“Sam, ke ruanganku sekarang!” pinta Elisa setelah panggilan telepon ekstensinya mendapat jawaban. Dia masih tidak habis pikir dengan pesan aneh yang masuk ke kotak surat elektronik miliknya.
Hanya dalam hitungan detik, Samuel sudah berdiri di depan Elisa setelah mempercepat langkahnya, hampir seperti berlari. Suara Elisa terdengar mendesak.
“Ada apa, Nona?”
“Lihat ini!” Elisa serta merta menggeser laptop miliknya sedikit menyamping, membiarkan pria itu melihat layar monitor dan membaca pesan yang sudah dibaca tiga kali. Dia yakin otaknya tidak salah mengartikan rangkaian kata itu. Sebuah tawaran kerja sama.
Elisa menggigit bibir bawahnya, menatap bergantian antara layar monitor dan Samuel.
“Apa seseorang berusaha menipuk
“Benar, Nona. Tuan Thomas memercayakan hal itu kepada asisten pribadinya dan secara khusus mengundang Anda ke perusahaan mereka jam sebelas siang ini.”Meskipun keraguan masih sedikit mengganggu hatinya, tapi Elisa tidak bisa memungkiri bahwa kerja sama ini akan sangat menguntungkan.Benar… Elisa harus lebih obyektif kali ini. Kesempatan emas ini tidak akan datang dua kali.“Syukurlah.” Tubuh Elisa luruh ke sandaran kursi, merasa lega. Ia hampir ingin menangis rasanya. Sekarang, dia bisa fokus mengurus tugas akhir dan semua hal yang berhubungan dengan kampus.Seperti yang sudah direncanakan, Elisa mendatangi kantor Thomas and Co. yang ada di salah satu gedung pencakar langit ibu kota. Tidak sulit menemukan tempat itu, ap
“Elisa, ikut denganku sebentar.” “Sera? Akhirnya kamu datang.” Tanpa mengindahkan senyum di wajah Elisa, Sera lebih dulu menarik tangan sahabatnya untuk keluar dari ruang pemotretan dan menyudutkan tubuh mungilnya di sudut koridor. Tidak akan ada orang yang bisa mendengar percakapan mereka. “Apa kamu berada dalam bahaya?” tanya Sera dengan raut wajah serius yang membuat Elisa terheran-heran. “Hah?” Elisa mengerutkan kening, perlahan melepas cengkeraman tangan Sera di lengannya. “Apa yang kamu bicarakan?” “Katakan padaku apa yang terjadi!” Nada mendesak yang Sera ucapkan membuat Elisa justru mundur satu langkah dari lawan bicaranya, menatap bingung pada gadis y
Wanita dengan setelan berwarna gelap itu sempat melirik Bastian sekilas, mempertanyakan status Sera. Kenapa dia ikut campur sekali dengan pemotretan kali ini?“Aku hanya ingin melihat hasilnya. Kenapa kamu ragu? Apa kamu menyembunyikan sesuatu?”Elisa menarik tangan Sera, memberikan tanda melalui gelengan kepala agar sahabatnya itu tidak berpikiran macam-macam ataupun menuduh orang sembarangan.Namun, Sera tampaknya sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Diamlah, El. Pasti wanita ini yang sudah diam-diam memotretmu. Aku yakin itu. Suaranya sama persis seperti wanita yang tadi kudengar di—”“Sera!” Kali ini Elisa tidak bisa tinggal diam, berusaha menarik Sera dari sana. Namun sayang, tenaganya kalah jauh dari gadis tomboy itu.
“Aku kira kamu tidak akan datang, Steve,” sambut Wina, fotografer yang satu jam lalu bekerja untuk Elisa.Sebuah senyum jahil terukir di kedua sudut bibirnya saat mendapati temannya saat kuliah itu hanya diam di depan pintu dengan wajah keruh.“Berapa banyak yang kamu inginkan?” tanya Stevan tanpa berbasa-basi.Mendengar pertanyaan itu, Wina justru tertawa dan berjalan menjauh dari pintu tanpa mengajak tamunya masuk. Dia yakin Stevan tidak akan pergi sebelum mendapat foto-foto Elisa.“Kapan kalian menikah? Kenapa tidak mengundangku?”“Wina, kau tahu—”“Aku tidak suka basa basi!” sela Wina mendahu
“Kamu tahu, aku mengenalmu cukup lama, tapi aku juga cukup dekat dengan Bastian. Dia jelas-jelas tertarik pada istri mungilmu itu dan tidak segan memberikan perhatian-perhatian kecil yang tidak pernah kamu lakukan sebelumnya.”Stevan menatap Wina sekilas, tapi belum berniat bicara. Tangannya sibuk membuka satu demi satu potret Elisa. Gemuruh tak kasat mata diam-diam menyelimuti dada Stevan, seperti ada beberapa jarum kecil yang menusuk-nusuk hatinya.“Aku berbicara sebagai seorang wanita, tidak berpihak padamu maupun pemuda itu. Namun, orang asing sekalipun pasti akan sependapat denganku. Dibandingkan menjadi pendamping pria dingin dan gila kerja sepertimu, Elisa lebih nyaman dengan Bastian yang hangat itu.”“Kau sedang memujiku?” sindir Stevan dengan wajah masam.
“Bagaimana? Kamu puas dengan hasilnya, Elisa?” Wina menatap album foto yang ada di tabletnya, memilih beberapa untuk dijadikan kolase.Selain mengambil peran sebagai fotografer, Wina menawarkan diri untuk membuat video pendek yang akan ditampilkan di booth pameran nantinya. Tentu saja dia melakukan itu dengan sukarela karena tertarik pada hubungan Elisa dan Stevan.“Ini benar-benar menakjubkan. Luar biasa!” puji Elisa dengan nada kekaguman yang nyata, sama sekali tidak dibuat-buat. Dia dibuat terkesima dengan hasil akhir foto-foto hasil jepretan Wina. Baju koleksinya terlihat memiliki aura.“Video pendeknya akan aku kirimkan nanti sore. Atau kamu mau datang ke rumahku untuk melihatnya langsung, Elisa?”Sebuah pemikiran ja
“Aku… aku tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini,” lirih Elisa, membuat Stevan yang tadinya sudah berjalan beberapa langkah, kembali terpaku di posisinya.“Berikan saja pada wanita tua yang sudah membawamu kemari. Bukankah dia sangat menyayangimu seperti putrinya sendiri?”Gemeletuk sepatu pantofel Stevan yang beradu dengan lantai membuat Elisa memejamkan mata.“Bodoh sekali kamu, Elisa. Apa yang kamu harapkan?”Tak terasa, satu bulir air mata luruh di wajah Elisa. Hubungannya dengan Stevan hanya formalitas saja. Pria itu masih mengabaikannya, tidak pernah memandangnya sebagai istri maupun calon ibu dari anak-anaknya.Detik berikutnya, Elisa masuk ke kamarnya d
“Aku sudah tahu,” ucap Renata saat mendengar laporan dari Maria terkait kehamilan Elisa.“Anda sudah tahu, Nyonya?”“Hmm.” Renata bergumam, menatap dokumen di depannya dan membubuhkan berapa catatan di sana. “Dokter Mecca yang mengatakannya sewaktu Elisa dirawat di rumah sakit. Hanya saja, karena bocah bodoh itu meminta Elisa untuk menggugurkan kandungannya, jadi kami menyembunyikannya.”Embusan napas lega terdengar dari mulut Maria.“Sejujurnya aku juga berharap Stevan mau menerima darah dagingnya, tetapi ternyata tidak semudah itu. Dia justru meminta dokumen pernikahan, berniat menceraikan Elisa. Tentu saja aku tidak akan memberikannya sampai kapan pun.”
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli