Boris mendengus pelan dan berkata, “Kalau aku bilang nggak sempat, jadi kamu nggak akan bicara?”Zola tidak tahu kenapa Boris terlihat marah lagi. Padahal ini percakapan pertama mereka sejak Zola tiba di Morrison Group. Jadi, Boris tidak ingin mendengarnya bicara? Zola terdiam sesaat. Boris meliriknya dengan acuh tak acuh, lalu berjalan kembali ke ruangannya. Zola segera mengikutinya.Setelah keduanya sampai di kantor Boris, Zola baru berkata dengan suara pelan, “Kamu benar-benar sudah putuskan untuk keluarkan Stonerise dari proyek ini?”“Sejauh ini Stonerise belum memainkan peran apa pun dalam proyek ini. Mereka hanya ingin dapat bagian. Tapi sekarang mereka sudah dapatkan apa yang seharusnya mereka dapatkan. Sudah aturan wajar kalau selanjutnya proyek ini nggak ada hubungannya lagi dengan mereka.”Boris duduk di kursi kerjanya. Kemudian, dia menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya. Karena pria itu sedang merokok, Zola berdiri beberapa langkah dari meja dan tidak mendekat. Namun,
“Kenapa? Kamu nggak bisa? Kalau nggak bisa, kamu telepon dan ngomong sendiri sama Kakek.” Usai berkata, Boris berdiri dari kursinya. Dia mengambil kunci mobil dan melirik ke arah Zola yang masih berdiri diam. “Kalau kamu masih ingat kebaikan Kakek padamu, sekarang ikut aku pergi ke rumah sakit.”Zola hanya tercengang sejenak. Setelah itu, dia mengikuti Boris. Bukannya Zola tidak bisa, dia hanya merasa kaget. Bagaimana Hartono bisa tahu kalau sekarang dia sedang bersama Boris? Zola menggelengkan kepalanya. Tentu saja, dia tidak akan bertanya pada Boris.Setelah tiba di tempat parkir, Zola segera berkata pada Boris, “Aku bawa mobil sendiri ke rumah sakit. Nanti aku harus kembali ke perusahaan, jadi lebih gampang.”Raut wajah Boris menjadi dingin. Dia langsung berhenti dan menatap Zola. “Kalau begitu, untuk apa kamu ke rumah sakit? Kalau aku jadi kamu, aku langsung tolak saja. Aku nggak akan pura-pura jadi cucu menantu yang berbakti.”Zola menatap pria di depannya dengan ekspresi tidak pe
Ada lapisan emosi yang tak terlukiskan menyelimuti hati Zola. Rasa terharu, juga senang. Bahkan keluarga Leonarto tidak bisa melakukan hal seperti ini. Meskipun sang nenek dan Lydia tidak memiliki hubungan darah, mereka menjadi satu keluarga selama bertahun-tahun. Ditambah lagi, sang nenek membantu Lydia merawat Zola selama bertahun-tahun.Setiap kali memikirkan hal itu, Zola merasa sangat sedih. Dia juga akan merasa kesal karena Lydia terlalu kejam. Akan tetapi, dia tidak berani memberitahu neneknya. Mungkin neneknya sudah tahu, hanya tidak mau membicarakannya saja.Zola menundukkan kepala. Matanya berkaca-kaca dan sedikit memerah. “Terima kasih, Ma. Tapi sekarang Nenek lagi sakit. Aku juga nggak tahu dengan kondisinya bisa bawa dia keluar atau nggak. Bagaimana kalau aku coba tanya pendapatnya dulu? Atau tunggu Nenek habis melakukan pemeriksaan kesehatan, aku baru ngomong sama Nenek.”“Zola, kenapa kamu masih saja sungkan sama Mama? Kita satu keluarga, Sayang. Mulai sekarang kamu ngga
Rosita segera memahami maksud Boris. Dia tertawa pelan dan berkata, “Tentu saja mau. Kamu belikan buat Mama?”Boris tersenyum, “Tergantung.”Rosita langsung berhenti bicara. Dia hanya melirik putranya sekilas, lalu berbalik dan memegang lengan Zola. Kemudian, dia berkata dengan nada mengadu, “Zola, lihat dia. Dia bahkan nggak mau bantu aku puaskan hobi kecilku. Kamu istrinya, kamu harus bantu aku.”Zola tercengang, apalagi kata istri yang keluar dari mulut ibu mertuanya itu langsung membuat pipinya memerah.Zola mengatupkan bibirnya dan berkata, “Bagaimana mungkin? Boris hanya bercanda dengan Mama.”“Benar-benar hanya bercanda?”“Iya.”“Kalau begitu kamu tanyakan padanya dia akan belikan untukku, nggak. Dia akan dengar apa yang kamu katakan. Sebagai mamanya, aku nggak bisa atur-atur dia lagi. Sekarang dia suamimu, kamu yang atur dia.”Rosita bertingkah seperti seorang anak kecil. Selesai berkata, dia bahkan mendorong Zola ke depan Boris. Sebenarnya, baik Zola maupun Boris tahu apa yang
