Di bawah bujukan Tedy, akhirnya Zola setuju. Mereka pernah menjadi suami istri, hanya ulang tahun saja sepertinya keterlaluan jika dia tidak mau merayakannya. Dia menatap Zola sambil mengangguk senang. “Kalau begitu, kita putuskan seperti itu. Nanti kita berangkat sehari sebelumnya. Kita tukaran kontak saja agar bisa saling berkabar jika ada apa-apa.” Setelah itu Zola pergi. Tedy tetap berdiri di tempatnya hingga sosok perempuan itu menghilang. Setelah itu dia baru menghubungi sebaris nomor dan terdengar suara seorang lelaki yang berkata, “Katakan.” “Boris, sikapmu padaku sepertinya terlalu dingin.” “Kalau nggak akan kumatikan.” “Jangan, coba kamu tebak aku barusan bertemu siapa?” Boris diam saja karena tidak tertarik dengan pertanyaan teka-teki seperti ini. Dengan dingin dia berkata, “Jangan basa-basi.” Tedy bisa mendengar nada tidak sabar lelaki itu. Dia tidak lanjut bercanda dan berkata, “Aku barusan ketemu Zola. Aku bilang sama dia tentang ulang tahunmu.” “Dia bilang apa?”
“Santo tahu dan ada interaksi juga dengan Ibu. Jadi, dia nggak keberatan jika Jeni berteman dengan Zola.” “Kenapa dia harus keberatan?” tanya Boris sambil menatap Jesse dengan dingin. Sepertinya dia tidak senang dengan ucapan lelaki itu. Jesse bergegas minta maaf, “Maaf, saya yang salah bicara.” “Sudah, nggak perlu urus keluarga Sianta. Kalau dia berani membawa pengaruh buruk untuk Zola, cepat cari alasan untuk menghubungi keluarga Sianta dan meminta mereka membawa perempuan itu pergi.” “Baik.” Jesse mengangguk mengerti. Malam berlalu dan keesokan harinya Tyara kembali menghubungi Boris. Perempuan itu memberi tahu hasil pemeriksaan pada Boris. “Boris, bagaimana? Kondisi ibuku sepertinya cukup parah. Dokter menyarankan untuk melakukan operasi transplantasi jantung. Kalau nggak, kondisinya akan semakin buruk.” Suara tangisan perempuan itu membuat Boris mengernyitkan keningnya. Dengan ekspresi datar dia berkata, “Karena dokter sudah menyarankan operasi transplantasi, ikuti saja sar
Tyara berkata seperti itu tanpa rasa ragu sedikit pun. Namun, lelaki itu tetap memasang ekspresi tenang dan santun. “Bu Tyara, terima kasih atas peringatannya. Tetapi, urusan perusahaan nggak bisa saya infokan pada Anda. Selain itu, tugas saya saat ini adalah mengurus operasi ibu Anda. Mengenai urusan perusahaan, Pak Boris sudah serahkan pada orang lain. Oleh karena itu, saya hanya nggak bisa menerima kebaikan Anda.” Tyara terlihat tidak senang, tetapi dia tidak berkata apa pun lagi. Jesse keluar dari kamar rawat dan kebetulan bertemu dengan perawat yang membawa hasil pemeriksaan dan memberikannya pada Jesse. Kemudian dia memberi tahu beberapa hal yang perlu dieprhatikan karena kondisi ibunya Tyara cukup khusus. Untuk sementara, tidak ada kondisi yang berbahaya. Namun jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka akan menjadi rumit. Lelaki itu berencana kembali ke kamar rawat untuk memberi tahu. Meski sikap Tyara tidak baik, ini bukan masalah kecil. Dia tidak ingin memperdebatkan
Zola berkata, “Kalau aku ceritakan, aku khawatir akan mengotori pendengaranmu. Lebih baik nggak usah didengar.” Jeni mengerjapkan mata merasa geli dan berkata, “Zola, jangan-jangan kalian melakukan sesuatu yang nggak pantas di mobil, ya?” “Sembarangan bicara saja!” ujar Zola dengan wajah tegang. “Siapa yang tahu aku sembarangan atau nggak? Kalau nggak, kenapa kamu nggak mau kasih tahu aku.” “Kalau kamu sembarangan bicara lagi, malam ini tidur di koridor!” “Zola, kamu marah karena malu? Kamu mau menyingkirkan saksi mata utama?” Zola melirik Jeni sekilas dan tidak ingin menjelaskan apa pun agar tidak makin salah paham. Dia hanya berkata, “Aku hanya ingin bilang jangan memberikan contoh buruk pada anakku.” Jeni langsung membungkamkan mulutnya. Keduannya memilih untuk makan malam di rumah. Namun, tengah malam Jeni terbangun dan merasa kelaparan. Karena Zola masih hamil, dia tidak enak hati untuk meminta perempuan itu bangun dan memasak untuknya. Akan tetapi, dia sendiri tidak bisa m
Tyara mengangguk dan kedua matanya diam-diam tersenyum licik. Boris menemani perempuan itu ke kamar rawat ibunya Tyara. Ibunya terlihat sangat senang. Dia terus berbicara tanpa henti dan berkata, “Boris, kali ini benar-benar berkatmu. Lihatlah kamu mengatur tempat yang begitu baik untukku. Satu harinya pasti mahal, ya?”Kening Tyara berkerut tidak senang. Dia mendelik pada ibunya, tetapi perempuan tua itu hanya fokus menatap Boris tanpa melihat Tyara. Perempuan itu khawatir Boris akan tidak senang. Sehingga bergegas berkata, “Boris, mamaku memang sering berbicara seperti itu. Dia nggak ada maksud lain dan hanya mau menyampaikan rasa terima kasihnya. Tapi karena kurang berpendidikan sehingga ….” “Tante, jangan khawatir dan istirahat saja. Sekarang teknologi medis sudah sangat sangat maju, kondisi Tante nggak termasuk yang terlalu serius. Jadi Tante pasti akan baik-baik saja. Masalah biaya nggak perlu khawatir.”Lelaki itu memotong ucapan Tyara. Dia tidak bermaksud untuk menjawab pere
Tyara menatap Boris dengan mata berkaca-kaca dan raut memelas. Boris hanya berdiri dengan wajah datar dan sebelah tangan yang berada di saku celananya. Dia melirik Tyara dan berkata, “Aku nggak akan peduli dengan apa yang dia katakan. Tapi, kamu sangat tahu seperti apa hubungan kita sekarang, ‘kan?” Genangan air mata di pelupuk mata perempuan itu semakin jelas terlihat. Namun, yang ditangkap oleh mata Zola adalah kedua orang itu tengah berdiri dan saling bertatapan dengan sorot penuh cinta. Dia berdiri tegang dan kaku. Tyara mengatupkan bibirnya dan mendongak untuk menatap Boris sambil berkata, “Boris, apakah kamu nggak bisa menepati janjimu? Kamu bilang akan menikahiku. Kamu mau menarik janjimu lagi?” “Tyara, kamu yakin mau membahas denganku sekarang?” “Tapi aku ingin tahu jawabannya. Aku ingin tahu apa yang sebenarnya kamu pikirkan. Apakah karena Zola sehingga kamu nggak ingin menikah denganku? Boris, aku sudah menjadi seperti ini demi kamu. Aku sudah nggak utuh lagi. Semua masa
Namun, kecepatan pintu lift yang menutup tidak lebih cepat dari gerakan lelaki itu. Ketika pintu lift hendak tertutup rapat, sebuah tangan dengan jari yang ramping menahan pintu lift agar tidak tertutup. Lelaki jangkung itu melangkah masuk dan memaksanya mundur hingga ke sudut tembok. Pintu lift juga tertutup sepenuhnya di detik berikutnya. Samar-samar masih terdengar suara Tyara yang memanggil nama Boris. Namun, perhatian lelaki itu sepenuhnya tertuju pada Zola. Wajahnya yang biasanya muram terlihat dingin dan dengan datar berkata, “Zola, kamu sedang menghindari apa?” Zola meliriknya sekilas dengan sorot dingin. Dia takut jarak di antara mereka terlalu dekat sehingga dia berusaha mendekatkan diri ke dinding lift seolah hendak menyatu dengan tembok besi tersebut. Gerakan tersebut membuat ekspresi Boris semakin dingin. “Zola, aku sedang bicara denganmu. Kamu nggak mendengarnya?” Perempuan itu mengatupkan bibirnya dan mengerutkan kening. Dia mencoba menghindari tatapan Boris. Namun,
Namun, sepertinya sudah cukup lama sejak terakhir kali dia menyentuh perempuan itu. Terakhir kali di mobil, mereka hanya berciuman saja. Ketika kali ini bibir mereka bertemu, Boris merasa ada sebersit perasaan yang bergejolak dalam darahnya. Boris merasa dirinya kehilangan kendali dan lupa bahwa saat ini mereka berada di lift. Ketika pintu lift terbuka, terdengar suara terkejut dari arah luar. Zola juga ikut tersentak dan wajahnya seketika memerah. Kedua tangannya memeras baju Boris dengan erat. “Boris, pergi ….” Mungkin karena responsenya sedikit berlebihan, Boris baru menyadari ada yang aneh. Namun, lelaki itu tidak terlihat malu atau canggung. Wajah tampannya memasang raut tanpa ekspresi dan datar. Dia menatap perempuan dalam pelukannya yang wajahnya memerah. Matanya berkilau seakan memancarkan daya tarik yang luar biasa. Boris merasakan ada sebuah dorongan yang begitu kuat dalam tubuhnya. Meski dia tidak melanjutkan kegiatannya lagi, dia juga tidak menjauh. Zola yang ditatap se
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me