Petugas hotel itu terbelalak, wajahnya berubah pias dengan nyali yang semakin menciut ketika kini Drew berdiri menjulang di hadapannya, menghalangi tubuh Adrienne. Dia sama sekali tidak tahu jika wanita yang tadi ditatap adalah wanita dari pria sangat berpengaruh di Toronto. Habislah sudah riwayatnya kini. “Ma-maafkan saya, Sir. Saya–” Suaranya menggantung di udara. Belum selesai dirinya, Drew lebih dulu memotong. “Kau hanya ingin basa basi ha?” “Ti-tidak. Saya kesini ingin membersihkan kamar Anda, Sir,” jawabnya menundukkan pandangan tak berani bertatap dengan Drew. “Pergi! Saya tak butuh tenagamu!” usir Drew. “Kau berlebihan sekali. Dia hanya ingin melaksanakan tugasnya, Drew!” protes Adrienne tak suka dengan cara Drew. Sontak saja mata gelap Drew menatap tajam Adrienne. “Aku menyuruhmu berbicara?!” sinis Drew. “Kau—”“Kau suka ditatap olehnya?!” Drew berseru. Suaranya terdengar meninggi satu oktaf. Lingkar matanya semakin menggelap tak tertolong. Entah mengapa dia merasa pan
“Jika aku marah, bukankah kau juga tidak akan peduli, huh?” Alih-alih cemburu atau apapun, Adrienne justru bertanya sesuatu yang menyudutkan Drew Richard Hidalgo. “Kau terlalu pandai membalikkan kata-kataku, Angel!” Memang dasarnya sama-sama memiliki karakter dan watak keras juga sedikit mempunyai pemikiran nan tak waras, jika berbincang berdua, mereka terlihat seperti sepasang orang gila yang sedang menertawakan satu sama lain. “Aku diberkati mulut oleh Tuhan untuk bicara dan melawan orang-orang yang pantas kulawan. Dan kali ini berkat Tuhan, kugunakan untuk melawan pria sinting sepertimu,” timpal Adrienne tersenyum manis. Senyum manis dengan tatapan sinis. Drew tertawa pelan, lalu mengangguk membenarkan kata-kata Adrienne yang tidak ada salahnya sama sekali. “Sudahlah, aku mau mandi! Tertawa saja kau terus sampai kering gigimu!” tukas Adrienne. Ia beranjak, berdiri meninggalkan tempat duduknya. Masuk ke dalam kamar dan membiarkan Drew menatap punggungnya. “Dibanding
Sungguh sangat disayangkan jika Adrienne mengetahui akal bulus Drew yang hanya sok bersikap baik demi dirinya bisa hamil. Terlihat mulus seakan amat tulus, Drew dengan segala kecerdasan dan kemampuan manipulasinya kian ia gunakan pada sang istri.Hanya tersedak sedikit, telaten sekali Drew mengurus Adrienne seperti seorang ayah yang menemukan puterinya sakit. Segala perhatian ia curahkan. Segala kelembutan ia tampakkan pada istrinya. Seolah-olah ia ingin dunia tahu bahwa Adrienne Maizahira adalah cintanya.Padahal fakta yang terjadi Adrienne Mizahira adalah jalang pribadi yang ia nikahi.“Sudahlah, aku baik-baik saja.” Adrienne mendorong pelan pundak Drew agar menyingkir dari hadapannya.“Sakit?”Pertanyaan Drew dibalas gelengan kepala oleh Adrienne. Wanita itu lantas berdiri setelah menyambar selembar tissue guna membersihkan hidungnya. Melangkah menuju toilet kering, Adrienne membasuh mulut dan hidung di sana.Meninggalkan Drew yang kembali membuka ponsel lalu mengirim pesan yang ta
Cepat-cepat Adrienne menggelengkan kepalanya. “Tidak begitu. Aku hanya kasihan dengan temanku, dia tak tahu apapun.” “Lalu kau tak kasihan dengan Anna dan Jay?” Skakmat Drew melemparkan pertanyaan yang membuat sekujur tubuh Adrienne mematung tak dapat bergerak.Mata wanita itu melotot, tegang tubuhnya amat kentara dengan mulut terbuka kecil. “K-kau melakukan apa pada mereka? Jangan sakiti mereka! Mereka tak tau apapun. Jika ingin menghukum maka hukum saja aku!”Decitan mobil terdengar secara tiba-tiba. Adrienne nyaris memekik ketika tubuhnya hampir membentur dashboard mobil. Sialan, Drew menginjak pedal rem mendadak dengan tajam di tepi jalan. Wanita itu terkesiap melihat tatapan Drew yang setajam elang. Buku romanya mulai berdiri, pria itu bergerak mendekati dirinya dan Adrienne bisa merasakan hawa panas dari embusan napas Drew. Dingin telapak tangan Adrienne kini Drew raih. Diusapnya secara lembut nan sensual dengan sorot mata seksi yang mengunci pergerakan mata Adrienne. “Sudah
Setelah membeli buku di toko buku lawas di tengah kota Toronto, Adrienne dan Drew langsung bergegas ke bandara untuk penerbangan mereka ke Virginia tepat pada waktu yang sudah Drew katakan. Di bandara, Adrienne tampak bersemangat dengan buku yang baru dibelinya, sementara Drew mengurus boarding pass mereka. “Apakah kau yakin buku itu akan menarik?" tanya Drew sambil menyerahkan boarding pass kepada Adrienne.Adrienne hanya tersenyum, membalas, “Kau baca saja sendiri nanti setelah aku selesai, ini adalah edisi langka yang sudah lama ingin aku baca. Rasanya aneh jika kau tidak tau buku ini.”Setelah melewati keamanan, mereka duduk menunggu di gate. Drew mengeluarkan laptopnya untuk mengecek email pekerjaan, sementara Adrienne membuka bukunya. Suasana di bandara yang ramai dengan orang-orang yang sibuk berlalu lalang memberikan kontras dengan kedamaian yang mereka rasakan saat tenggelam dalam dunia mereka sendiri.Saat penerbangan dipanggil, mereka segera merapikan barang-barang mereka
Mobil yang mereka tumpangi bergerak menuju villa di sekitar pantai—wisata yang rencananya akan mereka kunjungi esok hari. Sesampainya di villa, Drew langsung membawa Adrienne ke kamar utama. Itu villa pribadi miliknya. Tempat yang tak pernah terjamah oleh dirinya dan Allena hingga Adrienne lah orang pertama yang ia bawa ke sana. Bahkan villa tersebut terbilang masih baru. Drew baru membangunnya sekitar setahun lalu dan pembangunan selesai dua bulan sebelum ia menikahi Adrienne. Jangan salah paham jika perhatian yang Drew berikan adalah tulus. Segila pemikirannya menikahi Adrienne sementara ia sudah bertunangan dengan Allena, segila itu juga dia berencana membuat hati wanita 20 tahun itu bahagia sebelum dia hancurkan. Tubuh Adrienne dibaringkan di atas kasur. Rambut wanita itu sudah basah sekali karena keringat dingin yang terus bercucuran. Dibaringkan seperti itu, Adrienne semakin merasa segala sesuatu di sekitarnya berputar. Ia bergerak gelisah dan pelan sekali meminta Dre
“Ho, kau sedang berlibur dengan kakak pertama? Sungguh?”Adrienne mendengus. Ini sudah pertanyaan ketiga yang Seleste pertanyakan setelah ia memberi tahu bahwa dirinya tengah berada di Virginia bersama Drew.“Telingaku tidak kupakai hanya untuk mendengar pertanyaan berulang darimu, Seleste!” sindir Adrienne dan di sana Seleste tertawa kecil.“Pantas saja kuhubungi kakakku, dia tidak merespon apapun. Ternyata kalian sedang berlibur,” seru Seleste terdengar bahagia dengan kabar tersebut. “Sejak kapan kalian berada di Virginia?”Adrienne menoleh ke samping, tepatnya ke arah pintu kamar mandi. Sudah tiga puluh menit, Drew belum keluar juga dari sana padahal matahari sudah meninggi. Sementara dia duduk di kursi, di sisi jendela yang menyuguhkan pemandangan indah, lautan lepas.“Sore tadi pukul tiga. Apakah kakakmu memiliki riwayat gangguan mental?” celetuk Adrienne.“Hah? Kau ini bicara apa?”“Tidak tau. Aku hanya merasa aneh dengan sikapnya. Semalam aku marah-marah dan menangis di depanny
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” Adrienne mengernyitkan kening hingga dahinya tampak mengkerut tajam menemukan Drew menatap dirinya sangat intens tak berkedip. Drew sadar dari pandangannya. Ia mengalihkan pandangan, tidak menjawab pertanyaan Adrienne. Memilih untuk meraih sebotol parfum yang tergeletak di atas meja rias lalu menyemprotkan di beberapa titik tubuhnya. Adrienne berdecak. “Dasar manusia aneh,” gumamnya pelan tetapi masih bisa didengar oleh Drew. Melalui ekor matanya, Drew melirik Adrienne dari pantulan cermin. Wanita itu berdiri membelakangi dirinya, tengah mengenakan long cardigan berwarna krem dengan dress panjang tanpa lengan berwarna biru langit. Sungguh Drew merasa sangat janggal dengan penampilan Adrienne. Ia melihat bahwa tubuh wanita itu semakin berisi dan seksi. “Dia merasa tertekan tapi tubuhnya semakin berisi. Memangnya ada orang tekanan batin tapi semakin gemuk?” Bermonolog seperti orang bodoh, Drew sontak menggerutui dirinya sendiri. “Kenapa kau mem