Pelupuk mata Selena bergerak bercampur dengan ringisan sakit di area pergelangan tangannya. Perlahan Selena mulai membuka matanya. Wanita itu mengerjapkan mata beberapa kali. Hingga ketika Selena sudah membuka mata, tiba-tiba dia melihat dirinya berada di sebuah kamar megah yang bukan kamarnya. Tampak raut wajah Selena berubah. Sepasang iris mata birunya menunjukan jelas keterkejutan. “Kau sudah sadar?” Suara berat dari arah sisi kiri membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Seketika tatapan Selena berubah menjadi tajam melihat sosok pria yang tengah duduk di sofa seraya menyesap kopi di tangannya. “Kau—” “Jangan lukai lagi dirimu. Bagaimana kalau urat nadimu putus? Kau sendiri yang mengatakan tidak mau Oliver memiliki ibu baru tapi kenapa kau malah mempermudah Oliver mendapatkan ibu baru?” Belum juga Selena menyelesaikan ucapannya, Samuel langsung memotong ucapan Selena. Nada bicara Samuel tegas dan penuh penekanan. Selena terdiam beberapa saat menden
Dorrrr Sebuah peluru melesat, menembus tepat di papan sasaran. Tampak Oliver memekik kegirangan kala Samuel berhasil mendaratkan peluru dengan sempurna. Oliver bertepuk tangan sambil melompat-lompat senang. Bocah laki-laki itu menatap Samuel dengan tatapan binar penuh kekaguman. Sedangkan Selena hanya bisa menghela napas dalam. Raut wajah Selena tampak kesal. Jelas saja Selena kesal karena Samuel membawa Oliver ke taman belakang mansionnya hanya karena ingin mengajak Oliver berlatih menembak. Apa yang dilakukan Samuel ini persis sama seperti apa yang dilakukan Miracle. Setiap kali Selena membawa Oliver ke Milan; maka Miracle akan mengajari Oliver begaimana memegang pistol. “Papa, aku ingin menembak juga, Papa. Bibi Miracle dan Paman Mateo sering mengajariku menembak,” seru Oliver antusisas. “Paman dan Bibimu mengajarimu menembak?” Sebelah alis Samuel terangkat, menatap Oliver lekat-lekat. Oliver mengangguk antusias. “Iya, Papa. Mereka mengajariku.” Senyuman samar di wajah Samuel
Samuel membaringkan tubuh Selena di ranjang empuk di kamar yang telah dia siapkan untuk Selena. Sejenak, Samuel terdiam mengamati wajah cantik Selena yang tertidur pulas. Pria itu seakan enggan untuk berpaling dari keindahan yang ada di hadapannya. Entah Samuel tak mengerti dengan apa yang dia rasakan pada Selena. Yang Samuel tahu dia tidak suka kalau sampai Selena memberikan ayah baru untuk Oliver. Lepas dari semua itu Samuel juga tidak suka jika Dean berusaha mendekati Selena. Tidak bukan hanya Dean tapi seluruh pria. Shit! Samuel mengumpati dirinya yang tak mengerti dengan apa yang menjadi keinginannya. Samuel mengembuskan napas panjang. Pria itu hendak mengambil selimut dan menutupi tubuh Selena. Namun … tiba-tiba Selena menggeliat. Wanita itu memeluk erat leher Samuel hingga membuat tubuh Samuel tak seimbang. Tubuh Semuel terjatuh tepat di samping Selena. Awalnya Samuel pikir Selena akan terbangun tapi ternyata apa yang dia pikirkan salah. Selena masih tertidur pulas dalam keada
“Jadi kau meninggalkan Iris karena perselingkuhanmu dengan Selena?” Suara Jillian—ibu Samuel bertanya dengan nada dingin. Tatapannya menatap tajam Samuel yang ada di hadapannya itu. Amarah begitu terlihat di wajahnya. “Jaga bicaramu, Mom. Selena bukan selingkuhanku. Aku berpisah dengan Iris karena aku tidak menyukai sifatnya. Bukan karena Selena yang menyebabkan kami berpisah.” Samuel menjawab dengan begitu tegas dan penuh peringatan. Tatapan Samuel menatap ibunya dingin seolah meminta ibunya untuk menjaga ucapannya. “Kalau bukan selingkuhanmu kenapa dia bisa ada di sini? Jangan membohongi Mommy, Samuel! Mommy bukan orang bodoh! Kenapa kau menyakiti hati Iris? Dia sudah lama menjalin hubungan denganmu, Samuel! Lebih dari lima tahun kalian bersama. Harusnya kau memikirkan perasaan Iris! Cantik dan hebatnya orang itu tidak ada habisnya. Kau jangan suka memperbandingkan Iris dengan wanita lain!” seru Jillian dengan nada tinggi dan keras pada putranya. Ini yang sejak dulu Jillian inga
Samuel menatap Selena dan Oliver yang tengah tertidur pulas. Ingin sekali Samuel memindahkan Selena tapi Samuel mengurungkan niatnya. Mengingat tadi pagi mereka ribut besar. Satu harian ini Samuel dan Selena tak bertegur sapa. Lebih tepatnya Selena mengabaikan dirinya. Selena hanya sibuk mengajak Oliver bermain. Bahkan saat makan malam tadi pun, Selena tetap tidak mau bicara padanya.Samuel melangkah mendekat ke ranjang. Dia menarik selimut—merapatkan tubuh Selena dan Oliver dengan selimut tebal itu. Tampak senyuman di wajah Samuel terlukis. Selena dan Oliver tertidur begitu pulas. Hati Samuel begitu menghangat. Dalam hati dan pikiran Samuel, dia hanya ingin melindungi Selena dan Oliver. Samuel tak akan pernah membiarkan jika sampai Selena dan Oliver terluka. Kini Samuel menundukan kepalanya, memberikan kecupan di kening Selena dan Oliver. Samuel menyadari kalau dirinya begitu banyak kesalahan pada Selena dan Oliver. Dan sekarang Samuel ingin menebus semua kesalahannya. Memperbaiki
“Mama? Why are you sad?” Oliver melangkahkan kakinya mendekat pada Selena yang berada di taman belakang. Bocah laki-laki itu mengerjapkan mata beberapa kali. Menatap wajah Selena yang tampak muram dan sedih.“Sayang? Kau di sini? Mama tidak sedih, Sayang. Mama hanya memikirkan pekerjaan Mama.” Selena segera membuyarkan lamunannya kala menyadari suara Oliver. Lantas dia menatap hangat dan penuh kasih sayang putranya itu. Pun Selena merubah raut wajahnya. Wanita itu tak mau kalau Oliver tahu banyak beban yang dia pikirkan. “Mama tidak bohong kan? Aku melihat Mama seperti sedang sedih. Siapa yang membuat Mama sedih? Aku akan memukul orang itu, Mama.” Oliver mendekat. Bocah laki-laki itu memeluk erat Selena. Senyuman di wajah Selena terlukis mendengar ucapan Oliver. Wanita itu menangkup kedua pipi Oliver, memberikan kecupan bertubi-tubi di wajah putranya itu. “Mama tidak sedih, Nak. Mama hanya memikirkan pekerjaan di London. Apa Oliver tidak memikirkan sekolah? Memangnya kau tidak mer
Selena berdiri di balkon kamar seraya menatap langit malam. Cahaya bulan dan bintang tampak begitu indah membuat Selena melukiskan senyuman samar di wajahnya. Sesaat Selena menutup mata sebentar kala embusan angin menyentuh kulitnya. Berdiri di balkon kamar menikmati suasana hening malam adalah salah satu self healing bagi Selena. Emosi yang terbendung dalam dirinya membuat Selena memilih untuk berdiam diri. Tak ada yang bisa Selena lakukan saat ini selain dirinya berusaha menghilangkan emosinya.Sejak perdebatannya tadi dengan Samuel, Selena memilih untuk sendiri. Bahkan tadi disaat jam makan malam pun, Selena meminta pengasuh untuk menjaga Oliver. Yang Selena butuhkan saat ini adalah ketenangan diri. Walau sebenarnya menenangkan diri seratus persen tidak akan mungkin. Pikiran dan hatinya sangat kacau. Selena mengatur napasnya. Lantas dia menatap hamparan kota Manhattan yang sangat indah. Letak kamar Selena di mansion Samuel berada di lantai empat. Itu kenapa Selena bisa melihat den
Keesokan hari, Selena tengah sibuk di dapur membuatkan bubur untuk Oliver. Tadi pagi-pagi sekali, dokter sudah memeriksakan keadaan Oliver. Beruntung putranya itu baik-baik saja. Tak ada yang harus dikhawatirkan. Hanya saja dokter meminta Oliver untuk banyak beristirahat. “Nona, apa Anda butuh bantuan?” Suara pelayan bertanya dengan sopan pada Selena yang tengah sibuk berada di dapur. “Tidak usah, aku bisa sendiri,” jawab Selena hangat. “Baik, Nona. Kalau Anda membutuhkan sesuatu, Anda bisa memanggil saya,” balas sang pelayan dengan sopan. “Terima kasih.” Selena mengulas senyuman di wajahnya. Sang pelayan menundukan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Selena. Tak lama kemudian, bubur yang Selena buat telah selesai. Lantas Selena segera menuangkan bubur itu ke mangkuk. Lalu dia memberikan toping irisan salmon panggang di atas bubur yang telah dia siapkan untuk putranya. Kini Selena melangkahkan kakinya meninggalkan dapur seraya membawa bubur yang telah dia buat. Wanit
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam