"Kau tidak masalah aku menceritakan semua ini?" tanya Dominic setelah ia kuras habis cerita tentang masalalu Xander pada Leoni."Sama sekali tidak." Leoni membalas acuh tak acuh. Ia sesap kembali coffee panas di dalam gelasnya yang setia menemani ia mendengarkan cerita Dominic.Wajah tampan itu mendadak layu. "Hubunganmu denganya terlalu rumit. Aku harap ada hasil yang bahagia untukmu, Leoni."Leoni menatap Dominic diam. Sedetik kemudian dirinya terkekeh-kekeh geli hingga semburat merah memenuhi wajah cantiknya."Apa yang lucu? Kenapa kau tertawa?" Dominic heran. Merapihkan rambut, memegang wajahnya berpikir jika penampilanya aneh hingga menyebabkan Leoni tertawa seperti itu."Kau lucu sekali." Leoni mencoba menghentikan tawanya. "Kau lucu jika berpikiran dewasa seperti tadi," sambung Leoni masih dengan tawa yang sama.Kontan Dominic mendengkus. Tidak ada salahnya untuk berpikiran dewasa. Lagi pula, umurnya dengan Leoni ialah setara."Tolong rapikan kekacauan itu untukku," pinta Leoni
PLAK!!!Satu tamparan keras mendarat tepat pada pipi Xander. Meringis memegang ujung bibirnya pria itu, mendorong pipi dalam menggunakan lidahnya. Dirinya hanya diam menerima perlakuan menyakitkan yang disertai umpatan-umpatan kasar dari wanita itu.Kembali terbayang akan tamparan menyakitkan serta bagaimana Leoni mengumpati dirinya saat ia telah sampai mengantarkan wanita itu pada tujuan. Membawa amarah besar Leoni turun dari mobilnya.Tubuh kekar itu terbaring di atas sofa. Kaki panjangnya menjuntai satu ke bawah. Menutup dua mata dengan satu tangan. Kini, dirinya berada di dalam ruang kerjanya di perusahaan.Xander bangun dari posisinya. Gontai ia mendekati meja dan mengangkat telepon yang berbunyi di atasnya."Hallo." Bariton berat itu memecah suasana ruangan yang sepi.Alisnya kontan berkerut serta tatapanya memicing tajam tatkala ia dengar suara pun jawaban dari seberang telepon sana. Mengetat rahang kokoh hingga keluar urat-urat pada lehernya."Damn!"Meraih jasnya dengan cepat
Duduk terdiam pada sofa tunggal memandang keluar jendela kamarnya. Menatap langit malam yang gelap tanpa bintang yang seolah tak sudi menghiasi. Meniup-niup kecil coffee panas di dalam gelas sebelum akhirnya ia sesap perlahan. Suara gelegar dari kilatan petir yang mengiring hujan menjadi backsound pada malam ini. Ditambah nyanyian serangga yang merdu menandakan malam semakin sunyi. Rahangnya bergerak untuk mengunyah sebuah pil yang telah sejak tadi ia simpan di bawah lidah. Tatapanya yang kosong pun tak bisa berpikir jernih memaksa Leoni untuk membuat keputusan yang mungkin akan dirinya sesali di kemudian hari. Gelas panas di dalam genggaman Leoni lolos jatuh membentur lantai marmer. Berserak cairan coffee bercampur pecahan gelas yang kontan tak sengaja mengenai kakinya hingga memar di sana. Betapa terkejutnya wanita itu melihat Xander yang sudah berdiri di ambang pintu kamar. Penampilanya acak-acakan tidak karuan pun seluruh pakaiannya yang basah kuyup. "Malam yang tenang un
Hari ini adalah tepat satu tahun Leoni dan Tavel memutuskan untuk tinggal di kediaman yang berbeda dari keluarga Miller. Genp dalam satu tahun tak pernah juga Xander bertemu dengan Leoni semenjak pertengkaran mereka pada malam itu. Selama satu tahun penuh keseharian Xander hanya disibukan dengan pekerjaan, atau sesekali dirinya membawa Liza keluar untuk memulihkan mental wanita itu. Telah banyak kabar berita yang beredar mengenai kedekatan putra Miller bersama kekasihnya. Media sosial serta banyaknya artikel yang menampilkan kebersamaan keduanya. Setelah satu tahun lamanya Xander menyembunyikan Liza dari publik dan keluarga. Malam ini, ia dengan terang-terangan mengekspos serta mengkomfirmasi hubunganya bersama Liza pada media serta keluarganya. Xander juga mengajak Liza untuk makan malam bersama kedua orangtuanya. "Kapan kalian akan bertunangan?" tanya Pero pada Xander yang masih santai mengunyah makanannya. "Secepat mungkin." Xander menjawab. "Baiklah, lebih cepat lebih baik,"
Xander duduk di sofa dalam kamarnya saat Liza baru saja keluar dari kamar mandi selesai membersihkan diri. Memakai handuk tipis putih guna membalut tubuhnya yang ramping. Gontai ia mendekati Xander. "Xander?" Liza bersimpuh di bawah kaki Xander. Menatap pria itu serayamendongakan wajahnya. Pandangan Xander jatuh mengarah pada wanita di hadapanya. "Pakailah pakaianmu, Liza." "Xander, satu minggu lagi pertunangan kita, dan kita akan segera menikah. Tidak masalah jika kita melakukanya sekarang—” "Liza," tukas Xander. Ia tatap wajah sayu Liza lalu menghela napasnya cukup dalam. Beranjak Xander dari duduknya dan melangkah gontai menuju pintu. Sebelum akhirnya langkah pria itu terhenti sebab tiba-tiba Liza memeluk tubuhnya dari belakang. "Xander, aku hanya ingin penyatuan kita. Karena aku takut Xander, aku selalu takut jika kau menganggapku menjijikan sebab kau tak pernah menyentuhku sama sekali sejak hari itu," lirih Liza, tersedu-sedu di belakang punggung Xander. Mengetat rah
WARNING!!!Area panas 21+Komen 🔥🔥🔥🔥 jika kalian suka.............Leoni tengah sibuk berbicara dengan klienya di telepon saat tiba-tiba seorang pria memeluknya dari belakang. Mengendus wangi aroma tubuh wanita cantik itu yang memabukan.Ia menoleh untuk menatap pria yang menyimpan wajahnya pada ceruk lehernya, tersenyum lantas mencium lembut pipi dengan sedikit jambang milik pria itu."I miss you, Babe."Suara bariton berat itu membuat Leoni tersenyum. Berbalik dirinya untuk menghadap Xander, mengalungkan dua tanganya pada ceruk leher pria tersebut. Berjinjit, lalu ia lumat habis bibir Xander penuh sensual.Lumatan bibir mereka semakin memanas pun basah. Saling membalas satu sama lain pun membelit lidah. Di bawah, tangan Xander bergerak bergerlya di dalam baju Leoni, mengelus lembut perut rata milik wanitanya.Xander mengiring langkah mereka menuju sofa. Membaringkan tubuh Leoni di sana lantas ia tindih di bawah kukungannya. Haus akan menyentuh tubuh sang wanita, Xander memanas
Hari-hari tenang Leoni tiba-tiba terguncang atas beredarnya berita kelahiran cucu keluarga Miller. Entah dari mana berita itu berasal, tapi saat ini ponselnya selau sibuk berdering entah itu datang dari media atau orangtua Tavel yang ingin memastikan. Amat pusing diirinya oleh keadaan yang tiba-tiba mendesak. Lantas ia segera menghubungi Tavel sebab pria itulah satu-satunya keluaraga Miller yang mengetahui kondisi Leoni sebelum memutuskan untuk pindah dari kediaman Miller. Lalu, di sinilah Leoni berada kini. Pada ruang tamu sebuah villa mewah di pinggir kota, duduk bersama Tavel pun wanita cantik yang tengah mengandung, yang Leoni ketahui wanita tersebut adalah terapi yang rutin datang untuk memeriksa pria itu. Menganga kecil bibir Leoni mendapati fakta yang amat mencengangkan jika kabar yang beredar sengaja dibuat oleh kekasih Tavel karena menuntut diakui keberadaanya. Pun, amat mencengangkan lagi jika selama ini dua orang itu menjalin hubungan. Leoni meminum jus di dalam gela
Terpaksa Leoni harus mau mendatangi kediaman Miller untuk memberikan klarifikasi atas semua hal yang sedang terjadi. Menjadi saksi sekaligus korban atas terjadinya kekeliruan di antara rumah tangganya bersama Tavel.Duduk dikumpulkan bersama-sama pada ruang utama mansion. Tavel bersama wanitanya, Leoni serta dua orangtua Miller pun ada juga Xander bersama calon tunanganya. Mau tidak mau Leoni harus bertemu dengan pria itu lagi."Coba ceritakan semua yang telah terjadi." Pero Miller menuntut penjelasan dari Tavel serta Leoni, tentu saja ia menuntut juga pada wanita hamil besar yang dibawa oleh putranya.Ini semua menyangkut nama baik keluarga. Tentu nama besar keluarga Miller yang sedang dipertaruhkan. Dunia tahu jika satu-satunya menantu keluarga Miller ialah Leoni Calis. Serta kabar kehamilan yang tengah marak diperbincangkan semua orang mengira kabar itu datang dari pasangan Tavel dan Leoni.Leoni tampak duduk tenang dengan ekspresi datar. Tak terlihat terguncang sama sekali, berbed
“Xavion, berhenti berlari nak atau kau akan ja ... tuh.”Menghilang suara Leoni bersamaan dengan terjatuhnya bocah kecil lelaki lucu berusia empat tahun di atas rerumputan yang basah. Kontan membuat seluruh baju serta wajahnya basah kotor terkena lumpur. Setelah jatuh, bocah kecil itu tak menangis melainkan bertambah asik bermain di atas genangan.“God. Nakal sekali anak ini.”Segera Leoni hampiri putranya yang nakal. Satu langkah lagi ia mencapai Xavion, bocah kecil itu malah melemparkan satu genggam lumpur yang tepat mengenai dress putih yang Leoni kenakan. Tanpa rasa bersalah wajah mungilnya dan hanya tahu tertawa-tertawa menggemaskan.“Tolonglah Xavion, berhenti bermain-main. Kau harus pergi ke sekolah.”Meraup tubuh kecil itu dengan dua tangannya dan ia bawa ke dalam gendongan. Membawanya masuk ke dalam rumah tak peduli jika Xavion terus meronta ingin diturunkan hingga berakhir dirinya dengan tangisan yang begitu melengking.“HUUUUAAAAAAA!” Si bontot Xavion menangis begitu nyaring
Pandangan mereka bertemu amat dalam dengan posisi mereka yang berjauhan. Xander yang duduk di sofa dalam home theater sementara Leoni berdiri pada ambang pintu. Di antara mereka telah tertidur dua putri cantik di atas sofa. Zenna dan Zeline tertidur setelah film favorit mereka selesai ditayangkan.Xander yang menemani dua putrinya menonton, dan Leoni baru saja datang setelah sibuk dengan persiapan kamar bayi mereka.Melipat bibirnya ke dalam sebelum ia melangkah mendekati sang suami. Langkahnya sudah amat berat pun tangannya terus memegangi bawah perut dan pinggang. Ia duduk di atas pangkuan Xander yang mengulurkan tangan padanya.“Belum tidur, um?” tanya Xander. Lantas ia kecupi leher jenjang istrinya.Tersenyum Leoni. Tak bisa tertidur sebab dirinya merasakan kontraksi yang datang cukup sering. Seharusnya tanggal HPL masih dua minggu lagi, namun perutnya terus merasakan kontraksi.“Xander ... kurasa putramu sudah tak sabar ingin melihat dunia.” Leoni tersenyum canggung. Sesungguhnya
