"Haruskah pernikahan ini kita akhiri saja, Nai?" ulang Kala sekali lagi karena pertanyaan sebelumnya tidak ditanggapi oleh Rinai.
Untuk beberapa saat, tatapan mereka saling bertemu dan Rinai tetap memilih untuk diam. Banyak hal yang kini berlarian di dalam kepalanya dan Rinai berusaha untuk tidak terlihat putus asa saat itu. Rasanya, kisah pilunya terasa lengkap—kehilangan calon bayinya dan sebentar lagi akan kehilangan lelaki yang selalu mengatakan bahwa Rinai adalah dunianya, bahwa Rinai adalah segalanya, dan akan selalu mencintainya hingga menua bersama.Semuanya omong kosong yang kini berhasil menyunggingkan senyum sinis di wajah Rinai. Dia pun akhirnya berkata, "Jangan minta persetujuanku, sebab kamu tahu sendiri kan kalau ini adalah permintaanku yang selalu nggak bisa kamu kabulkan."Entah ada gores penyesalan di hatinya atau Kala merasa makin putus asa, lelaki itu justru menekuk kepalanya sedalam mungkin seraya berbisik, "Aku tahu kalau selama ini kamu berusaha mencari cara untuk bercerai."Rinai mengangguk sembari bergumam pelan. "Hm…""Oke, hari ini aku kabulkan permintaanmu. Aku akan ceraikan kamu kalau kamu bisa tepati satu janji ke aku, Nai…""Tergantung," sahut Rinai berusaha untuk tetap terlihat tenang. Cukup Rinai yang tahu, kalau hatinya terasa diremas dan itu rasanya cukup ngilu."Kamu jauhi papaku, aku nggak mau kamu sakiti mama dengan merebut—""Untuk kamu ketahui, bahkan tanpa kamu minta, aku juga nggak mau ketemu papamu lagi."Kala menghembuskan napas dengan lega dan meraih tangan Rinai, menarik ke arah bibirnya agar bisa dikecup dengan lembut. "Rinai Senjadanjingga… aku ce—" Kalimat Kala terhenti begitu seseorang menginterupsinya."Nggak ada yang boleh cerai!" tegas Shakira yang berjalan cepat ke arah ranjang, tempat di mana anak dan menantu tengah duduk. "Kamu nggak boleh ceraikan Rinai," sambungnya masih sama tegasnya.Setahu Kala, Shakira adalah orang pertama dan nomor satu yang menentang pernikahannya dengan Rinai. Bahkan, berulang kali Shakira memintanya untuk melepaskan sang istri. Tapi ada apa dengan hari ini? Kenapa perempuan paruh baya ini justru melarang keras perceraian ini?"Tapi, Ma…""Mama bilang nggak, ya nggak!" tandas Shakira penuh penekanan lagi, tatapannya mejamam ke arah Kala. "Rinai akan tetap jadi menantu mama, sampai kapan pun."Refleks, Rinai mengulas senyum tipis di sudut bibirnya. Melirik sekilas ke arah Shakira yang secara bersamaan juga melarikan pandangan kepadanya. Rinai tahu betul, kalau Shakira melakukan itu bukan karena dia benar-benar telah menerima kehadiran Rinai sebagai menantu, bukan juga karena dia telah merestuinya.Rinai masih tetap berstatus sebagai—menantu tanpa restu—dalam hidup Shakira. Yang wanita itu yakini, bahwa dia akan selamanya membenci Rinai. Tidak peduli sekeras apapun usaha Rinai untuk bisa diterima olehnya."Terserah gimana masa lalu Rinai, mama udah nggak peduli lagi. Kehilangan anak kalian kemarin, pasti juga begitu berat bagi Rinai. Jadi tolong, jangan ada perceraian dalam rumah tangga kalian," kata Shakira lagi, menahan rasa jijik ketika harus mengatakan hal tersebut.Shakira mengatakan hal ini bukan tanpa alasan, tapi Shakira telah terikat perjanjian dengan Rinai beberapa hari lalu.'Ah, sial… harusnya hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupku, tapi si Jalang ini seolah telah memprediksi semua ini akan terjadi. Tapi nama baikku hal yang lebih penting dari ini.' Shakira berbisik dalam hatinya, di bawah tatapan heran Kala yang masih mengintainya sejak tadi."Ma, mama beneran?" tanya Rinai dengan akting yang luar biasa, seakan perempuan itu tengah terharu melihat perubahan sikap mertuanya. "Tapi aku kan cuma wanita jalang yang nggak layak untuk anak mama," tambahnya lagi.Dengan sangat terpaksa, Shakira menarik tangan Rinai dan menggenggamnya dengan erat. "Mama bakal tutup mata dan telinga