Tak ada satu pun percakapan yang terjalin setelah Brianna menemui kedua orang tua Dean. Keheningan menyelimuti dua insan yang tengah berada di dalam mobil. Ya, setelah tadi Dean membawa Brianna menemui kedua orang tuanya, kini Dean harus mengantar Brianna untuk pulang. Sebelumnya, Dean sudah meminta orang kepercayaannya untuk mengantarkan mobil Brianna yang ada di kantornya—ke rumah kediaman keluarga Maxton. Tak mungkin Dean membiarkan Brianna mengambil sendiri mobil wanita itu. “Dean.” Brianna memulai sebuah percakapan. Tampak sorot mata Brianna menatap lurus ke depan. Sejak tadi hati dan pikiran Brianna begitu terusik. Semua yang terjadi membuat dirinya seakan terbelenggu di dalam penjara besi. “Hm? Ada apa, Brianna?” Dean yang tengah melajukan mobil, melirik sekilas Brianna. Brianna terdiam beberapa saat. Keraguan, khawatir, semua telah melebur menjadi satu. “Lebih baik kau pikirkan lagi sebelum benar-benar ingin menikahiku, Dean. Aku tidak tega pada Juliet, Dean. Bagaimanapun,
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pandangan lurus ke depan, dan pikiran yang menerawang. Benak Samuel terus berputar mengingat perkataan Dean. Tak menampik, Samuel ingin melihat Brianna dan Joice bahagia, tetapi banyak keraguan dalam dirinya melepas Brianna dan Joice pada Dean. Sudah cukup penderitaan yang dialami oleh Brianna. Samuel tak akan pernah membiarkan adiknya kembali hidup menderita. Namun, haruskah dirinya membiarkan adiknya menikah dengan Dean? Apa mungkin benar, Dean bisa membahagiakan adiknya dan juga keponakannya? Sejak di mana Brianna bercerai dari Ivan, Samuel yang menggantikan peran Ivan. Meski dulu, Samuel tak tinggal di London tapi tetap Samuel mengawasi adik dan keponakannya dari kejauhan. Samuel memejamkan mata singkat. Menegak wine di tangannya hingga tandas. Kepalanya begitu berkecamuk tak menentu. Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu—pria itu berdecak kesal kala ada yang mengganggunya. Dengan
Hari berlalu begitu cepat, hingga tiba di mana waktu keluarga Maxton akan bertemu dengan keluarga Osbert. Ya, pertemuan ini memang tak dihalangi oleh Samuel, namun sampai detik ini belum juga terucap jika Samuel menyetujui rencana pernikahan Dean dan Brianna. Bukan tanpa alasan, tapi Samuel memang sengaja memilih untuk diam. Pria itu ingin melihat kesungguhan apa yang dilakukan Dean demi menikahi adiknya. Sejak di mana Samuel telah mendapatkan informasi tentang Dean, memang Samuel tak lagi sampai melarang keras hubungan Dean dan Brianna. Tak memungkiri ada nilai plus dari sifat Dean yang membuat Samuel akhirnya tak terlalu melarang keras hubungan mereka. “Sayang.” Selena menghampiri Samuel yang tengah memakai arloji. “Hm?” Samuel mengalihkan pandangannya, menatap sang istri yang menghampirinya. Selena tersenyum hangat. Lantas, wanita itu merapikan sedikit kerah baju sang suami yang kurang rapi. Menepuk-nepuk dada bidang suaminya itu sambil berkata, “Hari ini kita akan bertemu deng
“Shit!” Dean mengumpat kasar kala melihat truck menghadang mobilnya, hingga membuatnya tak bisa mencari sela. Sialnya, mobil Brianna sudah melaju lebih dulu dari truck yang menghadang Dean, dan membuat Dean kehilangan jejak keberadaan Selena. Andai saja tak ada truck yang menghalangi sudah pasti Dean bisa mengejar mobil Brianna. Dean menekan klakson mobilnya agar truck di depan memberikan jalan. Dan ketika truck di depannya memberikan sedikit sela, Dean menginjak pedal gas kuat-kuat—melajukan kecepatan penuh menyalip mobil-mobil yang menghalanginya. Dean tak peduli melanggar aturan lalu lintas sekalipun. Yang Dean pikirkan saat ini hanyalah Brianna. Dean tak mau menunda-nunda. Dia harus menjelaskan sekarang pada Brianna agar Brianna tidak salah paham. Dean mengendarkan pandangannya ke sekitar, mobil Brianna benar-benar sudah tidak ada. Tanpa menunggu lama, Dean langsung mengambil ponselnya dan berusaha menghubungi nomor Brianna. Namun, sayangnya nomor ponsel Brianna tidaklah aktif.
Malam semakin larut. Udara dingin menyelinap masuk ke dalam sela-sela jendela. Dua insan terbaring di ranjang dengan posisi saling berpelukan seakan tak ingin terlepas. Tampak Dean yang sudah lebih dulu bangun, tak lepas menatap Brianna yang terlelap dalam pelukannya. Wajah cantik Brianna seakan memanjakan mata Dean, hingga membuatnya tak bisa berpaling sedikit pun dari wanita itu. Tak bisa memungkiri, Brianna memiliki pesona yang istimewa. Sejak awal Dean melihat Brianna, hatinya meraskan sesuatu yang mengusik hati dan pikirannya. Tak pernah Dean kira bahwa Brianna adalah pemilik kalung yang selama ini dia cari. Dunia benar-benar sempit. Andai Dean tahu lebih awal, maka Dean tak akan pernah membiarkan Brianna menikahi seorang pria berengsek. Dean membelai pipi Brianna. Lantas, pria itu menarik dagu Brianna, mencium dan melumat lembut bibir Brianna. Manis, sangat manis. Bibir Brianna layaknya nikotin yang membuat Dean kecanduan. Dean seakan tak bisa berhenti mencium Brianna. Segala
Keesokan hari, Brianna dan Dean langsung bersiap-siap untuk meninggalkan apartemen. Setelah tadi malam mereka menghabiskan malam bersama, sekarang sudah waktunya mereka untuk menyelesaikan kembali masalah yang menghampiri mereka. Baik Dean ataupun Brianna memang tak ingin menunda-nunda. Terlebih masalah hadir sampai melibatkan pihak keluarga. “Brianna, aku akan mengantarmu pulang. Setelah mengantarmu, aku akan ke apartemen Juliet,” ucap Dean yang ingin mengantarkan Brianna pulang ke rumah. “Tidak usah, Dean. Aku pulang sendiri saja. Aku kan bawa mobil.” Brianna membelai rahang Dean lembut seraya memberikan kecupan di sana. “Aku mengantarmu saja. Aku tidak tenang kau pulang sendiri,” balas Dean yang tak suka jika Brianna pulang sendiri. Brianna menghela napas dalam. Wanita itu melingkarkan tangannya ke leher Dean, merapatkan tubuhnya ke tubuh pria itu. “Dean, kalau kau mengantarku pulang masalah akan semakin rumit. Kakakku akan mencercamu dengan banyaknya pertanyaan. Aku tidak mau
“Jangan salahkan Juliet. Aku yang bersalah. Anak yang di kandung Juliet adalah anakku.” Suara berat seorang pria memasuki ruangan di mana keluarga Maxton berkumpul bersama dengan Dean dan Juliet. Ya, suara berat itu sukses membuat semua orang yang ada di sana mengalihkan pandangan mereka pada sumber suara itu. Seketika semua orang di sana terkejut melihat sosok pria yang tak asing di mata mereka. Pria tampan berpakaian santai. Kaus hitam membalut tubuh kekarnya. Wajah yang nampak sebagai pria penggoda para wanita. Aura ketegasan namun terselimuti akan sifat yang santai dan tenang. Bibir semua orang di sana menganga lebar akibat keterkejutan. Hening. Ruang keluarga megah itu hening belum ada suara sedikit pun. Mereka semua masih diam membeku di tempat. Semua orang itu mengenal sosok pria yang datang, tapi tidak dengan Juliet. Hanya Juliet yang sama sekali tak mengenal wajah pria itu. Namun, suara pria itu nampak tak asing di telinga Juliet. “Rava? Kau—” Samuel nyaris kehilangan kat
Juliet menatap langit malam yang dihiasi bulan dan bintang. Wanita itu berdiri di taman dekat apartemennya. Cuaca malam itu begitu cerah. Langit malam pun terang tak mendung. Itu yang membuat Juliet ingin menikmati suasana malam. Sesekali Juliet menarik napas dalam dan mengembuskan perlahan. Memejamkan mata kala embusan angin pun menerpa kulitnya. Keheningan menyelimuti tempat di mana Juliet berada. Tentu Juliet tak hanya sendiri. Di samping Juliet ada Rava yang sedari tadi setia menemaninya. Tak banyak percakapan yang berlangsung, Juliet masih diam seribu bahasa. Sejak di mana Rava datang ke keluarga Maxton, Juliet masih belum berkomentar apa pun. Ya, semua yang terjadi memang begitu mengejutkan. Lebih tepatnya Juliet tak menyangka akan berada di titik sekarang ini. Hubungan yang benar-benar sangatlah rumit. “Kau tidak mau bicara apa pun padaku, Juliet?” tanya Rava seraya menatap Juliet yang sedari tadi menatap langit luas. “Aku bingung, Rava,” ucap Juliet pelan. Rava meraih kedu
Beberapa bulan kemudian … Zurich, Swiss. Langit begitu biru dan indah membaur dengan perkebunan buah anggur yang ada di Swiss. Cuaca pagi di musim semi sangatlah indah. Angin yang berembus ke kulit begitu menyejukan. Tampak tatapan Selena sedari tadi menatap Oliver yang tengah bersama dengan Javier memetik buah anggur di perkebunan. Meski ada empat pengawal yang menemani Oliver dan Javier tetap saja Selena tak bisa melepaskan tatapannya dari kedua anak laki-lakinya itu. “Sayang, Oliver bisa menjaga Javier dengan baik. Kau tenang saja.” Samuel membelai pipi Selena dengan lembut. Selena menghela napas dalam. Tatapan Selena mulai teralih ke dua bayi perempuan kembarnya yang tertidur lelap di stroller. Senyuman di wajah Selena pun terlukis hangat melihat Stacy dan Sierra tertidur pulas. Sekarang usia Stacy dan Sierra sudah 7 bulan. Tubuh kedua bayi perempuannya sangat gemuk dan sehat. Stacy yang lahir lebih dulu memiliki rambut berwarna cokelat tebal dan mata biru. Sedangkan Sierra—s
Miller International School, London. “Aw.” Seorang gadis kecil cantik terjatuh akibat bermain lari-larian dengan teman-temannya. Tampak lutut gadis kecil itu terluka dan mengeluarkan darah. Dengan pelan, gadis kecil itu berusaha untuk bangun tapi tubuhnya malah tak seimbang dan nyaris jatuh. Tepat dikala tubuh gadis kecil itu nyaris terjatuh, sosok bocah laki-laki yang memiliki postur tubuh tinggi menangkap gadis kecil itu. “Terima kasih,” ucap gadis kecil itu melangkah menjauh dari laki-laki yang membantunya. Namun, tiba-tiba manik mata gadis kecil itu melebar terkejut kala menatap sosok laki-laki yang telah membantunya itu. “Oliver? Kau di sini?” Mata Nicole mengerjap beberapa kali menatap Oliver. Oliver menarik tangan Nicole, mendudukan tubuh Nicole di kursi, lalu bocah laki-laki itu mengambil kotak obat yang letaknya berada di ruang kesehatan. Beruntung ruang kesehatan tidak terlalu jauh dari posisi di mana Oliver dan Nicole berada. Saat kotak obat sudah ada di tangan Oliver,
“Bye, Sayang. Jaga diri kalian. Jangan membuat Grandpa William dan Grandma Marsha kerepotan. Ingat kalian harus patuh pada Grandpa dan Grandma.” Selena berseru pada Oliver dan Javier yang masuk ke dalam mobil. Terlihat Oliver dan Javier kompak mengangguk patuh merespon ucapan ibu mereka. Ya, hari ini Oliver dan Javier harus pergi ke rumah William dan Marsha. Menjelang Selena melahirkan, William dan Marsha memang berada di London. Sedangkan kakak dan adik Selena lain akan tiba di London dalam waktu beberapa hari lagi. Mengingat kakak dan adik Selena tak tinggal di negara yang sama, membuat Selena tak terlalu sering bertemu dengan kakak dan adiknya. Meski demikian, komunikasi selalu terjalin dengan sangat erat. “Bye, Papa, Mama.” Oliver dan Javier melambaikan tangan mereka kompak pada Selena dan Samuel. Pun Selena dan Samuel membalas lambaian tangan anak-anak mereka. Dan ketika mobil yang membawa Oliver dan Javier sudah pergi, Selena segera masuk ke dalam rumah tanpa mengatakan pada S
“Oh, My God! Raven, Rosalie, kenapa kalian merusak make up Mommy? Astaga! Ini make up kesayangan Mommy, Sayang.” Juliet rasanya ingin menjerit melihat semua perlengkapan make up miliknya hancur berantakan. Mulai dari koleksi lipstick, eyeshadow, foundation, dan masih banyak lainnya. Semua sudah berantakan di lantai kamar. Baru beberapa detik Juliet ke kamar mandi karena mengambil ponselnya yang tertinggal di wastafel, tapi dalam hitungan detik juga kamar sudah seperti kapal pecah. Memang kedua anaknya itu sudah sangat aktif. Sore ini, Juliet sengaja tak meminta pengasuh untuk masuk ke dalam kamarnya, pasalnya Juliet ingin mengajak kedua anaknya itu bermain sambil menunggu sang suami pulang dari kantor. Tapi alih-alih niatnya terealisasi malah kekacauan sudah lebih dulu tiba menghampiri dirinya. Sungguh, Juliet bisa-bisanya lupa kalau kedua anaknya sangatlah aktif. Alhasil koleksi make up miliknya hancur lebur. Bedak saja sudah berceceran di lantai. Terutama lipstick yang tak lagi ber
“Mommy, aku pulang.” Joice melangkah masuk ke dalam rumah dengan raut wajah yang muram. Gadis kecil cantik itu nampak lesu seperti tengah memikirkan hal yang mengusik pikirannya. Joice meletakan tas sekolah ke sofa, dan duduk di sofa itu. Jika biasanya Joice selalu riang gembira, kali ini gadis kecil itu tak seceria biasanya. “Sayang? Kau kenapa?” Brianna yang baru saja selesai menyiram tanaman, dikejutkan dengan putri kecilnya yang pulang dari sekolah dalam keadaan wajah yang muram. Padahal setiap hari, Joice selalu pulang sekolah dalam keadaan wajah yang riang gembira. “Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya lelah saja,” jawab Joice pelan. Brianna menghela napas dalam. Brianna yakin pasti ada yang tidak beres dengan putri kecinya itu. “Katakan pada Mommy ada apa, Nak?” tanyanya seraya duduk di samping Joice. “Mommy aku ingin bertanya padamu.” “Kau ingin tanya apa, Sayang?” “Hm, apa aku ini tidak cantik, Mom?” Joice menyandarkan kepalanya di lengan Brianna. Bibir Joice mengerut, menunj
Tiga tahun berlalu … Miller International School, London. “Oliver Maxton! Pulang sekarang! Tidak ada main basket!” Selena berkacak pinggang mengomel pada putra sulungnya yang berusia 8 tahun. Tampak mata Selena menatap dingin dan tegas putranya itu. Aura kemarahan begitu terlihat jelas di paras cantik wanita itu. Dengan keadaan perut yang membuncit, Selena mengomeli putranya di tengah jalan. Ya, saat ini Selena tengah mengandung untuk ketiga kalinya. Ulah Samuel membuat Selena hamil lagi. Hanya saja kali ini berbeda. Kehamilan ketiga ini, Selena hamil bayi kembar. Sungguh, Selena berjanji setelah ini dia akan steril tak ingin lagi memiliki anak. Tubuhnya baru saja langsing tapi sudah harus bengkak lagi. Padahal niat Selena adalah memiliki dua anak. Tapi ternyata malah kecolongan. “Ck! Ma, guru sudah menghukumku time out. Mama kenapa menghukumku juga? Nanti aku akan menghubungi Grandpa William. Aku akan meminta Grandpa William memecat guru yang sudah berani menghukumku,” tukas Oli
Beberapa bulan kemudian … Fistral Beach, Newquay, UK. Deburan ombak menyapu kaki telanjang Juliet. Angin berembus menerpa kulit Juliet membuatnya Juliet memejamkan matanya sebentar, menikmati keindahan musim panas. Tampak Rava begitu setia mengikuti langkah kaki Juliet. Sesekali Juliet menatap banyak anak muda yang siap-siap untuk berselancar. Fistral Beach memang salah satu pantai di Inggris yang menjadi tempat favorite untuk berselancar. Kandungan Juliet kini telah memasuki minggu ke dua puluh tiga. Perut Juliet sudah membuncit. Tubuhnya pun mulai mengalami kenaikan berat badan, namun tak terlalu parah. Pasalnya selama hamil, Juliet tak terlalu nafsu makan. Meski sudah dipaksa oleh Rava, tapi tetap saja Juliet menolak. Trimester pertama, Juliet mengalami mual hebat sampai tak bisa makan apa pun. Rava sampai harus meminta dokter mengontrol Juliet setiap hari karena Juliet tak bisa makan. Dan beruntung sekarang kondisi Juliet sudah jauh lebih baik. Ngomong-ngomong, anak yang ad
Seoul, South Korea. Angin berembus di kota Seoul begitu menyejukan. Musim semi adalah salah satu musim terbaik di Seoul. Bunga Sakura banyak tumbuh dengan indah. Salah satu kota di Benua Asia yang menyajikan keindahan dan budaya setempat yang kental. Kota ini adalah kota yang dipilih oleh Dean dan Brianna menikmati bulan madu indah mereka. Selama di Seoul, Dean dan Brianna selalu mengabadikan moment-moment indah mereka. Moment di mana tak akan pernah mereka lupakan. Dua insan itu akhirnya telah menjadi satu setelah banyaknya rintangan. Meski tak mudah, tapi Dean dan Brianna membuktikan mereka mampu bersatu. “Sayang, ayo bangun. Kenapa jam segini kau belum bangun juga?” Brianna menggoyangkan bahu Dean, meminta suaminya itu untuk bangun. Waktu menunjukan pukul 10 pagi. Brianna ingin segera jalan-jalan menikmati indahnya kota Seoul. Meski lelah karena selalu olahraga malam, tapi Brianna tak mau menyia-nyiakan moment bulan madunya dengan sang suami tercinta. Dean menggeliat mendengar
Sebuah hotel mewah di London telah dipadati oleh wartawan yang lebih dulu hadir. Dekorasi ballroom hotel itu tampak memukau. Hiasan mawar dipadukan bunga lily dan batu Swarovski begitu indah menawan. Red carpet yang terpasang di lantai seakan memberikan sentuhan mewah. Ballroom hotel megah ini telah disulap layaknya tempat di mana pangeran dan putri akan menikah. Nuansa tema kental kerajaan melekat di ballroom hotel megah itu. Ya, hari ini adalah hari yang telah dinanti-nantikan oleh Dean dan Brianna. Hari di mana mereka akan segera melangsungkan pernikahan. Setelah banyaknya rintangan yang mereka hadapi akhirnya Dean dan Brianna dapat melewati badai masalah yang hadir. Takdir memang memiliki caranya sendiri menunjukan siapa belahan jiwa kita yang sebenarnya. Harusnya Dean menikah dengan Juliet, tapi ternyata takdir Dean adalah Brianna. Sedangkan Juliet menikah dengan Rava. Pun dulu Samuel tak menyetujui hubungan Dean dan Brianna. Samuel adalah satu-satunya orang yang menentang hubu