Jesse tidak bergerak dan hanya mengangguk kecil. Detik selanjutnya, pintu mobil di samping mereka terbuka. Boris tampak turun dari mobil tersebut. Dia menatap Zola dengan sorot tajam dan intens. Suaranya tetap tenang meski baru saja terjadi sesuatu di antara mereka. “Masuk, aku antar kalian pulang. Mobilmu biar Jesse yang bawa saja.” Zola mengerutkan kening dan berkata, “Nggak perlu repot. Aku bisa menyetir sendiri.” “Zola, kamu merasa dengan menolak permintaanku, aku akan membiarkanmu menyetir sendiri untuk pergi dari sini?” “Boris!” seru Zola dengan penuh emosi. Dia menatap lelaki itu dengan dingin dan berkata dengan penuh emosi, “Harus aku katakan berapa kali agar kamu mengerti? Kamu merasa aku benaran takut merepotkan? Aku hanya nggak mau kamu yang mengantarku! Sekarang apakah kamu sudah mengerti maksudku?” Boris terkekeh dan tampak tidak peduli. Lelaki itu justru memasang senyum nakal dan berkata, “Ternyata kau bukan robot yang dingin dan nggak berperasaan.” Perasaan lelaki
Kening perempuan itu berkerut. Boris melirik Jeni yang ada di samping mobil dan berkata dengan suara datar, “Nggak bicara berarti kamu berharap aku melanjutkan apa yang aku lakukan di lift rumah sakit tadi?” Wajah Zola seketika memerah. Alisnya menyatu dan dia menatap Boris dengan kemarahan yang begitu jelas. “Kamu benar-benar nggak tahu malu!” “Jadi, apakah kamu akan menyiapkan hadiah untukku?” tanya Boris dengan suara rendah dan serak. “Kamu mengancamku dengan cara seperti ini untuk mendapatkan hadiah? Apakah itu akan membuatmu merasa bangga?” Zola benar-benar tidak habis pikir. Apakah demi sebuah hadiah, lelaki itu rela kehilangan harga dirinya? “Zola, kamu hanya perlu bilang sama aku apakah kamu menyiapkannya atau nggak? Apakah kamu akan peduli dengan aku yang merasa bangga atau nggak?” tanya Boris sambil tersenyum tipis. Matanya terlihat penuh arti dan seluruh tubuhnya seperti semakin mendekat ke arah Zola. Zola sedikit tersentak dan tatapannya menjadi penuh siaga. Napasnya
“Jeni!” Santo luar biasa marah. Nada suaranya terdengar tidak senang dan berkata, “Aku kasih kamu waktu dua hari, kalau nggak, aku yang jemput kamu sendiri!” “Terserahmu! Asalkan kamu nggak takut Chika tahu, kamu datang saja.” “Kamu merasa aku bakalan takut dengan Chika? Kamu mengancamku dengan dia maka aku nggak akan berani ke sana?” “Kamu nggak takut sama Chika, tapi kamu takut sama keluarga Senato.” Begitu Jeni menyelesaikan ucapannya, Santo tidak membalas lagi dan langsung mematikan sambungan telepon. Meski begitu, dia bisa merasakan dengan jelas emosi lelaki itu. Dia duduk di sofa dengan ekspresi muram dan datar. Namun, Jeni tidak menyesal mengatakan kalimat itu. Bagaimana pun, jika sesuatu yang tidak ada hasil maka lebih baik tidak perlu bermimpi untuk diharapkan. ***Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 17 Oktober, hari ulang tahun Boris tiba seperti apa yang sudah dijadwalkan. Zola pagi-pagi sekali sudah dibangunkan oleh suara deringan ponsel. Suara Tedy terdengar dari sebe
Ucapan Zola membuat suasana menjadi tegang. Namun, semua orang hanya diam dan menatap Boris sambil berkata, “Boris, masih terlalu pagi. Bagaimana kalau kita main kartu?” Boris tidak menolak dan melangkahkan kaki bersiap untuk bergabung. Namun, pada saat itu Tyara mulai terisak. Dia menunduk dan berkata dengan pelan, “Boris, maafkan aku. Hari ini adalah ulang tahunmu dan seharusnya menjadi hari yang menyenangkan. Tapi ucapan Zola membuatku sedih. Aku nggak bermaksud begitu dan hanya ingin menyapanya. Aku nggak menyangka akan membuat Zola marah.” Beberapa lelaki di sana saling berpandangan sejenak tanpa ekspresi apa pun. Kedua perempuan itu juga saling berpandangan. Boris hanya mengerutkan kening dengan raut dingin, sedangkan Zola hanya diam saja. Tyara menarik napas dalam-dalam dan berkata, “Zola, kamu nggak senang karena Boris datang bersamaku? Kalau iya, aku minta maaf. Tapi hari ini ulang tahun Boris, aku harap kamu nggak marah sama dia. Kalau kamu masih marah, aku bisa langsung
Jeni dengan penasaran bertanya, “Berarti malam ini bukannya kamu sama Boris?” Zola membaca sekilas dan kemudian mematikan ponselnya. Dia bangkit berdiri untuk pergi ke kamar mandi. Suasana di ruang tamu cukup bagus sehingga setelah selesai dari kamar mandi, Zola tidak berencana untuk mengusik mereka.Dia berjalan keluar dan duduk di ayunan yang ada di taman. Dia memejamkan mata sambil menikmati angin sepoi-sepoi dan merasa sedikit mengantuk. Ketika dia tengah menikmati momen tersebut, Tyara mendekat secara perlahan dan menatap perempuan itu dengan lekat. Detik selanjutnya, Zola membuka matanya hingga kedua pasang bola mata itu saling berpandangan. Dia mengerutkan keningnya dan langsung turun dari ayunan untuk masuk ke rumah. Tyara segera menutupi jalannya dan berkata dengan dingin, “Zola, kenapa kamu masih punya malu untuk datang merayakan ulang tahun Boris? Memangnya kamu nggak mendengar ucapan di rumah sakit? Boris diam artinya mengakui kalau pernikahan ini hanya agar kamu melahir
“Aku nggak ada teman sepertimu. Kamu terlalu suka berkhayal, seharusnya kamu jadi penulis skenario, bukan penyanyi,” sahut Zola dengan datar. Kemudian dia menatap orang-orang sambil berkata, “Daging panggangnya enak, tapi dua hari ini temanku datang jadi aku makan banyak makanan pedas dan tenggorokanku sakit. Ini masalahku sendiri jadi kalian jangan merasa terganggu.” “Kejujuran Zola membuat Tedy mengerti dan berkata, “Nggak apa-apa. Kalau begitu, kamu makan yang lainnya. Makanan panggang memang bisa buat panas dalam.” Sandy juga ikut menimpali, “Ini hanya masalah kecil, jangan terlalu dipikirkan. Ayo kita bersulang untuk yang ulang tahun hari ini. Tyara yang tidak berhasil tampak tidak rela. Tatapannya pada Zola menjadi semakin dingin. Namun, dia tetap mengangkat gelasnya mengikuti ucapan Sandy. Setelah selesai makan, acara api unggun dimulai. Semua orang duduk melingkar dan berbincang sambil minum santai. Saat suasana sudah mulai meriah, mereka bahkan menari bersama. Semua orang
Zola juga kenal dengan Audy, adiknya lelaki itu. Dengan cepat dia berkata, “Oke, kalau begitu kamu pulang dan temani dia. Sudah lama nggak ketemu juga. Dia sudah mau wisuda, ‘kan?” “Iya, tahun depan sudah lulus. Aku berangkat besok pagi, urusan kantor aku serahkan padamu. Ada apa-apa, kamu telepon aku saja. aku paling lambat akan kembali dalam dua hari.” “Nggak apa-apa, kamu temani dia saja,” jawab Zola. Keduanya berbincang sedikit hal terkait perusahaan dan telepon terputus setelah lima menit kemudian. Zola memandangi bulan di luar sana dan berdecak kagum dengan pemandangan di tempat ini. Setelah itu, dia menyimpan ponselnya dan kembali ke ruang tamu. Tedy dan yang lainnya masih bermain kartu. Sedangkan dua orang perempuan tadi hanya menemani mereka. Tidak terlihat Boris dan Tyara. Keningnya berkerut dengan emosi yang mulai membuncah di dadanya. Zola mengeluarkan sebuah kotak kado dari dalam tasnya. Itu adalah kado ulang tahun yang dia siapkan untuk Boris. Zola tersenyum masam me
Tyara membuka mulutnya dan hendak berbicara, tetapi langsung dipotong oleh Boris yang berkata, “Tyara hanya kasih aku hadiah.” Tindakan lelaki itu membuat Tyara terkejut. Dia menatap lelaki itu tidak percaya. Apakah Boris tengah memberikan penjelasan pada Zola? Zola hanya meliriknya datar tanpa berkata apa pun. setelah itu dia berjalan mendekat dan memberikan hadiah di tangannya pada Boris sambil berkata, “Selamat ulang tahun.” Zola tidak menjawab kalimat Boris. Wajahnya yang putih juga tidak terlihat marah. Boris menatapnya lekat dan menerima hadiah tersebut. Kemudian dia langsung membukanya. Di dalamnya terdapat sebuah jam tangan hitam. Meski bukan barang mewah dan bermerek, tetapi dari tampilannya bisa terlihat bahwa jam ini dibuat dengan sangat rapi. Dari posisi Tyara, dia bisa dengan jelas melihat tanda “OH” yang terukir di permukaan jam tangan tersebut. “Ini jam rancangan OH?” OH adalah perancang jam tangan. Ada banyak sekali merk terkenal yang ingin bekerja sama dengannya.
Namun, karya desain bagus saja tidak cukup. Harus memiliki nuansa desain dan gaya yang unik juga agar dapat meninggalkan kesan yang mendalam sekali dilihat orang. Zola membantu revisi dan memberi mereka arah inspirasi baru. Draf desain saat ini sepenuhnya dipoles berulang kali, buat lagi, dipoles lagi.Zola sibuk sampai jam pulang kerja. Dia memeriksa ponselnya, berencana makan di luar bersama Jeni sebelum pulang. Sejak pindah kembali ke apartemen, si bibi belum pernah datang untuk menyiapkan makanan. Zola tidak ingin bertanya dulu. Sedangkan dia sendiri malas mau masak. Jadi dia memilih makan di luar.Namun, baru saja Zola dan Jeni masuk ke mobil dan hendak berangkat ke restoran, ponsel Zola tiba-tiba berdering. Telepon dari Boris.Zola memegang erat ponselnya dan tertegun sejenak, tidak langsung mengangkat telepon, lalu Jeni berkata, “Angkat saja.”Jeni langsung menepikan mobilnya dan menunggu Zola mengangkat telepon. Zola menekan tombol jawab, lalu suara Boris datang dari ujung tele
“Memang medan perang, kan? Bahkan medan perang di dalam sana jauh lebih sulit untuk dihadapi daripada yang di luar,” goda Jeni.Zola tersenyum, lalu dia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Akhir-akhir ini Jerico sedang memulihkan diri di rumah. Setelah mengetuk pintu, Zola membuka pintu dan masuk. Begitu melihat Zola, Jerico langsung bertanya, “Kenapa kamu datang ke sini?”Sikap dingin Jerico membuat Zola diam sejenak, tapi dia sudah terbiasa. Jadi, Zola merasa tidak apa-apa. Dia menatap ayahnya dan berkata, “Ada yang ingin aku tanyakan pada Papa.”Jerico melihatnya sekilas. “Mau tanya apa?”Zola mengerutkan bibirnya. Pada akhirnya, dia segera bertanya, “Aku ingin tanya soal Budi. Budi sudah jadi sekretaris Papa bertahun-tahun. Kenapa dia tiba-tiba berkhianat? Selama ini Papa selalu baik padanya. Apakah dia ada kesulitan atau rahasia yang nggak bisa dikatakan?”Begitu Zola selesai bicara, raut wajah Jerico langsung berubah. Dia memelototi Zola dengan tidak senang.“Zol
Usai berkata, Boris berjalan keluar sambil berkata, “Aku panggil dokter dulu untuk periksa kamu. Nanti sudah boleh keluar dari rumah sakit.”Mata Zola mengikuti sosok Boris. Kata-kata Boris terulang-ulang terus di dalam otaknya. Dibandingkan Sandra yang cerdas, Zola lebih cocok menjadi istri Boris? Maksud Boris, Zola kurang cerdas?Zola yang sedang hamil sama sekali tidak menyadari kalau dirinya sedang melalui proses otak tidak bisa berpikir dengan cepat selama kehamilan. Setelah berpikir lama, dia masih tidak mengerti maksud Boris. Apakah Boris sedang memujinya? Namun, sepertinya itu tidak sepenuhnya memuji.Setelah melalui pemeriksaan, dokter memastikan Zola tidak apa-apa. Semuanya stabil. Dia pun dipulangkan. Boris yang mengantarnya kembali ke apartemen. Sepanjang perjalanan pulang, Zola dan Boris tidak bicara. Karena Boris menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengangkat telepon.Boris tampak sangat sibuk, tapi Boris tetap menemani Zola. Zola memperhatikan wajah Boris dari sam
Zola juga tercengang. Sandra ingin memberi Boris saham? Dia semakin fokus memperhatikan Boris, tidak ingin melewatkan ekspresi apa pun di wajah pria itu. Apakah Boris akan terharu?“Kamu jangan salah paham. Aku nggak ingin lakukan apa pun. Ini bentuk ketulusanku. Kamu tahu, kelak aku akan ambil alih Gordi Group. Tapi aku tahu seberapa besar persaingan dalam dunia bisnis. Aku butuh penopang. Aku tahu kamu nggak ada perasaan apa pun padaku, juga nggak mungkin menikah denganku. Tapi aku butuh kerja sama jangka panjang dengan Morrison Group.”“Ini bukan masalah kecil. Aku belum bisa kasih jawaban.”“Kalau begitu, kamu pertimbangkan dulu.”Boris menutup telepon. Wajahnya tampak dingin. Zola tidak mendengar semua percakapan antara Boris dan Sandra, tapi Zola mendengar jelas setiap kata yang Boris ucapkan. Setelah panggilan telepon berakhir, Boris meletakkan ponselnya. Dia spontan melihat ke arah Zola. Tidak disangka, Zola sedang memperhatikannya. Saat mata keduanya bertemu, Zola sama sekali
Zola menyadari kalau dirinya semakin tidak memahami Mahendra, bahkan boleh dibilang dia merasa seperti tidak pernah memahami pria itu sebelumnya. Apa tujuan Mahendra melakukan hal ini?Zola tidak bisa menemukan jawaban yang masuk akal. Jadi dia tidak menanggapi pertanyaan Boris. Suasana pun menjadi sunyi senyap. Sesaat kemudian, ponsel Boris berdering. Sandra yang meneleponnya.“Kamu nggak di kantor?”“Ada urusan?”“Iya, ada sedikit urusan. Soal proyek kerja sama. Aku baru saja dapat kabar, ada perusahaan real estate asing yang berencana datang ke Kota Binru untuk berinvestasi. Kalau kita bisa dapatkan kerja sama ini, itu akan sangat membantu untuk go public nanti. Jadi kamu mau pertimbangkan, nggak?”Meskipun Morrison Group merupakan sebuah perusahaan besar, sampai saat ini Morrison Group belum mendaftarkan diri ke bursa efek. Baik Boris maupun keluarganya tidak peduli dengan hal itu. Jika Morrison Group mau go public, pasti sudah go public sejak kepemimpinan Hartono. Namun nyatanya t
Setiap kali memikirkan hal itu, Boris pasti berpikir kalau Zola ingin berpisah dengannya demi Mahendra. Akan tetapi, pesan Guntur terngiang kembali di benaknya. Sekarang Zola tidak boleh emosi, harus tetap dalam suasana hati yang baik. Sehingga kata-kata yang sudah sampai di ujung bibirnya akhirnya ditelan kembali.Zola menatap Boris, mengira pria itu ingin mengatakan sesuatu lagi. Jadi dia menatap Boris dalam diam. Kata-kata Boris barusan membuat Zola merasa hatinya seperti dicengkeram dengan erat hingga membuatnya sulit bernapas.Namun, beberapa saat berlalu. Boris tak kunjung bicara. Zola menatapnya dengan bingung dan berkata, “Mau ngomong apa ngomong saja.”Sikap Boris melembut, tidak sekeras tadi. Dia menatap Zola sambil berpikir keras. Kemudian, dia menanyakan keraguan yang selalu Boris sembunyikan di dalam hatinya.“Aku hanya mau tanya satu hal. Katakan padaku, apakah kamu pernah pacaran dengan Mahendra?”Zola mengerutkan kening, tampak semakin bingung. “Boris, sebenarnya apa ya
“Oke, aku mengerti.” Boris menjawab dengan serius, seperti seorang murid yang penurut.Guntur jarang melihat reaksi seperti itu dari Boris. Dia spontan tertawa dan berkata, “Baguslah kalau kamu bisa bekerja sama seperti ini. Kakek dan orang tuamu belum tahu. Perlu beritahu mereka?”Boris menatap Guntur dan bertanya balik, “Menurutmu?”Guntur terus tertawa. “Oke, oke, aku mengerti. Kalau begitu aku kerja dulu. Kamu temani Zola. Kalau dia bangun, dia boleh sarapan.”Boris menganggukkan kepala. Guntur pun pergi. Beberapa menit kemudian, Zola membuka matanya dan mendapati dirinya sedang berada di rumah sakit. Dia spontan mengangkat tangannya dan memegang perutnya. Setelah merasakan perutnya yang buncit, dia baru merasa lega.Zola ingat Jeni mengantarnya ke rumah sakit dan dia diperiksa oleh dokter. Namun saat itu, dia benar-benar sudah terlalu lelah. Dokter juga memberinya obat yang boleh diminum ibu hamil. Jadi dia tidur sampai sekarang baru bangun.Zola bangun dan duduk. Begitu duduk, di
Boris punya kebiasaan marah ketika dibangunkan dari tidurnya, apalagi kalau dibangunkan secara tiba-tiba. Akan tetapi, sebelum dia bisa melampiaskan kekesalannya, suara yang masuk telinganya langsung membuat matanya terbelalak lebar.“Zola lagi di UGD rumah sakit?” tanya Boris dengan suara serak.“Kamu nggak tahu?”“Kenapa dia ke rumah sakit jam segini?”Boris mengangkat selimutnya dan turun dari tempat tidur. Sambil mengganti pakaian, dia bertanya kepada Guntur dengan wajah serius. Guntur bilang kalau muridnya yang melihat Zola. Zola baring di ranjang pemeriksaan, sepertinya baru selesai diperiksa. Dia masih belum tahu bagaimana situasi jelasnya.Boris tidak banyak bicara. Setelah menjawab singkat, dia langsung menutup telepon. Wajah tampannya tampak tegang. Rahangnya mengeras sampai seolah-olah bisa hancur kapan saja. Dia bahkan tidak sempat memakai sepatu lagi. Dia langsung mengambil kunci dan keluar.Boris mengebut sepanjang jalan. Dia mencoba menghubungi ponsel Zola, tapi Zola tid
Manusia sangat mudah membiasakan diri. Begitu sudah terbiasa, manusia bisa saja melupakan semua hal negatif yang pernah dialaminya sebelumnya.“Apakah aku sudah kehilangan diriku sendiri?” tanya Zola kepada Jeni.Jeni memikirkannya dengan serius. “Sayang, kalau kamu sudah mempertanyakan apakah kamu sudah kehilangan dirimu sendiri, menurutku kamu benar-benar perlu merenungkan diri dulu.”Karena kata-kata Jeni barusan, Zola pun jadi berpikir keras. Benar, dia bahkan sudah mempertanyakan dirinya sendiri. Apa yang akan dipikirkan orang lain?Zola bangun dan duduk di sofa, lalu berkata dengan yakin, “Aku percaya aku masih diriku yang dulu. Aku nggak akan kehilangan diri sendiri demi siapa pun.”“Ini baru betul.”Keduanya saling menatap dan tersenyum. Di malam hari, Zola rela mengeluarkan uang mentraktir Jeni makan mie, sebagai penghargaan kepada Jeni karena telah memberinya pencerahan dan semangat. Saat itu, Jeni merasa sangat kesal. Ingin rasanya memarahi Zola.Zola justru berkata, “Maklum