Zola mengedipkan matanya pelan dan bertanya dengan suara pelan, “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”“Memangnya kamu nggak pernah berpikir begitu?”Zola langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Karena memang baginya itu hal yang mustahil terjadi. Oleh karena itu, dia tidak pernah memikirkannya.Namun, Jeni justru berkata, “Kita bukan pria. Jadi kita nggak paham isi pikiran pria. Tapi Zola, nggak peduli pria atau perempuan, contoh saja kita. Kalau misal kamu nggak punya perasaan terhadap orang itu, apa pun yang terjadi padanya, apakah kamu akan merasakan sesuatu? Contoh nyata ada di depan mata. Setelah kejadian yang menimpa Mahendra, kamu hanya khawatir sebagai seorang teman, bukan? Selain itu, kamu nggak merasakan apa pun, bukan?”Zola terdiam. Jeni berkata lagi, “Boris bereaksi seperti ini mungkin karena dia benar-benar peduli sama kamu. Kalau dia nggak peduli, dia bisa cuek saja. Gimana menurutmu?”Zola menggelengkan kepalanya lagi dan berkata, “Aku
Selain itu, apakah Boris tahu? Hal-hal itu yang terus mengganggu pikiran Zola. Sedangkan Tyara hanya ingin segera pergi, tidak ingin menghadapi Zola. Karena terlalu sulit untuk menghadapi Zola. Tyara tidak ingin mengatakan hal-hal yang tidak ingin dia katakan, juga tidak ingin Zola bertanya lebih banyak padanya.Setelah susah payah, akhirnya Tyara berhasil menangani Boris. Dia tidak ingin semuanya rusak di tangan Zola. Akan tetapi, ada Jeni yang membantu Zola. Tyara tidak bisa menghadapi mereka sendirian.Tyara terdiam sejenak. Dia tidak menjawab pertanyaan Zola, tapi berkata, “Kalau kalian begini terus, aku akan lapor polisi.”Zola sama sekali tidak bergeming. Dia terus menatap Tyara. “Aku hanya ngobrol denganmu, apa yang perlu dilaporkan ke polisi? Kalau kamu nggak ada hubungan dengan Mahendra, kamu bisa katakan langsung. Kenapa harus repot-repot lapor polisi segala?”Tyara tidak melihat ke arah Zola. Dia hanya duduk di kursi pengemudi dan menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedan
Tyara segera keluar dari mobil. Kemudian, dia membungkuk sedikit kepada Zola, seperti sedang meminta maaf. Matanya langsung berkaca-kaca.“Zola, aku tahu kamu khawatirkan Mahendra. Tapi kamu juga nggak bisa asal tuduh aku. Aku akui aku memang pernah bertemu dengannya beberapa kali. Tapi dia yang ancam aku. Kalau kamu nggak percaya, kamu selidiki saja.”“Apa yang kamu bicarakan, Tyara?”Zola menatap Tyara dengan tatapan bingung. Akan tetapi, Tyara terus bersikap lemah dan berkata dengan suara pelan, “Kamu bela-belain cegat aku di tempat parkir karena kamu khawatirkan Mahendra dan ingin tanya apa hubungan aku dan Boris, bukan? Aku sudah bersumpah, kesalahpahaman antara aku dan Boris semua dibuat-buat oleh Mahendra. Mahendra sengaja lakukan semua itu karena kamu. Aku tahu bukan kamu yang minta Mahendra untuk lakukan itu. Tapi faktanya dia lebih memilih mengakhiri semuanya dengan cara ini agar nggak melibatkan kamu. Apakah aku salah?”“Kalau aku katakan yang sebenarnya dan tetap salah, aku