“Tentu saja nggak akan marah. Ayo cepat masuk.” Nenek menatapnya sambil tersenyum lembut dan ramah. Kemudian, dia berkata pada Zola, “Zola, pergi ambil air untuk Boris.”“Oke.” Zola langsung pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Saat keluar dari dapur, dia pun melihat neneknya dan Boris sedang mengobrol dengan gembira. Entah apa yang mereka obrolkan.Zola hanya mendengar Boris berkata, “Kalau begitu, dua hari lagi aku akan datang jemput Nenek. Ini nomor telepon aku. Aku sudah simpan di ponsel Nenek. Kalau ada apa-apa telepon aku saja. Aku akan segera datang.”“Hmm, aku sudah ingat. Maaf, sudah repotkan kamu.” Nenek tersenyum tipis sambil menatap Boris dengan tatapan yang tampak puas.Sikap Boris terhadap nenek Zola juga begitu baik. Tidak ada tanda-tanda kesal. Dia bahkan sangat serius dan berhati-hati dalam setiap tindakannya.Boris mengobrol lama dengan nenek Zola. Mereka juga makan siang bersama sang nenek. Zola sendiri yang menyiapkan makan siang. Setelah makan siang dan istira
Zola tidak menyangkal, hanya membalas tatapan pria itu. Namun, entah kenapa, hatinya sakit seperti digigit sesuatu. Boris pun tidak menunggu lebih lama lagi. Dia hanya menatap Zola dengan lekat, lalu melepaskan tangannya yang menahan pintu lift.Kali ini, pintu lift tidak terbuka lagi. Zola berdiri mematung di sana cukup lama. Dia baru sadar ketika melihat lampu indikator lantai menunjukkan lift sudah mencapai lantai pertama.Zola mengerutkan bibirnya. Wajahnya terlihat pucat. Entah sejak kapan, matanya sudah basah. Namun, dia tidak membiarkan air matanya jatuh. Zola terus berkata pada dirinya sendiri di dalam hati, “Cukupkan saja sampai di sini. Sejak awal sudah tahu nggak akan bertahan sampai akhir. Untuk apa bersikeras dan menyiksa satu sama lain?”Zola hanya merasa bersalah pada anak dalam kandungannya. Dia mengangkat tangan dan mengelus perutnya dengan lembut. “Maaf, Sayang.”Zola kembali ke apartemennya sendiri. Setelah mandi sebentar, dia mulai sibuk. Sebelumnya, dia harus menel
Meskipun mulut berkata begitu, ekspresi wajah perempuan itu tampak sedih dan tidak rela untuk pergi.Boris menatap Zola dengan wajah tanpa ekspresi, lalu berkata kepada perempuan itu sambil tersenyum tipis, “Nggak apa-apa. Istriku nggak akan keberatan. Bukankah begitu, Zola?”Zola mengerutkan bibirnya. Kedua matanya menatap lurus manik hitam milik Boris. “Yang penting kamu senang,” kata Zola.“Kamu dengar, kan? Istriku sangat pengertian dan perhatian. Jadi kamu nggak perlu pergi. Kamu duduk saja. Tunggu aku selesai kerja, kita makan siang bareng, oke?”“Oke.” Perempuan itu langsung tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Zola, lalu dia berjalan ke arah sofa dan duduk di sana.Pada saat tatapan Boris kembali tertuju ke arah Zola, raut wajahnya seketika menjadi sedingin es. Bibir tipisnya terkatup rapat hingga membentuk sebuah garis lurus. “Bukannya kamu ingin bahas soal proyek? Ayo!”Perlakuan Boris yang berbeda membuat Zola mengerutkan bibirnya erat-erat. Raut wajahnya yang tenang han
“Kamu sudah boleh pergi.” Boris menatapnya dengan dingin. Suaranya juga menjadi begitu dingin, sama sekali tidak ada kehangatan. Seolah-olah Boris yang sekarang dan Boris beberapa saat yang lalu adalah dua orang yang berbeda. Nada bicaranya begitu tegas, tidak ingin dibantah.Perempuan itu hanya mengerutkan bibirnya, lalu berkata, “Kalau begitu, perihal yang Pak Boris janjikan ke saya ....”“Langsung cari Jesse. Dia akan aturkan untukmu.” Boris menarik kembali tatapannya, tidak melihat perempuan itu lagi. Kemudian, dia menutup matanya dan bersandar di kursi kulitnya. Sedangkan perempuan itu juga langsung meninggalkan ruang tanpa berlama-lama lagi.Perempuan itu adalah selebritas yang cukup terkenal di kalangan media sosial. Manajernya yang menyuruhnya datang ke Morrison Group pagi-pagi untuk bertemu dengan Boris. Kemudian, terjadilah adegan barusan. Perempuan itu tidak berani berangan terlalu tinggi. Dia hanya ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk masuk ke dalam industri hiburan.Set
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me