"Mommy suka anak itu, Barra! Anak itu cukup menarik perhatian, dan membuat siapa saja orang yang melihatnya menjadi merasa gemas! Tapi yang jadi pertanyaan mommy, ke mana orang tuanya? Arka tadi juga terlihat sangat kebingungan ketika mommy tanya di mana ayah atau ibunya. Apa mereka tidak benar-benar serius ingin bekerja sama dengan kita?"Barra yang tadinya tersenyum, seketika jadi gugup dan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Ia meringis di dalam hati, tepat setelah mendengar ucapan terakhir sang ibu padanya."Heumm, Mom. Aku rasa bukan karena mereka tidak serius. Tadi memang ada suatu alasan yang cukup penting dan mendesak, sehingga bundanya Arka terpaksa meninggalkan Arka di sini bersama denganku. Kalau Mommy mau bertemu dengannya mungkin Mommy bisa menunggu?""Menunggu?" Avaline langsung menekuk dahinya. "Tidak! Tidak bisa, Barra! Sehabis ini Mommy mau pergi bersama Clarissa. Dia sudah mengajak mommy ke suatu tempat!""Hufftt!" Barra menghela napas dalam hati.Barra sedikit me
"Barra ...."Kara terpaksa lebih dulu memberikan jarak, setelah merasa tak mampu menahan gejolak aneh yang tiba-tiba muncul di hatinya. Wanita itu kini tak berani lagi menatap langsung kedua netra coklat milik Barra, seiring dengan degup jantung yang semakin berdetak cepat."Kara, maafkan aku!" Barra meraih cepat kedua tangan Kara yang ada di hadapannya, dengan kedua netra tajamnya yang terlihat begitu memohon. "Kau tidak perlu menghindariku seperti ini, aku—""Aku tidak menghindar darimu, Barra. Aku hanya berperilaku seperti biasa," kilah Kara pelan seraya beranjak menjauh.Barra mengusap wajahnya gusar. Ia tentu tak bisa terus merasa seperti ini, sehingga langsung memutuskan untuk membututi wanita itu ke arah dapur.Di sepanjang harinya tadi, Barra memang terus kepikiran dengan Kara. Ia terus saja terbayang-bayang dengan perubahan sikap ibu satu anak itu, sehingga hampir membuat beberapa pekerjaannya tadi di kantor menjadi kacau.
"Tapi Barra, ibumu pasti akan sangat marah karena kau lebih memilih wanita sepertiku. Ibumu pasti ingin melihatmu bersanding dengan wanita terbaik pilihannya, bukan aku." Kara kembali menunduk, sambil menatap dua tangan kekar Barra yang terus menggenggam erat tangannya. Takut, itulah yang tengah dirasakan oleh Kara saat ini. Kara takut jika di kemudian hari ia merasa menyesal dan sakit hati, karena telah nekat memutuskan untuk tetap bertahan dengan seorang Barra yang mana kehidupannya sudah terlihat sangat berbanding jauh terbalik dengannya."Aku akan merubah pikiran dan keputusannya, Kara! Aku akan terus berusaha membujuk, sampai ibuku mau memahami keinginanku dan menerima kehadiranmu dan juga Arka!" tukas Barra cepat seraya membuat kembali wanita itu kembali menatap ke arahnya."Kenapa kau bisa sangat yakin seperti itu, Barra? Bukankah kau belum tahu siapa ayah kandung Arka yang sebenarnya? Bagaimana ka—""Aku sudah tidak peduli lagi dengan masalah itu, Kara!" potong Barra kembali
"Ya ampun, Astaga!"Kara hampir saja berteriak kencang, ketika menyadari Barra yang ternyata tidur tak jauh dari sisinya. Pria itu ada di sebelah Arka yang masih terlelap, dengan salah satu tangan yang tengah dipeluk erat oleh anak lelakinya.Yang menjadi pertanyaan Kara, kapan Barra pindah tidur ke kamar ini? Seingat Kara tadi malam ia sendiri yang sudah menyiapkan selimut dan bantal untuk pria itu, dan kembali ke kamar seorang diri untuk menenangkan Arka yang baru menangis."Jangan terkejut, aku semalam ke sini untuk menenangkan Arka karena semalam dia sempat menangis terbangun lagi," jelas Barra seolah bisa menebak pikiran Kara."Menangis lagi? Tapi aku tetap tertidur?" tanya Kara sedikit tak begitu percaya.Sebenarnya bukan bermaksud menuduh Barra berbohong, akan tetapi hanya saja Kara merasa tak menyangka jika dirinya bisa tidak menyadari tangisan Arka. Biasanya, Kara selalu terbangun tepat setelah mendengar suara atau pun tangisan a
"Pfffttt!"Tawa karyawan yang ada di dalam ruangan pemotretan itu pun hampir pecah, berkat ucapan Arka yang sangat melengking dan cukup menohok Clarissa tersebut.Tanpa mau menanggung banyak malu lagi, Clarissa segera menghentakkan sepatu heels tingginya dengan kencang. Wanita itu langsung berjalan keluar, sambil bersumpah serapah di dalam hati."Hufftt! Awas ya kau anak kecil! Bisa-bisa kau membuatku malu seperti ini di hadapan Barra dan para karyawan yang lain!" geram Clarissa kian mempercepat langkah.Seperti biasa, Clarissa memang senang memakai baju yang cukup minim. Akan tetapi, tentu bukan karena kekurangan bahan alasannya. Gaya, itulah salah satu alasan terkuatnya. Ia selalu update dengan berbagai gaya terkini, terutama para seleb luar negeri yang selalu bebas berekspresi melalui pakaiannya."Thanks, Arka!" Barra mengecup senang rambut ikal anak kecil itu. Sementara Arka, anak kecil itu tak langsung menyahut. Bibirnya masih maju ke depan dengan ekor mata yang masih membututi
"Iya, Mom! Iya, dia saja yang menggangu lebih dulu. Sudah Mommy tenang saja, semuanya berjalan lancar kok!"Barra langsung mematikan teleponnya, setelah salah satu telinganya terus mendengar ocehan sang ibu yang menyampaikan kembali segala keluh kesah Clarissa. Ia tentu tak mau menanggapi lama, karena hampir semua yang disampaikan oleh Clarissa pada ibunya tentang Arka terlalu berlebihan.Untung saja Avaline masih mempercayai segala kata-kata Barra, sehingga wanita yang sering kali masuk ke dalam berita inspiratif itu bisa sedikit tenang dan tak terlalu menggebu-gebu. Selain itu Barra juga bisa membuktikan segala ucapannya dengan cara mengirimkan beberapa foto dan video Arka yang nampak sangat profesional di hari pemotretan pertamanya."Om Baik! Ada apa?" Arka bertanya sambil mendongak sempurna ke atas, dan satu tangan mungilnya yang memegangi celana panjang Barra."Tidak ada apa-apa, Sayang. Hanya ada sedikit kendala. Kita lanjut masuk ke dalam s
Kara langsung bisa mengenali harum aroma tubuh dari pria yang ada di hadapannya, meski nyatanya saat ini kedua matanya masih tertutup dengan sebuah sapu tangan sempat diberikan oleh Arka."Iya, ini aku Kara!" jawab pria tersebut seraya tersenyum dan menatap lekat wajah Kara dari dekat.Tanpa ragu lagi, Kara pun akhirnya segera menaruh salah satu tangannya di pundak kekar melakukan itu. Ia melakukannya karena pria tersebut semakin menarik pinggangnya mendekat hingga hampir tak memberikan jarak, seiring dengan semakin intimnya alunan musik indah yang menggema di taman restoran tersebut."Ini semua pasti idemu ya?" bisik Kara menebak pelan, tanpa sepengetahuan sang anak. Meski semuanya masih gelap dalam penglihatannya, akan tetapi Kara yakin kalau semua yang ada di sekitarnya sudah disiapkan dengan sangat baik.Dengan menarik satu sudut bibirnya ke atas, Barra sedikit menggeleng. Ia melirik ke arah Arka yang nampak sangat bersemangat melihatnya bersa
"Hey, sudah. Jangan menangis lagi, nanti Arka jadi sedih melihatmu seperti ini," ucap Barra seraya menyeka beberapa tetes air mata Kara.Saat ini Kara dan Barra memang sudah berdua. Barra sengaja lebih dulu menyuruh Arka untuk kembali ke tempat meja makan, karena menyadari Kara yang sedang berusaha menahan tangis di sampingnya. Ia terpaksa melakukannya, agar bisa menenangkan wanita itu terlebih dahulu sebelum nanti kembali berhadapan langsung dengan anak kecil tersebut."Barra, aku merasa sangat bersalah pada Arka. Dia seperti ini karena aku, aku yang—""Ssttt ... Sudah, Sayang! Itu semua tentu bukan karena kesalahanmu. Jadi tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri lagi, okay? Arka hanya mau melihatmu bahagia, bukan merasa bersalah atau pun sedih seperti ini," potong Barra cepat seraya mendekap erat tubuh Kara.Tumpah sudah tangis Kara yang tadi sempat ditahannya. Kedua bahu wanita itu semakin bergetar, kala mengingat kembali segala kata-kata Arka
"Maaf kalau kehadiranku di sini mengejutkanmu, Kara. Akan tetapi Barra memintaku untuk menjagamu di sini sesaat, dia sedang menemui Arka yang kebetulan baru saja sadar," tutur Avaline pelan hingga membuat Kara mengerjap sesaat.Yang di hadapannya ini, benar Avaline ibu kandungnya Barra bukan? Kenapa wanita itu bisa tiba-tiba berubah selembut ini padanya? Apakah ini sebuah keajaiban? Atau malah hanya sebuah mimpi? "Bu ...."Kara tak sempat menyelesaikan kata-katanya, berkat pelukan Avaline yang sangat tiba-tiba. Jujur, ia sungguh tidak tahu telah melewati hal penting apa selama pingsan tadi. Dirinya masih tak menyangka, terlebih ibu kandungnya Barra tersebut bisa memeluknya dengan sangat erat seperti ini."Barra sudah menceritakan semuanya padaku, Kara! Tolong maafkan semua sikap tidak pantasku padamu! Aku benar-benar sudah sangat menyesal, karena telah menganggapmu yang tidak-tidak dan membuatmu serta cucuku sendiri menderita!" ucap Avaline langsung dengan kian memeluk erat wanita mu
"Apa? Ayah kandungnya?"Orang tuanya Clarissa berikut para tamu yang lain langsung kompak bergumam, dengan dua netra yang membulat. Suara riuh desas-desus pun kian terdengar di telinga Avaline. Wanita itu seketika merasa malu, hingga kembali berusaha mendorong tubuh Kara."Tunggu, Mom! Jadi Arka kecelakaan, Kara?" Barra segera mencegah, dengan menatap ke arah bundanya Arka tersebut dengan penuh serius dan khawatir."Iya, Barra. Dia sudah ditemukan oleh salah satu anak buah Jack, tetapi...." Kara tak sanggup melanjutkan bercerita, karena kini perasaannya kembali hancur ketika mengingat Jack yang telah berupaya mencelakai anaknya.Sementara Avaline, ia kian panik tak karuan ketika mendapati tatapan tajam dari kedua calon besannya. Ia seolah bingung ingin beralasan apa, hingga akhirnya hanya bisa berusaha menarik Kara dan membuat wanita itu menjauh dari anaknya."Sudah cukup semua karanganmu hari ini, Kara! Barra dan Clarissa akan menikah! Jadi—""Aku ikut bersama Kara!" potong Barra mem