Bansan Mansion.Mansion ini adalah bangunan terindah di Kota Binru. Di kamar tidur utama, seorang pria turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi dengan wajah tanpa ekspresi. Sedetik yang lalu, pria itu masih memadu kasih dengannya. Pada detik berikutnya, raut wajah pria itu sudah berubah total. Namun, Zola sudah lama terbiasa dengan hal itu.Zola berdiri dan memakai kembali pakaiannya. Wajah di balik rambut panjangnya masih memerah. Dia memiliki wajah yang cantik, tubuh yang seksi dan menggoda. Terlebih lagi di saat seperti ini.Selesai mandi, pria itu keluar dari kamar mandi. Dia menatap Zola dengan raut wajah datar, lalu berkata dengan dingin, “Tanda tangani ini.”Usai berkata, pria itu mengeluarkan lembaran kertas dokumen dari dalam laci meja nakas, lalu melemparkannya ke tempat tidur.Zola menunduk dan melihat kertas itu. Di bagian paling atas kertas, tercetak jelas kata-kata “Surat Cerai” yang menusuk mata. Zola spontan menatap pria itu dan bertanya dengan tidak percaya,
Sorot mata Boris kian tajam dan gelap. Keduanya saling menatap dalam diam. Sesaat kemudian, dia baru berkata dengan suara berat, “Aku nggak suka candaan seperti ini.” Baginya, jatuh cinta pada Zola hanya akan menjadi sebuah candaan.“Maaf,” ucap Zola dengan raut wajah membeku.Pria itu menatap perempuan yang selalu penurut, lembut, bijaksana dan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba ada perasaan aneh di dalam hatinya. Tepat saat ini, ponsel Zola tiba-tiba berdering.Zola segera mengambil ponselnya. Namun, kepanikan muncul di matanya ketika melihat nama di layar ponselnya. Meski rasa panik itu menghilang dengan cepat, Boris tetap bisa menangkapnya.Melihat Zola yang tampak ragu-ragu, Boris pun bertanya, “Nggak angkat?”Zola mengangguk, lalu mengangkat telepon, “Halo.”“Zola, hasil tesnya sudah keluar. Kamu baik-baik saja.” Orang di ujung telepon lainnya terdiam sejenak, lalu berkata, “Tapi kamu hamil, sudah lebih dari dua bulan. Perkembangan janinnya sangat bagus. Kamu ... mau pertahankan
“Mahendra, kalau kamu benar-benar pahami aku, jangan bahas tentang masa lalu lagi, oke?”Setahun yang lalu, Zola meninggalkan masa kejayaan dan ketenarannya lalu kembali ke Kota Binru untuk menikah dengan Boris. Namun, yang Zola dapatkan hanyalah selembar surat cerai dari Boris. Mahendra merasa itu sangat tidak sepadan bagi Zola.Raut wajah Mahendra semakin suram, kebencian pun terpancar dari kedua matanya. Zola menyadari perubahan yang terjadi pada Mahendra.“Mahendra, nggak ada yang bisa menjamin pernikahan akan selalu berakhir dengan sempurna. Aku sudah puas bisa jadi istrinya selama setahun. Jadi jangan merasa semua itu nggak sepadan untukku. Bagaimanapun juga, yang namanya perasaan nggak bisa dipaksakan,” ujar Zola dengan suara pelan.“Kamu benar, bagus juga kalian cerai. Setelah kalian cerai, aku nggak perlu merasa serba salah. Aku juga nggak perlu khawatir kamu akan sedih dan jadi ragu-ragu.”Mahendra menanggapi ucapan Zola, tapi suaranya lama kelamaan menjadi semakin pelan, hin
Jawaban Zola membuat Boris seketika bungkam. Namun, mata pria yang dalam dan diselimuti rasa tidak senang itu terus menatapnya. Zola tidak ingin menghadapi Boris lagi. Oleh karena itu, dia melangkahkan kakinya naik ke lantai atas. Akan tetapi, saat dia melewati Boris, tangan Zola dicekal dengan erat.“Zola, kamu lagi atur-atur aku?” tanya pria itu dengan suara serak.“Aku hanya berharap kamu bisa bersikap adil.”“Demi dia, kamu jadi berlidah tajam begini? Biasanya kamu selalu bersikap lembut, penurut dan pengertian terhadap aku. Jadi semua itu hanya dibuat-buat?”Zola mengerahkan tenaga untuk menarik tangannya. Namun, Boris begitu kuat, Zola sama sekali tidak berdaya untuk melawannya.Melihat Zola yang terus meronta, Boris pun langsung menarik perempuan itu dengan kuat ke dalam pelukannya. Napas pria yang menyejukkan menerpa wajah Zola, membuat Zola spontan tidak berani bergerak lagi.“Zola, jawab pertanyaanku, oke? Demi dia?” tanya Boris lagi.Zola mengerutkan bibirnya. Mereka terlalu
