"Lebih baik sekarang kau pergi! Ini sudah malam! Aku ingin istirahat!" lanjut Barra tanpa menatap sang lawan bicara.
Pria itu sepertinya lebih tertarik melihat beberapa tanaman hias yang ada di samping ruang inapnya. Barra sama sekali tak mau melakukan kontak mata dengan Clarissa lagi, hingga membuat wanita itu semakin merasa kebingungan hendak berbuat apa."Barra, tolong jangan usir aku lagi! Seperti yang telah aku bilang tadi siang, aku hanya ingin menemani di saat buruk yang seperti ini! Cukup itu saja, Barra! Aku tidak akan bisa melihat pria yang kucintai seperti ini ter—""Sudah kubilang, aku bisa sendiri! Lagipula aku tidak merasa buruk! Aku baik-baik saja!" potong Barra cepat yang berusaha mati-matian tidak mendorong wanita yang terus berusaha menempel padanya itu."Kau tidak perlu berbohong, Barra!" Clarissa menyahut seraya menyeka sudut matanya. "Aku tahu apa yang kau rasakan! Mana ada orang yang baik-baik saja, ketika melihat orang yangSesuai dengan apa yang telah dikatakan Jack sebelumnya, pria itu ternyata benar-benar berusaha mempercepat semua yang berkaitan tentang hubungannya bersama Kara. Sedikit banyak Jack sudah menceritakan tentang bundanya Arka tersebut pada keluarga terdekat, dan mendapatkan respon yang cukup baik. Hingga sekiranya kurang lebih setelah dua Minggu berlalu, barulah ia mempunyai kesempatan untuk mempertemukan Kara secara langsung dengan keluarganya tepat di acara peresmian jabatan dirinya yang sempat tertunda karena suatu hal."Bagaimana penampilanku, Jack? Sebenarnya aku sangat malu, aku tidak pernah mendatangi acara yang sangat resmi seperti ini," tutur Kara yang baru saja keluar bersiap dari kamarnya.Wanita cantik itu memang berkata sejujurnya. Bundanya Arka tersebut memang tak pernah menghadiri acara yang sangat resmi seperti yang diajak oleh Jack ini, karena sebelumnya ia hanya pernah mendatangi acara pesta yang tidak terlalu formal seperti acara ulang tahun perusahaan Doo Luxe Piters
"Mau mundur dan menghindar?"Seorang wanita yang berpakaian rapi dibelakangnya segera merangkul lengan pria itu dan berusaha menahannya dengan sekuat tenaga.Barra yang cukup terkejut, sedikit berusaha melawan. Ia tak begitu terlalu banyak mengeluarkan suara, karena tak mau keberadaannya diketahui oleh orang-orang yang telah diperhatikannya tadi lebih dulu."Jangan merendahkanku, Clarissa! Aku sama sekali tidak ingin mundur dan menghindar! Aku hanya butuh kesempatan lain saja!" tekan pria itu pelan kemudian.Clarissa tersenyum tipis menanggapinya. Ia menggeleng tak percaya, dengan tangannya yang semakin merangkul lengan kekar Barra di sampingnya."Jangan mencoba mengelak, Barra. Aku tahu apa yang ada di benakmu saat ini! Lebih baik, sekarang kita langsung menemui mereka saja. Kau bilang kemarin kau mau bukti lebih 'kan? Jadi, mari kita lihat siapa Kara yang sebenarnya secara langsung!" ujar Clarissa sebelum mulai melangkahkan kakinya dengan elegan dan tersenyum, sambil terus mendekap
Degghh!Barra sedikit tak percaya dengan sikap Arka barusan padanya. Ia sungguh tak menyangka diperlakukan asing seperti ini oleh anak kecil tersebut, dan bahkan Arka lebih terlihat seperti sangat menghindari dirinya.Tak ada lagi basa-basi hangat yang dilakukan anak kecil itu padanya, dan bahkan tak ada lagi panggilan kesayangan yang didengar oleh dua telinganya.Om Baik! Ke mana hilangnya panggilan itu? Panggilan yang sangat melengking tersebut benar-benar sudah sangat dirindukan Barra sejak kemarin ini, tetapi sayang nampaknya tak akan ada lagi yang memanggilnya seperti itu saat ini.Kara sudah jelas menekankan tepat di hadapannya akan segera menikah dengan Jack, dan sekarang Arka? Ternyata anak kecil itu juga ikut menghindarinya, yang mana semakin menambah rasa pedih di dalam hati."Apa ini tandanya aku dan Kara memang tidak bisa bersatu?" Pewaris tunggal Keluarga Piterson itu kembali membatin, seraya menatap ujung sepatunya.Untuk saat ini, Barra memang tak tertarik untuk melihat
"Arka?"Barra memanggil anak kecil itu dulu, sebelum akhirnya melihat sekitar untuk memastikan tak ada orang dewasa yang sedang mendampinginya saat ini.Ah, bagaimana Arka bisa sampai ke toilet sendirian? Apa tidak ada yang memantau dan mengantarkannya? Jujur, Barra sedikit kesal karena ternyata Kara sudah mulai lalai menjaga anaknya."Kamu ke sini sendirian saja, Sayang?" tanyanya memastikan yang hanya dijawab oleh sebuah tatapan tak berkedip oleh anak kecil tersebut.Sungguh demi apa pun, sebenarnya saat ini Barra benar-benar rindu ingin memeluk tubuh mungilnya secara langsung. Namun sayang, sekarang nampaknya Arka terlihat sangat waspada pada dirinya seolah ia akan berbuat sesuatu hal yang jahat padanya.Ini sungguh sangat menyakitkannya! Sungguh! Bahkan jauh lebih terasa sakit dibandingkan dengan melihat kebersamaan Kara dan Jack tadi!Sebegitu besarnya kah dampak kepergiannya kemarin? Semua bisa dengan begitu cepat berubah,