"Apa? Jadi stok darah di rumah sakit ini habis?"Tubuh Kara kian bergetar lemas, mendengar kenyataan yang lagi-lagi sangat menyiksa dirinya. Dengan sekuat tenaga, ia mencoba untuk tetap terlihat tegar. Namun sayang nyatanya tak bisa, apalagi kondisi anaknya saat ini semakin memburuk dengan membutuhkan donor darah yang sangat sulit untuk dicari."Maaf, Bu. Kami pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencari, tetapi memang benar-benar sedang habis. Apalagi darah yang dibutuhkan oleh anak ibu cukup langka. Kami di sini jarang menemuinya, sehingga mungkin ibu bisa menghubungi kebarat terdekat yang mempunyai golongan darah yang sama."Kara terdiam mendengar penuturan tersebut. Ia tentu tak mempunyai kerabat lain, terkecuali Barra yang memang sudah jelas memiliki darah yang sama dengan anaknya. Yang jadi pertanyaannya, apakah ia bisa meminta tolong pada pria tersebut? Bukankah pada hari ini pria itu akan menikah dengan Clarissa?"Bagaimana, Bu? Apakah ada?" Sang dokter kembali bertanya, hin
Degghh!Tubuh Kara seketika semakin lemas mendengarnya. Jadi, penderitaannya selama ini disebabkan dari orang terdekatnya sendiri? Bahkan dulu saja Kara tak berani mencurigai siapa pun dari salah satu teman-temannya, ia hanya menganggap malam itu dirinya sedang mengalami kesialan. Namun, siapa sangka jika pada kenyataannya yang terjadi malah sebaliknya? Semuanya ternyata sudah direncanakan dengan rapi. Bahkan dirinya selama ini tidak pernah menyadari kejanggalan tersebut, karena saking terlarutnya dalam keterpurukan."Aku benar-benar tidak menyangka kau bisa melakukan hal seburuk itu padaku, Jack!" ucap Kara akhirnya dengan berkali-kali mencoba menarik pasokan oksigen yang ada di sekitar.Jujur, napas wanita itu benar-benar sesak saat ini! Kara kembali tak kuasa dengan kenyataan yang baru saja diketahuinya, hingga dirinya kembali menatap sang anak yang sedang terbaring tak berdaya dengan beberapa bercak darah di tubuhnya."Aku tidak ingin melihat keberadaanmu di sini lagi, Jack! Mula
"Bagaimana? Apa semuanya sudah bersih?"Sayup-sayup suara itu terdengar, hingga membuat Kara berusaha membuka dua netranya yang sedari tadi tertutup rapat.Dengan pandangan yang masih buram, wanita tersebut mencoba menatap sekeliling mencari siapa yang telah berbicara. Namun sayang pada kenyataannya tak ada siapa pun di sekitarnya saat ini, hingga membuat dirinya menghela napas kemudian."Bagus! Kalau begitu nanti hubungi aku lagi!"Setelahnya, Kara tak mendengar suara apa-apa kembali. Sekelilingnya menjadi sunyi, hingga kini ia beralih menatap setiap dinding rumah sakit dan sebuah bangku kosong yang ada di sampingnya."Apa tadi aku sudah pingsan?" Wanita itu bergumam pelan, sambil berupaya bangkit dari tempat tidurnya.Dengan kepala yang masih sangat pening, Kara mencoba mengingat lagi bagaimana cara dirinya bisa berada di rumah sakit. Ia benar-benar bingung karena tetiba terbangun di tempat ini. Hingga beberapa saat kemudian napasnya terasa sesak, seiring dengan munculnya beberapa k
Klikk!Sambungan telepon itu tiba-tiba langsung diputuskan sepihak begitu saja oleh Clarissa. Padahal masih ada banyak kata-kata yang Kara ingin sampaikan. Setidaknya ia ingin menitipkan pesan pada Barra melalui wanita itu, meski sebenarnya dirinya juga tak terlalu yakin akan langsung disampaikan nanti atau tidak.Tingg![Lihatlah, Kara. Bukankah Barra benar-benar menyayangiku?]Degghh!Hati Kara seketika terasa perih, melihat sebuah foto yang tiba-tiba dikirimkan oleh Clarissa. Di gambar itu terlihat dengan jelas bahwa wanita tersebut sedang memamerkan sebuah liontin baru. Dan tak hanya itu saja, Clarissa juga terlihat dengan senangnya bersandar pada Barra tepat di atas ranjang dengan gaun malamnya yang sangat tipis hingga tak benar-benar mampu menutupi setiap lekuk tubuhnya.Jadi, seperti inikah Barra yang sebenarnya? Pria itu ternyata hanya gemar mengumbar janji manis, tanpa pernah berniat untuk sungguh-sungguh?Ah, lagi-lagi Kara menyesal karena telah mengubah anggapannya pada Bar