“Aku ke sana sekarang juga. Kamu minta perawat temani kamu dulu, oke?” Rahang Boris menegang, tapi suaranya tetap terdengar lembut. Hanya saja, setelah mendengar kata-kata Tyara, sorot matanya menjadi kian dalam seperti lubang tak berdasar.Jawabannya membuat Tyara sangat senang. Perempuan itu langsung berkata, “Oke, aku tunggu kamu.”Setelah panggilan berakhir, Boris kembali melihat ke arah tangga. Setelah menyuruh pelayan untuk mengingatkan Zola untuk makan malam, dia pun berjalan dengan cepat keluar meninggalkan rumah.Sesaat kemudian, terdengar suara mesin mobil. Zola berdiri di depan jendela kamar tidur utama sambil melihat mobil hitam itu pergi. Wajah cantiknya dipenuhi dengan sikap acuh yang dingin. Bibirnya melengkung tipis menertawakan dirinya sendiri. Pikirannya hanya dipenuhi sosok Boris yang pergi dengan cepat karena mengkhawatirkan Tyara. Boris benar-benar mencintai Tyara. Jadi apa yang masih dia harapkan dari pria itu?***Malam itu, Boris tidak kembali ke Bansan Mansion
Tyara segera keluar dari mobil. Kemudian, dia membungkuk sedikit kepada Zola, seperti sedang meminta maaf. Matanya langsung berkaca-kaca.“Zola, aku tahu kamu khawatirkan Mahendra. Tapi kamu juga nggak bisa asal tuduh aku. Aku akui aku memang pernah bertemu dengannya beberapa kali. Tapi dia yang ancam aku. Kalau kamu nggak percaya, kamu selidiki saja.”“Apa yang kamu bicarakan, Tyara?”Zola menatap Tyara dengan tatapan bingung. Akan tetapi, Tyara terus bersikap lemah dan berkata dengan suara pelan, “Kamu bela-belain cegat aku di tempat parkir karena kamu khawatirkan Mahendra dan ingin tanya apa hubungan aku dan Boris, bukan? Aku sudah bersumpah, kesalahpahaman antara aku dan Boris semua dibuat-buat oleh Mahendra. Mahendra sengaja lakukan semua itu karena kamu. Aku tahu bukan kamu yang minta Mahendra untuk lakukan itu. Tapi faktanya dia lebih memilih mengakhiri semuanya dengan cara ini agar nggak melibatkan kamu. Apakah aku salah?”“Kalau aku katakan yang sebenarnya dan tetap salah, aku
Selain itu, apakah Boris tahu? Hal-hal itu yang terus mengganggu pikiran Zola. Sedangkan Tyara hanya ingin segera pergi, tidak ingin menghadapi Zola. Karena terlalu sulit untuk menghadapi Zola. Tyara tidak ingin mengatakan hal-hal yang tidak ingin dia katakan, juga tidak ingin Zola bertanya lebih banyak padanya.Setelah susah payah, akhirnya Tyara berhasil menangani Boris. Dia tidak ingin semuanya rusak di tangan Zola. Akan tetapi, ada Jeni yang membantu Zola. Tyara tidak bisa menghadapi mereka sendirian.Tyara terdiam sejenak. Dia tidak menjawab pertanyaan Zola, tapi berkata, “Kalau kalian begini terus, aku akan lapor polisi.”Zola sama sekali tidak bergeming. Dia terus menatap Tyara. “Aku hanya ngobrol denganmu, apa yang perlu dilaporkan ke polisi? Kalau kamu nggak ada hubungan dengan Mahendra, kamu bisa katakan langsung. Kenapa harus repot-repot lapor polisi segala?”Tyara tidak melihat ke arah Zola. Dia hanya duduk di kursi pengemudi dan menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedan
Zola mengedipkan matanya pelan dan bertanya dengan suara pelan, “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”“Memangnya kamu nggak pernah berpikir begitu?”Zola langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Karena memang baginya itu hal yang mustahil terjadi. Oleh karena itu, dia tidak pernah memikirkannya.Namun, Jeni justru berkata, “Kita bukan pria. Jadi kita nggak paham isi pikiran pria. Tapi Zola, nggak peduli pria atau perempuan, contoh saja kita. Kalau misal kamu nggak punya perasaan terhadap orang itu, apa pun yang terjadi padanya, apakah kamu akan merasakan sesuatu? Contoh nyata ada di depan mata. Setelah kejadian yang menimpa Mahendra, kamu hanya khawatir sebagai seorang teman, bukan? Selain itu, kamu nggak merasakan apa pun, bukan?”Zola terdiam. Jeni berkata lagi, “Boris bereaksi seperti ini mungkin karena dia benar-benar peduli sama kamu. Kalau dia nggak peduli, dia bisa cuek saja. Gimana menurutmu?”Zola menggelengkan kepalanya lagi dan berkata, “Aku
“Kamu merasa dia sedang melindungi aku?”“Iya.”Zola hanya tertawa pelan dan tidak berkata apa-apa. Sebenarnya jika Boris benar-benar ingin melindunginya, Boris bisa saja memberitahunya secara langsung. Zola pasti akan bekerja sama. Akan tetapi, cara yang Boris gunakan membuat Zola merasa bersalah dan gelisah. Sampai sekarang dia tidak bisa memahami pikiran Boris.Jika Boris marah, kenapa Boris menyuruh Jeni untuk datang menjemputnya? Kalau Boris tidak marah, lantas mengapa malam itu dia berkata seperti itu?Zola menggelengkan kepala, tidak ingin memikirkannya lagi. Setelah itu, dia pun tidak berkata apa-apa lagi.Saat Zola tiba di rumah sakit, bibi yang menjaga neneknya sedang menemani neneknya berolahraga. Kondisi fisik nenek Zola terlihat jauh lebih baik. Sekarang neneknya bisa olahraga senam. Meskipun gerakannya salah-salah, setidaknya dia rutin berolahraga.Zola berdiri di depan pintu dan tidak ingin mengganggu. Jadi dia terus melihat neneknya sambil tersenyum selama hampir semeni
Mahendra tidak langsung menjawab, dia hanya bertanya dengan suara pelan, “Kamu benar-benar ingin bantu aku?”Audy segera menganggukkan kepalanya dengan tanpa ragu. Mahendra baru berkata dengan tenang, “Aku butuh uang untuk bangun perusahaan baru, lalu lawan Morrison Group secara diam-diam. Aku yakin dengan kemampuanku, perusahaan ini akan berjalan dengan baik. Setelah berhasil kalahkan Boris, aku juga jadi punya prestasi. Itu akan jadi bentuk ketulusanku untuk lamar kamu. Gimana menurutmu?”Wajah Audy tiba-tiba memerah. Dia pun berkata dengan malu-malu, “Apa yang kamu bicarakan, Kak? Sekarang aku hanya tanya kamu gimana cara kamu hadapi Boris. Kenapa kamu malah bicarakan hal itu?”“Memangnya kamu nggak mau nikah sama aku?”“Mau, tentu saja aku mau.” Audy cepat-cepat menjawab sambil menatap Mahendra dengan malu-malu, seperti seorang gadis remaja yang baru jatuh cinta.Keduanya bersitatap, Mahendra membelai pipi Audy dengan lembut. Kemudian, dia membungkuk dan mencium kening Audy.“Audy,
Jadi Audy tidak berani menuntut terlalu banyak dari Mahendra. Dia takut akan merusak hubungan di antara mereka. Namun setelah itu, Zola datang ke kehidupan Mahendra. Audy tahu Mahendra menyukai Zola. Audy dikuasai oleh rasa cemburu. Sejak itu, hubungan di antara Audy dan Mahendra perlahan-lahan mulai berubah.Suasana saat ini membuat Audy merasa seakan-akan kembali ke masa sebelum Mahendra mengenal Zola. Mahendra kembali ke dirinya yang lembut dan penuh perhatian.Audy mengerutkan bibirnya, lalu bertanya, “Kak, apakah di hatimu masih ada Zola?”Kelopak Mahendra berkedut. Kemudian, dia mengalihkan tatapannya dan berkata dengan suara lembut, “Aku hanya tertarik padanya sesaat di awal pertemuan. Kami sama-sama nggak punya perasaan terhadap satu sama lain.”Mereka berdua tidak memiliki perasaan terhadap satu sama lain. Apakah mereka berdua menyukai orang lain? Jadi Mahendra tidak menyukai Zola?“Bukannya kamu suka sama Zola?” tanya Audy yang tampak kurang yakin.“Tentu saja nggak,” jawab M
