Setelah setengah jam perjalanan, mobil Tedy berhenti di bawah sebuah gedung apartemen. Saat ini sudah lewat tengah malam. Semua tempat sudah sepi.Tedy dan sopirnya membawa Boris keluar dari mobil, lalu memapahnya pelan-pelan ke dalam lift. Boris merasa pusing. Dalam kondisi linglung, dia berkata dengan suara serak, “Ini bukan Bansan Mansion.”“Kamu mau pulang ke Bansan Mansion dan tidur sendiri?” tanya Tedy sambil tertawa pelan.Boris mengerutkan kening, “Apa urusannya denganmu?”“Oke, bukan urusanku. Kalau begitu, aku antar kamu pulang ke sana?” Tedy menekan tombol lift, lalu menyeret Boris ke dalam lift. Dia sudah cari tahu lantai dan nomor unit saat masih dalam perjalanan ke sini.Lantai 18, unit 101.Setengah menit kemudian, pintu lift terbuka. Tedy memapah Boris ke depan pintu. Setelah itu, Tedy menekan tombol bel, lalu melihat ke arah Boris dan berkata, “Kalian berjodoh atau nggak, tergantung dia mau buka pintu atau nggak.”Baru saja Tedy selesai berkata, pintu di depannya terbu
Zola tidak lagi bicara. Dia langsung berdiri hendak kembali ke kamarnya. Terserah Boris mau melakukan apa. Namun, baru saja Zola berdiri, dia bahkan belum mengambil langkah, tiba-tiba sebuah tangan besar meraih pergelangan tangannya.“Zola, kita suami istri. Di sini juga ada separuh tempatku,” kata Boris.Zola tidak berdaya, “Boris, aku sewa rumah ini dengan uangku sendiri.”“Zola, kamu sangat benci aku? Kenapa kamu begitu ingin bercerai?” tanya Boris dengan suara serak.Zola tertegun sejenak, berdiri diam mematung di sana. Jantungnya berdetak kencang seolah ada sesuatu yang menggerakkannya. Ada perasaan yang tidak terlukiskan.Bagaimana mungkin Zola membenci Boris? Justru karena dia khawatir dia tidak akan bisa membenci Boris, makanya Zola memilih pergi di waktu yang paling tepat. Namun, mengapa Boris tidak mau melepaskannya? Jelas-jelas Boris yang lebih dulu mengatakan kalau dia ingin bercerai.Zola mengatupkan bibirnya rapat, sambil berusaha mengendalikan emosinya. Sikap diam Zola m
Zola menarik tangannya dan berencana untuk pergi. Namun, Boris memasang raut wajah cemberut dan berkata dengan kesal, “Kamu bantu aku.”“Boris, jangan berulah, oke?”Zola mengerutkan kening tidak senang. Boris juga tertegun sebentar, lalu wajah tampannya memancarkan kesedihan. Dia menunduk dan menatap Zola, lalu berkata dengan suara pelan, “Bantu aku mandi, ya?”Suara magnetis pria itu sangat mempesona, bisa meluluhkan hati orang, yang membuat Zola seketika berpikir sejenak. Sebelum Boris datang, Zola sudah tidur. Jadi dia hanya mengenakan piyama katun polos. Namun, pada dasarnya Zola sudah begitu cantik. Kulitnya putih dan berkilau. Dia tampak lebih cantik lagi di bawah cahaya lampu.Zola memejamkan mata. Seperti ada sesuatu di dalam hatinya yang membesar sedikit demi sedikit. Dia hanya menatap pria di depannya dengan tenang. Tepat ketika dia hendak bicara, Boris tiba-tiba menariknya ke dalam bathtub.“Kalau kamu nggak mau bantu aku, ayo kita mandi bareng,” kata Boris.Saat Zola sadar
Zola berhenti sebentar, tanpa sadar mengerutkan kening sambil menatap pria itu. Kejadian di kamar mandi masih terpatri jelas dalam pikirannya. Oleh karena itu, dia langsung menolak tanpa berpikir, “Aku telepon Jesse, suruh dia ke sini.”Usai berkata, Zola langsung mengulurkan tangan hendak mengambil ponsel. Pada detik berikutnya, dia melihat Boris mengangkat tangan dan menarik kancing kemejanya. Satu per satu kancing jatuh ke lantai, menimbulkan suara yang terdengar jelas di kamar yang sunyi. Sesaat kemudian, Boris juga melepaskan kemeja itu dari tubuhnya.Zola melirik tubuh Boris. Tubuh berotot dengan garis otot yang terlihat jelas terpampang begitu saja di depannya. Selain itu, masih ada tetesan air di wajah tampan Boris, membuatnya terlihat seksi.Meskipun kata seksi lebih banyak digunakan untuk menggambarkan perempuan yang memiliki bentuk badan bagus. Saat ini, Zola merasa itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan Boris. Zola berdehem pelan, lalu segera mengalihkan tatapannya.
Boris mengalami demam tinggi karena berendam dalam air selama beberapa jam. Pikirannya menjadi linglung, dia tidak punya tenaga untuk berpikir. Dia hanya melirik Zola sebentar dan berkata, “Aku nggak mau ke rumah sakit.”Zola mengerutkan kening, “Kalau kamu nggak mau pergi ke rumah sakit dan biarkan demam tinggi begini terus, nanti otakmu rusak.”“Kenapa aku bisa demam?” tanya Boris.Zola langsung membisu. Boris berkata lagi, “Aku demam gara-gara kamu. Kalau begitu, kamu harus rawat aku sampai demamku turun. Zola, kita suami istri. Kalau suami sakit, istri yang harus jaga dia. Bagaimana menurutmu?”Zola hanya menghela napas tanpa suara, tidak sanggup berkata apa-apa. Karena Boris menolak untuk pergi, Zola juga tidak punya cara untuk mengusirnya. Bagaimanapun juga, pria itu demam memang karena kesalahannya. Zola bisa saja tidak merawatnya, juga bisa tidak membiarkan Boris datang ke apartemen. Namun karena Boris sudah berada di apartemennya, juga dalam kondisi mabuk, jadi Zola sudah seha
“Aku akan tinggal di sini selama beberapa hari, sampai demamku turun sepenuhnya,” kata Boris dengan lantang.“Boris, jadi kamu nggak berniat tanya pendapatku dulu? Kamu langsung putuskan secara sepihak nggak peduli aku setuju atau nggak?”Lihat saja, Boris masih saja seperti ini. Zola merasa tidak berdaya, bahkan dia merasa lelah dengan sikap Boris.Boris justru berkata, “Zola, sekarang aku masih demam. Kamu tetap suruh aku pulang dan hidup sendiri? Siapa yang bisa tahu kalau tengah malam nanti aku demam lagi sampai nggak sadarkan diri? Atau kamu merasa nggak masalah kalau aku terkena infeksi yang sampai mengancam nyawa? Kalau benar begitu, aku akan pergi sekarang juga. Aku tahu sekarang aku sudah ganggu ketenanganmu. Jadi aku tinggal di rumah Kakek saja. Kalau Kakek tahu alasan aku demam, dia juga nggak akan salahkan kamu.”“Cukup.” Zola membentak tak berdaya untuk menghentikan Boris bicara lagi. Dia sungguh tak sanggup mendengarnya lagi. Boris hanya demam, bagaimana dia bisa terkena
Zola tertegun sejenak. Meskipun dia memang tidak ingin Boris tinggal di sini, dia tidak pernah berpikir tidak mau merawat pria itu.Namun, Zola tidak berkata apa-apa. Dia hanya menatap Boris dan berkata dengan nada acuh tak acuh, “Kalau nggak mau pergi ke rumah sakit, suruh dokter datang untuk infus saja. Kalau dibiarkan demam terus bisa kena radang paru-paru.”“Kalau begitu suruh Dokter Guntur ke sini.” Usai berkata, Boris memejamkan matanya lagi.Zola keluar dari kamar dan menelepon Guntur. Setengah jam kemudian, Guntur tiba di sana. Boris sedang baring di tempat tidur, tampak lemah dan tidak bertenaga. Guntur memeriksanya sebentar, lalu berkata, “Banyak istirahat, juga harus banyak minum air putih.”“Jadi nggak apa-apa, Dok? Seharusnya bisa segera sembuh, kan?” tanya Zola prihatin.Guntur menganggukkan kepala, lalu menatap pria di tempat tidur dan berkata, “Bangun dan makan sesuatu dulu. Kalau nggak, daya tahan tubuh menurun, kamu benar-benar harus diberi infus.”Boris tidak bergera
