“Pak Budi sudah berapa lama kerja di Leonarto Group?”Zola menatap Budi dengan acuh tak acuh. Dia tidak memanggil Budi dengan sebutan om seperti Selena.Wajah Budi sedikit menegang. Dia pun berkata dengan nada keberatan, “Aku dan papamu sudah kerja bareng selama bertahun-tahun. Kamu nggak tinggal bersama keluarga Leonarto, jadi mungkin kamu nggak tahu. Selena tahu betul hubunganku dengan keluarga Leonarto.”“Pak Budi, aku hanya tanya sudah berapa laa Pak Budi kerja di Leonarto Group. Bagaimana hubungan Pak Budi dengan papaku atau keluarga Leonarto, aku sama sekali nggak peduli.”Sikap dingin Zola membuat ekspresi wajah Budi langsung berubah. Selena juga spontan menarik pakaian Zola, sebagai isyarat agar Zola jangan bicara seperti itu. Namun, tatapan Zola langsung membuat gerakan tangan Selena berhenti.“Pak Budi sudah bekerja di Leonarto Group selama bertahun-tahun. Kecelakan karena PHK kali ini seharusnya baru pertama kali terjadi, kan?”“Tentu saja.”“Karena ini pertama kalinya, mau
Zola tersenyum, tapi sebenarnya dia sudah membuat keputusan ketika mengucapkan kata-kata itu. Karena Zola adalah putrinya Jerico. Meskipun dia tidak memiliki saham Leonarto Group, tapi identitasnya sudah cukup untuk menjelaskan semuanya. terlebih lagi, Selena sama sekali tidak bicara, dia jelas setuju dengan Zola.Posisi Budi telah dikosongkan. Zola langsung menyerahkan semua pekerjaan kepada dua orang yang dia pinjam dari Santo.Budi ingin mengajak orang lain untuk memprotes. Namun, karyawan lain masih memiliki kontrak dengan perusahaan. Mereka tidak berdaya, hanya bisa menurut pada atasan.Semua ini telah dipersiapkan segera setelah sekretaris Santo kerja di Leonarto Group. Setelah menangani masalah ini, Zola keluar dari Leonarto Group. Selena mengikutinya di belakang. Selena tidak mengerti mengapa Zola melakukan hal itu.Oleh karena itu, Selena pun bertanya, “Zola, Om Budi punya hubungan yang sangat baik dengan Papa. Selama ini dia juga selalu kerja keras di perusahaan. Tindakanmu i
“Sama-sama, Bu Zola. Ini memang sudah pekerjaan saya.”Zola mengambil bukti-bukti yang dikumpulkan Jesse. Dia tidak terburu-buru melakukan sesuatu. Dia hanya bertanya kepada Boris, “Menurutmu, keluarga Leonarto akan percaya, nggak?”Zola sendiri tidak yakin dengan hal ini. Karena sejauh apa yang keluarga Leonarto lakukan padanya, lalu sekarang membandingkan dirinya dan Budi, Zola merasa keluarga Leonarto akan memilih untuk percaya dengan Budi, tidak percaya padanya.Zola mengerutkan bibirnya. Tatapannya tampak kosong. Jesse juga tersentak karena pertanyaan tersebut. Karena ini masalah keluarga Leonarto, Jesse juga tidak bisa memberikan jawaban pasti.Namun, setelah dipikir-pikir, Jesse akhirnya memberikan sebuah ide kepada Zola. “Bu Zola, saya rasa kakak Bu Zola masih bisa bedakan mana yang benar dan mana yang salah. Bagaimana kalau Bu Zola kirimkan saja buktinya pada kakak Bu Zola secara anonim? Dengan begitu, dia bisa membuat pilihan. Kalau dia memilih percaya pada Budi, Bu Zola juga
“Boris, kenapa kamu terus ingin buat aku suap kamu?” tanya Zola.Boris spontan tertawa. Dia membelai pipi Zola dengan lembut sambil menatap Zola dengan lekat. “Jadi kamu mau nggak suap aku?”Zola tidak menjawab, tapi bertanya, “Apa untungnya suap kamu?”Boris mengerutkan kening. Zola malah membicarakan syarat. Boris pun berkata, “Keuntungan apa yang kamu inginkan?”Zola menyipitkan mata dan tersenyum tipis. “Boris, kamu seorang pengusaha. Kamu nggak akan biarkan aku ambil keuntungan, kan?”Boris tersenyum, lalu berkata, “Bingo.”“Boris, Jesse ada beritahu kamu soal penyelidikannya terhadap Budi, sekretaris papaku?” tanya Zola tiba-tiba.“Hmm, ada.”“Aku sudah kirimkan bukti-buktinya ke Selena. Tapi dia nggak balas.”“Zola, nggak peduli ada masalah ini atau nggak, kamu sudah boleh lepas tangan. Kamu sudah berbuat cukup banyak. Selanjutnya, biarkan keluarga Leonarto buat keputusan sendiri. kalau kamu terus nggak mau lepaskan, pada akhirnya kamu sendiri yang capek.”Kata-kata Boris seolah