“Nggak akan,” jawab Mahendra. Kemudian, dia mengganti topik pembicaraan. “Kamu sudah ke kantor polisi.”“Sudah. Awalnya mereka menyalahkan aku karena lambat sekali baru pergi melapor. Tapi aku sudah ngomong sesuai yang kamu suruh. Mereka pun nggak menyulitkan aku lagi. Sebaliknya, mereka malah hibur aku dan bilang akan berusaha keras untuk cari kamu.”Audy menceritakan semua kepada Mahendra tentang apa yang terjadi ketika dia pergi ke kantor polisi. Setelah mendengar cerita Audy, Mahendra tidak banyak berkata. Dia hanya berkata, “Terima kasih.”Namun, kedua kata tersebut membuat orang merasa asing. Jadi Audy langsung menangis dan bertanya, “Apa maksudmu, Kak? Sekarang kamu anggap aku orang luar?”Mahendra mengulurkan tangan untuk menyeka air mata Audy sambil menatapnya dengan lembut, “Aku nggak anggap kamu sebagai orang luar. Aku hanya takut buat kamu terlibat.”Audy menangis kian menjadi. Hatinya penuh dengan perasaan haru. Terutama saat dihadapkan dengan sikap lembut Mahendra. Dia su
“Oke, kamu perhatian sekali. Kemarin Dokter Guntur juga datang dan beritahu Nenek.”Sang nenek tersenyum, matanya dipenuhi kelegaan. Tentu saja dia tahu semua ini karena Zola. Dia berpikir sejenak, lalu berkata kepada Boris, “Setiap operasi ada risiko. Aku nggak tahu apakah aku bisa bertahan di ruang operasi. Boris, kalau terjadi sesuatu pada Nenek, kamu harus beritahu Zola, jangan sedih, juga jangan merasa bersalah. Dia sudah penuhi baktinya.”“Nenek, Zola nggak mau dengar Nenek ngomong seperti itu. Jadi Nenek jangan ngomong seperti itu lagi, oke?”Boris langsung memotong dengan sikap serius. Nenek Zola hanya tersenyum, tapi matanya sedikit berkaca-kaca. Bagaimanapun juga, dia sudah tua. Tetap saja ada rasa tidak aman. Namun demi bisa hidup beberapa tahun lagi, dia akan berusaha bertahan dan bertaruh.Boris menemani nenek Zola makan malam. Sebelum pergi, dia berjanji pada sang nenek kalau Zola akan datang ke rumah sakit. Nenek Zola menganggukkan kepala. Setelah keluar dari bangsal, Bo
Wanto menundukkan kepalanya, tidak tahu harus berbuat apa. Setelah terdiam sejenak, dia baru berkata dengan suara pelan, “Saya tahu masalah ini sudah mengakibatkan banyak kerugian bagi Morrison Group. Saya juga mengerti nggak ada yang perlu dikasihani dari dia. Saya hanya kasihan orang tua dan anak istrinya. Selama ini dia kerja di bawah bimbingan saya. Sejujurnya, saya juga bertanggung jawab karena dia berubah menjadi seperti ini.”Meskipun Wanto tahu dia tidak seharusnya memohon keringanan untuk Ales, Wanto tidak bisa duduk diam saja. Selama bicara dengan Boris, Wanto sudah bersikap sangat merendah. Dia terus menundukkan kepala dan bicara dengan tulus. Sama sekali tidak ada sikap melawan.Namun, Boris tidak akan melepaskan siapa pun yang mencelakai Morrison Group. Jadi pada akhirnya, dia tetap menolak. Wanto yang sudah pupus harapannya tidak berkata apa-apa lagi. Sejak awal dia memang mencoba, tidak berekspektasi tinggi.Akan tetapi, tepat ketika Wando berdiri dan hendak pamit pergi,