tentang masa lalu kamu yang kelam itu. Sekarang kamu menantu mama dan mama janji, akan segera mengakhiri media play antara Kala dan Lisa.""Tapi aku yang udah nggak bisa mempertahankan pernikahan ini, Ma," sela Kala menyudahi drama antara mertua dan menantu di hadapannya. "Apa yang Rinai lakukan, sudah terlalu menyakitiku dan mungkin juga akan menyakiti mama."Di tempatnya, Rinai mengusap pipi bagian dalamnya menggunakan ujung lidah. Mengamati hal apalagi yang akan Shakira lakukan untuk menghalangi perceraian ini. Rinai seakan tengah memenangkan sebuah olimpiade—bisa membuat Shakira yang dulu selalu menginginkan perceraian anaknya, kini justru jadi garda terdepan yang menentang hal itu."Udah, kamu nggak perlu bantah mama. Di bawah ada Rakhayasa, dia datang untuk ketemu kamu. Kamu tahu kan… kita butuh bantuan dia untuk mempertahankan Stay Entertainment, dia sangat berpengaruh untuk saat ini."Kala kembali menatap Shakira dengan wajah terkejut yang sangat sulit untuk dia sembunyikan. "Rakhayasa anaknya om Langit?" tanyanya dengan nada gamang, sebelum akhirnya melarikan pandangan ke arah Rinai yang juga sama terkejutnya.Perempuan paruh baya tersebut mengangguk samar. "Cepat turun ke bawah dan temui Rakha," titah Shakira beranjak meninggalkan anak dan menantunya. "Ingat, nggak ada yang boleh cerai di rumah ini. Kalian harus tetap bersama." Ia kembali mengingatkan sebelum menghilang dari balik pintu.Setelah hanya tinggal mereka berdua di kamar itu, Kala dan Rinai saling memandang dan itu berlangsung hampir tiga puluh detik lamanya. Pikiran mereka seakan tengah terkoneksi pada kejadian masa lalu yang mungkin… Kala akan kembali mengajak Rinai untuk berdebat kali ini."Belum kelar satu, malah muncul yang lain." Kala menggerutu, tapi Rinai bisa mendengarnya dengan jelas. "Kamu nggak sekalian turun buat ketemu Rekayasa itu?" tanyanya ketus, sengaja mengganti nama 'Rakhayasa' menjadi 'Rekayasa', ingin mengolok nama pria yang pernah memeluk Rinai, selain dirinya.Rinai menggeleng dengan cepat sebagai jawabannya."Kenapa? Nggak mau ketemu sama mantan 'friends with benefits' kamu itu?" tanya Kala lagi sedikit mencibir, terlihat jelas kalau saat ini Kala tengah dibakar rasa cemburu yang terlalu besar.Sekali lagi, Rinai menggelengkan kepalanya. Sulit untuk tidak gugup ketika mendengar nama yang sejak tadi selalu Kala sebut. Bagaimana pun, lelaki itu pernah menemani Rinai saat gundah dan gelisah. Bahkan, pernah menjadi teman tidurnya—saat Rinai merasa lelah untuk menjalani hidup yang berat dan juga rumit."Kali aja kamu mau wisata masa lalu bareng si Rakha," ucap Kala sebelum keluar dari kamarnya dan pergi menemui tamu tak diundangnya tersebut.Langkah Kala sempat terhenti di undakan anak tangga menuju lantai dasar, tempat di mana Rakhayasa tengah duduk dan mengamati beberapa lukisan yang terpajang di ruangan tersebut. Lelaki itu terlihat begitu tampan dengan rahang yang sangat tegas. Tatapannya yang dingin seperti biasa, tapi terlihat memesona.Dan hal itu tidak luput dari pengamatan Kala, terkadang itu membuatnya jengah tapi Kala selalu memungkirinya. Meskipun Rakhayasa adalah sepupunya, tapi Kala tidak terlalu akrab dengannya. Apalagi setelah pertemuannya dengan lelaki itu di sebuah night club ternama di daerah Jakarta Selatan setahun yang lalu, malam yang akhirnya membuat Kala terus membenci sepupunya ini."Hai, apa kabar?" sapa Rakha dengan nada dingin dan juga datar.Kala membalasnya dengan senyum kecut sebelum akhirnya menghampiri Rakha yang duduk di sofa berwarna navy tersebut. Mengulurkan tangan ke arahnya, namun diabaikan begitu saja oleh Rakha yang balas tersenyum sinis padanya. Tatapan keduanya saling beradu se
