“Audy, kamu ….” Alis mata Mahendra menyatu, dahinya mengerut dengan dingin.“Kamu mau pukul aku lagi? Tapi jelas-jelas kamu ….” “Cukup!” Mahendra memotong ucapan Audy dengan wajah kaku. Setelah itu dia menoleh ke arah Zola dan berkata, “Zola, menurutmu ….” Dengan suara tenang Zola berkata, “Kamu karena membenciku, jadi rela melakukan hal yang melanggar hukum? Audy, sejujurnya, itu nggak sepadan. Kalau aku jadi kamu, aku akan langsung cari Lucia dan meminta dia mundur dari kompetisi ini dan minta maaf secara terbuka. Setelah itu, aku nggak akan melanjutkan masalah ini.” Bagaimana pun, sekarang dirinya juga masih dalam masa kompetisi dan tidak ingin membuat masalah ini menjadi besar. Namun, Audy tidak bersedia dan berkata, “Kamu hanya ada obrolan ini saja dan nggak bisa dijadikan bukti. Aku bisa bilang kalau kamu sendiri yang buat dan menuduhku.” Zola tersenyum dan dengan sorot penuh arti berkata, “Jadi sekarang kamu sedang nggak mengakuinya?” “Bukan aku yang melakukannya, kenapa a
“Jangan tanya kenapa, lakukan saja apa yang kuminta. Banyak sekali pertanyaanmu?” Wajah Lucia tampak keruh sambil masuk dalam akun halaman sosial medianya dan menuliskan beberapa patah kata di sana. “Maaf, aku memutuskan untuk mundur dari kompetisi karena karya yang aku gunakan untuk lolos bukanlah miliku karena aku mencurinya. Rasa bersalah dan nggak tenang yang membuatku memutuskan untuk mengakuinya secara terbuka. Mohon maaf, semoga kalian bisa memaafkan. Aku akan selalu mengingat agar nggak mengulangi kesalahan yang sama.”Lucia memiliki banyak pengikut di sosial media miliknya. Unggahannya tersebut membuat banyak orang marah dan tidak terima. Banyak yang mulai berspekulasi siapa sebenarnya desain yang dicuri oleh Lucia. Nama Zola sempat disebut, tetapi tidak ada yang menjawab dan mengakui. Semua orang hanya bisa sibuk menebak-nebak saja. Sikap Lucia langsung mendapat respons dari penyelenggara kompetisi dan mengeluarkan pernyataan resmi. Hal ini menguatkan bahwa Lucia memang me
Kasus pencurian desain sementara bisa diakhiri, dan setelah babak awal kompetisi selesai, babak kedua akan dimulai sekitar 20 hari lagi. Selama waktu ini, selain mempersiapkan karyanya untuk kompetisi, Zola juga harus melanjutkan proyek dari Morrison Group.Zola sudah hamil empat bulan lebih, kalau yang tidak tahu dia hamil, tidak akan ada yang menyadarinya. Namun, orang yang tahu akan merasa kehamilan Zola kali ini cukup berat. Untuk meringankan beban kerjanya, Jeni mengambil alih sebagian tugasnya, seperti menyunting sketsa desain dan juga mengawasi perkembangan kerja tim Caca dan dua orang lainnya. Dengan begitu, Zola bisa fokus pada proyek Morrison Group.Setiap pagi, Zola pergi ke lokasi konstruksi untuk berkoordinasi dengan Pak Wanto terkait desain eksterior dan memeriksa bahan-bahan yang diperlukan. Di sore hari, dia akan pergi ke kantor Morrison Group untuk menunjukkan desainnya kepada Boris.Zola yang sudah beberapa hari tidak datang, membuat Jesse sedikit terkejut dengan ked
Ciuman itu berlangsung lama, dari awal yang lembut hingga akhirnya menjadi lebih dalam dan intens. Boris melepas ciumannya ketika Zola hampir kehabisan napas. Napasnya terdengar berat, matanya tampak lebih gelap dan suaranya serak dan rendah."Sejak Jeni datang, kamu terlihat semakin dingin padaku. Malam ini beri tahu dia untuk kembali ke Jantera. Aku nggak ingin melihatnya lagi."Zola menghela napas dan berkata, "Setelah kamu memanfaatkannya, sekarang kamu ingin mengusirnya?""Dia terus lengket denganmu," balasnya dengan nada sedikit sombong.Zola menjawab dengan tenang, "Kami teman baik.""Teman baik sampai harus selalu bersama, ke mana-mana berdua?""Kalau begitu bagaimana denganmu? Kamu juga sering bersama Sandra akhir-akhir ini, bekerja setiap hari bersama, aku nggak pernah mengeluh apa-apa," jawabnya santai.“Kamu cemburu?” balas Boris sambil tersenyum. “Nggak,” jawab Zola menyangkal. Boris menatap wajahnya dengan lembut mencubit dagunya dan senyum tipis menghiasi bibirnya, "Be