“Ma, sebenarnya ....”“Jerico, kamu lihat sendiri, kan. Beda jauh anak yang kita besarkan sendiri dengan yang bukan kita besarkan sendiri. Kalau kamu sudah sembuh dan keluar dari rumah sakit, kamu bawa Selena ke perusahaan saja. Toh, cepat atau lambat juga akan diserahkan ke Selena. Aku sudah anggap nggak pernah lahirkan Zola. Dia benar-benar berdarah dingin. Dia nggak pantas dapat apa pun dari keluarga Leonarto.”Lydia sangat kesal dan marah terhadap Zola. Baginya, setiap kali dia teringat sikap dingin dan tidak berperasaannya Zola, Lydia pun tidak mengendalikan kebenciannya terhadap Zola. Karena Lydia masih percaya kalau semua masalah terjadi karena Zola. Jika bukan karena Zola tidak mau membantu, tidak akan terjadi masalah-masalah lainnya. Oleh karena itu, semuanya salah Zola.Jerico hanya memasang wajah muram dan berkata, “Sudah, biarkan aku istirahat dengan tenang.”Setelah Jerico siuman, suasana hatinya selalu tidak begitu baik. Lydia pun berhenti bicara. Akan tetapi, Selena meng
Selena segera berkata, “Tentu saja bisa. Di sini rumahmu juga. Kamu bisa pulang kapan saja kamu mau.”Sejak Leonarto Group dalam masalah, setelah Selena menyadari kemampuan Zola serta apa yang telah Zola lakukan untuk keluarga Leonarto, Selena mulai bergantung dan sayang pada adiknya itu. Begitu mendengar Zola bilang mau pulang, Selena pun segera memberitahu ibunya. Lydia sendiri tidak memberikan reaksi apa pun. Raut wajahnya sangat dingin.“Dia pulang untuk tertawakan kita?”“Bukan begitu, Ma. Zola juga peduli pada Papa. Selain itu, kali ini dia sudah banyak membantu. Kalau bukan karena Zola, nggak ada yang tahu seperti apa situasi sekarang. Kalau Budi nggak pernah ketahuan, Papa pasti akan terus percaya padanya. Mungkin saja, keluarga kita juga sudah kehilangan semuanya.”Meskipun Selena tidak mengerti mengapa awalnya Zola tidak ingin membantu, Selena yang sekarang tahu betul Zola pasti punya alasannya sendiri untuk berbuat seperti ini. Karena Selena juga bisa melihat kalau Zola buka
Jerico, Lydia, Selena dan Zola duduk di meja makan dengan tenang. Tak ada seorang pun yang bicara. Kapan terakhir kali mereka berempat duduk dan makan bersama? Sepertinya tidak ada yang mengingat lagi.“Pa, ada dua hal yang ingin aku tanyakan pada Papa.” Suara Zola memecahkan keheningan.“Soal apa?” tanya Jerico sambil menatap Zola.“Ada yang ingin Papa katakan soal penangkapan Budi?”Begitu kata-kata itu terlontar dari mulut Zola, Jerico pun meletakkan sendok di tangannya. Kemudian, dia bertanya, “Apa yang ingin kamu tanyakan? Kamu ingin tanya apa rasanya ditipu oleh sekretaris yang sudah aku percayai selama bertahun-tahun?”Zola juga meletakkan sendoknya. Boleh dibilang dia hampir tidak makan apa-apa. Lagi pula, kedatangannya hari ini memang bukan untuk makan.“Jadi, Papa hanya merasa dikhianati oleh seseorang yang sudah Papa percayai selama bertahun-tahun?”“Apa maksudmu?”“Budi mengatakan sesuatu saat dia ditangkap. Selena nggak beritahu Papa?”Selena langsung berkata, “Zola, Budi
Zola tidak menjawab dan balik bertanya, “Bukannya kamu bilang kamu lagi makan sama Tedy dan yang lainnya di luar? Kenapa pulang begitu cepat?”“Baru mau keluar. Kamu mau ikut aku saja, nggak?”“Nggak dulu.” Zola dan Tedy sempat mengalami perselisihan karena Jeni. Setelah dipikir-pikir, mereka sudah lama tidak bertemu. Kalau sekarang bertemu pasti akan terasa sangat canggung. Lebih baik tidak usah bertemu.Boris seperti bisa membaca pikiran Zola. Bibir tipisnya melengkung, lalu dia berkata, “Takut nggak enak hati bertemu dengannya?”“Nggak. Aku hanya merasa bersalah pada Jeni saat lihat dia.”Boris tahu itu hanya alasan Zola untuk menolak. Jadi dia pun tidak meminta Zola ikut pergi dengannya lagi. Boris menatap Zola dalam diam selama beberapa detik, lalu bertanya, “Terjadi sesuatu di rumah orang tuamu? Nggak mau ceritakan ke aku?”Zola mengerutkan bibirnya dan menatap Boris. Kemudian, dia memberitahu kegelisahan dan dugaan di dalam hatinya kepada Boris.“Jadi kamu curiga ada sesuatu den
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me