"Kalau kamu kangen tidur bareng Rinai..."Rinai mendongak agar bisa menatap suaminya dengan mata memicing. "Kamu nggak bisa ya kalau nggak menghinaku di depan orang lain?!" komentar Rinai atas pertanyaan yang Kala ucapkan kepada Rakha, sementara pria itu memilih untuk mendengus ketimbang menjawabnya."Loh, kan aku cuma tanya… apa mantan FWB-an kamu ini lagi kangen tidur bareng istriku atau gimana," balas Kala menahan tangan Rinai yang ingin menjaga jarak dengannya saat ini. Ia pun menyipitkan mata sebagai pertanda ketidaksukaannya dengan perubahan sikap Rinai, Kala ingin pernikahannya terlihat baik-baik saja, setidaknya di depan Rakha.Sepertinya Kala tidak bisa untuk tidak membuat Rinai sedih dan kecewa, barang sehari saja… Hal itu pun membuat Rinai mulai merasa lelah untuk tetap menjaga rasa sabarnya."Bagaimana pun kalian pernah—koreksi, bagaimana pun kalian sering tidur bareng dan wajar kalau aku tanya," ucap Kala lagi, seolah tidak peduli dengan perasaan Rinai ketika dia mengungk
Deru napas Kala berubah memburu, wajahnya pun terlihat memerah dengan kedua tangan yang mengepal di sisi tubuhnya. Berbanding terbalik dengan reaksi Rakhayasa yang justru terlihat tenang, memainkan jari jemarinya dengan santai.Sementara Rinai, perempuan itu menatap Rakha dengan bingung, memiringkan kepalanya agar bisa mengamati temannya tersebut dengan saksama."Jangan terlalu naif, Kal. Kamu tahu sendiri kan, kalau bisnis keluarga kita sedang tidak baik-baik saja dan itu karena ulahmu sendiri yang menikahi seorang pelacur. Semua saham langsung anjlok dan investor makin meragukan kita."Kalimat yang keluar dari mulut Shakira yang mengamati mereka sedari tadi pun berhasil menarik perhatian Kala, Rinai, dan juga Rakhayasa. Ketiganya menatap Shakira dengan ekspresi yang berbeda satu sama lainnya."Ini hanya bisnis dan Rinai akan tetap jadi istrimu. Iya kan, Kha?" lanjut Shakira tersenyum bahagia, setidaknya dia yakin kalau Langit Group akan membantunya untuk bangkit kembali. Mengalahkan
Rinai mengetuk dagunya berulang kali, telah seminggu berlalu dan hingga detik ini pun Rinai masih belum memberikan jawaban apapun untuk penawaran yang Rakhayasa berikan padanya.Banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan Rinai, salah satunya—Rinai tidak percaya pada dirinya sendiri—kalau Rakhayasa bisa bersikap biasa saja seolah tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka, Rinai ragu pada dirinya. Sebab ia yang paling tahu, bagaimana spesialnya setiap malam yang dilewati bareng pria itu di masa lalu, sebelum Kala hadir di antara mereka."Hari ini aku pulang agak larut," kata Kala yang muncul dari arah kamar mandi, terlihat pria itu tengah menyugar rambutnya yang masih basah."Iya," jawab Rinai singkat.Tidak bisa dipungkiri, kejadian seminggu yang lalu mengubah banyak hal dalam rumah tangga mereka. Kala jadi lebih pendiam dan sering pulang larut malam. Bahkan, dua hari yang lalu pria itu memilih menginap di studio dengan alat-alat musiknya ketimbang berbaring di atas ranjang bareng
"Biasanya klien yang menunggumu sekarang justru sebaliknya," goda pria yang duduk di seberang Rakha sembari menatap jam di pergelangan tangannya sebelum menambahkan, "Bahkan kita udah duduk di sini hampir satu jam loh, Pak Boss."Rakha mengalihkan pandangannya dari iPad yang sejak tadi terus ia gulir, menatap ke arah sahabat yang merangkap sebagai asisten pribadinya tersebut. Tatapan datar dan seperti tak acuh."Kamu yakin… kalau pujaan hatimu akan datang, Boss?" ledeknya lagi, tak peduli kalau Rakha akan memelototinya atau melempar gelas berukuran tall yang berisi malt brew tersebut kepadanya. Septianegara tetap terkekeh, bahkan saat Rakha hanya melengos saja. "Risiko cinta bertepuk sebelah tangan, jadinya ya begitu… kamu sendiri yang menderita, kangen tapi nggak pernah bisa mengungkapkannya. Ujung-ujungnya juga sakit hati sendiri, kan?"Rakha menghembuskan napas perlahan. "Sep, kamu kebanyakan ngomong dari tadi," katanya dengan datar."Tapi apa yang aku bilang, sepenuhnya bener kan?
"Keputusan gila apa yang sudah aku ambil hari ini?" tanya Rinai pada dirinya sendiri.Perempuan itu terus saja bergumam sendiri sejak tadi, dia yang tanya dan dia jugalah yang akan menjawabnya. Setelah menerima lamaran Rakha, ada rasa bersalah yang sejak tadi menggigit hati Rinai. Bagaimana tidak, Rinai tahu apa yang ia lakukan ini adalah dosa—perempuan yang masih bersuami diharamkan untuk dipinang apalagi menerima pinangan.Rinai memang bukan ahli surga atau perempuan yang terlalu taat pada agama juga, tapi hal kecil seperti itu Rinai mengetahuinya.Suara ketukan pada pintu kaca Rolls Royce yang ditumpangi Rinai saat ini berhasil menyentaknya hingga terperanjat. Kedua bola matanya memutar dengan refleks saat lelaki yang setengah jam yang lalu menyematkan cincin berlian di jemarinya tersebut masuk ke dalam mobil.Sekilas, Rinai mengamati wajah dingin dan datar milik Rakha. Tampaknya, Kala membuat pria ini marah dan juga kesal. Rinai mulai menerka-nerka, sebesar apa perdebatan di antar
"Nai, pulang bareng aku!" murka Kala saat pintu Rolls Royce milik Rakha terbuka lebar, membuat pria itu bisa melihat bagaimana eratnya jemari CEO tersebut menggenggam tangan istrinya. "Turun… kamu ikut aku!" tambahnya.Di tempat duduknya, Rakha menghembuskan napas dengan kasar dan berkomentar, "Kamu nggak takut kalau kamera wartawan yang tadi sengaja kalian panggil bakal rekam adegan ini? Kamu nggak khawatir kalau media bakal lihat Rinai naik mobilmu?"Kala terdiam sejenak, menimbang-nimbang ucapan Rakha yang sepenuhnya benar. Kala tidak mungkin akan menyia-nyiakan semua rancangan media play yang telah ia jalani sampai sejauh ini, kalau saja ada yang menyadari keberadaan Rinai di sisinya."Udah, kamu pulang bareng Lisa aja sana." Rakha mencebikkan ujung bibirnya. "Aku dan Rinai masih ada urusan yang lain.""Nggak bisa," bantah Kala tidak setuju. Dia beralih menatap Rinai yang juga tengah menatapnya. "Nai… kamu pulang sekarang, terserah mau naik taksi atau Go-Car juga nggak apa-apa, as
"Mungkin ini akan terdengar gila dan aneh… tapi kamu yang membuat semua menjadi serumit ini, Kal…""Tapi bukan berarti kamu harus pergi dari rumah ini dan tinggal di apartemen milik Rakha juga, Nai…," protes Kala kembali menaikkan oktaf suaranya. "Nggak harus tidur bareng dia juga!"Mendengar tudingan Kala tersebut, tentu saja Rinai tergelak karenanya. Jika Rinai mengatakan akan tinggal di apartemen Rakha—bukan berarti Rinai dan Rakha akan tinggal dan tidur bareng juga, kan?Namun, Rinai memilih untuk tidak menanggapinya. Rinai merasa begitu penat untuk menjelaskan lebih panjang lagi pada Kala, semua akan percuma dan hanya buang-buang waktu saja. Sikap keras kepala dan egois Kala seakan telah mendarah daging, hingga sekeras apapun usaha Rinai untuk menjelaskan—dipastikan Kala akan tetap dengan pemikirannya sendiri.Mereka terdiam untuk beberapa menit, hingga akhirnya terdengar helaan nafas panjang yang meluncur dari bibir Kala, sebelum tangannya terulur untuk menyugar rambutnya sendir
"Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
"Jawab pertanyaanku, Pa!" desak Kala setelah mendorong ayahnya ke arah balkon kamar pria tersebut. "Apa benar papa telah memerkosa Rinai dan membuatnya hamil?!"Sorot amarah dan kebencian tidak bisa dipungkiri dari tatapan mata Kala saat ini. Ia melotot, seolah akan memakan Angkasa hidup-hidup saat ini juga."Jawab!" hardiknya lagi."Omong kosong macam apa itu, Kal?" Angkasa berusaha untuk membantahnya. "Mana mungkin papa melecehkan istrimu sendiri. Kamu tahu sendiri kan kalau Rinai itu mantan pelacur, jadi—"Kala mencekik leher sang ayah, membuat pria paruh baya tersebut tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Papa melecehkan dia jauuuuh sebelum Rinai menjadi wanita panggilan," tuding Kala kembali berapi-api. "Dan papalah yang membuat Rinai terjerumus dalam dunia gelap itu. Papa yang menghancurkan hidup Rinai, sampai dia putus asa dan akhirnya memilih jalan untuk melacur. Karena papa, semua karena papa!"Mendengar bagaimana lantangnya suara putranya ketika menguak tentang dosa-dosanya, A
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke
"Rinai nggak turun buat makan, Mbak?"ART yang tengah menyiapkan sarapan untuk Rakha dan Waradana pun sempat menghentikan kegiatannya sejenak, sebelum ia menaruh pelan gelas berisi susu untuk Waradana di atas meja."Hm? Tumben banget Rinai kesiangan," ucap Rakha berniat untuk menyusul Rinai ke kamarnya di lantai dua.Namun, jawaban dari sang ART berhasil menghentikan langkah Rakha, bahkan membuat Rakha mematung untuk beberapa detik lamanya. "Ibu Rinai udah keluar dari jam lima subuh, Pak."Kening Rakha mengkerut. "Rinai pergi jogging?" tanya Rakha membalikkan badan, menatap penasaran ke arah ART-nya yang langsung menggeleng.Tanpa pikir panjang lagi, langkah lelaki itu langsung memburu menuju kamar Rinai. Tak peduli anak tangga itu hampir saja membuatnya tersungkur. Begitu sampai di lantai atas, tangannya mendorong kuat pintu kamar yang tertutup rapat—kosong—bahkan tidak ada sehelai pakaian pun yang tersisa di sana.Rakha memeriksa semua lemari dan juga kamar mandi, namun hasilnya tet
"Tadi aku ketemu Kala.""Oh iya?" Rakha bersikap seolah tidak melihat adegan manis antara Kala dan Rinai siang tadi. Dia tidak ingin Rinai merasa diikuti, juga tidak ingin terkesan begitu posesif padanya.Rinai mengangguk pelan, juga menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan apa yang Kala tanyakan dan curigai, atau memilih untuk diam serta menyimpannya serapat mungkin. Toh juga kenyataannya—Rinai tidak pernah hamil dan melahirkan anak Rakha seperti yang Kala tuduhkan itu.Akhirnya, Rinai pun memutuskan untuk memendam semuanya. Tidak ingin memperkeruh suasana dengan menceritakan pada Rakha."Lepas rindu, ya?" tebak Rakha yang langsung menuai tatapan kesal Rinai kepadanya. "Bercanda, Nai…"Perempuan itu mengerlingkan kedua bola matanya. Lalu menggelengkan kepalanya berulang kali seraya berdecak pelan. "Bercandanya mancing emosi banget ya, Boss…"Rakha terkekeh. Setidaknya, hubungannya dan Rinai sedikit membaik dan perempuan itu tak lagi membahas tentang Jennie—Rakha benar-benar tid
"Ya nggaklah!" bantah Rinai tak habis pikir, kenapa Kala menanyakan hal seperti itu kepadanya. "Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa kamu tanyakan, kenapa justru memilih hal konyol ini. Aku sama Rakha memang pernah dekat dan bahkan…" Ia menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan, "Kami pernah FWB-an, tapi bukan berarti aku pernah hamil anak Rakha dan menyerahkan anak itu kepadanya."Kala mendengarkan penjelasan Rinai dengan saksama, akan tetapi hati kecilnya menolak untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh mantan istrinya tersebut. Sudah dua hari Kala menyelidiki hal tersebut, namun hasilnya masih nihil.Itulah alasannya dia memilih untuk bertanya kepada yang bersangkutan, tapi Rinai menyangkal semuanya. Membuat rasa penasaran di hatinya kembali tergelitik dan justru ingin mencari tahu lebih dalam lagi. Sebab, beberapa hari lalu Kala sempat berpapasan dengan ibunya Rakha dan juga ada Waradana di sana—mata Waradana mengingatkan Kala pada Rinai, membuatnya semakin merind