Leoni berjalan-jalan di halaman rumahnya dan mendapati Xander yang tengah merokok seraya melamun di dalam gazebo. Ia meringankan langkahnya agar suaminya itu tak mendengar kehadirannya. Dehaman samar dari Leoni membuat Xander menoleh. Dengan cepat ia segera mematikan sulutan rokoknya dan mengipas-ngipas asap yang masih mengepul di area sekitar. "Apa yang sedang kau pikirkan sehingga tak menyadari kehadiranku?" tanya Leoni. Berdiri satu meter dari Xander sebab suaminya itu yang mundur menjauh, merasa dirinya kotor sebab asap rokok yang menempel pada baju dan sangat tidak cocok jika dekat-dekat dengan ibu hamil. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini sudah malam," katanya malah balik bertanya, bukan menjawab pertanyaan dari Leoni. Apa yang Leoni lakukan malam-malam dengan berjalan-jalan di sekitar taman rumahnya, apalagi jika bukan mencari keberadaan Xander yang tiba-tiba merajuk sekaligus mengadu kepada dua putri mereka jika Leoni sudah tak mencintainya. Hati Leoni resah sebab suam
"Satu, dua, tiga!" Semua orang bersorak meriah ketika Leoni dan Xander bersiap memotong kue di acara Gender reveal anak ke tiga mereka. Disertai jantung yang berdegup kencang serta mata yang memejam Leoni berpegang tangan pada Xander yang mengarahkan pisau pada kue. Keluarga Calis serta Miller turut meramaikan acara gender reveal yang diadakan di rumah baru Xander dan Leoni. Pada halaman belakang yang sangat luas pesta diadakan. Leoni dan Xander akan menerima apapun jenis kelamin anak ke tiga mereka tanpa mengeluh atau menyesal kepada Tuhan yang memberi. Pasutri itu sama-sama merelakan jika saja takdir memang menghadirkan seorang putri kecil lagi di keluarga mereka. Leoni tak akan kecewa, sungguh. Kehamilan yang ketiga ini merupakan kehamilanya yang terakhir, Xander dan Leoni sudah sama-sama berjanji pun memutuskan, meskipun tanpa kehadiran seorang putra nantinya. Xander tak mengijinkan istrinya untuk mengandung anak terus-menerus. Tak masalah keluarga kecilnya hanya dipenuhi
"Mommy?" "Yes. Honey?" "Apakah tadi malam daddy menyakitimu?" "Hm ... no." "Why? Daddy mengatakan akan menyakiti Mommy jika kembali." Leoni mengeryitkan alisnya bingung. "Why?" Zeline mengedikkan bahu. "Tak tahu." Leoni menggeleng, merasa aneh dengan pertanyaan putri sulungnya. Ia berbalik untuk mengambil jus , kontan berjengit kaget dirinya saat Zeline tiba-tiba menjerit. "AAAAAH MOMMY!" "Ada apa?" tanya Leoni, segera menghampiri gadis kecil itu di meja makan disertai raut wajahnya yang khawatir. "Lihat itu." Zeline menunjuk pada leher Leoni yang memerah. "Daddy menyakitimu, right?" Ibu dua anak itu menegakkan tubuhnya, memegang leher yang mana terdapat bekas hisapan Xander tadi malam. Ia menelan salivanya kasar, kenapa putrinya bisa berpikir demikian. Tatapannya bergerak melirik pengasuh Zeline yang sedang mengulum senyum di sana. Malu sungguh malu dirinya. "No, daddy tidak menyakiti Mommy," tutur Leoni, mencoba memberikan penjelasan pada putri sulungnya y
Leoni sibuk memotong sayuran di dapur. Dia sedang menyiapkan bahan untuk memasak makan malam. Satu porsi cukup untuk dirinya sendiri sebab tak ada siapapun di rumah. Setiap yang ia lakukan, pikirannya berputar mengingat Xander. Pun setiap pandangannya mengedar, sudut rumah mengingatkannya akan pria itu. Tak henti Leoni memohon agar Tuhan segera mengembalikan suaminya seperti semula. "God, aku merindukan suamiku," gumamnya rendah, tak lama disusul dengan ringis kesakitan sebab pisau tak sengaja mengenai telunjuknya hingga berdarah. "Uh ...." Segera Leoni membasuh lukanya di bawah air, mengambil tissu lalu menekankannya pada bagian yang terluka agar darah berhenti mengalir. Mengambil kotak P3K kemudian mengoleskan obat. Sibuk ia mengurus lukanya hingga tak memperhatkan pintu penthousenya terbuka. Xander datang menggendong Zeline yang tertidur. Tak bersuara langkah pria itu menuju kamar, menidurkan Zeline di atas ranjang. Seteahnya, ia melangkah mendekati istrinya yang sedang si
