“Kamu merasa dia sedang melindungi aku?”“Iya.”Zola hanya tertawa pelan dan tidak berkata apa-apa. Sebenarnya jika Boris benar-benar ingin melindunginya, Boris bisa saja memberitahunya secara langsung. Zola pasti akan bekerja sama. Akan tetapi, cara yang Boris gunakan membuat Zola merasa bersalah dan gelisah. Sampai sekarang dia tidak bisa memahami pikiran Boris.Jika Boris marah, kenapa Boris menyuruh Jeni untuk datang menjemputnya? Kalau Boris tidak marah, lantas mengapa malam itu dia berkata seperti itu?Zola menggelengkan kepala, tidak ingin memikirkannya lagi. Setelah itu, dia pun tidak berkata apa-apa lagi.Saat Zola tiba di rumah sakit, bibi yang menjaga neneknya sedang menemani neneknya berolahraga. Kondisi fisik nenek Zola terlihat jauh lebih baik. Sekarang neneknya bisa olahraga senam. Meskipun gerakannya salah-salah, setidaknya dia rutin berolahraga.Zola berdiri di depan pintu dan tidak ingin mengganggu. Jadi dia terus melihat neneknya sambil tersenyum selama hampir semeni
Zola mengedipkan matanya pelan dan bertanya dengan suara pelan, “Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?”“Memangnya kamu nggak pernah berpikir begitu?”Zola langsung menggelengkan kepalanya. Dia tidak pernah memikirkan hal itu. Karena memang baginya itu hal yang mustahil terjadi. Oleh karena itu, dia tidak pernah memikirkannya.Namun, Jeni justru berkata, “Kita bukan pria. Jadi kita nggak paham isi pikiran pria. Tapi Zola, nggak peduli pria atau perempuan, contoh saja kita. Kalau misal kamu nggak punya perasaan terhadap orang itu, apa pun yang terjadi padanya, apakah kamu akan merasakan sesuatu? Contoh nyata ada di depan mata. Setelah kejadian yang menimpa Mahendra, kamu hanya khawatir sebagai seorang teman, bukan? Selain itu, kamu nggak merasakan apa pun, bukan?”Zola terdiam. Jeni berkata lagi, “Boris bereaksi seperti ini mungkin karena dia benar-benar peduli sama kamu. Kalau dia nggak peduli, dia bisa cuek saja. Gimana menurutmu?”Zola menggelengkan kepalanya lagi dan berkata, “Aku
Selain itu, apakah Boris tahu? Hal-hal itu yang terus mengganggu pikiran Zola. Sedangkan Tyara hanya ingin segera pergi, tidak ingin menghadapi Zola. Karena terlalu sulit untuk menghadapi Zola. Tyara tidak ingin mengatakan hal-hal yang tidak ingin dia katakan, juga tidak ingin Zola bertanya lebih banyak padanya.Setelah susah payah, akhirnya Tyara berhasil menangani Boris. Dia tidak ingin semuanya rusak di tangan Zola. Akan tetapi, ada Jeni yang membantu Zola. Tyara tidak bisa menghadapi mereka sendirian.Tyara terdiam sejenak. Dia tidak menjawab pertanyaan Zola, tapi berkata, “Kalau kalian begini terus, aku akan lapor polisi.”Zola sama sekali tidak bergeming. Dia terus menatap Tyara. “Aku hanya ngobrol denganmu, apa yang perlu dilaporkan ke polisi? Kalau kamu nggak ada hubungan dengan Mahendra, kamu bisa katakan langsung. Kenapa harus repot-repot lapor polisi segala?”Tyara tidak melihat ke arah Zola. Dia hanya duduk di kursi pengemudi dan menatap lurus ke depan. Entah apa yang sedan
Tyara segera keluar dari mobil. Kemudian, dia membungkuk sedikit kepada Zola, seperti sedang meminta maaf. Matanya langsung berkaca-kaca.“Zola, aku tahu kamu khawatirkan Mahendra. Tapi kamu juga nggak bisa asal tuduh aku. Aku akui aku memang pernah bertemu dengannya beberapa kali. Tapi dia yang ancam aku. Kalau kamu nggak percaya, kamu selidiki saja.”“Apa yang kamu bicarakan, Tyara?”Zola menatap Tyara dengan tatapan bingung. Akan tetapi, Tyara terus bersikap lemah dan berkata dengan suara pelan, “Kamu bela-belain cegat aku di tempat parkir karena kamu khawatirkan Mahendra dan ingin tanya apa hubungan aku dan Boris, bukan? Aku sudah bersumpah, kesalahpahaman antara aku dan Boris semua dibuat-buat oleh Mahendra. Mahendra sengaja lakukan semua itu karena kamu. Aku tahu bukan kamu yang minta Mahendra untuk lakukan itu. Tapi faktanya dia lebih memilih mengakhiri semuanya dengan cara ini agar nggak melibatkan kamu. Apakah aku salah?”“Kalau aku katakan yang sebenarnya dan tetap salah, aku
