik, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Tidak ada jalan keluar. Matanya masih berusaha menyesuaikan diri dengan kegelapan, tapi satu hal yang pasti—ia tidak sendirian. Suara rintihan sayup-sayup terdengar dari berbagai penjuru ruangan, ada yang memohon ampun, ada yang menangis lirih, ada yang bahkan hanya mampu mendesah lemah—seakan nyawa mereka tinggal menunggu waktu untuk melayang. Sesekali, suara rantai yang terseret di lantai terdengar, disusul dengan jeritan singkat sebelum kembali senyap. Ketakutan merayap ke seluruh tubuhnya.
"Permisi, Tuan. Maaf mengganggu waktu Anda, tetapi Anda harus segera kembali ke markas. Organisasi mafia yang Anda bangun telah terendus oleh pihak berwenang—semua karena laporan anonim," lapor Owen dengan nada serius saat tiba-tiba memasuki ruang kerja Pavel. Pavel, yang baru saja duduk di sofa selama beberapa menit, mengangkat alis. Ia tidak menyangka Owen bisa bergerak secepat itu untuk datang ke kediamannya. Bahkan dirinya baru bernapas lega beberapa saat. "Seharusnya kau menghubungiku terlebih dahulu, Owen," geramnya, jelas tidak senang dengan gangguan ini. "Ponsel Anda mati, Tuan," jawab Owen tanpa ragu. "Itulah sebabnya saya tidak bisa menyampaikan laporan ini melalui orang lain—terlalu berisiko." Pavel menatap Owen tajam, rahangnya mengeras. Masalah ini bisa menjadi lebih besar dari yang ia perkirakan. Tangan Pavel bergerak, memberi isyarat agar Owen duduk dan mulai menje
Entah apa yang ada di benak Louise saat ini. Kehadirannya selalu membawa dampak buruk bagi Aleena, yang berharap bisa menjalani hari dengan tenang. Tapi apa daya, wanita licik itu selalu menemukan cara untuk kembali menginjakkan kakinya di kediaman Ellington, meski sudah dilarang keras oleh para penjaga. Saat ini, Aleena semakin menyadari satu hal—di masa lalu, Louise masih memiliki tempat terhormat di kehidupan Pavel, meskipun statusnya hanya sebatas mantan istri. Dan itu cukup mengganggunya. Sangat. “Hai, Aleena,” sapa Louise dengan nada ramah, senyum tipis terukir di bibirnya yang berlapis riasan ringan. Pakaian ketat membalut tubuhnya, menegaskan kesan angkuh yang selalu ia bawa. “Aku sangat merindukan Pavel. Apa mantan suamiku ada di rumah?” Aleena merasakan dadanya menghangat, bukan karena malu, tapi karena amarah yang mulai mendidih. Wanita ini benar-benar tak tahu malu. "Tidak ada. Calon suamiku sedang sibuk," tegas
Aleena menerima pesan singkat di ponselnya. Nomor asing tertera di layar, diikuti dengan pesan berikutnya yang langsung menyebutkan identitas sang pengirim—Louise.Wanita itu benar-benar tidak tahu malu. Sepertinya dia sangat takut kehilangan Pavel, atau lebih tepatnya, takut Pavel menikahi gadis yang jauh lebih muda darinya. Aleena mendengus, menyadari bahwa dirinya memang tidak lebih unggul dalam banyak hal, kecuali satu: usianya yang lebih muda.Tapi meski begitu, rasa percaya dirinya tetap tidak kokoh. Ada bagian dari dirinya yang masih ragu, yang masih merasa cemas meskipun ia mencoba menyangkalnya.Dengan helaan napas kasar, Aleena membuka pesan itu. Dan saat itu juga, dunianya seakan runtuh.Matanya membesar, napasnya tercekat. Foto yang dikirimkan Louise menampilkan sosok pria bertelanjang punggung membelakangi kamera, memperlihatkan tato yang menutupi bekas luka. Tato yang sangat familiar, sangat dikenalnya. Itu tubuh Pavel.Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel, dadanya
Tamparan keras kembali mendarat di wajah Louise, kali ini dari pria yang seharusnya menjadi sekutunya. Mereka memiliki tujuan yang sama—menghancurkan Pavel, menghancurkan bisnis dan kehidupannya, memastikan pria itu jatuh tanpa bisa bangkit kembali."Kau bodoh! Sangat bodoh!" Pria itu menggeram, suaranya tajam dan penuh amarah. "Seharusnya kau lebih cerdas, lebih taktis! Bukan bertindak gegabah dengan mendatangi kediamannya tanpa persiapan matang!"Matanya membara, rahangnya mengeras menahan emosi. Kemarahan itu semakin membuncah saat dia melangkah mendekat, menatap Louise dengan penuh penghinaan."Jalang sialan! Gunakan cara lain! Atau...." Dia menunduk sedikit, suaranya merendah menjadi bisikan beracun, "Gunakan tubuhmu!"Louise memejamkan mata sejenak, menahan panas yang membakar pipinya. Rasa sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga menghujam harga dirinya. Dalam satu hari, dia telah ditampar dua kali—oleh Pavel dan sekarang oleh Humphrey, pria yang seharusnya berada di pihaknya.M
Situasi sulit jelas terasa di sisi Marvin dan Alexander. Berbeda dengan Pavel, yang kini sudah mengetahui segalanya. Namun, alih-alih cemas atau marah jika ekspektasinya tak terwujud, pria itu tampak santai, duduk di sofa di depan televisi, menemani Aleena yang asyik menonton drama Korea. Hari ini, Aleena tampak lebih tenang dan dalam suasana hati yang baik, membuat Pavel tak perlu repot-repot menjinakkan kucing liar yang biasanya sulit diatur. Gadis itu bersandar santai di sisinya, tanpa perlawanan, sesuatu yang jarang terjadi. Namun, ketenangan itu terusik ketika seorang pelayan datang menghampiri mereka. Wajahnya tampak ragu, seolah ada sesuatu yang berat untuk disampaikan. "Maaf mengganggu waktu Tuan dan Nona," ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Tapi... wanita itu datang lagi, Tuan." Aleena mengerutkan kening, kepalanya miring ke samping. "Siapa?" "Louise Carter, Nona Morris," jawab sang pelayan hati-hati. Pavel masih tampak santai, jemarinya sibuk memainkan rambut