Ada dua berita yang Kara terima hari ini. Yang pertama adalah kabar baik, karena keinginannya untuk segera keluar dari rumah sakit ini bisa terkabulkan. Sementara untuk yang keduanya, entah termasuk kabar baik atau buruk.Kabar baik atau buruk? Kenapa seperti itu?Ya, Kara sendiri pun sebenarnya tak tahu mengapa dirinya bisa berpikiran seperti itu. Namun yang jelas, ia sungguh tak menyangka dengan berita tersebut.Kalau dibilang senang, dirinya sebenarnya cukup senang karena ternyata Barra bisa menjalani komitmen yang serius dengan wanita lain. Namun jika dibilang tidak senang, Kara juga merasa seperti itu. Ia sangat kecewa, karena ternyata pria tersebut lebih memilih untuk mengurus pernikahannya terlebih dahulu dengan Clarissa, dibandingkan dengan mencari keberadaan anaknya yang masih menghilang.Ke mana janji pria itu yang katanya ingin segera mencari Arka sampai berhasil ditemukan? Kenapa pula janji tersebut dengan mudahnya menguap tanpa kabar,
Berhari-hari berlalu, Kara merasa semakin tak betah karena hanya membaringkan tubuhnya di atas sebuah ranjang rumah sakit. Semua kebutuhannya, bahkan sudah tersedia di sekitarnya. Kurang lebih selama seminggu ini semua uang diinginkannya pasti selalu akan dilayani dengan baik, akan tetapi sayang nyatanya semua itu belum bisa membuat hatinya merasa tenang dan damai begitu saja."Apa belum ada kabar baik tentang keberadaan Arka?" Wanita itu langsung bertanya, tepat ketika melihat sesosok orang yang baru saja masuk ke dalam ruang inapnya. Jack yang mendengarnya pun langsung mendesah pasrah. Ia longgarkan kerah pakaiannya yang tiba-tiba terasa sesak, sebelum akhirnya kembali mendekat dan duduk di hadapan wanita yang akhir-akhir ini sering melamun dengan tatapannya yang terlihat sedikit kosong."Maaf, Kara. Aku dan para anak buahku belum bisa melacaknya. Para penculik itu memakai plat nomor mobil palsu, sehingga kita sempat sangat kebingungan untuk m
Waktu telah berganti malam, hingga tak sadar Kara tertidur di dalam dekapan pria yang ada di sampingnya. Sayup-sayup suara bunyi hewan malam telah terdengar. Wanita itu sedikit menggeliat menggerakkan badannya yang pegal-pegal, hingga beralih menatap ke sebuah jendela besar yang hanya menampilkan gelap gulitanya malam."Bagaimana kabarmu sekarang, Nak? Apa kamu bisa tertidur tanpa bunda di sisimu? Apa sebelumnya kamu sudah makan dan membersihkan diri?"Kara membatin, dengan perasaannya yang kembali sesak. Dalam kesunyian malam, ia terisak kecil. Kara tak berani banyak mengeluarkan suara, karena tak mau membangunkan tidur pria yang sedari tadi sudah memeluk dan menjaga tidurnya.Barra, pria itu ternyata benar-benar hanya memeluk tubuhnya sampai malam. Putra tunggal Avaline tersebut sama sekali tak mengingkari janji, atau pun nekat berbuat hal lebih yang mungkin saja bisa dilakukannya di tempat ini.Sebenarnya, ada sedikit rasa beruntung b