Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
“Jangan berpikir karena kau sudah tidur denganku, kau pantas berada di sampingku. Kau sama saja seperti jalang yang pernah tidur denganku.”Suara berat terdengar begitu dingin, dan menusuk ke indra pendengaran seorang wanita yang masih berada di ranjang, dengan tubuh polosnya yang hanya terbalut oleh selimut tebal. Tampak wanita itu menatap nanar sosok pria yang bertubuh kokoh dan gagah di hadapannya yang telah terbalut oleh bathrobe. Sorot mata sayu, dan melemah begitu terlihat jelas di wajah cantiknya.“S-Samuel—“ Selena memanggil nama Samuel dengan nada yang lirih. Wanita itu melihat tubuhnya sendiri tampak begitu kacau.Dadanya mencelos begitu Samuel mengatakan hal sejahat itu.Samuel menaikan sebelah alisnya, menatap Selena yang memanggilnya. Aura wajah dingin, dan terselimuti keangkuhan begitu terlihat di wajah Samuel. Kini Samuel melangkahkan kakinya mendekat pada Selena. Sejenak, Samuel masih terdiam dengan tatapan yang tak lepas mengamati keadaan Selena. Rambut wanita itu ber
Satu bulan kemudian…Selena memuntahkan semua isi perutnya. Sudah tak lagi terhitung berapa kali wanita itu bolak-balik kamar mandi. Tampak wajah Selena terlihat pucat. Peluh membanjiri pelipisnya. Kepala Selena memberat. Beberapa kali tubuh Selena terhuyung nyaris jatuh. Namun, wanita itu segera menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi demi menjaga keseimbangan tubuhnya.Selena menatap nanar sebuah tespack dua garis. Sorot mata Selena terlihat melemah. Sudah lebih dari lima kali Selena melakukan test kehamilan, dan hasilnya tetap sama. Positif. Ada makhluk kecil di dalam rahimnya.Bulir air mata Selena mulai jatuh membasahi pipinya. Kejadian malam itu memang Samuel tak memakai pengaman. Akan tetapi Selena tidak pernah menyangka akan mengandung anak Samuel. Apa mungkin pria itu mau menerima anak ini? Atau malah Samuel memintanya menggugurkan kandungannya? Selena diambang kebingungan bercampur dengan kehancuran. Selena tak akan mungkin menggugurkan kandungan ini. Pun dia tak mun
*Sayang, Mama tidak bisa pulang sekarang. Tapi nanti Mama akan usahakan pulang secepatnya. Sekarang lebih baik kau bermain dulu, ya. Mama masih meeting.*Selena menutup panggilan telepon itu. Ya, Oliver Nicholas—putra kecilnya yang berusia empat tahun itu memang kerap meminta Selena pulang lebih awal. Akan tetapi, Selena tidak bisa menuruti keinginan putra kecilnya. Banyak pekerjaan yang Selena harus selesaikan. Seperti saat ini dirinya tengah meeting bersama dengan para karyawannya.“Maaf, terpotong. Kita lanjutkan meeting kita.” Selena berujar pada para karyawan yang ada di hadapannya.“Tidak apa-apa, Nona. Kami mengerti.” Salah satu manager yang ada di ruang meeting itu menjawab ucapan Selena dengan sopan.“Bulan depan kita memiliki project di mana salah satu client kita memercayakan gedung yang dibeli dari kita untuk dibangun dengan design yang bernuansa klasik. Aku ingin kalian mencarikan designer interior baru yang terbaik untuk bisa bekerja dengan kita. Pastikan designer interi
Selena melangkah meninggalkan ruang meeting dengan raut wajah yang jelas menunjukan menahan rasa kesalnya. Tampak Mika dan Ezra—kakak beradik pemilik tanah yang dia ingin beli berusaha berbicara pada Selena. Sayangnya, Selena mengabaikan kakak beradik itu. Selena tak mau banyak berbasa-basi. Emosi yang terbendung dalam dirinya seolah begitu membakar dan nyaris meledak.“Kau sepertinya terlihat sangat marah, Selena.”Suara berat dari arah belakang sontak membuat Selena segera mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Ya, kini Selena tengah berada di halaman parkir mobil gedung perkantoran milik sang pemilik tanah yang tadi dia temui. Dia ingin segera kembali ke kantornya. Namun, langkah Selena harus terhenti melihat sosok pria berwajah iblis ada di hadapannya. Tampak sepasang iris mata Selena menatap dingin dan lekat iblis itu.“Untuk apa aku marah hanya karena tidak bisa mendapakan tanah yang aku mau? Di London banyak lokasi yang sangat bagus. Aku bisa meminta asistenku mencarik
