“Boris, aku ….”“Kalau kamu ada bukti yang cukup, kamu bisa langsung menyebarkannya ke media. Kalau nggak, lebih baik jangan asal bicara. Mengenai jantung untuk mamamu selalu menjadi tanggung jawabmu. Yang membantumu mencari pendonor yang cocok juga pasti akan menghubungimu. Kamu pikir aku punya banyak waktu luang untuk memeriksa semuanya?”Sikap dingin Boris membuat Tyara tercenung. Dia menggigit bibirnya dan memasang raut sedih sembari berkata, “Boris, aku nggak bermaksud menuduhmu. Aku hanya takut … Kamu bisa minta Dokter Guntur untuk menjadi dokter beda utama dalam operasi mamaku?”“Kamu bisa janjian sendiri dengan Dokter Guntur. Belakangan ini ada banyak urusan di Morrison Group. Mungkin aku nggak bisa membantu.”“Boris ….”“Tyara, aku sudah melakukan banyak hal yang kujanjikan padamu. Lalu bagaimana dengan janjimu padaku? Sejauh ini, aku belum melihat itikad baik yang jelas darimu. Menurutmu apakah ini adil?”“Aku … Boris, aku juga ingin segera mengingatnya. Tapi belakangan ini a
Tyara menatap Nenek dengan sorot penuh amarah.“Memangnya nggak? Karena cucumu itu memanfaatkan suaminya, Boris, untuk menguasai rumah sakit. Kalau bukan karena nenek tua sepertimu. Mamaku pasti sudah bisa menjalani operasinya sekarang. Kamu sedang mencelakai orang, kamu akan dapat balasannya!”“Tyara! Diam!” seru Zola dari arah luar ruang rawat.Dia berjalan masuk dengan raut datar. Kedua bola matanya menatap Tyara dengan lekat. Zola menunjuk ke arah pintu dan dengan dingin berkata, “Kamu sembarangan bicara apa? Kamu gila? Cepat keluar!”“Kenapa? Kamu takut aku membongkar semua kelakuanmu di depan nenekmu? Zola, karena kamu berani melakukannya, kenapa nggak berani mengakuinya?”Tyara terlihat tidak mau pergi. Dia tertawa dingin dan menyalahkan Zola atas semua yang terjadi.“Tyara, kamu nggak boleh asal bicara. Kalau kamu ada bukti, keluarkan saja! Kalau nggak ada, jangan asal bicara! Segera keluar!”Zola mendengus dingin dan menunjuk Nenek sambil berkata, “Zola, kamu menggunakan cara
Banyak orang berbisik-bisik. Setelah mendapat gangguan berulang kali dari Tyara, Nenek akhirnya memutuskan untuk menolak operasi.“Biarkan mamanya dulu yang melakukan pencocokan. Kalau nggak, Nenek juga nggak bisa tenang. Lagi pula Nenek juga sudah tua, nggak penting bisa hidup berapa lama lagi. Tapi kita nggak boleh melakukan sesuatu yang membuat orang lain mencemooh.”Sikap Nenek sangat tegas dan Zola juga tidak mampu membujuknya. Dia menyalahkan semua ini pada sosok Tyara. Zola menelepon Tyara dan memperingatkan,“Tyara, lebih baik kamu berdoa agar nenekku baik-baik saja. Kalau nggak, aku nggak akan membiarkanmu begitu saja. Meski aku mempertaruhkan segalanya, aku juga akan membuatmu membayar apa yang kamu lakukan.”Tyara dengan dingin menyangkal tuduhan itu dan berusaha melepaskan diri dari tanggung jawab. "Itu karena nenekmu yang nggak sehat, apa hubungannya denganku? Lagi pula, kata-kata itu bukan kutujukan padanya. Di sana ada banyak orang, kamu pikir hanya ada nenekmu saja?”“A
“Tyara, kamu sedang mengancamku?”“Iya, aku sedang mengancammu.”Orang di seberang telepon berkata, “Sudah kubilang, urusan kita nggak ada hubungannya dengan Zola. Jangan melibatkan orang yang nggak bersalah hanya untuk memperkuat posisimu di hati Boris? tindakan seperti itu hanya akan membuat lelaki makin membencimu.”“Cukup, aku nggak perlu kamu mengajariku. Kamu hanya perlu kasih tahu aku kapan bisa buat Zola dan Boris berselisih hingga akhirnya cerai. Kalau aku nggak menikah dengan Boris, kamu pikir kita bisa mendapatkan semua yang ada di Morrison Group?”“Tyara, aku sudah bilang, apa pun yang berkaitan dengan Grup Morrison jangan bicarakan di telepon. Kamu mau rencanamu bocor sebelum terwujud?” Suara lelaki itu terdengar penuh penekanan.“Aku tahu,” kata Tyara.Namun, di dalam hatinya merasa lelaki itu terlalu berhati-hati. Ponselnya tidak masalah dan nyaris tidak pernah lepas dari dirinya. Akan tetapi, lelaki itu tetap tidak tenang dan kembali mengingatkan,“Tyara, aku serius. Ak
