Suara dentuman musik di sebuah klub mewah di Jakarta Selatan ini memenuhi gendang telinga Kala, klub malam ini sering dikunjungi oleh artis dan penyanyi terkenal di negeri ini.Malam ini, Kala sengaja mencari hiburan di tempat ini. Memikirkan Rinai membuat hari-harinya makin terasa berat dan Kala mulai putus asa—patah hati dengan keputusannya sendiri. Berpikir bahwa Rinai tengah bersenang-senang usai diceraikan olehnya."Wine," ucap Kala pada sang bartender tepat saat seorang perempuan duduk di sampingnya dengan senyum mengambang di wajahnya."Alright, Boss."Kala menyambut wine yang disodorkan kepadanya dengan senang hati, lantas menoleh ke samping untuk menegur perempuan yang sengaja datang untuk menemuinya di sana. "Hai, Baby… kamu datang tepat waktu," ucapnya sebelum menenggak wine miliknya."Lagi galau banget kayaknya," kekeh Lisa mengusap rahang Kala dengan lembut, menatap prihatin pada manik hampa milik lelaki itu. Lalu menggerakkan tangannya ke arah bartender, meminta minuman
"Kupikir… hatiku nggak akan sakit melihat semua ini. Kupikir… aku akan biasa saja ketika menyaksikan Kala mencumbu wanita lain persis di depanku, ternyata aku salah. Semua yang aku pikirkan, semua yang kuyakini, bertolak belakang dengan apa yang kurasakan.""Berarti kamu masih mencintai Kala," timpal Jennie mengelus punggung Rinai dengan lembut. "Munafik juga sih kalau kamu memberi statement kalau hatimu nggak pernah mencintai dia. Bagaimana pun, kalian pernah dekat dan pernah saling menyukai satu sama lainnya."Rinai memilih untuk tidak lagi menanggapi ucapan Jennie, ia sibuk dengan pikirannya sendiri juga—kejadian dua jam yang lalu masih terus terbayang olehnya. Apalagi saat pintu kamar terbuka dan Kala tampak begitu bersemangat untuk bercinta dengan Lisa di kamar itu, hati Rinai mendadak ngilu karena mengingatnya.Harusnya Rinai merasa lega, tapi ucapan terakhir Kala sebelum kembali mencumbu Lisa itu terus terulang di benak Rinai bagai kaset rusak—bantu aku melupakan pelacur sialan
Sayangnya justru Rinai yang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Rinai yang tidak lagi bisa mendustai hatinya. Entah karena melihat Kala bersama Lisa atau karena harus melepaskan Rakha untuk Jennie.'Memangnya kamu itu siapanya Rakha? Kenapa harus merasa nggak rela,' gumam Rinai dalam hati saat Rakha kembali menciptakan suasana hening di dalam mobil ini.Mobil mewah milik Rakha telah sampai di pelataran lobi apartemen milik Jennie. Dengan bantuan lelaki itu, Rinai pun membawa sahabatnya turun."Biar aku bantu antar sampai unitnya," ucap Rakha tidak tega saat melihat Rinai sedikit tertatih membopong Jennie yang sudah benar-benar tidak sadarkan diri. "Ini anak minum berapa sloki, sih?" gerutunya sebelum menarik Jennie ke dalam gendongannya, membawa wanita itu dari hadapan Rinai yang justru tertegun di tempatnya.Lamunan Rinai terhenti lantaran Rakha memanggil namanya untuk bertanya di mana kartus akses Jennie. Buru-buru Rinai menghampiri mereka dan membuka pintu menggunakan akses yang
Di tengah-tengah pagutan bibir yang mulai memanas tersebut, Rinai berhasil menarik kembali kesadarannya. Kedua tangannya berusaha untuk memukul-mukul dada bidang Rakha, namun gerakan itu tak berlangsung lama—lumatan bibir Rakha kembali melumpuhkan penolakan yang ingin Rinai tunjukkan.Sebab hati dan tubuhnya memberi reaksi lain, pikirannya ingin menolak tapi lidahnya justru bergerak lembut untuk membalas ciuman itu sama panas dan bergairahnya.Rinai langsung luluh, tak sanggup menahan dan menolak sentuhan Rakha, bahkan saat kini Rakha mendorong tubuhnya ke sofa, Rinai hanya bisa pasrah dan memeluk tubuh kekar itu untuk menjaga keseimbangan tubuhnya."Aku sudah lama menahan semua ini, tapi semakin kutahan justru semakin menyiksa…" Rakha mengatakannya dengan suara serak, karena saat ini pikirannya benar-benar telah dipenuhi gairah yang membakar akal sehatnya.Rakha tak lagi peduli jika Rinai akan marah dan menjauhinya setelah hari ini. Akan tetapi, rasa takut kehilangan Rinai dan juga h
Rakha menggeliat dan merentangkan tangannya saat sinar matahari mulai mengintipnya dari balik tirai berwarna abu-abu di kamarnya. Membuat matanya memicing sesaat, lalu mengusap wajahnya seraya berdecak pelan.Lelaki itu mulai mengedarkan pandangannya ke penjuru kamar dan alangkah terkejutnya Rakha saat tatapan matanya terhenti pada punggung mulut dan putih milik—Rinai. Refleks, Rakha duduk dan mendapati dirinya dan Rinai sama-sama dalam kondisi telanjang, hanya selimut yang menutupi tubuh bagian bawahnya.Seketika, ingatan tentang pergulatan panas mereka semalan direka ulang oleh ingatannya. Bagaimana mengerang dan bagaimana Rinai mendesah di telinganya—juga ingatan saat Rinai memintanya untuk meledakkan hasrat di dalam tubuh Rinai dan itu tanpa pengaman."Apa yang telah kamu lakukan, Rakhayasaaaa..." Lelaki itu tampak menggusar wajahnya dengan frustrasi. Ia tatap punggung polos Rinai dengan raut sedih dan merasa bersalah. "Hanya pria brengsek yang meniduri istri orang lain," umpatnya
"Maaf jika kata-kataku barusan melukai hatimu, tapi kenyataannya apa yang kamu lakukan itu memang sangat bejat, Nai…"Rinai mengerutkan keningnya dengan tatapan terkejut, ini kali pertama Rakha berkata kasar seperti ini kepadanya. Apalagi terlihat keseriusan dari mimik wajah pria itu saat mengatakannya. Namun anehnya, Rinai tidak bisa melayangkan kalimat protesnya barang sepatah kata pun.Yang bisa Rinai lakukan hanyalah menghembuskan napas dengan kasar sembari memutar kedua bola matanya dengan kesal. Rinai melengos dan berniat untuk meninggalkan Rakha di kamar itu, bertepatan dengan pintu yang diketuk pelan dari arah luar.Seketika itu Rini mulai panik, dia harus mengatakan apa jika yang mengetuk adalah pekerja di rumah Rakha, atau bagaimana jika pengetuk di luar sana ternyata Hanim Samudera Biru, ibunya Rakha.Ah, tidak. Hanim sudah berangkat ke Paris dan…"Papi…," teriak bocah berusia lima tahun lebih beberapa bulan tersebut saat pintu kamar dibuka oleh Rakha selagi Rinai masih ter
"Nggak mau ah," balas Rinai dengan cuek seraya memutar kedua bola matanya.Rakha pun hanya bisa melongos dan pasrah akan penolakan Rinai padanya. Mereka bertiga pun mulai makan bersama, layaknya keluarga utuh dan sempurna, seperti yang selalu diimpikan oleh Waradan dan Rakha.Sesekali, Rinai akan menyuapi Waradana yang duduk di sampingnya. Dan Rakha pun ikut membuka mulut agar Rinai juga menyuapinya, membuat Rinai tersenyum geli melihat tingkah CEO dingin yang berubah jadi hangat jika bersama dirinya dan juga Waradana.Percakapan mereka pun mengalir begitu saja, sampai akhirnya suara dering telepon Rinai menginterupsi mereka."Halo, Jen…"Rakha menatap Rinai, sebelum perempuan itu bergegas meninggalkan meja makan dan memilih untuk mengobrol dengan Jennie di ruangan lain.Hampir lima menit berlalu, Rinai tak kunjung kembali ke ruang makan. Rakha pun berinisiatif untuk menghampirinya, meminta Waradana untuk menunggu di kamar ditemani oleh pengasuh yang memang selalu menemani di mana pun
"Tidur bareng, kan?" Alih-alih marah, Rinai justru terkekeh dan mengibaskan rambutnya di hadapan Rakha yang langsung menatapnya dengan heran.Rakha pun mengangguk samar."Yang kamu ajak tidur bareng itu mantan pelacur, bukan mantan ustadzah," celetuk Rinai masih menyunggingkan senyum, tapi entah kenapa senyum itu justru berhasil mencabik hati Rakha yang langsung sedih karenanya. Selagi Rakha masih diam, Rinai pun langsung melanjutkan, "Deal ya… kamu makan malam bareng Jennie… pulangnya aku tunggu di kamar. Kamu maunya aku pakai dalaman warna apa?""Nai…," lirih Rakha merasa bersalah."That's okay, aku terima tawaranmu. Aku ini pelacur, Kha!" Rinai tersengih. "Tidur dengan pria asing demi uang aja aku bisa—apalagi hanya tidur bareng temanku sendiri demi sahabat terbaikku."Sontak kedua tangan Rakha terangkat untuk menarik bahu Rinai dan memeluk perempuan itu dengan sangat erat. Sejujurnya, bukan jawaban seperti ini yang ingin dia dengar. Rakha berharap kalau Rinai menolak semua ini dan
"Kita kan nggak bisa memilih, pada siapa hati ini akan jatuh."Rakha menatap mata Rinai dengan lekat. "Ya, kita nggak pernah bisa memilih tentang jatuh cinta. Tapi kita bisa memutuskan, siapa yang akan menetap dan bertahan di hati kita. Dan aku tahu, aku nggak cukup berarti untukmu kan, Nai?""Hm?""Karena pada akhirnya kamu memilih untuk pergi dan meninggalkanku tanpa penjelasan," jawab Rakha dengan tenang."Untuk kebahagiaan kamu, Kha.""Untuk kebahagiaanmu, bukan aku."Rinai mengulas senyum tipis seraya mengangguk pelan. Seakan tengah mengiyakan pernyataan Rakha barusan. "Kamu harus melepaskan sesuatu agar kamu bisa memulai hal yang baru.""Seperti kamu yang memulai semua dengan Sambara?" tembak Rakha."Mungkin," dusta Rinai yang sebenarnya belum memulai hubungan dengan siapa pun.Mendengar jawaban Rinai, tentu saja itu membuat pikiran Rakha langsung menggila. Ia condongkan wajahnya pada perempuan itu, lebih dekat dan lebih rapat lagi. Rakha tancapkan tatapan matanya, tepat di mani
"Nai…" Langkah Sambara terhenti di ambang pintu masuk hotel mewah, tempatnya akan bertemu klien penting hari ini. Tangannya bergerak cepat menahan pergelangan Rinai, lalu tersenyum bimbang ke arah perempuan yang justru mengerutkan keningnya dengan heran. "A—aku boleh minta tolong, nggak?""Hm? Kenapa? Tolong apa?" balas Rinai dengan balik bertanya. "Kamu sakit? Pusingnya kumat? Atau gimana? Diare lagi? Panic attack-nya kumat-kah?" todong Rinai dengan cemas, mengusap-usap lengan dan bahu Sambara dengan khawatir.Di tempatnya, Sambara mengangguk samar. Meminta Rinai menggenggam jemarinya—seperti biasa setiap kali dia panik—hanya saja, kali ini Sambara tidak benar-benar sedang mengalami gejala panic attack seperti biasa.Dengan cemas, Rinai menautkan jemari mereka tanpa ragu sedikitpun. "Tenang, Sam… Ada aku di sini, kamu nggak sendiri kok. Tenang ya, tarik napas dalam dan lepaskan perlahan," ucap Rinai berusaha menenangkan Sambara yang mengikuti ucapan wanita itu tanpa pikir panjang.Beb
Tiga tahun telah berlalu…"Jangan takut membuka hati hanya karena masa lalumu. Trauma bisa dipulihkan, jadi jangan abaikan orang-orang yang ingin mendekatimu hanya karena ketakutanmu mengulang kisah pahit di masa lalu."Rinai tetap fokus pada layar laptopnya, mengabaikan pria yang sedari tadi berdiri di sampingnya—bahkan, berada di sisinya puluhan bulan terakhir."Rinai… semua orang ada masanya, setiap masa, pasti ada orangnya. Kamu pernah dengar itu, kan?" bisiknya lagi meksipun dia tahu, Rinai akan tetap mengabaikannya. "Nai, biarkan aku menjadi orang yang akan menghapus jejak-jejak luka di hatimu. Siapa tahu, akulah orang yang dijadikan Tuhan sebagai jawaban dari doa-doa yang selalu kamu minta."Suara tawa Rinai memecahkan keheningan yang sedari tadi berusaha diciptakan olehnya. Beberapa kali pukulan pelan melayang ke lengan lelaki yang ikut terkekeh melihat bagaimana kedua mata Rinai terpicing karena tawanya. Meskipun berulang kali menyatakan cinta, dan berulang kali juga diabaika
"Nai.""Hm?" Rinai bergumam pelan, tanpa menoleh ke arah Rafko yang berdiri tepat di belakangnya.Tampak ragu, tapi akhirnya Rafko menceritakan apa yang baru saja ia temukan di layar gawainya. Sembari mengarahkan portal berita yang sejak tadi ia baca. "Angkasa ditemukan tewas di kamarnya," jelas Rafko.Awalnya Rinai terlihat enggan untuk mengamati layar ponsel yang Rafko sodorkan ke arah matanya, tetapi kalimat sepupunya itu berhasil menyita perhatian Rinai hingga dia bergerak refleks untuk meraih benda pipih itu dan menggulir layarnya.Keningnya mengerut, lantas menggigit ujung bibirnya berulang kali. Jemarinya terus mencari-cari berita yang berkaitan dengan insiden tersebut."Pihak kepolisian sudah menyatakan kalau Angkasa bunuh diri, tapi beberapa rumor aneh juga lagi beredar di Indonesia."Rinai mengangkat wajahnya, menatap Rafko dengan wajah bingung dan penuh tanda tanya.Seolah tahu maksud dari tatapan itu, Rafko pun segera mengatakan, "Ada rumor yang mengatakan kalau Angkasa se
"Jawab pertanyaanku, Pa!" desak Kala setelah mendorong ayahnya ke arah balkon kamar pria tersebut. "Apa benar papa telah memerkosa Rinai dan membuatnya hamil?!"Sorot amarah dan kebencian tidak bisa dipungkiri dari tatapan mata Kala saat ini. Ia melotot, seolah akan memakan Angkasa hidup-hidup saat ini juga."Jawab!" hardiknya lagi."Omong kosong macam apa itu, Kal?" Angkasa berusaha untuk membantahnya. "Mana mungkin papa melecehkan istrimu sendiri. Kamu tahu sendiri kan kalau Rinai itu mantan pelacur, jadi—"Kala mencekik leher sang ayah, membuat pria paruh baya tersebut tidak bisa melanjutkan kalimatnya. "Papa melecehkan dia jauuuuh sebelum Rinai menjadi wanita panggilan," tuding Kala kembali berapi-api. "Dan papalah yang membuat Rinai terjerumus dalam dunia gelap itu. Papa yang menghancurkan hidup Rinai, sampai dia putus asa dan akhirnya memilih jalan untuk melacur. Karena papa, semua karena papa!"Mendengar bagaimana lantangnya suara putranya ketika menguak tentang dosa-dosanya, A
+628137232—Nai, kamu ke mana? Kamu kok nggak ngomong kalau kamu akan pergi?+628137232—Nggak begini caranya Nai… Aku nggak akan cegah kamu untuk meninggalkanku, tapi aku terlalu khawatir tentang keadaanmu. Kabari aku begitu kamu baca pesan ini. Kamu tahu kan, kamu adalah duniaku. Kamu adalah impianku, dan aku menunggumu tak peduli harus menghabiskan jutaan menit untuk bisa memilikimu.Rakha menghela napas panjang setelah mengirimi pesan yang tidak pernah mendapat respons, bahkan setelah sebulan berlalu dan Rakha masih terus melayangkan pesan itu pada Rinai.Lelaki itu mendekatkan gawai ke telinganya, dan tetap sama… Nomor Rinai di luar jangkauan dan bahkan whatsapp-nya pun tidak pernah aktif lagi. Membuat Rakha frustasi berulang kali, setiap hari."Kamu ke mana sih, Nai?" lirih Rakha melirik ke arah jendela ruang kerjanya. Menatap gedung menjulang tinggi yang sejajar dengan tempat duduknya saat ini, namun pikirannya tidak berada di tempat tersebut.Makin frustasi, Rakha mencengkram ke
"Rinai nggak turun buat makan, Mbak?"ART yang tengah menyiapkan sarapan untuk Rakha dan Waradana pun sempat menghentikan kegiatannya sejenak, sebelum ia menaruh pelan gelas berisi susu untuk Waradana di atas meja."Hm? Tumben banget Rinai kesiangan," ucap Rakha berniat untuk menyusul Rinai ke kamarnya di lantai dua.Namun, jawaban dari sang ART berhasil menghentikan langkah Rakha, bahkan membuat Rakha mematung untuk beberapa detik lamanya. "Ibu Rinai udah keluar dari jam lima subuh, Pak."Kening Rakha mengkerut. "Rinai pergi jogging?" tanya Rakha membalikkan badan, menatap penasaran ke arah ART-nya yang langsung menggeleng.Tanpa pikir panjang lagi, langkah lelaki itu langsung memburu menuju kamar Rinai. Tak peduli anak tangga itu hampir saja membuatnya tersungkur. Begitu sampai di lantai atas, tangannya mendorong kuat pintu kamar yang tertutup rapat—kosong—bahkan tidak ada sehelai pakaian pun yang tersisa di sana.Rakha memeriksa semua lemari dan juga kamar mandi, namun hasilnya tet
"Tadi aku ketemu Kala.""Oh iya?" Rakha bersikap seolah tidak melihat adegan manis antara Kala dan Rinai siang tadi. Dia tidak ingin Rinai merasa diikuti, juga tidak ingin terkesan begitu posesif padanya.Rinai mengangguk pelan, juga menimbang-nimbang apakah dia akan menceritakan apa yang Kala tanyakan dan curigai, atau memilih untuk diam serta menyimpannya serapat mungkin. Toh juga kenyataannya—Rinai tidak pernah hamil dan melahirkan anak Rakha seperti yang Kala tuduhkan itu.Akhirnya, Rinai pun memutuskan untuk memendam semuanya. Tidak ingin memperkeruh suasana dengan menceritakan pada Rakha."Lepas rindu, ya?" tebak Rakha yang langsung menuai tatapan kesal Rinai kepadanya. "Bercanda, Nai…"Perempuan itu mengerlingkan kedua bola matanya. Lalu menggelengkan kepalanya berulang kali seraya berdecak pelan. "Bercandanya mancing emosi banget ya, Boss…"Rakha terkekeh. Setidaknya, hubungannya dan Rinai sedikit membaik dan perempuan itu tak lagi membahas tentang Jennie—Rakha benar-benar tid
"Ya nggaklah!" bantah Rinai tak habis pikir, kenapa Kala menanyakan hal seperti itu kepadanya. "Dari sekian banyak pertanyaan yang bisa kamu tanyakan, kenapa justru memilih hal konyol ini. Aku sama Rakha memang pernah dekat dan bahkan…" Ia menghembuskan napasnya perlahan sebelum melanjutkan, "Kami pernah FWB-an, tapi bukan berarti aku pernah hamil anak Rakha dan menyerahkan anak itu kepadanya."Kala mendengarkan penjelasan Rinai dengan saksama, akan tetapi hati kecilnya menolak untuk percaya dengan apa yang dikatakan oleh mantan istrinya tersebut. Sudah dua hari Kala menyelidiki hal tersebut, namun hasilnya masih nihil.Itulah alasannya dia memilih untuk bertanya kepada yang bersangkutan, tapi Rinai menyangkal semuanya. Membuat rasa penasaran di hatinya kembali tergelitik dan justru ingin mencari tahu lebih dalam lagi. Sebab, beberapa hari lalu Kala sempat berpapasan dengan ibunya Rakha dan juga ada Waradana di sana—mata Waradana mengingatkan Kala pada Rinai, membuatnya semakin merind