Zola mengerutkan kening. “Kamu bisa minum obat dulu, nggak? Kalau kamu nggak minum obat, lap badan tetap saja nggak ada gunanya.”“Kamu nggak mau?”Zola terdiam. Boris berkata lagi, “Kamu kesal banget sama aku, ya? Kakek bilang dia mau kenalkan kamu ke Sandy. Kamu mau?”Zola tersentak. Bukankah sekarang dia sedang menyuruh Boris minum obat? Mengapa pembicaraan mereka malah jadi mengarah ke Sandy? Sejujurnya, Zola sudah lama melupakan masalah itu. Karena dia merasa kakek Boris pasti hanya bercanda. Sekalipun sang kakek ada niat seperti itu, dia pasti akan meminta persetujuan Zola dulu.Zola sangat tidak berdaya, dia pun berkata, “Boris, kamu yakin mau bicarakan hal ini sekarang?”“Kalau kamu nggak ingin bicara, lap badanku saja.”Zola menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan emosi di dalam hatinya. Boris malah berkata lagi, “Aku demam karena berendam dalam air dingin sepanjang malam. Kamu bahkan nggak mau bantu lap badanku untuk turunkan demamku?”Zola mengerutkan bibir dan ber
Zola mengerutkan bibirnya. Otaknya terus memikirkan apa yang baru saja Jeni katakan. Mahendra begitu hati-hati, bahkan polisi pun tidak berhasil menemukan petunjuk setelah melakukan penyelidikan selama berhari-hari. Lantas, mengapa Zola bisa tahu? Apakah ini hanya kebetulan? Ataukah karena Zola memang lebih beruntung?Semakin Zola memikirkannya, perasaannya semakin gelisah. Bagaimanapun juga, dia baru pertama kali mengikuti Mahendra, tapi sudah membuat kemajuan begitu besar. Rasanya sulit dipercaya.“Kita pulang saja,” kata Zola.Tidak ada gunanya terus mengikut. Sekarang Zola tidak yakin apakah Mahendra curiga kalau Zola mengikutinya. Jika Mahendra benar-benar curiga, tapi sengaja mengungkapkan semuanya kepada Zola, lalu apa maksud Mahendra? Apakah Mahendra ingin Zola memberitahu Boris?Zola tenggelam dalam rasa bingung dan tidak dapat menemukan jawaban. Setelah kembali ke perusahaan, Zola langsung pergi ke kantornya. Dia merasa lelah, pinggangnya juga sakit. Jadi, dia langsung baring
Setelah Jeni selesai bicara dengan sopir taksi, Zola juga melihat pintu belakang lokasi konstruksi terbuka. Setelah kejadian gedung runtuh, Zola dan Boris juga masuk ke tempat kejadian melalui pintu itu.Zola mengerutkan kening, bahkan tidak berani mengedipkan matanya. Seolah dia takut melewatkan petunjuk apa pun. Dia terus menatap ke arah pintu. Begitu dia melihat sosok pria yang keluar dari balik pintu, Zola langsung tercengang.Zola tidak berani percaya. Dia segera mengeluarkan ponselnya dan membuka kameranya. Kemudian, dia mengarahkan kamera ke arah orang itu dan menggunakan mode zoom sampai maksimal. Setelah memastikan kalau dia tidak salah lihat, dia pun bergumam, “Kenapa dia?”Wajah Zola terlihat sangat serius dan kaget. “Siapa?” tanya Jeni.Sebelum Zola dapat menjawab, si sopir taksi bertanya, “Dik, kenapa yang keluar pria? Kamu nggak salah?”Jeni sedikit bingung, tapi dia segera menjawab, “Dia sengaja. Dia takut ketahuan sama aku dan aku dapatkan bukti. Sebenarnya pria atau pe
Zola mengerutkan kening. Matanya spontan melebar. Dia bahkan tidak berani bernapas. Kata-kata Mahendra membuat hati Zola langsung mencelos.Setelah mendengar Mahendra menutup telepon, Zola segera berjalan ke pojokan, lalu berdiri di sana cukup lama. Namun, dia tak kuasa menenangkan jantungnya yang masih berdetak kencang.Zola mendengar langkah kaki Mahendra keluar dari ruang pantry. Kemudian, Zola baru pergi ke toilet. Beberapa menit kemudian, dia baru keluar dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, pikirannya dipenuhi dengan kata-kata yang Mahendra ucapkan barusan.Mahendra sedang bertelepon dengan siapa? Apakah dengan orang yang terlibat dalam insiden gedung runtuh? Apakah dalang di baliknya atau komplotan Mahendra?Zola memikirkan banyak hal, hingga dia merasa kepalanya seperti mengembang. Setelah keluar dari toilet, dia kembali ke kantornya. Baru saja masuk, dia melihat Mahendra ada di dalam. Begitu melihat Zola datang, Mahendra langsung bertanya, “Zola, kamu habis d
Zola mengirim pesan ke Jeni, “Masih tidur?”Jeni pasti tidur larut malam, jadi Zola tidak ingin mengganggunya. Jika Jeni tidak membalas pesannya, dia akan membiarkan Jeni istirahat di rumah. Hari ini tidak perlu pergi ke perusahaan. Siapa sangka, Jeni langsung membalas pesannya.“Nggak, baru saja selesai mandi. Kamu sudah bangun?” balas Jeni.“Iya, kalau begitu ayo ke sini sarapan.”Jeni pun membalas dengan satu kata oke. Beberapa menit kemudian, keduanya duduk berhadapan di meja makan.“La, aku pengen tanya sesuatu ke kamu,” kata Jeni.“Hmm?”“Kamu yang beritahu Boris soal mantan pacarmu?” tanya Jeni dengan hati-hati.Zola tertegun sejenak, lalu berkata, “Iya, aku yang beritahu.”“Jadi kamu sengaja bilang ke dia kalau alasan kamu menikah dengannya karena mantan pacarmu?”“Dia tanya sama kamu?”Jeni menganggukkan kepala. “Dia tanya sebenarnya siapa mantan pacarmu. Tapi kamu tenang saja, aku kasih jawaban ambigu. Jadi dia pasti nggak bisa tebak.”Jeni menceritakan percakapannya dengan B
Jeni tidak langsung menjawab. Sikap diam dan tercengangnya terlihat di mata Boris. Boris pun bertanya, “Kenapa? Ada sesuatu yang nggak bisa dikatakan?”“Kamu mau jawaban apa? Tentang siapa?”“Menurutmu?”Ekspresi wajah Boris tidak berubah. Dia menatap Jeni dengan acuh tak acuh, seolah sedang berkata kepada Jeni bukankah sudah jelas.Jeni mengerutkan bibirnya dan berkata, “Kamu ingin tahu soal apa?”“Sebenarnya siapa mantan pacar yang nggak pernah bisa dia lupakan itu?”Suara Boris berat dan serak, terdengar sedikit dingin. Kata-katanya membuat Jeni langsung diam tercengang.Mantan pacar Zola? Zola mana punya mantan pacar? Meskipun banyak orang yang mendekati Zola, Zola tidak pernah pacaran dengan pria lain. Bukankah di hati Zola hanya ada Boris?Jeni menatap Boris dengan bingung. Raut wajah dan sorot matanya seperti sedang bertanya, “Apakah kamu yakin ingin tanya soal mantan pacar Zola?”Boris memperhatikan sorot mata Jeni. Dia mengira Jeni merasa serba salah, jadi tidak tahu harus ber
“Kamu nggak tidur?”“Aku duduk sebentar, takut Tedy menggila.”Boris menundukkan kepalanya dan menyalakan sebatang rokok. Zola tahu kalau pria itu sedang dalam suasana hati yang buruk. Boris tidak hanya merokok, juga minum alkohol. Sejak tahu Zola hamil, Boris hampir tidak pernah merokok di depan Zola.Zola berdiri diam di tempat sambil menatap Boris dengan lekat. Suasana ruang tamu sangat sunyi, saking sunyinya mereka seolah bisa mendengar jelas suara napas satu sama lain.Boris menatap Zola dari balik asap putih. “Kenapa kamu nggak masuk ke kamar dan tidur?”“Boris, kamu marah sama aku, ya?”“Mana mungkin.” jawab Boris dengan acuh tak acuh.Jawaban Boris bukanlah “tidak” yang tegas, melainkan “mana mungkin”. Kalau bukan marah, apa namanya?Zola mengerutkan bibirnya dan berkata, “Aku sudah katakan berkali-kali. Aku nggak punya perasaan lain terhadap Mahendra. Juga nggak akan pernah ada. Baik itu dulu, sekarang atau di masa depan, nggak akan pernah ada.”“Kamu begitu yakin dengan sesua
