Jesse melihat jam tangannya sebentar, lalu berkata kepada Zola, “Kalau sekarang sepertinya Pak Boris nggak bisa. Pak Boris sedang ada klien penting.”“Nggak apa-apa, aku bisa tunggu di sini.”“Baik.”Zola mengikuti Jesse keluar dari ruang rapat. Zola menawarkan diri untuk menunggu di ruang tunggu kantor sekretaris. Keduanya pun berjalan ke kantor sekretaris. Saat ini, pintu kantor CEO terbuka. Seorang perempuan bertubuh tinggi dan seksi keluar dari dalam ruangan itu dan diikuti oleh Boris. Keduanya sama-sama tersenyum, tampaknya obrolan mereka sangat menyenangkan.Perempuan itu menatap Boris dengan penuh kekaguman di matanya dan berkata, “Kalau begitu sudah sepakat, ya. Malam ini kamu harus temani aku minum, berdua saja, oke?”Saat bicara, perempuan itu tanpa sadar mengangkat tangannya dan memegang lengan Boris. Boris pun tidak menepis tangan itu. Dia hanya menyipitkan mata dan tersenyum tipis. “Aku suruh orang antar kamu kembali ke hotel. Kalau soal minum kapan saja bisa, oke?”Peremp
Boris mendengus pelan dan berkata, “Kalau aku bilang nggak sempat, jadi kamu nggak akan bicara?”Zola tidak tahu kenapa Boris terlihat marah lagi. Padahal ini percakapan pertama mereka sejak Zola tiba di Morrison Group. Jadi, Boris tidak ingin mendengarnya bicara? Zola terdiam sesaat. Boris meliriknya dengan acuh tak acuh, lalu berjalan kembali ke ruangannya. Zola segera mengikutinya.Setelah keduanya sampai di kantor Boris, Zola baru berkata dengan suara pelan, “Kamu benar-benar sudah putuskan untuk keluarkan Stonerise dari proyek ini?”“Sejauh ini Stonerise belum memainkan peran apa pun dalam proyek ini. Mereka hanya ingin dapat bagian. Tapi sekarang mereka sudah dapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Sudah aturan wajar kalau selanjutnya proyek ini nggak ada hubungannya lagi dengan mereka.”Boris duduk di kursi kerjanya. Kemudian, dia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya. Karena pria itu sedang merokok, Zola berdiri beberapa langkah dari meja dan tidak mendekat. Namun,
“Kenapa? Kamu nggak bisa? Kalau nggak bisa, kamu telepon dan ngomong sendiri sama Kakek.” Usai berkata, Boris berdiri dari kursinya. Dia mengambil kunci mobil dan melirik ke arah Zola yang masih berdiri diam. “Kalau kamu masih ingat kebaikan Kakek padamu, sekarang ikut aku pergi ke rumah sakit.”Zola hanya tercengang sejenak. Setelah itu, dia mengikuti Boris. Bukannya Zola tidak bisa, dia hanya merasa kaget. Bagaimana Hartono bisa tahu kalau sekarang dia sedang bersama Boris? Zola menggelengkan kepalanya. Tentu saja, dia tidak akan bertanya pada Boris.Setelah tiba di tempat parkir, Zola segera berkata pada Boris, “Aku bawa mobil sendiri ke rumah sakit. Nanti aku harus kembali ke perusahaan, jadi lebih gampang.”Raut wajah Boris menjadi dingin. Dia langsung berhenti dan menatap Zola. “Kalau begitu, untuk apa kamu ke rumah sakit? Kalau aku jadi kamu, aku langsung tolak saja. Aku nggak akan pura-pura jadi cucu menantu yang berbakti.”Zola menatap pria di depannya dengan ekspresi tidak pe
Ada lapisan emosi yang tak terlukiskan menyelimuti hati Zola. Rasa terharu, juga senang. Bahkan keluarga Leonarto tidak bisa melakukan hal seperti ini. Meskipun sang nenek dan Lydia tidak memiliki hubungan darah, mereka menjadi satu keluarga selama bertahun-tahun. Ditambah lagi, sang nenek membantu Lydia merawat Zola selama bertahun-tahun.Setiap kali memikirkan hal itu, Zola merasa sangat sedih. Dia juga akan merasa kesal karena Lydia terlalu kejam. Akan tetapi, dia tidak berani memberitahu neneknya. Mungkin neneknya sudah tahu, hanya tidak mau membicarakannya saja.Zola menundukkan kepala. Matanya berkaca-kaca dan sedikit memerah. “Terima kasih, Ma. Tapi sekarang Nenek lagi sakit. Aku juga nggak tahu dengan kondisinya bisa bawa dia keluar atau nggak. Bagaimana kalau aku coba tanya pendapatnya dulu? Atau tunggu Nenek habis melakukan pemeriksaan kesehatan, aku baru ngomong sama Nenek.”“Zola, kenapa kamu masih saja sungkan sama Mama? Kita satu keluarga, Sayang. Mulai sekarang kamu ngga
Rosita segera memahami maksud Boris. Dia tertawa pelan dan berkata, “Tentu saja mau. Kamu belikan buat Mama?”Boris tersenyum, “Tergantung.”Rosita langsung berhenti bicara. Dia hanya melirik putranya sekilas, lalu berbalik dan memegang lengan Zola. Kemudian, dia berkata dengan nada mengadu, “Zola, lihat dia. Dia bahkan nggak mau bantu aku puaskan hobi kecilku. Kamu istrinya, kamu harus bantu aku.”Zola tercengang, apalagi kata istri yang keluar dari mulut ibu mertuanya itu langsung membuat pipinya memerah.Zola mengatupkan bibirnya dan berkata, “Bagaimana mungkin? Boris hanya bercanda dengan Mama.”“Benar-benar hanya bercanda?”“Iya.”“Kalau begitu kamu tanyakan padanya dia akan belikan untukku, nggak. Dia akan dengar apa yang kamu katakan. Sebagai mamanya, aku nggak bisa atur-atur dia lagi. Sekarang dia suamimu, kamu yang atur dia.”Rosita bertingkah seperti seorang anak kecil. Selesai berkata, dia bahkan mendorong Zola ke depan Boris. Sebenarnya, baik Zola maupun Boris tahu apa yang
“Tentu saja nggak akan marah. Ayo cepat masuk.” Nenek menatapnya sambil tersenyum lembut dan ramah. Kemudian, dia berkata pada Zola, “Zola, pergi ambil air untuk Boris.”“Oke.” Zola langsung pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Saat keluar dari dapur, dia pun melihat neneknya dan Boris sedang mengobrol dengan gembira. Entah apa yang mereka obrolkan.Zola hanya mendengar Boris berkata, “Kalau begitu, dua hari lagi aku akan datang jemput Nenek. Ini nomor telepon aku. Aku sudah simpan di ponsel Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku saja. Aku akan segera datang.”“Hmm, aku sudah ingat. Maaf, sudah repotkan kamu.” Nenek tersenyum tipis sambil menatap Boris dengan tatapan yang tampak puas.Sikap Boris terhadap nenek Zola juga begitu baik. Tidak ada tanda-tanda kesal. Dia bahkan sangat serius dan berhati-hati dalam setiap tindakannya.Boris mengobrol lama dengan nenek Zola. Mereka juga makan siang bersama sang nenek. Zola sendiri yang menyiapkan makan siang. Setelah makan siang dan istira
Zola tidak menyangkal, hanya membalas tatapan pria itu. Namun, entah kenapa, hatinya sakit seperti digigit sesuatu. Boris pun tidak menunggu lebih lama lagi. Dia hanya menatap Zola dengan lekat, lalu melepaskan tangannya yang menahan pintu lift.Kali ini, pintu lift tidak terbuka lagi. Zola berdiri mematung di sana cukup lama. Dia baru sadar ketika melihat lampu indikator lantai menunjukkan lift sudah mencapai lantai pertama.Zola mengerutkan bibirnya. Wajahnya terlihat pucat. Entah sejak kapan, matanya sudah basah. Namun, dia tidak membiarkan air matanya jatuh. Zola terus berkata pada dirinya sendiri di dalam hati, “Cukupkan saja sampai di sini. Sejak awal sudah tahu nggak akan bertahan sampai akhir. Untuk apa bersikeras dan menyiksa satu sama lain?”Zola hanya merasa bersalah pada anak dalam kandungannya. Dia mengangkat tangan dan mengelus perutnya dengan lembut. “Maaf, Sayang.”Zola kembali ke apartemennya sendiri. Setelah mandi sebentar, dia mulai sibuk. Sebelumnya, dia harus menel
Meskipun mulut berkata begitu, ekspresi wajah perempuan itu tampak sedih dan tidak rela untuk pergi.Boris menatap Zola dengan wajah tanpa ekspresi, lalu berkata kepada perempuan itu sambil tersenyum tipis, “Nggak apa-apa. Istriku nggak akan keberatan. Bukankah begitu, Zola?”Zola mengerutkan bibirnya. Kedua matanya menatap lurus manik hitam milik Boris. “Yang penting kamu senang,” kata Zola.“Kamu dengar, kan? Istriku sangat pengertian dan perhatian. Jadi kamu nggak perlu pergi. Kamu duduk saja. Tunggu aku selesai kerja, kita makan siang bareng, oke?”“Oke.” Perempuan itu langsung tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Zola, lalu dia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.Pada saat tatapan Boris kembali tertuju ke arah Zola, raut wajahnya seketika menjadi sedingin es. Bibir tipisnya terkatup rapat hingga membentuk sebuah garis lurus. “Bukannya kamu ingin bahas soal proyek? Ayo!”Perlakuan Boris yang berbeda membuat Zola mengerutkan bibirnya erat-erat. Raut wajahnya yang tenang han
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum