“Bisa kau jelaskan padaku kenapa kau tidak menuntut tunangan Samuel Maxton? Aku rasa otakmu itu berfungsi dengan sangat baik. Tapi kenapa sampai sekarang belum ada satu pun tuntutan yang kau layangkan, Selena?” Suara William berseru menatap Selena dengan tatapan yang begitu tajam dan menuntut. Nadanya tegas tersirat penuh geraman kemarahan. Kini Selena tengah berada di rumah kediaman Keluarga Geovan. Tentu kedatangan Selena karena sang ayah yang memintanya untuk datang. Selena tahu dirinya akan mendapatkan kemarahan sang ayah. Seperti saat ini. “Dad, aku memiliki alasan tertentu kenapa tidak langsung mengajukan tuntutan pada Iris.” Selena menjawab dengan suara pelan seraya menundukan kepalanya tak berani menatap mata sang ayah yang tengah menatapnya tajam. Sebenarnya Selena belum berani untuk menemui ayahnya sekarang. Selena berpikir akan menemui ayahnya beberapa hari lagi saja. Akan tetapi pesan sang ayah mengancam dirinya membuat nyali Selena menciut. *Kalau kau masih menganggap
Samuel melonggarkan dasi yang mengikat lehernya. Dia menyandarkan punggunya di kursi kebesarannya seraya memejamkan mata lelah. Tadi siang Samuel baru saja menghadiri persidangan salah satu client-nya. Dan kini Samuel masih tetap berada di kantor memeriksa dokumen tentang kasus Selena tempo hari yang menjadi urusannya. Kasus di mana Selena hampir menjadi korban pelecehan. Jika mengingat itu membuat emosi Samuel kembali tersulut. Andai waktu itu Rava tak menahan dirinya; maka sudah pasti Samuel meleyapkan pria yang berani ingin menyentuh Selena. Minggu ini adalah yang telah dinantikan Samuel. Dia akan bertemu dengan Yagil Upton di persidanga. Pria yang telah kurang ajar itu akan segera mendapatkan balasan yang setimpal. Masalah pun satu-satu mulai selesai. Kemarin Samuel sudah melihat di berita tentang Iris yang telah melakukan konferensi pers dan mengakui kesalahnnya. Walau tak dipungkiri ada sesuatu hal yang mengganjal hati Samuel tapi Samuel memilih untuk mengabaikan. Pasalnya bela
“Dean, kenapa tubuhku panas sekali.” Selena menghamburkan tubuhnya ke dalam pelukan Dean. Tubuhnya seakan terbakar. Membuat Selena ingin sekali disentuh. Seperti saat ini wanita itu menggesek-gesekan tubuhnya di lengan kekar Dean. “Dean, tolong aku. Ini panas sekali.” Bukan hanya Selena tapi Dean pun merasakan hal yang sama. Dean mengumpat dalam hati kala merasakan tubuhnya seakan terbakar. Pria itu menatap Selena seperti mangsa yang siap dia santap. Apalagi seperti sekarang Selena yang merapatkan tubuh padanya. “Shit.” Dean membenturkan tubuh Selena ke mobilnya. Pria itu menatap wajah Selena yang memerah. Tanpa permisi Dean menciumi leher Selena. Harum. Aroma parfume lembut Selena menyeruak ke indra penciumannya membuat naluri Dean ingin sekali menyentuh Selena. “Ah—” Desahan lolos di bibir Selena kala merasakan embusan napas Dean menerpa lehernya. Pria itu mulai menjamah tubuh Selena. Lekuk tubuh yang indah membuat Dean tak mampu mengendalikan diri. “Biarkan aku menyentuhmu, Se
Samuel menatap dingin hasil test DNA yang baru saja diantarkan oleh Vian. Ya, Samuel memang meminta Vian datang untuk mengantarkan obat dan juga pakaian ganti untuk Selena. Namun, tak disangka Vian juga memberikan hasil test DNA dirinya dan Oliver. Tampak sepasang iris mata cokelat Samuel memancarkan jelas amarah, rasa bersalah, dan bahagia yang telah melebur menjadi satu. Sebuah hasil test DNA di mana menunjukan jelas dirinya dan Oliver memiliki tingkat kecocokan >99.99 persen. Darah yang mengalir di tubuh Samuel seakan berhenti melihat hasil test DNA itu. Emosi pun mulai terselimuti dalam dirinya. Samuel marah karena Selena menyembunyikan Oliver. Seberengsek apa pun dirinya harusnya Selena tak pernah menyembunyikan Oliver. ‘Shit!’ Samuel mengumpat dalam hati. Lima tahun dia tak pernah tahu bahwa dirinya telah memiliki seorang putra. Bak lenyap hilang ditelan bumi, Selena bahkan menjauh darinya membesarkan seorang diri Oliver di London. Membayangkan itu semua emosi Samuel semakin
“Kau tidak mau aku sentuh karena takut hamil lagi?” Langkah kaki Selena terhenti kala mendengar apa yang diucapkan oleh Samuel. Tampak wajah Selena mulai memucat. Perkataan Samuel sukses membuat debar jantung Selena semakin berpacu keras. Seperti bumi berhenti pada porosnya tubuh Selena nyaris ambruk. Lagi. Selena berusaha bersikap normal. Bahkah seolah mencemooh ucapan Samuel. Selena membalikan badannya. Menatap Samuel dengan tatapan tajam dan penuh peringatan. Raut wajah wanita itu menunjukan jelas keangkuhannya. Pun Selena mampu menunjukan wajah di mana dia sama sekali tak peduli dengan ucapan Samuel. “Apa kau sudah gila? Kenapa kau menanyakan hal yang tak masuk akal? Aku jelas tidak mau disentuh olehmu karena aku tidak sudi!” seru Selena dengan nada jauh lebih tinggi satu oktaf. Samuel mengangguk-anggukan kepalanya seakan memercayai apa yang dikatakan oleh Selena. Pria itu masih bergeming di tempatnya. Jaraknya dengan Selena tak terlalu jauh. Hanya saja sejak tadi sepasang iri
“Siapa yang menyembunyikan Oliver, hah? Aku pernah ingin memberitahumu tapi kau mengatakan pada tunanganmu; aku adalah orang asing yang tak kau kenal! Jika kau saja sudah tidak menganggapku ada, lalu untuk apa lagi aku menganggapmu! Aku masih baik mengatakan pada Oliver kalau kau sudah mati! Karena seharusnya yang aku katakan pada Oliver adalah dia memiliki ayah berengsek yang tidak pantas dipanggil ayah!”Tubuh Samuel membeku. Perkataan Selena terus terngiang di benaknya. Ingatan Samuel kembali mengingat kejadian lima tahun lalu. Kejadian di mana dia mengatakan tak mengenal Selena. Napas Samuel memberat. Otaknya seakan blank dan tak mampu merangkai kata-kata. “Selena—” “Apa yang ingin kau katakan Samuel? Penjelasan macam apa yang ingin kau katakan padaku, hah?! Apa kau masih ingin juga menyalahkanku?” seru Selena dengan nada tinggi. Derai air mata wanita itu tak kunjung berhenti. Matanya menatap Samuel dengan tatapan penuh kekecewaan tersirat kebencian yang mendalam. “Maaf. Aku ta
Selena melangkahkan kakinya gontai memasuki penthouse-nya. Wajah tampak muram begitu terlihat jelas. Mata merah sembab akibat menangis. Benak wanita itu terus memikirkan tentang ancaman Samuel. Tak dipungkiri ketakutan menjalar dalam diri Selena. Bagaimanapun, dia memang tak memiliki bukti. Sehebat apa pun keluarganya, akan tetap kalah jika tidak ada bukti yang memperkuat di pengadilan.Selena menjatuhkan tubuhnya di sofa kamarnya. Raut wajah frustasi memikirkan semua masalah yang datang. Sungguh, Selena tak pernah menyangka kalau Samuel akan tahu tentang Oliver. Ini yang Selena takutkan. Sejak dulu Selena takut kalau Samuel merampas Oliver darinya. Selena takut Samuel menginginkan Oliver. Lepas dari semua masalah yang ada, darah Maxton mengalir di tubuh Oliver. Bulir air mata Selena jatuh membasahi pipinya. Dirinya dilanda dilema. Hingga detik ini keluarga besarnya belum tahu Samuel adalah ayah Oliver. Semua terlalu rumit. Akan banyak jutaan cercaan pertayaan yang dilayangkan keluar