Boris menyipitkan mata, seperti kebingungan. Raut wajahnya tidak selembut biasanya. Boleh dibilang, sorot matanya agak dingin.Boris bersandar pada sofa dan membuka dua kancing kemejanya, memperlihatkan dadanya yang putih.“Mungkin dia ikut aku naik. Tapi aku rasa masalah ini harus diserahkan ke Jeni, biar dia tangani sendiri. Tedy mabuk. Kalau kita usir dia dan terjadi sesuatu padanya, siapa yang akan tanggung jawab? Selain itu, sudah jam segini. Sopir dan sekretarisnya pasti sudah tidur. Suruh mereka datang juga akan makan waktu lama. Jadi kamu mending suruh Jeni bawa dia masuk saja.”Semakin lama Zola mendengarkan Boris bicara, dia semakin mengerutkan kening. “Kamu bisa bawa dia ke hotel terdekat, nggak? Dengar dari suara Jeni, dia cukup frustrasi. Bagaimanapun juga, Tedy orang yang punya tunangan. Nggak baik kalau sampai tersebar ....”“Kamu perhatian sekali sama Jeni. Kamu perhatikan sampai detail setiap masalahnya.” Boris berkata dengan acuh tak acuh. Usai berkata, dia berdiri da
Keduanya langsung terdiam. Kemudian, mereka membawa Tedy ke dalam lift tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keempat orang itu berdiri di dalam lift, suasananya terasa agak aneh. Untung saja, saat ini sudah larut malam bahkan menjelang subuh. Jadi tidak ada siapa-siapa. Kalau tidak, mereka mungkin akan dikira penjahat atau apa pun itu.Setelah sampai di lantai tujuan, Boris menunjuk ke pintu di seberang unitnya. “Jeni tinggal di sana. Bilang padanya, kalau dia mau cari Jeni, ketuk pintu saja.”Usai berkata, Boris berbalik dan membuka pintu di depannya lalu langsung masuk. Sandy hanya bisa menghela napas tak berdaya.“Siapa yang suruh kamu provokasi dia,” kata Sandy kepada TedySetelah itu, Sandy menunjuk ke pintu di seberang dan mulai mencuci otak Tedy dengan gila-gilaan. Dia terus berkata kalau Tedy ingin bertemu Jeni, langsung ketuk pintu saja.Tedy yang minum terlalu banyak benar-benar sudah mabuk hingga menjadi linglung. Begitu mendengar nama Jeni, dia pun semakin menggila. Setelah m
Usai berkata, Boris mengalihkan pandangannya ke dua orang lainnya. Keduanya tidak berdaya, pada akhirnya hanya bisa mengangguk dan menyetujui kata-kata Boris.Tedy mengambil gelas dan menghabiskan minumannya dalam satu tegukan. Alkohol yang panas menyengat mengalir ke dalam tenggorokannya, tapi tidak bisa membuat hatinya mati rasa.Sementara itu, Sandy dan Rendi langsung pura-pura tidak tahu apa-apa dan segera membuang muka. Karena mereka takut Boris juga akan mengatai mereka.Kata-kata yang Boris ucapkan membuat suasana di dalam ruangan menjadi hening mencekam. Awalnya hanya dia sendiri yang minum, tapi sekarang ada dua orang. Sepertinya yang kedua lebih banyak minum.Mereka berada di klub hingga menjelang subuh. Boris minum beberapa gelas, tapi dia tidak mabuk. Yang mabuk justru Tedy. Mulutnya terus komat-kamit, terus berteriak ingin pergi mencari Jeni.Akan tetapi, tidak ada yang menanggapi kata-kata Tedy. Sandy dan Rendi memapahnya. Sopir membawa mobil ke depan pintu masuk, lalu me