“Tuan Samuel.” Sang sekretaris menyapa Samuel dengan sopan seraya menundukan kepalanya kala Samuel baru saja keluar dari lift.“Apa laporan yang aku minta siapkan sudah kau kerjakan?” Suara Samuel dingin, dengan raut wajah tanpa ekspresi.“Sudah, Tuan. Laporan yang Anda minta sudah saya kerjakan semuanya. Saya juga sudah meletakan laporan itu ke atas meja kerja Anda, Tuan,” ujar sang sekretaris memberitahu. “Hm … Tuan, di ruang kerja Anda ada Nona Iris sudah menunggu Anda sejak satu jam yang lalu. Sebelumnya saya meminta Nona Iris untuk pulang, tapi beliau tidak mau, Tuan. Nona Iris ingin menunggu hingga Anda datang.” Sang sekretaris melanjutkan ucapannya.Samuel mengembuskan napas kasar. Dia tak menyangka kalau Iris—tunangannya datang ke London. Padahal sebelumnya Samuel sudah meminta Iris untuk menunggu dirinya pulang.Tanpa berkata apa pun, Samuel langsung melangkahkan masuk menuju ruang kerjanya. Pun sekretarisnya itu membungkukan kepala, kala Samuel sudah meninggalkannya.“Sayang
Selena menatap pantulan cermin. Melihat dirinya sudah rapi dan segar. Dress dengan model tali spaghetti berwarna merah motif bunga-bunga begitu indah membalut tubuhnya. Harusnya dari penampilan wajah Selena pun tampak cerah tapi tidak dengan kenyataan. Raut wajah Selena terlihat sedikit muram. Ya, hari ini Selena harus mengunjungi gedung perusahaan milik Samuel. Hari ini pembangunan kantor Samuel sudah dimulai. Pun Selena sudah meminta team-nya memulai mengatur semuanya. Akan tetapi Selena tetap harus memberikan pengawasan. Karena memang Selena merintis semua usahannya dari bawah. Selena bukanlah atasan yang menyerahkan sepenuhnya pekerjaan pada bawahan. Tidak, Selena tidak seperti itu. Selama ini Selena selalu ingin memastikan client-nya merasa puas dengan perusahaannya. Apalagi perusahannya bergerak di bidang jasa. Di mana kepuasan pelanggan adalah nomor satu. Dan hal yang menjadi masalah adalah client-nya kali ini adalah Samuel Maxton—pria yang tak pernah ingin lagi Selena temui.
“Shit!” Brianna mengumpat dalam hati seraya memukul setir mobilnya. Raut wajah Brianna berubah dingin dan memendung kekesalan mendalam. Yang membuat Brianna emosi adalah Dean membawa Joice tanpa bilang apa pun padanya. Andai saja Dean bukanlah pria yang menjadi teman kencan satu malamnya dulu, maka Brianna tak akan sekesal ini. Tidak bisa dipungkiri, Brianna takut kalau Dean merampas Joice dalam hidupnya. Selama ini Brianna nyaman akan orang-orang beranggapan Joice adalah anak kandung Ivan. Dan sekarang, Brianna harus menghadapi kenyataan serumit ini. Suara dering ponsel terdengar. Refleks, Brianna mengambil ponselnya—dan menatap ke layar terpampang nama Dwyne—asistennya. Ya, sekitar sepuluh menit lalu, Brianna meminta asistennya untuk mencari nama Dean. Tak mungkin Brianna bertanya pada Samuel ataupun Selena. Masalah akan semakin rumit jika sampai Samuel dan Selena tahu. “Kau sudah mendapatkan alamat Dean?” jawab Brianna kala panggilan terhubung. “Sudah, Nyonya. Saya sudah mendap