Ekspresi Boris makin dalam dan bertanya, “Makan bersamaku, ya?” “Nggak perlu. Kamu makan sama Bu Sandra saja. Aku hanya kebetulan lewat saja dan berpikir kalau kamu ada waktu maka kita pulang bersama. Karena kamu ada janji sama Bu Sandra, aku pulang sendiri saja.” Setelah selesai mengatakannya, dia tersenyum tipis, lalu melambaikan tangan kepada Sandra untuk berpamitan dan langsung berbalik pergi. Begitu dia memalingkan wajahnya, senyum di pipinya pun segera lenyap. Boris langsung mengikutinya dan menggenggam tangannya dengan lembut sambil berkata, "Kita turun bersama?"Zola tidak berkata apa pun dan tidak melepaskan tangannya. Dia membiarkan lelaki itu menggandengnya dan ketiganya turun bersama. Boris mengantarkan perempuan itu hingga di samping mobilnya dan membukakan pintu untuk Zola. “Minta Jeni makan malam bersamamu? Kalian mau makan apa? Biar aku yang pesan.” “Nggak perlu. Kamu nggak perlu mengurusku. Bu Sandra masih menunggumu, pergilah. Sampai jumpa.” Dia melambaikan tanga
Zola hanya menyipitkan matanya. Terdengar suara Sandra yang menjelaskan, “Papaku meminta orang untuk untuk bawa daun teh ke sini. Dia sengaja memintaku untuk mewakili dia menemui Kakek. Kalau aku pergi sendiri, sepertinya nggak enak. Kalau sama kalian lebih nggak canggung. Boleh?” Boris terdiam dan raut wajahnya terlihat datar. Keningnya berkerut dalam seakan memikirkan sesuatu. Zola juga ikut terdiam. Telepon mereka masih belum terputus sama sekali. “Nggak enak, ya? Kalau begitu, juga nggak masalah. Aku akan kasih Kakek di lain waktu saja. Aku hanya berpikir kebetulan kamu dan Zola ke sana dan aku juga nggak ada urusan. Dengan begitu, nggak akan menghambat urusan pekerjaan juga. Tapi nggak masalah, aku cari waktu saja.” “Kalau begitu, ke sana bersama saja,” jawab Boris. Ekspresi Sandra terlihat tidak ada perubahan dan hanya bertanya, “Nggak akan mengganggu kalian makan keluarga, ‘kan?” “Nggak.” Setelah Zola mendengar percakapan mereka, dia langsung mematikan sambungan telepon t
Keduanya berbincang dan kemudian pelayan datang memberi tahu jika Boris sudah datang. Setelah itu, terlihat lelaki itu masuk bersama dengan Sandra. Sandra membawa kotak teh yang berbentuk elegan dan mahal. Dengan sopan dan anggun, dia menyapa Kakek serta orang tua Boris, "Kakek, Om, Tante, selamat sore. Maaf mengganggu tiba-tiba." Dengan datar Hartono menjawab, “Nggak perlu sungkan, asal kamu nggak keberatan dengan makanan sederhana, itu sudah cukup.”Karena sikap Sandra yang ramah, mau tidak mau semua orang bersikap sopan dengannya. Setelah itu, Sandra dan Hartono serta Dimas mulai membahas kerja sama Morrison Group. Meski dia adalah perempuan, di hatinya terdapat semangat seorang lelaki. Kelak, Gordi Group akan dikelola oleh dia karena perempuan itu anak tunggal. Sandra bercanda sambil berkata, "Papaku khawatir kalau suami yang aku temui nanti nggak bisa mengelola perusahaan, jadi sekarang hanya aku yang harus bekerja keras."Hartono menjawab, “Di zaman sekarang, lelaki dan peremp
“Nggak perlu repot. Kamu antar Bu Sandra ke hotel saja, aku sendirian jenguk Nenek.” Zola langsung menolak, matanya menatap Boris dengan dingin. Jelas-jelas dia menatap lelaki itu, tetapi tidak terlihat ada interaksi di antara keduanya. Kening Boris berkerut dan berkata, “Zola, sudah malam, aku nggak tenang kamu sendirian.” “Ada supir, kenapa nggak tenang? Selain itu aku juga datang ke sini sendirian, ‘kan?” Zola tersenyum, tetapi matanya tidak menunjukkan sedikit pun senyuman.Sandra juag merasakan keanehan itu dan bertanya, "Zola, apakah kamu marah pada Boris karena aku? Aku datang ke sini hari ini untuk melihat Kakek atas permintaan papaku. Aku nggak bermaksud mengganggu kalian. Kalau ini membuatmu kesal, aku minta maaf. Kamu sedang hamil, nggak baik kalau kamu marah. Ini bisa berdampak buruk pada bayimu.""Terima kasih untuk perhatianmu, Bu Sandra. Bayi ini ada di dalam perutku, jadi tentu aku tahu apa yang baik dan buruk. Bu Sandra belum pernah hamil, juga belum menjadi seoran