Tyara tertegun, dia sama sekali tidak menyangka Mahendra akan bertanya padanya seperti itu. Dia membuka mulutnya dan bertanya dengan suara pelan, “Boris, kamu nggak percaya padaku?”“Tyara, aku percaya atau nggak tergantung jawabanmu.” Suara Boris serak, terdengar sedikit acuh tak acuh.Tyara mengerutkan bibirnya. Dia terdiam sejenak, lalu berkata, “Aku benar-benar nggak ada hubungan apa pun dengan Mahendra. Aku dan dia nggak pernah jadian. Dia nggak suka aku. Di hatinya ada perempuan lain. Audy salah paham mungkin karena aku pernah bertemu beberapa kali dengan Mahendra. Tapi setiap kali kami bertemu pasti karena dia ancam aku. Boris, aku nggak punya alasan untuk berbohong padamu.”Boris menyipitkan mata dan tidak bicara. Suasana tiba-tiba menjadi sunyi senyap. Melihat situasi saat ini, Tyara spontan melirik ke arah Zola, lalu berusaha memanasi Boris.“Boris, Zola cantik dan hebat. Kalau aku seorang pria, aku juga akan suka padanya. Jadi gimana mungkin Mahendra bisa memilih aku daripad
Namun nyatanya, Boris sengaja berkata seperti itu. Dia hanya ingin buat Tyara turunkan kewaspadaannya. Jika Tyara dan Mahendra sungguh memiliki rahasia yang tidak dapat diungkapkan, maka pasti akan ada tindakan lain.Oleh karena itu, yang harus lakukan hanya menunggu. Dia hanya perlu menunggu dengan tenang hingga mangsa memakan umpan yang dia siapkan. Namun, Tyara sama sekali tidak tahu apa yang ada di pikiran Boris. Dia sungguh mengira kalau Boris sudah tidak peduli dengan Mahendra lagi. Bagaimanapun juga, Mahendra sudah kalah. Apa lagi yang perlu Boris khawatirkan darinya?Setelah dipikir-pikir, rasanya masuk akal juga. Tyara merasa tidak rela. Awalnya dia sudah sangat senang ketika dia melihat berita tentang hubungan Zola dan Boris sedang retak. Setelah itu, Zola menghilang selama beberapa hari. Ditambah lagi karena ucapan Mahendra. Tyara semakin yakin kalau Boris dan Zola sedang mengalami konflik. Jadi dia memiliki kesempatan.Namun siapa sangka kalau Tyara akan bertemu dengan Zola
Maksud perkataan Zola adalah bagian yang berkaitan dengan Mahendra. Tidak bertanya, tidak bergosip, tidak penasaran, maka tidak akan ada konflik.Kata-kata Zola membuat semua orang merasa tenang. Setelah Zola kembali ke kantornya, Caca pun melaporkan pekerjaan selama beberapa hari terakhir. Selain itu, juga tentang rancangan desain.“Selama Bu Zola nggak ada, Bobi dan yang lainnya nggak berhenti menggambar rancangan. Tapi mereka masih nggak yakin. Jadi apakah kita akan terus ikut kompetisi?”“Tentu saja,” jawab Zola tanpa ragu.Caca mengerutkan bibir dan bertanya, “Kalau begitu, Bu Zola juga ikut? Tinggal beberapa hari lagi. Masih terkejar, nggak?”“Caca, kamu sudah bekerja di sini sejak perusahaan ini berdiri. Kamu seharusnya tahu sifatku. Aku nggak suka orang yang nggak percaya diri. Meskipun orang lain kasih kamu kesempatan, kamu juga nggak akan berani pergi perjuangkan kesempatan itu. Jadi jangan katakan hal-hal yang buat kamu tertekan sendiri, oke?”Caca baru menganggukkan kepala.
Jeni menggelengkan kepalanya. “Aku nggak bodoh. Kenapa aku harus lakukan hal itu? Kalau pasangan suami istri, belum tentu. Tapi kalau nggak ada peluang sama sekali dengan orang itu, kenapa aku harus korbankan semuanya?”“Benar, kan? Kenapa harus lakukan hal seperti itu? Rasanya benar-benar nggak masuk akal. Sejak awal aku nggak pernah merasa Mahendra suka sama aku sampai dia bersedia korbankan segalanya untuk aku.”Senyuman mengejek di bibir Zola semakin kentara. Dia sungguh tidak percaya di dunia ini ada orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri, kecuali mereka bisa mendapatkan benefit dan imbalan yang lebih besar. Kalau tidak, siapa yang mau berkorban secara cuma-cuma?Zola terdiam. Tidak peduli asumsi apa yang dia buat, dia tetap tidak tahu apa tujuan Mahendra. Dia mengangkat tangan dan mengusap pelipisnya. Ada emosi yang tak terlukiskan di hatinya.“Jeni, menurutmu dia masih hidup, nggak?” tanya Zola.“Mahendra?”“Hmm.”Jeni berpikir dengan serius. “Biasanya, saat seseorang jat
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum