“Secantik apa?” tanya Zola sambil tersenyum. Dia menatap Caca yang terlihat ingin tahu sambil tersenyum.Caca juga berpikir dengan serius dan berkata, “Nggak kelihatan muka dan pakai masker serta topi. Tapi aku melihat matanya. Seharusnya dia lumayan cantik. Tapi aku merasa suaranya sedikit familier. Sepertinya pernah dengar di suatu tempat. Apakah dia mungkin penanggung jawab dari salah satu perusahaan yang bekerja sama dengan kita?”“Kamu ingin tahu?”“Bu Zola tahu rahasianya? Boleh beri tahu aku? Aku janji nggak akan bilang sama orang lain. Aku pasti akan jaga rahasia,” ujar Caca sambil melebarkan mata antusias.“Kalau kamu begitu penasaran, kamu tanya saja langsung pada Pak Mahendra ketika dia kembali.”“Sepertinya itu nggak baik,” ujar Caca.Zola tersenyum tak berdaya dan berkata, “Cukup, cepat pergi kerja. Kalau masih gosip saya akan memotong gajimu.”Mendengar ancaman itu membuat Caca langsung merapatkan bibirnya dan kembali bekerja. Zola menahan senyum ketika melihat punggung p
Mahendra tersenyum tipis dan bertanya, “Benaran ingin tahu? Apakah kamu berharap aku segera mendapatkan kekasih?”“Tentu saja nggak,” jawab Zola karena khawatir lelaki itu salah paham. Dia bergegas menjelaskan, “Hanya perhatian denganmu. Kalau kamu merasa sekarang nggak berkenan, maka jangan membahasnya.”Zola tidak bertanya lagi karena bagaimana pun setiap orang membutuhkan privasi yang tidak ingin dibahas. Dia yang sudah melanggar batas. Mendadak suasana di sekitar mereka menjadi tenang.Mahendra terus menatap Zola dan berkata, “Zola, aku bukan nggak mau memberitahumu. Kamu seharusnya pernah bertemu dengannya tapi nggak familier. Tapi aku dan dia juga nggak ada kemungkinan, makanya aku merasa nggak perlu cerita.”“Oke, aku tahu.”Zola mengangguk dan mereka saling tersenyum. Mahendra bergegas mengalihkan pembicaraan dan berkata,“Stonerise sudah menghubungiku beberapa kali di pagi ini. Mereka terus menanyakan kapan proyek akan dilanjutkan. Zola, apa pendapatmu terkait perkembangan sek
Zola hanya tersenyum dan tidak berkata apa pun. Perempuan itu terlihat patuh, tetapi dalam dirinya tersimpan sifat nakal dan pemberontak.Setibanya di restoran, keduanya duduk di meja yang ada di samping jendela. Setelah duduk, Jeni berkata, “Satu tahun lebih nggak bertemu, kenapa aku merasa kamu berubah berbeda?”“Apa yang berbeda?”“Sulit dijelaskan, hanya perasaanku saja ketika melihatmu berbeda. Mungkin karena sudah terlalu lama nggak bertemu. Belakangan ini aku akan bersamamu dan menghabiskan waktu untuk mempererat hubungan kita.”Zola tersenyum dan berkata, “Boleh, asalkan kamu jangan kabur saja.”“Cih! Kamu meremehkan siapa?”Keduanya berpandangan dan tertawa. Sesaat kemudian, makanan mereka datang dan mulai makan. Mereka mulai makan sambil membicarakan tentang berbagai makanan lezat dan berbagai kejadian dalam kehidupan mereka. Meski selama setahun tidak bertemu, mereka kerap saling berkomunikasi.“Aku bisa tinggal di rumahmu? Bagaimana pun kamu sekarang sudah menikah.”Zola me
Namun, ketika Zola menyaksikan semua itu dengan matanya sendiri, dia sadar bahwa hatinya hanya merasakan sakit yang samar dan sangat singkat. Selain itu, dia tidak merasakan keinginan untuk mendekat dan meminta penjelasan atau mengusik mereka.Perempuan itu tersenyum tipis. Dia menarik tatapannya dan bersiap untuk pergi bersama Jeni. Namun ternyata Jeni lebih dulu berkata, “Zola, jauhi lelaki berengsek. Sudah menikah tapi masih cari perempuan di luar, cepat tinggalkan saja!”“Kamu begitu cantik dan pasti mendapatkan lelaki yang kamu inginkan. Kamu nggak tahu betapa menariknya adik-adik lelaki zaman sekarang? Sekarang mereka sangat menyukai penampilan dan tubuh seorang kakak sepertimu.”Tidak akan ada orang yang bisa menghentikan ucapan Jeni jika bukan keinginannya sendiri. Ketika Zola ingin menghentikan ucapannya, ternyata sudah terlambat. Boris dan Tyara sudah mendengarnya dan menoleh ke arah mereka.Mata Zola menyipit dan dia membalas tatapan lelaki itu tanpa menghindar. Namun, hanya
