"Jack? Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu?"Dari sekian banyak waktu, akhirnya Kara memilih bertanya pada detik ini. Ia terlihat sedikit ragu, apalagi pria yang baru saja makan di hadapannya ini tak langsung menjawab pertanyaannya."Maaf, Kara. Aku terlalu menikmati mie instan buatanmu! Sungguh, ini rasanya benar-benar sangat enak!"Kara tersenyum menanggapinya. "Biasa saja, Jack. Jangan terlalu berlebihan. Semua rasa mie instan memang seperti ini, mungkin karena tadi kamu tiba-tiba saja lapar ketika kita bicara tadi? Sehingga, rasanya jadi terasa lebih enak.""Ah, benarkah? Aku sebenarnya lupa, karena rasanya sudah lama sekali tak makan mie instan seperti ini!" Jack mengaku, seraya menguyah suapan terakhirnya.Kara menggeleng sambil tertawa sekilas. Ini memang cukup aneh, akan tetapi tak begitu aneh kalau sosok tersebut adalah orang kaya berkelas seperti Jack."Sudah? Apa mau aku masakan lagi, Jack?" tanya Kara seraya menatap sekilas sebuah piring yang kini isinya sudah tandas diha
Seperti apa yang telah direncanakan, kini Barra menunggu di sebuah taman pinggir kota untuk bertemu dengan Kara. Ia sengaja memilih tempat ini sebelumnya, agar nantinya Arka bisa senang bermain dengan bebas di tengah hamparan rerumputan dan juga beberapa alat permainan yang cukup aman."Hufftt! Aku benar-benar tidak sabar menunggu mereka berdua!" Barra bergumam sambil terus menoleh ke kanan dan kirinya.Jujur, pria itu memang sudah rindu dengan anak kecil yang tadi siang sempat menangis di dekapannya. Walau Arka masih terlihat kesal dengan dirinya, Barra masih tetap bisa merasa yakin kalau sosok mungil nan menggemaskan tersebut masih mempunyai rasa sayang yang sama sepertinya.Tak ada satu pun sudut tempat yang pengusaha muda itu lewati dengan pandangannya. Ia menyisir semua lokasi dengan semangat yang sangat menggebu, sambil sesekali melirik ke arah deret angka yang ada di jam digital mahal miliknya."Sudah lama menunggu?"Degghh!Barra sedikit terkejut, ketika mendengar suara seoran
Aroma obat-obatan, seketika langsung menyeruak masuk ke dalam indra penciuman Kara. Wanita itu kini nampak begitu lunglai menatap sang anak, yang entah kenapa tiba-tiba bisa terbaring lemas di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan dan demam yang cukup tinggi hingga membuatnya tak bisa benar-benar tidur dengan pulas.Selepas menghadiri acara peresmian jabatan Jack kemarin, Arka memang sempat sangat rewel hampir dua harian ini. Anak kecil itu sempat menangis lama dan terus menangis setelah berada di rumah, hingga kemudian Kara menyadari tubuhnya yang sedikit panas dan tak ingin makan dan minum apa pun yang telah diberikannya."Cepat sembuh ya, Sayang? Bunda tidak bisa melihatmu berlama-lama seperti ini," lirih wanita itu pelan dengan netra sembab yang entah dari kapan sudah mengeluarkan air mata lagi.Panik? Ya, itu tentu jelas! Kara sangat khawatir karena anak lelakinya, karena sebelumnya Arka sangat jarang seperti ini. Biasanya,
"Enggak! Arka enggak mau, Bunda! Mulut Arka lagi pahit!"Malam ini, anak kecil itu telah menangis kembali setelah makan malamnya baru saja diantarkan langsung oleh salah satu perawat. Sebelumnya, Kara memang telah berusaha membujuk anaknya agar mau mengisi sedikit perutnya. Namun sayang nyatanya sampai saat ini Arka masih belum mau menuruti, meski ia telah meminta tolong pada suster yang telah membawakan makanan ini untuk membantunya membujuk sang anak."Arka, Sayang. Mau makan sedikit saja ya? Bunda sangat khawatir padamu, Sayang," tutur Kara yang entah untuk ke berapa kalinya."Enggak, Bunda! Mulut Arka masih pahit! Arka enggak bisa! Arka takut muntah!" Anak kecil itu kembali menolak, sambil menutup mulutnya rapat-rapat dengan salah satu tangannya yang terdapat luka bekas tusuk jarum infus.Tadi sekitar jam dua siang, infus yang sempat menginap di tangan anaknya itu memang telah dilepas langsung oleh dokter yang sempat memeriksanya. Katanya perkembangan kondisi tubuh anak lelakinya