Xander masih terbaring di atas peraduannya. Posisi tubuh telungkup memperlihatkan punggungnya yang besar nan berotot, pria ini tak memakai kaos atas, sengaja tak menutupi bentuk tubuhnya yang panas nan menggoda. Sudah tiga hari ini Xander menghabiskan waktunya menginap di kamar hotel tanpa pulang, tanpa memberi kabar pada Leoni, dan juga tak ia aktifkan nomor ponselnya. Ia memberi jarak untuk wanita itu agar berpikir jika kebohongan besar akan sangat berdampa buruk pun mampu mengubah segalanya. "Selamat pagi, Darling." Suara manja nan manis itu membuat matanya terbuka. Serta sinar mentari yang menyilaukan menyeruak masuk dari gorden yang baru saja ditarik oleh seseorang yang menyapanya tadi, membuat Xander enggan untuk membuka matanya. Bibir seksi pria ini tertarik membentuk sebuah senyuman kala ia menatap wajah cantik wanita yang amat ia cintai. Berjalan dia menuj Xander, duduk pada tepi ranjang memeluk serta mencium pipinya. "Selamat pagi, Sweetheart," sapa Xander padanya.
"Biar kujelaskan ...." Leoni meminta pada Xander yang terus menerus mengabaikannya. Telah berpakaian rapi pria itu kini pun siap untuk pergi. Leoni menahan Xander, tak membiarkan suaminya pergi ke mana pun dalam keadaanya yang marah. Rahang Xander mengetat menahan amarahnya yang meledak-ledak di dalam, berusaha ia tahan agar tak mengatakan apapun pada istrinya meski ia kecewa, Xander takut kata-kata amarahnya akan melukai Leoni jadi ia hanya diam, bersiap untuk pergi agar amarahnya tak ia luapkan kepada sang istri. Tidak, Leoni sedikit pun tak mengijinkan Xander pergi dalam keadaan pria itu marah, hal-hal buruk bisa saja terjadi padanya, dan Leoni menginginkan hal itu terjadi. "Kumohon, biar kujelaskan padamu." Memejam mata Xander untuk sesaat menahan amarahnya, ia tarik dalam-dalam napas lalu menatap Leoni, tatapannya yang tajam pun mengintimidasi penuh amarah. "Xander ... aku tak bermaksud membohongimu, aku ingin memberitahu segalanya, hanya saja aku belum menemukan wakt
Leoni berdiri di depan cermin, memperhatikan bentuk tubuhnya yang lumayan berisi serta perutnya yang mulai menonjol. Usia kehamilannya kini telah menginjak lima belas minggu. Ia mengangkat kaos yang dikenakan lalu mengelus perutnya. Tubuhnya ia condongkan sedikit ke belakang, membayangkan perutnya beberapa bulan lagi akan seperti apa. "Bagaimana nanti aku menutupinya?" gumam Leoni. Ya! Sampai saat ini ia belum memberitahu Xandr, entah bila suaminya itu akan diberitahu. Leoni sedikit gila, bahkan Savalza dan Kizzie terus memperingati tapi dirinya selalu meminta waktu lebih lama untuk jujur. "Babe?" Suara Xander berasal dari dalam kamar. Segera Leoni benarkan posisi kaosnya yang terangkat lalu tak lama Xander datang, memeluknya dari belakang membuat bagian belakang tubuh Leoni basah sebab pria itu baru saja selesai berenang. "Um, kau basah," ujarnya. Namun tak ia lepaskan pelukan Xander atau membuat suaminya menjauh, Leoni malah nyaman Xander terus memeluknya. "Aku berniat