"Jack!"Napas Kara tercekat, tepat ketika ia melihat siapa sosok yang tiba-tiba datang menghadang dengan sebuah motor yang entah punya siapa jelasnya.Untuk yang pertama kalinya, seluruh tubuh Kara benar-benar sangat membeku. Dirinya tak tahu hendak menjelaskan seperti apa pada Jack nanti, karena pastinya pria itu akan sangat marah jika saat ini mengetahui keberadaan Barra yang sedang bersamanya satu mobil.Ah, lagipula kenapa hal ini harus terjadi?! Kara tak mau membuat dia pria dewasa tersebut kembali ribut, apalagi saat ini keadaannya masih dijalan bersar yang lumayan cukup ramai."Biar aku yang turun!" Barra berucap, seraya langsung menyerahkan Arka yang sedang ada di dalam dekapannya ke Kara begitu saja. Lidah wanita itu terasa kelu tak dapat membicarakan semua kata-kata yang ada di dalam otaknya, sehingga alhasil Kara tak sempat melarang pria tersebut untuk keluar lebih dulu.Bughhh!Sebuah pukulan kencang langsun
Bughhh!Nampaknya Kara terlalu terlambat untuk memperingati, hingga sedetik kemudian tubuh Jack langsung jatuh tersungkur dengan mulut yang mengeluarkan rintih kesakitan yang amat memilukan."Barra! Stop! Sudah cukup!"Kara segera menghampiri Jack yang sudah tergeletak di bawah. Ia menggeleng sesaat ketika melihat sekilas ke arah Barra, hingga setelahnya langsung mencoba membantu Jack untuk kembali berdiri dengan sekuat tenaganya."Kau sudah terlalu keterlaluan, Barra!" ujar wanita itu kembali, dengan menatap sinis pria yang wajahnya juga sebenarnya tak jauh babak-belur dari Jack.Barra menggeleng tak menyangka mendengarnya. Tidak mungkin jika Kara tak melihat kejadian yang sebenarnya. Ia tahu seperti apa rasa empati wanita tersebut, sehingga dirinya cukup terkejut juga dengan tanggapan yang seperti ini.Sungguh, Barra sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran Kara yang sekarang. Padahal pada kenyataannya sedari awal tadi dir
"Jangan sembarang mengakui, Barra! Ingat, aku belum pernah mengatakan siapa ayah kandung anakku padamu!"Kara berbicara dengan lantang, meski terselip sedikit rasa getar di sana. Ia berusaha kuat untuk sekali lagi mengahadapi Barra, walau pada kenyataan yang sebenarnya sedang merasa sangat takut kehilangan Arka dari sisinya.Mau ditutupi seperti apa pun, Kara yakin lambat-laun Barra pasti akan mengetahuinya. Terlebih sedari awal pria tersebut sudah sangat menyakini hal itu, meski dirinya telah berusaha sebisa mungkin untuk tak mengakui apa pun di hadapannya."Aku yakin kau tahu apa alasanku bisa seyakin ini, Kara! Bukankah sedari awal kita bertemu untuk yang kedua kalinya kita sudah membahas masalah ini? Jadi, rasanya kita tidak perlu mengulanginya lagi sekarang."Barra berucap, membuat Kara semakin kesulitan membasahi tenggorokannya sendiri. Lama-kelamaan, jantung wanita itu berpacu dengan cepat. Kara merasa sangat takut dan khawatir, apalagi saat ini tatapan pria tersebut semakin me
"Jack? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"Dari sekian banyak waktu, akhirnya Kara memilih bertanya pada detik ini. Ia terlihat sedikit ragu, apalagi pria yang baru saja makan di hadapannya ini tak langsung menjawab pertanyaannya."Maaf, Kara. Aku terlalu menikmati mie instan buatanmu! Sungguh, ini rasanya benar-benar sangat enak!"Kara tersenyum menanggapinya. "Biasa saja, Jack. Jangan terlalu berlebihan. Semua rasa mie instan memang seperti ini, mungkin karena tadi kamu tiba-tiba saja lapar ketika kita bicara tadi? Sehingga, rasanya jadi terasa lebih enak.""Ah, benarkah? Aku sebenarnya lupa, karena rasanya sudah lama sekali tak makan mie instan seperti ini!" Jack mengaku, seraya menguyah suapan terakhirnya.Kara menggeleng sambil tertawa sekilas. Ini memang cukup aneh, akan tetapi tak begitu aneh kalau sosok tersebut adalah orang kaya berkelas seperti Jack."Sudah? Apa mau aku masakan lagi, Jack?" tanya Kara seraya menatap sekilas sebuah piring yang kini isinya sudah tandas diha
Seperti apa yang telah direncanakan, kini Barra menunggu di sebuah taman pinggir kota untuk bertemu dengan Kara. Ia sengaja memilih tempat ini sebelumnya, agar nantinya Arka bisa senang bermain dengan bebas di tengah hamparan rerumputan dan juga beberapa alat permainan yang cukup aman."Hufftt! Aku benar-benar tidak sabar menunggu mereka berdua!" Barra bergumam sambil terus menoleh ke kanan dan kirinya.Jujur, pria itu memang sudah rindu dengan anak kecil yang tadi siang sempat menangis di dekapannya. Walau Arka masih terlihat kesal dengan dirinya, Barra masih tetap bisa merasa yakin kalau sosok mungil nan menggemaskan tersebut masih mempunyai rasa sayang yang sama sepertinya.Tak ada satu pun sudut tempat yang pengusaha muda itu lewati dengan pandangannya. Ia menyisir semua lokasi dengan semangat yang sangat menggebu, sambil sesekali melirik ke arah deret angka yang ada di jam digital mahal miliknya."Sudah lama menunggu?"Degghh!Barra sedikit terkejut, ketika mendengar suara seoran
Aroma obat-obatan, seketika langsung menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Kara. Wanita itu kini nampak begitu lunglai menatap sang anak, yang entah kenapa tiba-tiba bisa terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan dan demam yang cukup tinggi hingga membuatnya tak bisa benar-benar tidur dengan pulas.Selepas menghadiri acara peresmian jabatan Jack kemarin, Arka memang sempat sangat rewel hampir dua harian ini. Anak kecil itu sempat menangis lama dan terus menangis setelah berada di rumah, hingga kemudian Kara menyadari tubuhnya yang sedikit panas dan tak ingin makan dan minum apa pun yang telah diberikannya."Cepat sembuh ya, Sayang? Bunda tidak bisa melihatmu berlama-lama seperti ini," lirih wanita itu pelan dengan netra sembab yang entah dari kapan sudah mengeluarkan air mata lagi.Panik? Ya, itu tentu jelas! Kara sangat khawatir karena anak lelakinya, karena sebelumnya Arka sangat jarang seperti ini. Biasanya,
"Enggak! Arka enggak mau, Bunda! Mulut Arka lagi pahit!"Malam ini, anak kecil itu telah menangis kembali setelah makan malamnya baru saja diantarkan langsung oleh salah satu perawat. Sebelumnya, Kara memang telah berusaha membujuk anaknya agar mau mengisi sedikit perutnya. Namun sayang nyatanya sampai saat ini Arka masih belum mau menuruti, meski ia telah meminta tolong pada suster yang telah membawakan makanan ini untuk membantunya membujuk sang anak."Arka, Sayang. Mau makan sedikit saja ya? Bunda sangat khawatir padamu, Sayang," tutur Kara yang entah untuk ke berapa kalinya."Enggak, Bunda! Mulut Arka masih pahit! Arka enggak bisa! Arka takut muntah!" Anak kecil itu kembali menolak, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan salah satu tangannya yang terdapat luka bekas tusuk jarum infus.Tadi sekitar jam dua siang, infus yang sempat menginap di tangan anaknya itu memang telah dilepas langsung oleh dokter yang sempat memeriksanya. Katanya perkembangan kondisi tubuh anak lelakinya
"Kenapa memperhatikanku seperti itu? Kau sedang mencurigaiku?"Barra akhirnya bertanya, karena sedari tadi ia merasakan sorot mata yang terus mengawasinya. Meski sedang berusaha menghibur Arka yang sedang sakit, akan tetapi bukan berarti ia tak peka dengan sekelilingnya. Pria itu tahu betul kalau sedari tadi Kara memperhatikannya, walau mulut wanita tersebut terus bungkam tak berbicara."Jangan terlalu percaya diri, Barra! Aku sedang melihat anakku sendiri, bukan dirimu!"Pria bermata coklat tersebut terkekeh menanggapinya. "Aku rasa, Arka juga tahu siapa yang sedari tadi kau lihat. Om benar tidak, Arka?"Barra sengaja melempar pertanyaan Arka, hingga membuat anak kecil itu tersenyum malu dan mengangkat dua bahunya tinggi-tinggi. Nampaknya, Arka tak mau membuat dua orang dewasa yang ada di sekitarnya kembali berdebat. Hingga akhirnya ia memilih jalan aman, dengan berpura-pura tidak tahu."Ah, gemas sekali kalau senyum seperti ini!" Barra
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b