Suara bell sekolah berbunyi menandakan siswa dan siswi diperbolehkan untuk pulang. Pelajaran pun telah berakhir. Terlihat Joice dan Oliver begitu bersemangat untuk pulang. Terlebih Joice yang sejak tadi mengusap-usap perut buncitnya menandakan bahwa Joice sudah sangat lapar. Memang Joice terkenal dengan tak bisa menahan lapar sedikit. Ditambah di kelas siswa dan siswi dilarang untuk makan. Hanya diperbolehkan minum saja. Tapi minum mana bisa membuat Joice kenyang? “Oliver, ayo cepat sedikit. Aku sudah lapar, Oliver. Sopir pasti sudah menjemput kita di depan kan?” ujar Joice meminta Oliver untuk cepat. Pasalnya, Oliver sangat lama sekali memasukan kotak pensil ke dalam tas. Oliver mendengkus. “Sabar, Joice. Kalau aku diburu-buru nanti ada barangku yang tertinggal.” Bibir Joice mencebik. Gadis kecil itu langsung memiliki inisiatif membantu Oliver—memasukan barang-barang milik Oliver ke dalam tas Oliver. Pun Oliver tak mengomel kala Joice membantunya. “Sudah selesai.” Joice berucap
Brianna menatap hangat Joice yang tengah memakan ice cream. Tatapan mata Brianna tak lepas menatap Joice begitu dalam. Tatapan menatap Joice penuh kasih sayang seorang ibu. Mata Brianna hendak mengeluarkan air mata, namun dengan cepat Brianna menahan diri agar tak meneteskan air mata. Brianna tidak mau sampai Joice melihatnya bersedih. Ivan—mantan suami Brianna sekarang telah masuk penjara. Keluarga Maxton dan keluarga Geovan sudah tahu kalau tentang penculikan Brianna dan Selena. Tentu saja William—ayah Selena mengamuk dan sampai datang ke penjara karena ingin memukul Ivan. Pun Kelton juga sampai datang ke penjara karena ingin menghajar Ivan. Namun, Samuel segera mencegah karena Samuel tak ingin masalah semakin rumit. Semua telah berlalu. Masalah tentang Ivan pun telah selesai. Pada akhirnya yang jahat akan mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat. Akan tetapi ada suatu hal yang mengganggu pikiran dan Brianna saat ini. Sesuatu yang selalu membuat Brianna merasakan kek
“Bagaimana keadaannya? Tidak ada luka yang serius kan?” Dean bertanya cepat kala dokter baru saja selesai memeriksa keadaan Brianna. Di balik wajah tenang dan diam, raut wajah Dean menunjukan jelas rasa cemasnya akan kondisi Brianna. “Tuan, Anda tidak perlu khawatir. Keadaan Nyonya Brianna baik-baik saja,” jawab sang dokter sopan pada Dean. Dean mengangguk singkat. Sekarang dirinya bisa tenang karena kondisi Brianna baik-baik saja. “Thanks,” jawabnya datar. “Sama-sama, Tuan. Kalau begitu saya permisi.” Sang dokter segera pamit undur diri dari hadapan Dean. Saat dokter sudah pergi, Dean melangkah mendekat pada Brianna. Lantas, pria itu duduk tepat di tepi ranjang. Menatap Brianna hangat. “Dokter bilang kau baik-baik saja, Brianna. Aku senang kau tidak memiliki luka serius.” Perlahan, Brianna bangun dari ranjang dan segera mengambil posisi duduk agar berhadapan dengan Dean. Refleks, Dean pun membantu Brianna untuk duduk. Pria itu mengambil bantal dan meletakannya ke punggung Briann
“Kau—” Mata Ivan melebar terkejut melihat sosok pria memakai jaket kulit hitam berdiri di ambang pintu. Tampak sepasang iris mata Ivan menatap tajam sosok pria yang baru saja datang itu. “Siapa kau!” bentak Ivan keras seraya melepaskan Brianna dari cengkraman tangannya.Pria itu tersenyum samar kala Ivan tak mengenali dirinya. Lantas, pria itu melangkah masuk mendekat pada Ivan. “Kau benar-benar tidak mengenaliku?” tanyanya dingin dan menusuk seakan menimbulkan atmosfer menyeramkan. Sayup-sayup mata Selena mulai terbuka seraya memeluk perutnya erat. Suara berat begitu familiar di telinga Selena terdengar. Detik selanjutnya, Selena mengalihkan pandangannya menatap ke sumber suara itu. Seketika mata Selena menyipit terkejut melihat sosok yang dia kenal berdiri di ambang pintu. “D-Dominic?” Tenggorokan Selena nyaris tercekat melihat adik laki-laki bungsunya. Ivan terkejut akan respon Selena yang mengenal sosok pria di hadapannya. Raut wajah Ivan sedikit memucat. Nama ‘Dominic’ mulai
