“Sejak kapan kamu memihak pada Elisa?”“Saya hanya—”“Antarkan makanan itu untuknya. Jangan katakan aku di sini. Maria yang memintamu memberikannya.”Mario sempurna membalik tubuhnya, menatap Stevan yang kembali memasang wajah datar. Pria itu masih tetap sama, enggan menunjukkan ketertarikannya pada sang istri.“Tunggu apa lagi?!”Tanpa membuang waktu lebih lama, Mario melepas sabuk pengaman yang menahan tubuhnya. Dia segera meraih bekal makanan milik Elisa dan melangkah mendekati gadis itu. Mereka terlibat percakapan satu dua, tapi Stevan tidak bisa mendengarnya.Pria itu memperhatikan Elisa dengan raut wajah yang lain dibandi
Bastian tanpa sadar sudah menaikkan nada suaranya satu oktaf. Matanya masih menatap Elisa dengan tajam. “Maaf,” tukas Elisa lirih sambil menggeser kursinya, berusaha sedikit menjauh dari pria yang tengah dilanda emosi itu. “Apa lagi kendalamu? Katakan padaku.” Elisa menelan ludah dengan paksa, membasahi kerongkongan sekaligus meredam gemuruh di hatinya yang mulai merasa canggung. Mendapati tak ada respons dari Elisa, Bastian harus menambah stok kesabarannya. Dia tahu, gadis itu bukan tipikal wanita yang mudah dekat dengan pria. Selain Alex, tak ada satu pun mahasiswa yang dekat dengannya. “Tim produksi, ada masalah?” tanya Bastian setelah mengembuskan napas kasar dari mulutnya.
“Terima kasih untuk semuanya,” ucap Elisa setelah selesai menata properti untuk pemotretan besok pagi. Tanpa bantuan Bastian, Elisa tidak akan bisa menyelesaikan urusan yang satu ini.“Tidak perlu sungkan. Ini memang tanggung jawabku.”Elisa dan Bastian beradu pandang, tersenyum satu sama lain.“Apa yang kamu lakukan setelah ini? Mau langsung pulang? Biar kuantar sekalian.”“Tidak. Tidak. Aku bisa pulang sendiri,” sela Elisa sambil meraih tas mungilnya dan memasukkan ponsel yang sedari tadi tergeletak di meja.Senyum di wajah Bastian sedikit meredup. Dia menangkap gelagat penolakan Elisa yang secara tidak langsung mematahkan harapannya untuk bisa pulang bersama.
Samuel berdiri mematung di depan pintu kaca. Meski tak mendengar isak tangis Elisa, tapi dia bisa melihat betapa rapuhnya gadis itu.“Bertahanlah, Nona. Kita pasti akan mendapatkan jalan keluarnya segera!” bisik Samuel penuh keyakinan. Dia mengurungkan niatnya memasuki ruangan, beralih fokus pada komputer di atas meja.Dengan kecepatan jemari dan ketajaman daya pikirnya, Samuel merekap semua informasi yang dikirimkan pada Elisa siang tadi melalui email. Dia yakin gadis itu belum sempat membuka satu pun pesan darinya.“Sam ….”Samuel terkesiap, terkejut melihat kehadiran Elisa di depan mejanya. Dia terlalu fokus menatap layar monitor, tidak mendengar langkah Elisa yang mendekat ke arahnya.&ldquo
“Untung saja urusan properti pemotretan sudah selesai. Setidaknya pagi ini aku bisa datang ke kantor.”Embusan napas lega keluar dari bibir Elisa. Satu beban terasa berkurang, tinggal menunggu kabar baik dari Samuel.“Beberapa hari ini aku terlalu sibuk, bahkan tidak pernah makan bersama dengan Stevan. Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia tidak mengatakan apa pun semalam?”Elisa menelengkan kepala, melupakan sejenak kuas blush on yang ada di tangan kanannya. Dia kembali teringat dengan ekspresi wajah sang suami yang terlihat dingin dan tak peduli. Namun, itu justru mengusiknya. Mungkinkah Stevan marah?“Jam berapa ini?” Elisa menggeleng dua kali, mengenyahkan pemikiran buruk yang sempat datang dan menoleh ke arah jam digital di atas nakas yang terlihat dari cermin di hadapannya.“Masih ada waktu. Aku bisa sarapan dengan Stevan.”Tanpa membuang banyak waktu, Elisa menyelesaikan polesan make up tipis di wajahnya dan bergegas turun ke lantai bawah untuk menuju meja makan. Terlihat Stevan s
Suara Maria membuat Elisa tersadar dan menyingkirkan tangannya dari perut, tersenyum kaku dan dengan hati-hati menyingkirkan jemari wanita itu. Dia tidak boleh membiarkan orang lain mengetahui fakta kehamilannya, takut akan melaporkannya kepada Stevan. Meskipun percaya pada pelayan yang setia itu, tapi Elisa tidak mau mengambil resiko.“Aku baik-baik saja, Maria,” kata Elisa sambil tersenyum pias. Ia mengusap keringat dingin pada pelipisnya.Maria tampak mengerutkan dahi, sama sekali tidak yakin. “Wajah Anda terlihat sangat pucat, Nona.”Elisa kembali menoleh ke arah cermin. Wanita itu benar, wajahnya pucat dan pipinya pun terlihat lebih tirus dari sebelumnya.“Aku pasti hanya kelelahan dan kurang istirahat. Bukan sesuatu yang harus dikhawatirkan,” elak gadis itu sambil meninggalkan Maria, memilih duduk di kursi sofa yang ada di ruang tengah.“Bagaimana kalau Anda ke rumah sakit saja, Nona? Saya akan menyuruh sopir untuk menyiapkan mobil.” Elisa langsung menoleh dan menggeleng pelan
“Sam, ke ruanganku sekarang!” pinta Elisa setelah panggilan telepon ekstensinya mendapat jawaban. Dia masih tidak habis pikir dengan pesan aneh yang masuk ke kotak surat elektronik miliknya. Hanya dalam hitungan detik, Samuel sudah berdiri di depan Elisa setelah mempercepat langkahnya, hampir seperti berlari. Suara Elisa terdengar mendesak. “Ada apa, Nona?” “Lihat ini!” Elisa serta merta menggeser laptop miliknya sedikit menyamping, membiarkan pria itu melihat layar monitor dan membaca pesan yang sudah dibaca tiga kali. Dia yakin otaknya tidak salah mengartikan rangkaian kata itu. Sebuah tawaran kerja sama. Elisa menggigit bibir bawahnya, menatap bergantian antara layar monitor dan Samuel. “Apa seseorang berusaha menipuk
“Benar, Nona. Tuan Thomas memercayakan hal itu kepada asisten pribadinya dan secara khusus mengundang Anda ke perusahaan mereka jam sebelas siang ini.”Meskipun keraguan masih sedikit mengganggu hatinya, tapi Elisa tidak bisa memungkiri bahwa kerja sama ini akan sangat menguntungkan.Benar… Elisa harus lebih obyektif kali ini. Kesempatan emas ini tidak akan datang dua kali.“Syukurlah.” Tubuh Elisa luruh ke sandaran kursi, merasa lega. Ia hampir ingin menangis rasanya. Sekarang, dia bisa fokus mengurus tugas akhir dan semua hal yang berhubungan dengan kampus.Seperti yang sudah direncanakan, Elisa mendatangi kantor Thomas and Co. yang ada di salah satu gedung pencakar langit ibu kota. Tidak sulit menemukan tempat itu, ap
*Satu minggu kemudian …. “Proses penyelidikan berjalan dengan lancar, Tuan. Tidak ada kendala. Tuan Harris dan juga Hilda mengakui semua perbuatan mereka. Bukti-bukti yang terkumpul sudah cukup untuk menuntut keduanya di meja hijau.” Stevan mengangguk sambil membaca berkas yang dibawa oleh Mario. “Tuntutan 10 tahun penjara?” “Benar, Tuan,” Mario mengangguk. Stevan mengangguk puas. Selain 10 tahun mendekam di balik jeruji besi, Harris dan Hilda juga harus membayar biaya denda yang tidak sedikit jumlahnya. Stevan lantas menutup dokumen dan menatap Mario. “Pastikan hal ini tidak mempengaruhi Wijaya Group.” Mario mengangguk. “Semuanya aman terkendali, Tuan. Semenjak Tuan Harris dikeluarkan dari jajaran direksi dengan cara tidak terhormat, kasus ini tidak membawa dampak besar bagi perusahaan.” “Bagus. Pertahankan,” kata Stevan.Mario kembali mengangguk. “Nyonya Besar akan mengambil alih selama Tuan cuti panjang?” “Ya. Kau bisa berkoordinasi dengan asisten Mama mulai hari ini. Janga
‘Paman, maaf mengganggumu malam-malam. Tapi aku ingin mengabarkan kalau Papa sudah siuman. Dia sudah dipindahkan ke kamar inap biasa.’ Elisa membaca pesan yang dikirimkan oleh Alex kepada Stevan. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk memastikan penglihatannya tidak keliru. Wanita itu lalu menatap Stevan yang tidak mengatakan apapun. Namun, melihat tubuhnya yang menegang, Elisa bisa memastikan bahwa suaminya juga sama terkejutnya dengan dirinya.“Steve? Kamu baik-baik saja?” Stevan tampak tercenung di tempatnya. Perasaannya campur aduk. Ia pikir Harris tak akan mampu melewati masa kritis panjangnya. Stevan pikir, pada akhirnya maut lah yang menjadi hukuman bagi kakaknya itu. Tapi ternyata, Sang Maha Kuasa punya rencana lain. Dan Stevan tidak tahu perasaan apa yang selayaknya ia rasakan saat ini. Melihat kemelut di wajah suaminya, Elisa lantas mengusap-usap lengannya dengan lembut, mencoba menyalurkan rasa nyaman yang menenangkan. “Apa yang kamu rasakan, Steve?” Elisa ragu-ragu
“Minggu depan?!” Elisa menjauhkan ponsel dari telinganya mendengar suara pekikan gadis di seberang sambungan. Ia tertawa mendengar suara grasak-grusuk yang terasa familiar. Meski sudah lama tidak saling kontak, nyatanya sahabatnya itu belum berubah, masih heboh seperti dulu saat mereka pertama kali berteman. “Astaga, aku belum menyiapkan apapun untuk calon bayimu!” kata Sera, terdengar panik. “Tenanglah, Sera,” kata Elisa sambil tertawa. “Kamu tidak perlu menyiapkan apapun.” “Tidak perlu bagaimana?! Calon keponakanku yang pertama akan lahir ke dunia, tidak mungkin aku tidak menyiapkan apapun!” protes Sera. Nadanya terdengar panik sekaligus antusias. Elisa tersenyum, senang karena Sera menyebut calon buah hatinya sebagai keponakan meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah sama sekali. “Besok aku akan berbelanja setelah makalah sialan ini selesai,” gerutu Sera, yang lagi-lagi membuat Elisa tertawa mendengarnya. Sudah lama sejak terakhir kali mereka bertemu. Keduanya dis
Stevan semakin sibuk menjelang hari persalinan Elisa. Ia ingin menyelesaikan banyak pekerjaan sekaligus sebelum mengambil cuti agar bisa fokus pada sang istri dan calon buah hati mereka nantinya. Kesibukan itu tentu berimbas pada banyak orang, tidak hanya Mario, tetapi juga divisi-divisi lain di bawah pengawasan Stevan, termasuk Alex yang sudah mendapatkan kepercayaan untuk mengepalai beberapa project besar. Namun, di tengah-tengah kesibukan itu, baik Stevan maupun Alex masih bisa mencuri waktu untuk orang-orang terkasih. Sesibuk apapun mereka di kantor, mereka masih meluangkan sedikit waktu untuk sekadar bercengkerama lewat panggilan telepon atau video. Obrolan singkat itu selalu menjadi pelipur di tengah hectic-nya pekerjaan di kantor. “Kau yakin tidak menginginkan apapun? Aku akan membelinya saat pulang nanti,” kata Stevan sambil menaikkan bingkai kacamata baca yang turun ke pangkal hidungnya. Matanya masih fokus pada dokumen di hadapan, dengan pulpen di tangan yang sesekali men
“Elisa!” Stevan menaiki undakan tangga teras dengan langkah lebar. Raut wajahnya tampak mengeras, dengan dada naik turun karena napasnya tidak beraturan. Ia bahkan mengabaikan pelayan yang tergopoh-gopoh mengikutinya dari belakang. Pelayan itu tampak ingin mengatakan sesuatu, tetapi melihat aura dingin dari tuannya, pelayan tersebut memilih untuk bungkam. Namun, saat Stevan hendak menaiki tangga ke lantai dua, pelayan itu segera menyela dan mengatakan keberadaan Elisa. “Nona berada di taman belakang bersama—” Stevan tidak menunggu pelayan tersebut menyelesaikan kalimatnya, langsung membawa langkah lebarnya ke arah taman di belakang kediaman utama. “Elisa—” panggil Stevan, tapi ia tidak melanjutkan kalimatnya saat sepasang matanya menangkap pemandangan asing yang membuatnya terpaku. Rasa marah dan kesal yang sedari tadi ia bawa dari kantor, seketika langsung menguap begitu saja saat melihat apa yang ada di depan matanya kini. “Steve? Kamu sudah sampai?” tanya Elisa terkejut. Waj
“ALEX?!” Suara Stevan terdengar meninggi satu oktaf, berkas yang sedari tadi ia bolak-balik sambil membubuhi beberapa halaman dengan tanda tangan teronggok begitu saja di atas meja. Ia terlalu terkejut mendengar satu nama itu disebut membersamai kata ‘teman’ dari mulut istrinya. Sejak kapan Alex menjadi teman Elisa?!“Ya,” sahut Elisa, tidak menyadari kegundahan sang suami yang begitu kentara sebab ia tampak sibuk memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Sebentar lagi Alex akan datang ber—” “Tunggu di sana,” sela Stevan sambil bergegas. Ia melupakan berkas dokumen yang masih menumpuk di atas meja, lantas mengambil jasnya yang tersampir di sandaran kursi dan langsung bergegas menuju pintu. “Steve—”“Aku akan tiba dalam 15 menit.” Stevan tidak menunggu respon dari Elisa. Ia segera memutus sambungan dan menaruh ponsel genggamnya ke dalam saku celana. Mario baru saja ingin mengetuk pintu saat Stevan keluar dari ruangan dengan langkah tergesa. Mereka nyaris bertabrakan kalau saja M
“Tidak ada yang mengunjungi Tuan Harris sebelum beliau dirawat di ruang ICU, Tuan,” lapor Mario keesokan paginya saat Stevan baru saja tiba di kantor. “Saya sudah cek CCTV beberapa minggu ke belakang. Selain keluarga, tidak ada yang datang untuk menjenguk Tuan Harris. Hanya ada beberapa petugas dari kantor kepolisian yang berganti menjaga di depan kamar inap beliau,” tambah Mario. Laporan itu membuat dahi Stevan mengerut. “Kau yakin?” Mario kemudian menyerahkan sebuah tablet begitu tuannya sudah duduk di kursi kebesarannya. Layar pipih itu menampilkan satu rekaman CCTV, waktunya sekitar satu minggu sebelum Harris dipindahkan ke ruang ICU. “Bukankah gadis ini Stella?” Mario mengangguk. “Benar, Tuan. Dia pernah datang, tetapi tidak diizinkan masuk untuk menjenguk Tuan Harris.” “Kenapa?” tanya Stevan. “Penjaga berkata bahwa itu adalah pesan dari Tuan Alex. Ia meminta pada para petugas agar tidak memberi akses kepada siapa pun untuk menemui ayahnya kecuali keluarga inti dan p
“Stevan?” Stevan mengalihkan tatapannya, menatap wajah ibunya yang tampak lelah. “Kamu melihat apa?” tanya Renata sembari melihat ke arah ujung koridor yang sepi. Tidak ada siapa-siapa di sana. “Tidak,” sahut Stevan, terdengar tidak yakin bahkan di telinganya sendiri. Ia lantas berdiri dari kursi dan menatap ibunya sejenak. “Aku akan ke toilet sebentar,” katanya, langsung pergi tanpa menunggu respon dari Renata. Stevan berjalan ke arah koridor di mana ia melihat seseorang berdiri di sana beberapa saat yang lalu. Namun, sekarang tidak ada siapa-siapa sejauh matanya menyapu sekitar. Ia membawa langkahnya menyusuri koridor, barangkali akan menemukan sebuah petunjuk. Instingnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres. Stevan merasa sedang diawasi. Tapi siapa? Dan untuk apa?Stevan mencoba menerka-nerka. Ia kemudian mengambil ponselnya di dalam saku dan bermaksud untuk menelepon Mario. Stevan akan meminta pria itu untuk mencari tahu siapa saja yang berkunjung ke ruangan Harris selama
“Tuan Harris dalam kondisi kritis. Saat ini beliau sedang dirawat di ruang ICU.” Stevan meletakkan sendok dan garpu di atas piring, lalu mengarahkan tatapannya pada Maria yang baru saja menyampaikan informasi yang didapatkannya dari pelayan kediaman kakak sulungnya itu. “Stevan ….” Perhatian Stevan teralihkan pada Elisa yang juga baru saja menghentikan aktivitas makan malamnya. Elisa meraih jemari Stevan dan menatapnya lekat, seolah tengah mencari perubahan emosi yang dirasakan oleh suaminya itu lewat sepasang matanya. Namun, tidak ada. Stevan memang tampak tercenung, tapi itu hanya selama beberapa detik sebelum ekspresinya kembali datar, seolah kabar itu tidak pernah ia dengar sama sekali. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Elisa, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Stevan hanya mengangguk sekilas, sebelum kembali mengambil sendok dan garpunya, lalu melanjutkan makan malam yang sempat tertunda. “Kita makan dulu,” kata Stevan ringan. Seolah dengan begitu, selera makan Eli