“Oliver, ini ice cream untukmu.” Joice memberikan salah satu ice cream cokelatnya pada Oliver. Gadis kecil itu tersenyum manis. Rambut cokelat yang dikuncir kuda, membuat Joice sangat cantik dan menggemaskan. Hanya satu alasan Oliver selalu menolak Joice karena Joice gendut. Perut Joice buncit. Oliver tak suka memiliki kekasih dengan tubuh gendut. “Terima kasih.” Oliver menerima ice cream pemberian dari Joice. Lalu bocah laki-laki itu mulai memakan ice cream pemberian dari Joice dengan lahap. “Oliver, kenapa kau mendekati Myra? Aku lebih cantik dari Myra, Oliver. Paman Samuel dan Mommy bilang aku paling cantik,” ucap Joice dengan bibir tertekuk sambil melahap ice cream di tangannya. “Myra memiliki rambut pirang seperti ibuku. Dia juga tidak gendut, Joice,” jawab Oliver tanpa dosa. Bibir Joice tertekuk semakin dalam. “Aku gendut karena aku masih kecil saja. Nanti kalau aku sudah besar, aku tidak gendut lagi, Oliver.” “Masuklah ke kelasmu, Joice. Aku sedang ingin sendiri. Jangan
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu
“Selena, Brianna, aku dan Juliet pamit dulu. Kabari aku kalau Joice sudah diperbolehkan pulang.” Dean berujar berpamitan pada Selena dan Brianna. Sudah hampir satu jam, Dean dan Juliet berada di ruang rawat Joice. Sekarang sudah waktunya Dean membawa Juliet pergi. Pasalnya, keadaan Juliet pun belum sepenuhnya pulih. “Besok Joice sudah boleh pulang, Dean,” balas Brianna dengan senyuman di wajahnya. “Besok Joice sudah diperbolehkan pulang?” ulang Dean memastikan. Raut wajahnya sedikit terkejut mendengar Joice sudah diperbolehkan pulang. “Benar, Dean. Besok Joice sudah diperbolehkan pulang,” sambung Selena hangat. “Ah, aku senang sekali mendengarnya. Akhirnya Joice boleh pulang,” ujar Juliet tulus dan tatapan begitu bahagia. Paling tidak, Juliet tahu kalau keadaan Joice sudah membaik. Terbukti Joice sudah diperbolehkan pulang oleh sang dokter. Dean tersenyum. “Aku dan Juliet senang mendengarnya. Kalau begitu kami permisi. Besok kami akan datang lagi ke sini.” “Terima kasih sudah me
*Tuan Samuel, maaf mengganggu Anda. Saya hanya ingin memberitahu Anda kalau test DNA antara Nona Joice dan Tuan Dean sudah ada di tangan saya, Tuan. Saat ini saya ada di ruangan dekat dengan ruang rawat Nona Joice, Tuan.*Raut wajah Samuel berubah membaca pesan masuk dari Vian. Samuel meremas kuat ponsel di tangannya. Manik mata cokelat gelap Samuel berkilat menujukan geraman kemarahan tertahan yang tak bisa meluap. Samuel mengatur napasnya, meredakan emosi dalam diri. Samuel menyadari dirinya masih berada di ruang rawat Joice. Sesaat, Samuel mengalihkan pandangannya pada Dean yang tengah mengajak Joice berbicara. Beberapa detik Samuel menatap dalam interaksi antara Dean dan Joice. Manik mata Joice mirip dengan Dean—yang memiliki manik berwarna abu-abu. ‘Shit! Tidak mungkin!” Samuel menepis apa yang ada dipikirannya. Samuel yakin kalau Dean bukanlah ayah kandung Joice. Samuel mengembuskan napas panjang, membuang pandangannya tak lagi menatap Dean. Saat ini Samuel berpura-pura di ha
“Jadi benar kalau putriku besok sudah diperbolehkan pulang, Dok?” Brianna bertanya pada sang dokter yang berdiri di hadapannya. Raut wajah Brianna sumiringah bahagia kala mendengar dari sang dokter kalau Joice sudah diperbolehkan pulang. Sang dokter menganggukan kepalanya. “Benar, Nyonya. Putri Anda sudah diperbolehkan untuk pulang.” “Terima kasih, Dokter,” jawab Brianna dengan senyuman di wajahnya. Mata Brianna memancarkan kilat tasa bahagia yang tak terhingga. Pun Selena yang sejak tadi ada di sisi Brianna turut berbahagia mendengar Joice diperbolehkan untuk pulang. “Baiklah, kalau begitu saya permisi.” Dokter segera pamit undur diri dari hadapan Brianna dan Selena. “Mommy, lihat kan? Dokter sudah memperbolehkanku pulang. Aku pintar dan kuat, Mommy. Aku sudah banyak makan. Jadi aku cepat sehat,” ucap Joice kala sang dokter sudah pergi meninggalkan ruang rawatnya. Selena dan Brianna mengalihkan pandangan mereka pada Joice yang duduk di ranjang sambil meminum susu cokelat. Di sam