Jack menawarkan bantuan yang langsung dijawab sebuah anggukan kecil dari Kara.Pasrah, sepertinya hanya itu yang bisa dilakukan wanita itu saat ini. Kara tak bisa memaksakan kehendaknya sendiri, apalagi kini sudah terdapat bukti nyata di hadapannya."Siapkan dirimu, Barra. Karena nampaknya, saat ini kau terlalu berekspektasi tinggi!" Jack menyeringai sedikit sebelum benar-benar membuka surat yang sudah berhasil digenggamnya.Sementara Barra, pria itu hanya membalasnya dengan santai. "Sepertinya yang harus mempersiapkan diri itu adalah kau sendiri, Jack. Karena nyatanya, di sini kau yang tidak tahu apa-apa!"Jack mendengkus seraya kembali melihat ke arah logo rumah sakit yang tertera di depan amplop hasil tes DNA tersebut. Meski sedikit goyah berkat ucapan Barra, akan tetapi ia tetap yakin bahwa dirinya tak salah mengambil langkah.Perlahan, Jack mulai membuka penutup surat yang ada di sana. Ia membukanya dengan sesekali menatap Barra dan Kara secara bergantian, yang mana hal tersebut
"Bunda! Bunda! Arka udah rapi belum?"Anak kecil itu bertanya seraya menatap seluruh pakaiannya. Meski sedikit miring di ujung bajunya, akan tetapi Arka nampak begitu percaya diri. Rambut ikalnya masih nampak sedikit kusut, hingga membuat Kara tak kuat menahan senyumnya saat ini."Sini, bunda rapikan lagi ya? Supaya anak bunda ini terlihat semakin tampan!" tutur Kara pelan seraya menyuruh anaknya untuk semakin mendekat.Arka menurut, dan membiarkan sang bunda merapikan apa yang telah dipakainya. Selain itu, anak kecil tersebut juga terlihat begitu anteng ketika Kara menyisir rambut ikalnya. Sampai akhirnya semuanya terlihat sangat rapi dan sempurna.Cupp!"Nah, kalau begini 'kan anak bunda jadi terlihat sangat tampan!" Kara memuji sang anak dengan kembali melayangkan beberapa kecupan singkat."Terima kasih, Bunda! Arka jadi benar-benar tidak sabar menunggu Om Baik! Nanti Bunda ikut 'kan?" Arka tiba-tiba bertanya dan membuat Kara sedikit lemas mendengarnya.Dengan memaksakan senyumnya,
Detik semakin berlalu, membuat Arka merasa penasaran dengan penuturan Om Baik yang ada di hadapannya. Ia tentu ingin mengulang momen yang amat bahagia saat ini di kemudian hari, sehingga dirinya merasa sangat bingung ketika tiba-tiba dihadapkan dengan sebuah syarat."Om Baik! Apa syaratnya? Arka mau segera penuhi!" ujar anak kecil itu bersemangat."Benarkah?" Barra langsung terkejut mendengar tanggapan Arka."Iya, Om Baik! Arka tadi sudah bilang ke Bunda, kalau nanti Arka mau kumpul bersama dengan Om Baik dan Bunda! Biar nanti kita bisa main bareng!"Barra tersenyum mendengar alasannya, dan segera memeluk anak kecil tersebut setelahnya. Tak lupa ia membubuhkan beberapa kecupan singkat di wajahnya, serta kembali menatapnya dengan netra yang begitu dalam."Baiklah kalau begitu, syaratnya ... Bagaimana kalau setelah ini Arka merubah panggilan Om Baik jadi—""Hey, Barra!"Ucapan Barra tiba-tiba terpaksa terputus, berkat kehadiran sosok lain yang tak disangka. Pria itu mendengkus kesal, ba
Degghh!Jantung Kara seketika berdebar kencang mendengar semua kata-kata Jack. Ia ingin segera berontak, tetapi sayang setelahnya pria itu dengan begitu mudah mengangkat dirinya dan berjalan menuju ke arah kamarnya."Jack! Aku bisa sendiri! Aku tidak butuh ditemani olehmu!" ucap Kara setelah sebisa mungkin berusaha mengumpulkan semua keberanian yang ada.Namun sayang, semua pemberontakannya tersebut nampaknya sama sekali tak berarti apa-apa untuk Jack. Pria itu malah seakan sengaja menulikan telinga, hingga Kara terlihat semakin panik tak karuan ketika dirinya benar-benar sudah memasuki kamarnya sendiri."Jack! Aku mohon jangan seperti ini! Aku bisa melakukan semuanya sendiri! Aku tidak apa-apa ke kamar sendirian!" Kara mencoba melawan kembali, agar Jack tak lagi mengangkat tubuhnya dan terus berada di dalam kamarnya. Jujur, berbagai pikiran buruk kini sudah mulai memenuhi pikiran wanita beranak satu tersebut. Kara khawatir dengan situasi yang sedang sendiri di rumah seperti ini aka
["Maaf! Nomor yang ada tuju, sedang tidak aktif!"]Brukkk!Kara langsung melempar ponselnya ke arah bantal, setelah letih sekian kalinya mencoba untuk menghubungi Barra. Dirinya benar-benar tak tahu harus seperti apa lagi sekarang, terlebih sampai tengah malam seperti ini belum ada sedikit pun kabar tentang sang anak yang didapatkannya."Apa dia ternyata benar-benar tidak ingin mengembalikan Arka? Apa dia ingin mengambil anakku untuk selamanya?" Kara kembali bergumam dengan tetes air mata yang kembali mengalir di kedua sudut matanya. Di malam yang sunyi ini, wanita itu memeluk erat lututnya sendiri. Ia sungguh sangat panik, terlebih sedari tadi selalu saja ada kejadian yang membuat dirinya terguncang. Mulai dari Jack yang tiba-tiba berubah sangat memaksa untuk dekat dengannya, sampai ke Avaline yang terlihat sangat berang dengan kebersamaan Arka dan Barra. Semua kejadian tersebut seolah benar-benar tak ingin membiarkan dirinya bernapas dengan tenang. Haruskah Kara selalu merasa sen
Tak ada yang salah dari perkataan Arka. Semua yang dikatakan oleh anak kecil itu benar adanya, bahkan keluar dengan sangat tulus dari hati yang terdalamnya.Kara yang mendengarnya pun merasa sangat terharu. Dirinya justru jadi merasa sangat bersalah, karena telah berpikiran lain. Sehingga setelah selesai membuat beberapa pesanan roti, ia berinisiatif untuk menghibur sang anak dengan makan siang di luar.Sebelumnya, Kara memang cukup jarang mengajak anaknya pergi makan di tempat lain. Selain karena untuk mengirit biaya, Kara juga tak bisa menjamin semua yang disajikan di luar sana bersih dan higienis. Namun khusus siang ini, dirinya akan merubah hal tersebut. Terlebih kini, dirinya juga tak ingin kalah menciptakan kenangan indah untuk sang anak dari Barra."Nah, sudah rapi! Kalau begitu sekarang, ayo kita berangk—"Tokkk! Tokk! Tokkk!"Kara!"Arka langsung mendesah, ketika mendengarnya. Anak kecil itu seketika tak jadi bersemangat
"Om Baik!"Belum sempat Kara memberikan izin, Arka tiba-tiba telah memanggil nama seorang pria yang sedang tak ingin ditemuinya lebih dulu.Tak bisa berbuat apa-apa, dirinya langsung menunduk ketika melihat pria tersebut menoleh dengan cepat. Hingga setelahnya dengan takut-takut ia menatap ke arah Jack, dan segera memberikan sebuah isyarat meminta maaf pada sang calon suami."Maaf!" tuturnya pelan sekali lagi."Tidak apa-apa, Sayang. Namanya juga anak kecil, terkadang kita pasti sulit mengontrolnya," sahut Jack berupaya menenangkan.Meski kini sebenarnya hari pria itu sedang panas karena keberadaan Barra yang amat tiba-tiba di tempat ini, akan tetapi sebisa mungkin Jack menutupi rasa tersebut di hadapan Kara dan Arka. Ia jelas tak mau membuat masalah lagi, terlebih baru saja Kara kembali bersikap normal padanya.Sementara Barra, dirinya tentu dengan senang hati langsung mendekat ke arah suara nyaring nan menggemaskan tersebut. Dan tak hanya itu saja, dua sudut bibirnya yang sedari tad
Kara cukup terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Jack, hingga sedetik kemudian dirinya langsung bergerak mundur dan sedikit membulatkan matanya pada pria tersebut."Jack? Kenapa tiba-tiba sekali? Aku malu, Jack! Ini masih di tempat umum!" Wanita itu bersuara pelan memperingati, sambil sesekali melirik ke arah sang anak yang ternyata sudah diamankan oleh Barra lebih dulu.Sementara yang tengah diperingati, ia hanya tertawa renyah saja setelahnya. Jack nampak senang, karena dengan caranya tadi berhasil membuat wajah Barra terlihat merah padam menahan rasa kesal."Maafkan aku, Sayang. Aku memang selalu tidak tahan jika berada di dekatmu. Apalagi tadi aku sedang emosi, dan butuh sesuatu yang cukup menenangkan!"Kara menggeleng, sama sekali tak menyangka dengan alasan yang tak pernah mampir di pikirannya. Ingin marah, tetapi dirinya tak bisa juga. Biar bagaimanapun Kara harus menjaga sikapnya, agar Barra tak salah paham dan menuduhnya selama ini hanya menjalin hubungan pura-pura dengan J
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b