Pasti ada sebabnya mengapa sebuah proyek yang sudah berjalan, bahkan berjalan dengan baik, tiba-tiba terhenti.Mahendra tetap berkata dengan nada cemas, “Barusan Pak Wanto telepon dan beritahu aku. Dia nggak bilang alasannya. Hanya bilang perintah dari atasan.”Perintah dari atasan? Siapa maksudnya? Zola mengerutkan bibirnya. Sorot matanya menjadi dingin. “Oke, aku mengerti.”“Zola, apakah Boris melakukan ini agar kamu nggak cerai dengannya?” Pada akhirnya, Mahendra tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.Zola tidak menjawab, dia hanya berkata, “Pihak Stonerise mungkin juga sudah tahu. Kita lihat apa yang mereka katakan dulu.”Mahendra tidak terus menuntut jawaban Zola. Dia hanya bergumam pelan dan berpesan, “Zola, jangan panik dulu. Aku coba cari tahu dulu apa alasannya.”“Oke, maaf sudah merepotkan kamu.”Setelah menutup telepon. Zola menjatuhkan ponselnya dan turun dari tempat tidur. Dia membuka tirai jendela kamar tidurnya dengan wajah tanpa ekspresi. Dia melihat cuaca yang b
Kamu yang hentikan proyek kerja sama?”“Iya, aku.”Boris tidak berniat menyembunyikan atau menyangkal. Dia menjatuhkan pena di tangannya dan bersandar di kursinya. Kemudian, dia mengambil sebatang rokok dan menyalahkannya. Sikapnya begitu acuh tak acuh.Zola menyipitkan matanya. Raut wajahnya sedikit membeku. Sebenarnya dia sudah memenangkan diri ketika menunggu di luar. Namun sekarang, rasa tidak senang dan amarah di dalam hatinya meluap kembali ketika dia melihat sikap Boris. Dia berusaha menahan rasa kesalnya dan bertanya, “Boris, kenapa kamu lakukan ini? Bukan hanya aku yang dapat keuntungan dari proyek ini. Stonerise juga mengandalkan proyek ini untuk membayar seluruh karyawannya tahun ini. Pada akhirnya, yang rugi bukan hanya aku dan Stonerise. Morrison Group juga.”Raut wajah Boris berubah sedikit, tapi tidak ada banyak reaksi. Sikapnya tetap acuh tak acuh. “Nggak ada alasan. Aku hanya merasa nggak puas dengan proyek ini dan nggak mau bekerja sama lagi.”Hanya merasa tidak puas
Boris menggertakkan giginya, membuat rahangnya mengeras, benar-benar seperti akan hancur pada detik berikutnya. Matanya yang hitam juga begitu dingin.Boris menyipitkan mata dan berkata, “Keluar dari sini mumpung aku nggak ingin lakukan apa pun padamu.”Akan tetapi, Zola tetap berdiri di tempat, sama sekali tidak bergerak. Tampaknya dia juga tidak berniat pergi.“Karena aku nggak bisa yakinkan kamu untuk teruskan kerja sama, aku seharusnya punya hak untuk suruh kamu tandatangani surat gugatan cerai yang aku kirimkan ke kamu dan bawa pergi surat itu, bukan?”“Zola, kamu nggak mengerti apa yang aku katakan? Kamu benar-benar ingin buat aku marah?”“Boris, bukannya kamu bilang kamu nggak ingin lihat aku lagi? Kalau begitu cepat tandatangani surat itu dan selesaikan perceraian kita. Dengan begitu, aku nggak akan pernah muncul di hadapanmu lagi dan buat kamu kesal.”“Zola!” Boris meneriakkan nama Zola dengan suara berat dan serak. Hanya satu kata, tapi terasa jelas betapa marahnya dia saat i
Di saat ada kesempatan, Zola berkata dengan suara dingin, “Tyara, seharusnya orang yang paling senang ketika aku mengajukan cerai adalah kamu, ‘kan?” Kenapa? Apa kamu nggak ingin menikah dengannya? Kalau begitu, aku bisa menarik kembali keputusanku. Tapi kamu jangan menyesal.”“Kamu berani?!” seru Tyara dengan mata terbelalak.Zola hanya tersenyum sinis dan berkata, “Jangan coba-coba memprovokasiku. Kalau nggak, aku juga nggak bisa menjamin apa yang akan aku lakukan. Kamu juga sudah lihat kalau dia yang nggak mau cerai. Jadi, menurutmu seberapa besar peluangmu untuk bersaing denganku?”Wajah Tyara membeku, tetapi dia tetap berusaha tenang sambil berkata, “Apa yang bisa kamu banggakan? Boris nggak setuju cerai denganmu karena ingin kamu melahirkan anak saja. kamu pikir kamu….”“Aaaa!” Tyara berteriak di lorong lift yang sepi. Ucapannya belum selesai diselesaikan, tetapi Zola tiba-tiba meraih kerahnya dan mendorongnya ke dinding. Dengan mata yang tampak dingin dia berkata, “Coba ulangi s
“Bu Tyara mengatakan beberapa hal yang nggak menyenangkan dan membuat Ibu marah sehingga memukulnya.”Meski Jesse tidak melihatnya secara langsung, dia juga bisa menebaknya. Mungkin karena dia sudah setahun mengenal Zola dan tahu bahwa perempuan itu tidak akan memulai konflik dengan tanpa alasan.“Apa dia terluka atau lumpuh?” tanya Boris dengan dingin.“Nggak, Ibu hanya memberikan peringatan pada Bu Tyara.”Ekspresi Boris semakin dingin dan berkata, “Mulai hari ini, kamu nggak perlu lagi melaporkan semua tentang Zola pada saya.”Kali ini Jesse dibuat tercengang. Namun, dia tetap mengangguk dan menjawab, “Baik, Pak.”Apakah benar-benar tidak perlu melaporkan apa pun lagi? Jesse merasa ragu tetapi pada akhirnya dia tidak berani bertanya dan langsung keluar dari ruangan.Karena keputusan Boris, kini perusahaan Zola dalam keadaan krisis. Karena proyek ini menarik perhatian banyak pihak. Kabar tentang Boris mengakhiri kerja sama karena Zola membuat situasi semakin tegang.Pemilik Stonerise
Suaranya begitu tajam tanpa sedikit pun nada untuk bernegosiasi. Bahkan Hartono sampai terbatuk-batuk. Dimas mengulurkan segelas air dan berkata, “Pa, marahnya pelan-pelan saja. Karena dia sudah kembali, Papa marah sampai puas.”Zola yang berdiri di ambang pintu ruang makan langsung tertegun. Wajahnya tampak kebingungan karena tidak tahu apakah dia harus maju atau mundur. Dia hanya bisa berdiri di sana tanpa bergerak. Dengan pelan dia berkata, “Kakek, Papa, Mama….”Lydia yang lebih dulu melihat Zola. Matanya membesar dan langsung bangkit berdiri menggandeng tangan perempuan itu.“Pa, Zola pulang,” ujarnya. Kemudian dia lanjut menjelaskan, “Zola, Kakek pikir Boris yang pulang. Kakek nggak memarahimu, kamu jangan memasukkannya ke hati.”Zola mengangguk pelan dan tersenyum sambil menjawab, “Bagaimana mungkin.”Hartono juga ikut tertegun, tetapi begitu melihat Zola dia langsung merasa iba. Lelaki tua itu melambaikan tangannya dan meminta Zola duduk di sisinya. Setelah itu dengan pelan dia
Waktu sudah pukul sebelas malam lewat. Wajahnya yang tampan memancarkan aura dingin dan membuat Zola bisa merasakannya dengan jelas. Kedua pasang bola mata itu saling berpandangan.Boris menyipitkan matanya dan bertanya, “Kenapa? Sekarang aku bahkan nggak diizinkan masuk?”Zola juga menjawab dengan nada yang sama, “Waktu sudah larut, kamu istirahat lebih awal saja.”“Jadi benar-benar nggak berencana membiarkanku masuk? Zola, jangan lupa kalau sekarang kita masih suami istri.”“Boris, pagi tadi kamu bilang nggak mau berurusan terlalu banyak denganku dan nggak mau melihatku. Sekarang kamu mau menarik ucapanmu sendiri?”“Zola, aku tanya sekali lagi. Kamu nggak mau membiarkanku masuk?”Boris berdiri tegak di depan pintu. Suaranya terdengar dingin dan penuh kemarahan, Zola menatapnya dan berkata, “Kalau aku nggak membiarkanmu masuk, apakah kamu akan membuat perusahaanku menghilang dari Kota Binru besok pagi?”“Bagaimana mungkin? Masih ada Kakek dan orang tuaku yang membelamu. Jadi apa yang
“Sebenarnya Boris nggak mencintai Zola. Pernikahan mereka hanya paksaan dari keluarga masing-masing. Sekarang di hadapan cinta sejatinya, dia sudah nggak peduli pada yang lainnya lagi.”“Kenapa nggak ada tanggapan? Apakah mereka mengakui perceraiannya?”“Pasti iya. Morrison Group nggak mengeluarkan pernyataan apa pun.”Berbagai komentar terus bermunculan. Baik Boris atau pun Morrison Group serta keluarga Morrison tidak memberikan respons apa pun. Zola menutup halaman tersebut dan dalam hatinya terus bertanya dengan maksud dari sikap Boris yang diam ini.Namun, sebelum dia mengerti maksud Boris, keluarga Leonarto sudah meledak. Belakangan ini mereka baru saja menikmati puncak popularitasnya. Namun tiba-tiba jatuh ke dalam krisis setelah berita perceraian tersebut tersebar. Perusahaan yang sebelumnya mendukung Leonarto Group kini berbalik mengecam dan membatalkan kerja sama.Orang tua Zola langsung menghubunginya dan meminta dia segera pulang ke rumah. Sebenarnya Zola tidak ingin pulang.
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me