*Help me!* Tubuh Samuel menegang dengan sorot mata tajam menatap pesan singat dari Selena. Tampak raut wajah Samuel menunjukan jelas kepanikan dan kecemasan. Dengan gerak yang sangat cepat, Samuel segera menghubungi nomor Selena. Namun, sayangnya nomor Selena sudah tidak lagi aktif. Jantung Samuel berpacu dengan cepat. Pancaran mata Samuel menunjukan rasa khawatir. Terlebih pesan singkat Selena seakan memberikannya sebuah tanda. Samuel tetap berusaha tenang walau rasa cemas dan takut tak kunjung hilang. Tiba-tiba, ingatan Samuel mengingat hari ini Selena akan pergi dengan Brianna ke supermarket. Tanpa menunggu lama, Samuel segera menghubungi nomor Brianna. “Berengsek!” Samuel meremas kuat ponselnya kala yang dia dengar hanyalah suara operator yang memberikannya informasi nomor Brianna tak aktif. Kilat mata Samuel kian begitu tajam. Insting kuatnya sudah menduga terjadi sesuatu dengan Selena dan Brianna. “Samuel, ada apa?” Rava sejak tadi bingung akan wajah Samuel yang menunjukan
“Selena, hari ini aku tidak ke kantor. Rencananya siang ini aku ingin menyiapkan makan siang untuk Joice dan Oliver pulang sekolah nanti. Apa kau mau menemaniku ke supermarket? Ada beberpa bahan makanan yang tidak ada.” Brianna melangkah menghampiri Selena yang berada di ruang tengah—sedang melihat pelayan yang tengah menata lukisan dan pajangan yang baru saja Selena beli. “Kau hari ini tidak ke kantor, Brianna?” tanya Selena memastikan dengan senyuman di wajahnya. Ya, sudah beberapa hari ini, Selena tinggal di rumah mertuanya. Semua atas permintaan Samuel. Tentu Selena hanya menuruti keinginan sang suami. Lagi pula, Oliver pun bisa dekat dengan Joice. Jadi Selena tak bisa menolak. Brianna mengangguk. “Iya, Selena. Hari ini aku tidak ke kantor. Aku ingin memasak untuk Joice dan Oliver. Kau mau tidak menemaniku ke supermarket? Ada beberapa bahan makanan yang kosong. Aku sedang tidak ingin menyuruh pelayan.” Selena kembali tersenyum. “Tentu aku akan menemanimu, Brianna. Aku juga jenu
Samuel duduk di kursi kebesarannya dengan pikiran menerawang lurus ke depan. Sepasang iris mata cokelat gelap Samuel terhunus tajam dan tersirat memendung amarah. Rahang Samuel mengetat. Tangannya terkepal begitu kuat. Benak Samuel sejak tadi memikirkan perkataan Dominic. Perkataan di mana, Dominic memperingati dirinya kalau Brianna tengah berada dalam bahaya. Tentu Samuel akan langsung memercayai perkataan Dominic. Selama ini, Dominic bukanlah pria yang suka bermain-main. Hanya saja yang ada dalam pikiran Samuel adalah siapa yang berani memiliki niat mencelakai adiknya. Selama ini, Brianna tidak memiliki musuh. Pun Samuel yakin, Brianna tak memiliki teman yang menaruh dendam padanya. Sifat Brianna nyaris sama dengan Selena. Brianna bukan orang yang suka membuat masalah. Saat Samuel tengah berpikir tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Refleks, Samuel mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan segera menginterupsi untuk masuk. Tampak Vian—asisten Samuel melangkah masuk ke dalam
Hari yang ditunggu-tunggu Joice telah tiba, hari di mana Joice diperbolehkan untuk pulang ke rumah. Sejak tadi para pelayan sudah sibuk membawakan barang-barang milik Joice menuju mobil. Meski hanya beberapa hari saja tapi nyatanya barang-barang Joice cukup banyak. Tidak hanya pakaian tapi juga banyak mainan. Tak heran jika banyak sekali koper yang dibawa oleh para pelayan. “Mom, ayo kita pulang. Aku ingin segera pulang, Mom,” ucap Joice tak sabar. Gadis kecil itu tengah duduk di kursi roda, menunggu untuk dibawa pulang. “Tunggu Paman Samuel ya, Nak,” jawab Brianna sambil mengelus pipi Joice. Joice menganggukan kepalanya. “Iya, Mom.” “Sabar ya, Sayang. Nanti pasti Paman Samuel datang. Tadi Paman Samuel sedang bicara sebentar dengan dokter,” jawab Selena seraya membelai rambut Joice. “Iya, Bibi cantik,” balas Joice riang. Di ruang rawat Joice hanya ada Selena, Brianna, dan Oliver. Sedangkan seluruh keluarga menunggu di rumah. Baik keluarga Selena ataupun keluarga Samuel menunggu