"Kenapa memperhatikanku seperti itu? Kau sedang mencurigaiku?"Barra akhirnya bertanya, karena sedari tadi ia merasakan sorot mata yang terus mengawasinya. Meski sedang berusaha menghibur Arka yang sedang sakit, akan tetapi bukan berarti ia tak peka dengan sekelilingnya. Pria itu tahu betul kalau sedari tadi Kara memperhatikannya, walau mulut wanita tersebut terus bungkam tak berbicara."Jangan terlalu percaya diri, Barra! Aku sedang melihat anakku sendiri, bukan dirimu!"Pria bermata coklat tersebut terkekeh menanggapinya. "Aku rasa, Arka juga tahu siapa yang sedari tadi kau lihat. Om benar tidak, Arka?"Barra sengaja melempar pertanyaan Arka, hingga membuat anak kecil itu tersenyum malu dan mengangkat dua bahunya tinggi-tinggi. Nampaknya, Arka tak mau membuat dua orang dewasa yang ada di sekitarnya kembali berdebat. Hingga akhirnya ia memilih jalan aman, dengan berpura-pura tidak tahu."Ah, gemas sekali kalau senyum seperti ini!" Barra
"Jangan coba macam-macam, Barra! Kau memang sudah berhasil jauh dari Kara, akan tetapi sampai saat ini kau belum meresmikan hubunganmu dengan Clarissa!"Avaline mencoba kembali memperingati sang anak, dengan netra yang sedikit memicing curiga. Entah apa yang sudah menjadi tujuan Barra saat ini, ia tak bisa menerkanya. Namun ada satu hal yang pasti, sepertinya hal tersebut tak akan terlalu baik untuk keberlangsungan semua rencana yang telah disusunnya sedari dulu."Kalau masalah itu, jawabanku sudah sangat tegas, Mom! Aku tidak akan menikah dengan siapa pun, tanpa adanya perasaan cinta yang aku rasakan sendiri! Jadi aku harap setelah ini, Mommy tidak perlu membuang-buang waktu dan tenaga lagi untuk membahas permasalahan tersebut!"Barra mengatakannya dengan sangat tegas, hingga membuat sang ibu kembali terdiam. Sesaat ia mencoba melirik waktu, dirinya ingin segera pergi. Namun sayang nampaknya wanita yang telah melahirkannya ini sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda ingin keluar."Ja
Barra melangkah turun dari mobil, dengan senyum sumringah yang terpatri di wajah tampannya.Siang ini, pria itu begitu bersemangat. Auranya entah kenapa semakin bersinar, terlebih ditambah dengan terpaan cahaya matahari siang yang sedikit menyinari wajahnya."Sepertinya mereka sudah datang!" Barra bergumam pelan, setelah tak sengaja melihat sebuah mobil yang memiliki plat nomor tak asing dalam ingatannya.Dengan melanjutkan langkah, pria itu kembali masuk ke dalam sebuah restoran besar yang telah dirinya sewa lebih dulu. Barra langsung disambut dengan sangat ramah, sebelum akhirnya diantarkan pada sebuah ruangan khusus yang tentunya terpisah dari para pelanggan lain yang sedang menikmati makan siangnya di tempat ini."Siang!" Pria itu menyapa, membuat dua orang yang sudah lebih dulu sampai menoleh ke arahnya secara berbarengan.Barra berusaha mengabaikan tatapannya yang sempat tak sengaja melihat tangan Kara dan Jack yang sedang bertautan dengan begitu erat. Ia lebih memilih memandang
Jack menawarkan bantuan yang langsung dijawab sebuah anggukan kecil dari Kara.Pasrah, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan wanita itu saat ini. Kara tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri, apalagi kini sudah terdapat bukti nyata di hadapannya."Siapkan dirimu, Barra. Karena nampaknya, saat ini kau terlalu berekspektasi tinggi!" Jack menyeringai sedikit sebelum benar-benar membuka surat yang sudah berhasil digenggamnya.Sementara Barra, pria itu hanya membalasnya dengan santai. "Sepertinya yang harus mempersiapkan diri itu adalah kau sendiri, Jack. Karena nyatanya, di sini kau yang tidak tahu apa-apa!"Jack mendengkus seraya kembali melihat ke arah logo rumah sakit yang tertera di depan amplop hasil tes DNA tersebut. Meski sedikit goyah berkat ucapan Barra, akan tetapi ia tetap yakin bahwa dirinya tak salah mengambil langkah.Perlahan, Jack mulai membuka penutup surat yang ada di sana. Ia membukanya dengan sesekali menatap Barra dan Kara secara bergantian, yang mana hal tersebut