Aroma khas milik lelaki itu menyebar memenuhi penciumannya dan membuat Zola tidak nyaman. Namun, ada suatu perasaan yang sulit dijelaskan. Dia menunduk dan tidak melihat Boris.Boris mendengus dingin dan berkata, “Jadi benaran nggak rindu aku? Nggak mau berbaikan denganku juga?”“Siapa suruh kamu mengancamku? Kamu mengancamku dengan menggunakan Nenek. Kamu tahu apa arti Nenek buatku?”“Bagaimana denganmu? Kamu ancam aku dengan bayi di perutmu. Apakah bayi itu nggak penting buatmu?”“Itu karena ….”“Apa pun alasannya, aku nggak ingin dengar ancaman seperti itu lagi, oke?”Zola tidak berbicara lagi. Boris mengangkat dagunya dan berkata, “Jawab aku. Oke?”Perempuan itu mencebik dan berkata, "Jadi sekarang menurutmu ini salahku dan kamu nggak salah?"Boris mengernyit bingung dengan cara berpikir perempuan ini. Bukankah sekarang mereka sedang membicarakan masalahnya? Kenapa tiba-tiba berbalik ke arah dirinya?Sebelum Boris sempat menjawab, perempuan itu kembali berkata, "Besok aku akan memb
Audy tidak berbicara, tetapi dia juga tidak bergerak sama sekali. Zola dihalangi di depan pintu. Dengan suara dingin dan tegas, dia berkata, “Audy, aku lagi bicara denganmu, kamu nggak dengar?”“Kamu pikir kamu siapa? Kenapa aku harus dengarkan kamu?” kata Audy yang tidak menghargai Zola sama sekali.Setelah merespons ucapan Zola, Audy menyumpal telinganya sambil tersenyum menantang.Zola tidak tahu dia harus berkata apa. Dia mengambil ponselnya dan menghubungi Caca. Tidak butuh waktu lama bagi Caca untuk keluar. Setelah itu, dia berkata, “Bu Zola, Bu Audy datang mencari Pak Mahendra, tapi dia nggak ada di kantor. Jadi dia memarahi kami dan bilang kami nggak mau kasih tahu dia. Bahkan bilang mau memecat kami.” Zola meminta Caca mencari dua orang lelaki dan berkata, “Angkut dia keluar.”Kedua lelaki itu mengangguk dan langsung mengangkat kursi beserta dengan orang yang duduk di atasnya ke arah luar kantor. Audy dibuat marah basar. Dia berdiri dan memukul kedua lelaki itu dengan tasnya
“Nggak masalah, aku juga nggak ada hal lainnya. Aku hanya mau kasih tahu kamu tentang Audy. Kamu ke mana? Sepertinya dia nggak menemukanmu makanya datang ke kantor.” “Aku keluar untuk mengurus sedikit urusan, sekitar setengah jam sampai kantor,” ujar Mahendra yang tengah mengendarai mobil. Kepalanya seketika berputar ketika mendengar nama Audy. “Dia nggak ganggu kamu, ‘kan? Mungkin karena kemarin malam aku minta dia ketemu teman dan dia curiga itu dokter psikolog, jadi sedikit marah.” “Iya, aku nggak apa-apa. Tapi kamu harus selesaikan urusan dia baik-baik. Kalau memengaruhi kegiatan kantor juga nggak baik. Bagaimanapun, di kantor ini nggak hanya ada kita berdua saja, masih ada karyawan yang lain. Aku merasa Audy terlalu posesif sama kamu dan itu bukan hal yang baik kalau terus berlanjut.” “Aku mengerti.”“Sudah, kita bicarakan di kantor saja.” Setelah menyelesaikan panggilan, Zola bertanya pada Caca, “Dia sudah pergi?” “Belum, dia menunggu di ruangannya Pak Mahendra.” “Jangan p
Wajah Rosita tampak sedikit datar, tetapi suaranya tidak berubah saat merespons Zola. Dengan suara pelan, dia berkata, "Mengajakmu jalan-jalan. Kamu nggak bisa selalu menghabiskan seluruh waktumu untuk bekerja. Semua yang dimiliki keluarga Morrison juga ada bagian untukmu. Bahkan kalau kamu nggak bekerja, itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhanmu. Tentu saja, sebagai perempuan, kamu tetap harus punya karir dan hobi sendiri, tetapi tetap perlu santai sesekali."Ucapan Rosita membuat Zola terkekeh. Dia menggandeng ibunya dan bergumam, “Mama, Mama baik sekali. Terkadang aku merasa Boris mungkin ditemukan oleh Mama, dan aku baru anak kandung.” “Memangnya bukan?” ujar Rosita. Zola tertawa dan suasana di sekitar mereka menjadi lebih santai.Setelah keluar dari mobil, mereka masuk ke kedai teh dan pelayan yang menyambut langsung mengenali Rosita dengan berkata, "Ibu Rosita, selamat datang." “Aku mau ruangan pribadi. Aku dan menantuku mau mengobrol. Berikan kami satu piring buah dan satu g