"Apa, Om? Om mau bilang kalau selama ini Om sibuk? Bunda sudah sering bilang begitu ke Arka!" Anak kecil itu kembali berucap, membuat pasokan oksigen yang ada di sekitar Barra terasa semakin menipis.Sedari tadi, Arka memang masih belum kembali menyebutkan panggilan yang biasa anak tunggal Avaline dengar. Nampaknya Arka masih sangat marah pada dirinya, walau sekarang sudah tak lagi terlalu menghindar.Ah, Barra benar-benar merasa bodoh! Bisa-bisanya ia membuat kesalahan yang sangat fatal, sehingga membuat sangat Arka seperti ini padanya!"Maaf!" Lagi-lagi hanya kata itu yang bisa Barra ucapkan.Arka menggeleng kecewa. Ia kembali meneteskan air mata, di setiap kali teringat dengan suara isak tangis pelan bundanya dari luar kamar. Bundanya itu memang sering memanggil nama om baik yang ada di hadapannya, ada beberapa kata rindu yang terucap, dan selebihnya dirinya tak terlalu mengerti dengan apa yang sang bunda telah gumamkan."Tapi bukan itu yang ingin om sampaikan padamu, Sayang," la
Kara lantas melangkah cepat menuju lift. Ia ingin segera pulang, karena tak mau lagi berada satu gedung dengan Barra.Tak peduli dengan Jack yang masih belum ia kabari, wanita itu nampak sangat tak tahan dengan situasi yang amat membuat hatinya berkecamuk ini. Kara ingin segera menyendiri di rumah, tanpa harus melihat Barra tepat di hadapan wajahnya lagi."Tunggu, Kara!" Barra berhasil menghadang langkah kaki Kara yang amat tergesa-gesa. Netranya masih terarah pada Arka yang terus menangis di dalam gendongan wanita tersebut. Hingga akhirnya setelah berhasil menarik napas dan menenangkan diri, ia maju selangkah dan menatap penuh memohon padanya."Biar aku tenangkan Arka lebih dulu, setidaknya sampai dia berhenti menangis," ucap pria itu rendah yang seketika membuat dua alis Kara tertekuk dengan dalam."Tenangkan?" ucapnya membeo seraya menggeleng cepat kemudian. "Tidak usah dan tidak perlu, Barra! Aku tentu bisa sendiri menenangkannya sendirian, karena akulah bundanya!"Setelahnya Kar
"Huwaaa! Bunda! Bunda jangan marah-marah lagi! Arka takut!"Kara mendesah lelah, ketika tangis Arka semakin meledak setelahnya. Ia sungguh tak mengerti kenapa semua ini bisa terjadi sekarang, padahal sebelumnya Arka sangat jarang sekali menangis meraung-raung seperti ini."Bunda enggak lagi marahin kamu, Sayang," ucap Kara pelan sambil mencoba menimang sang anak dan sesekali mengecup ujung kepalanya.Namun sayangnya bukan berhenti Arka malah bergerak memberontak. Tanpa Kara sadari satu tangan mungilnya terulur ke arah Barra. Hingga pria itu langsung segera membalasnya dan menggenggam erat jari jemari mungil tersebut, meski Kara berulang kali bergerak menjauhinya."Arka mau sama om?" Barra akhirnya mengajak langsung Arka berbicara saja. Kalau menunggu persetujuan Kara, itu tentu terlalu lama. Wanita tersebut pasti tidak akan memberikan izin untuknya, karena masih merasa sangat kesal padanya."Mau! Hiks! Hikss! Arka takut sama Bunda!"Kara lemas setengah mati mendengarnya. Ia sama seka
"Jack!"Napas Kara tercekat, tepat ketika ia melihat siapa sosok yang tiba-tiba datang menghadang dengan sebuah motor yang entah punya siapa jelasnya.Untuk yang pertama kalinya, seluruh tubuh Kara benar-benar sangat membeku. Dirinya tak tahu hendak menjelaskan seperti apa pada Jack nanti, karena pastinya pria itu akan sangat marah jika saat ini mengetahui keberadaan Barra yang sedang bersamanya satu mobil.Ah, lagipula kenapa hal ini harus terjadi?! Kara tak mau membuat dia pria dewasa tersebut kembali ribut, apalagi saat ini keadaannya masih dijalan bersar yang lumayan cukup ramai."Biar aku yang turun!" Barra berucap, seraya langsung menyerahkan Arka yang sedang ada di dalam dekapannya ke Kara begitu saja. Lidah wanita itu terasa kelu tak dapat membicarakan semua kata-kata yang ada di dalam otaknya, sehingga alhasil Kara tak sempat melarang pria tersebut untuk keluar lebih dulu.Bughhh!Sebuah pukulan kencang langsun
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b