Boris tidak langsung menjawab. Setelah beberapa detik, dia membuka kelopak matanya dan menatap ke arah luar jendela. Tyara masih berdiri di sana. Dia menyipitkan matanya dan berkata dengan dingin, “Cari dua orang dan jaga di sini secara bergantian. Coba lihat dia ada bawa orang lain ke sini.”“Baik, saya mengerti.”Setelah itu, mereka pergi meninggalkan tempat tersebut setelah manajer Tyara sudah tiba. Namun, lelaki itu tidak kembali melainkan setelah mobil berjalan sejenak, dia berkata, “Berhenti di sini, kamu sudah boleh pulang.”Kemudian Boris turun dan duduk di balik kemudi. Dia membawa mobil tersebut melaju pergi dan meninggalkan Jesse yang berdiri di sana seorang diri. Dia kembali ditinggalkan begitu saja di tepi jalan.***Di dalam apartemen tampak Zola dan Jeni tengah duduk santai di sofa ruang tamu. Jeni menyapu pandangannya ke sekeliling dan berdecak sambil berkata, “Zola, kenapa kamu nggak mau tinggal di vila luas dan sewa apartemen sederhana seperti ini? Seharusnya kamu usi
“Tentu saja nggak,” ujar Zola dengan tenang dan yakin.“Bagus kalau begitu,” jawab Jeni dengan puas.Zola bertanya dengan tidak mengerti, “Kamu sepertinya nggak suka dengan dia? Seingatku, kalian nggak pernah bermusuhan, ‘kan?”“Sangat bermusuhan! Aku hanya nggak suka dengan orang ini. Aku merasa dia nggak konsisten. Jelas-jelas menyukaimu, tapi karena takut ditolak makanya berpura-pura jadi sahabat saja. Apa kamu nggak merasa itu terlalu palsu?”Jeni terlalu jujur dan terus terang hingga membuat Zola tidak tahu harus berkata apa. Perempuan itu tidak akan sembarangan mengkritik sifat seseorang. Namun, karena Mahendra banyak membantunya, sehingga Zola memutuskan untuk diam saja.Mungkin Jeni menyadari hal itu dan berkata dengan tenang, “Zola, aku bukannya mau ikut campur dalam hal pertemananmu. Aku hanya ingin menyampaikan pemikiranku saja. Kalau kamu memang mau bersamanya, aku akan mendukungmu selama kamu bahagia. Aku ….”“Nggak akan, tenang saja,” potong Zola kemudian tersenyum sambil
“Pak Boris, apa kamu berpikir aku sedang membohongimu? Meski aku membohongimu, apakah kamu nggak merasa kalian harus menjaga jarak karena kalian berdua sudah mau cerai?”Ekspresi Boris seketika menggelap ketika mendengar kata “cerai”. Kedua bola matanya memancarkan sorot yang luar biasa dingin. Dia menatap Jeni dengan lekat dan berkata, “Ini urusanku dengan dia. Cerai hanya pengajuan sepihak dari dia dan aku nggak setuju.”“Pak Boris, karena kamu belum cerai tapi sudah menemukan pengganti dan sudah bertemu dengan orang tua, apakah itu sedikit melanggar hukum? Jika itu menurutmu, apakah Zola juga boleh mulai mencari pengganti?”Mata Boris menyipit dan mendadak menjadi nyalang. Ekspresi wajahnya terlihat sangat dingin. Jeni hanya berkata dengan datar, “Pak Boris, aku hanya mengatakan yang sejujurnya. Kamu nggak akan marah karena malu, ‘kan?”“Minta Zola keluar atau kamu yang minggir dan aku masuk.”“Nggak boleh. Aku sudah bilang Zola lagi mandi, sebaiknya kamu pergi saja.”“Kamu temannya
Zola menatap lelaki itu dan tanpa menunggu jawaban dari Zola, Jeni langsung menutup pintunya. Dia mengunci Boris di depan pintu begitu saja.“Pak Boris, sebaiknya kamu segera pergi. Kalau sampai masuk berita utama, Bu Tyara itu pasti akan diserang lagi.”Zola tidak bisa menahan tawanya. Jeni meliriknya dan menarik perempuan itu ke ruang tamu sambil berkata, “Semua orang sudah membicarakan kalau kalian berdua sudah cerai dan dia masih nggak mengerti untuk menjaga jarak.”“Di saat seperti ini masih mau tetap berhubungan dengan Tyara. Menurutmu, dia nggak mau cerai tetapi nggak mau melepaskan Tyara. Apakah dia sengaja ingin membuatmu marah?”“Apakah kamu nggak terbalik? Kamu nggak boleh memutar balikkan fakta karena kamu temanku. Jelas-jelas dia sengaja membuat Tyara marah dengan menggunakan aku.”Zola tersenyum masam dan tidak menyampaikan kepiluan hatinya. Jeni hanya menghela napas dan memeluk pundak teman baiknya itu dan bergumam, “Menangislah, setelah itu semuanya akan baik-baik saja.
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me