Zola terdiam sejenak sambil menunduk. Dia tersenyum tipis ketika Boris tidak bisa melihatnya. Di bagian hatinya terdalam, ada sebersit rasa hangat yang mengalir seolah tengah menghangatkan hatinya yang dingin. Waktu untuk Zola tampil dalam kompetisi semakin dekat. Setelah melihat waktu, Boris mengangkat tangannya untuk mengelus wajah perempuan itu dengan lembut dan berkata dengan suara yang hangat, “Semangat, jangan gugup.”“Iya,” jawab Zola sambil mengangguk. Setelah itu keduanya keluarBoris dan Jesse menuju kursi penonton, sementara Zola ke ruang istirahat yang ada di sebelahnya. Dia memberi tahu kabar baik tersebut pada semua orang dan mereka saling menyemangati untuk siap tampil. Ketika Zola dan timnya tiba di belakang panggung, ada seorang perempuan yang tengah mempresentasikan hasil desainnya. Zola tahu perempuan itu adalah perempuan berkacamata hitam yang dia dan Jeni temui ketika keluar dari toilet. Dari para petugas, dia tahu jika perempuan itu bernama Lucia. Dia adalah se
Dia bukan pencurinya, kenapa harus merasa bersalah? Sebaliknya, sebagai seorang pencuri dari mana Lucia bisa begitu berani menantangnya? Zola menyipitkan matanya dan berkata, “Aku ada ide.” Setelah itu, pembawa acara juga memanggil namanya. Seorang petugas meminta Zola memberikan salinan cadangan desain untuk ditampilkan di layar, tetapi Zola hanya berkata, "Tolong tampilkan poster sampul kompetisi desain, nanti setelah aku beri tanda, Kamu hanya perlu bantu aku ganti menjadi latar belakang putih."Petugas itu terlihat sedikit terkejut, tetapi dia mengikuti permintaan Zola. Setelah dia naik ke panggung, Zola langsung mengutarakan maksudnya. Dia menunjuk layar besar di belakangnya untuk menyapa para juri dan penonton, lalu mulai dengan cara mengajak mereka membayangkan dan mendiskusikan harapan mereka terhadap sebuah peternakan. Lucia duduk di ruangan istirahatnya sambil menonton siaran langsung di tempat kompetisi. Asisten perempuan itu bertanya, “Kak Lucia, apa yang sedang dilakuka
Tatapan mata tajam dan dalam dari Boris bertemu dengan mata Sandra. Tatapan itu sulit ditebak dan dijelaskan. Sedangkan ekspresinya memancarkan sorot ketidaksenangannya. “Boris, kamu jangan melihatku seperti itu. Aku hanya takut kalau kamu kesulitan. Dan aku takut hal ini juga akan buat para desainer lainnya nggak terima. Nggak baik juga buat Zola. Bagaimana menurutmu?” ujar Sandra dengan cepat. Suara berat Boris yang tenang tetapi menyiratkan emosi mendalam berkata, “Bukankah hasilnya belum keluar? Bukankah kamu terlalu khawatir tentang sesuatu yang belum terjadi? Bahkan kalau hasilnya menunjukkan dia nggak lolos, selama dia ingin melanjutkan, aku punya cara untuk mewujudkannya.”Maksud lelaki itu sudah sangat jelas. Dia dengan terang-terangan memihak pada Zola. Hal itu membuat Zola merasa sulit dipercaya. Karena selama Boris memimpin Morrison Group, lelaki itu selalu adil dan profesional. Dia tidak pernah membiarkan perasaan pribadi memengaruhi keputusannya. Bahkan sejak kuliah, l
“Masalah hari ini yang paling bertanggung jawab besar adalah aku, jadi ….”Zola bergegas memotong ucapan Caca dengan berkata, “Saya memberi tahu kalian membuat kalian merasa tertekan. Saya hanya mau bilang jangan kehilangan semangat dan jangan merasa nggak percaya diri karena masalah ini. Kalau ada kompetisi serupa di kemudian hari, tetaplah berjuang.” Dua lelaki itu berpikiran lebih terbuka, sedangkan Caca masih kecil dan mudah terjebak dalam pikiran negatif dan mungkin akan menyalahkan semua kesalahan pada dirinya sendiri. Tentu saja itu bukan hal yang ingin dilihat oleh Zola. Setelah penjelasan dari Zola, suasana hati Caca juga menjadi jauh lebih baik.Saat itu, hasil pertandingan pun diumumkan. Dari dua puluh desainer yang terpilih, ada juga Lucia dan Zola. Dia terpilih sebagai yang kesembilan belas dan hampir saja tidak terpilih.Ini jelas merupakan kabar baik, dan semua orang bersorak girang. Namun, Caca dengan tidak senang berkata, “Kenapa Lucia bisa terpilih? Dia hanya mengand
Itu adalah telepon dari Boris. Zola menatap Jeni dan berkata, “Kalau itu Audy, berarti masuk akal. Karena dia nggak suka denganku dan menganggapku selalu mengejar Mahendra.”“Mereka bersaudara benar-benar sakit jiwa. Sudah, kamu cepat angkat teleponnya.” Jeni memang tidak pernah menyukai Mahendra dan Audy. Mendengar itu Zola hanya tersenyum tipis sambil menekan tombol terima panggilan. Suara hangat lelaki itu terdengar seketika. Dia bertanya, “Kamu minta Jeni naik mobil kantormu kembali.” “Hmm?” Zola langsung memandangi sekitar dan menemukan plat mobil familiar di kejauhan. Suara di telinganya kembali terdengar, “Kamu naik mobilku, ya?” Suara lelaki itu terdengar lembut dan penuh nada permohonan. Zola tersenyum karena teringat kembali dengan perkataan lelaki itu ketika di ruangan istirahat tadi dan membuat hatinya tersentuh. Dengan suara rendah, dia menyetujui permintaan lelaki itu. Setelah sambungan terputus, Jeni memutar bola matanya dan berkata, “Romantisnya nggak bisa disembu
“Kalau nggak, aku melihat dia menindasmu?” “Boris, kamu baik sekali.” Perempuan itu tersenyum tipis. Boris mendengus dan berkata, “Sekarang baru merasa aku baik?” Senyuman di bibir Zola semakin lebar. Dia tidak menjawab dan hanya berkata, “Terima kasih.” Boris tidak menjawabnya karena dia tidak ingin mendengar kata itu. “Hari ini kamu tampil dengan baik. Kali ini, keberhasilanmu lolos seleksi awal nggak ada hubungannya denganku, itu sepenuhnya karena kemampuanmu sendiri. Aku sama sekali nggak terlibat dengan para juri, jadi kemenanganmu benar-benar murni."Zola langsung terdiam. Kalimat lelaki itu seolah tengah menebak isi hatinya. Zola memang sudah memikirkan kemungkinan terburuk, tetapi Boris justru meyakinkan dia bahwa ini semua karena berkat kemampuannya sendiri. Zola menunduk sesaat dan kemudian dia mengangguk. Boris menatapnya dalam-dalam, dan pada saat itu lampu hijau menyala. Dia melepaskan tangannya dan dengan serius mengemudi lagi.Setelah mengantarkan perempuan itu kem
"Siapa yang tahu? Bagaimanapun, orang seperti kamu bisa melakukan apa saja."Audy tidak mau mengakui, sementara Zola hanya menatapnya dengan tenang dan lekat. Dengan suara dingin Mahendra berkata, “Audy, sekarang di sini hanya ada kita bertiga. Kalau kamu jujur dan mengakuinya, kamu ada kesempatan untuk memperbaiki kesalahan. Atau kamu berharap semua orang tahu?” "Kak, jadi kamu nggak percaya sama aku? Aku sudah bilang, aku nggak melakukannya. Aku nggak serendah itu untuk memperhatikan urusannya. Kalau kalian nggak percaya, aku nggak bisa berbuat apa-apa. Kalau kalian punya bukti, tunjukkan saja!"Audy yakin mereka pasti tidak ada bukti. Kalau ada bukti, mereka juga tidak akan bertanya padanya. Audy merasa yang paling penting adalah melihat Zola dalam kesulitan, sisanya bukan hal yang penting. Audy menatap Zola dengan sorot sedikit mengejek, seolah-olah mengatakan, "kalau punya bukti, tunjukkan. Kalau nggak, jangan menuduh sembarangan."Zola hanya menyipitkan mata sedikit dan terseny
“Audy, kamu ….” Alis mata Mahendra menyatu, dahinya mengerut dengan dingin.“Kamu mau pukul aku lagi? Tapi jelas-jelas kamu ….” “Cukup!” Mahendra memotong ucapan Audy dengan wajah kaku. Setelah itu dia menoleh ke arah Zola dan berkata, “Zola, menurutmu ….” Dengan suara tenang Zola berkata, “Kamu karena membenciku, jadi rela melakukan hal yang melanggar hukum? Audy, sejujurnya, itu nggak sepadan. Kalau aku jadi kamu, aku akan langsung cari Lucia dan meminta dia mundur dari kompetisi ini dan minta maaf secara terbuka. Setelah itu, aku nggak akan melanjutkan masalah ini.” Bagaimana pun, sekarang dirinya juga masih dalam masa kompetisi dan tidak ingin membuat masalah ini menjadi besar. Namun, Audy tidak bersedia dan berkata, “Kamu hanya ada obrolan ini saja dan nggak bisa dijadikan bukti. Aku bisa bilang kalau kamu sendiri yang buat dan menuduhku.” Zola tersenyum dan dengan sorot penuh arti berkata, “Jadi sekarang kamu sedang nggak mengakuinya?” “Bukan aku yang melakukannya, kenapa a