"Sial! Malam ini aku gagal," ucap Astin dengan nada kecewa dan marah.
Mereka berhasil lolos setelah Marlin memaksa dan menyeretnya pergi karena melihat bayangan beberapa orang datang ke arah mereka."Maafkan aku." Marlin masih merasa kegagalan ini adalah ulah bodohnya.Astin menegakkan wajah menatap pria yang terlihat kacau dan lelah. Perlahan mendekat dan menepuk pundak Marlin dengan cukup keras, lalu tersenyum di antara napas terengah dan cepat."Ini pilihan yang tepat," ucapnya tidak menyalahkan Marlin."Tapi kita gagal. Kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang ketua mereka. Kita juga tidak berhasil membawa salah satu dari mereka untuk kita siksa. Crico juga tidak mendapatkan makanan gratis hari ini." Marlin menatap mata Astin dengan rasa bersalah."No. Siapa bilang kita tidak mendapatkan apa-apa? Kita dapat ini." Astin mengangkat koper hitam yang berhasil dia bawa lari."Wow! Kau mendapatkannya?" Mata Marlin terbelalak senang."Ya, biarpun kita tidak mendatangkan mainan untuk kita siksa hari ini dan Crico tidak mendapatkan makanan gratis, tapi kita mendapatkan uang untuk menambah kekayaan kita." Astin tersenyum puas dengan apa yang dia dapat hari ini.Marlin tersenyum senang. Hanya saja senyum itu segera menghilang."Bagaimana dengan lukamu?"Astin segera menunduk melihat lapang perutnya. Sakit itu sudah pasti. Luka yang belum sepenuhnya sembuh, kembali berdarah karena tendangan kaki musuh yang cukup kuat. Hanya saja dia tidak ingin Marlin semakin mengkhawatirkannya. Bibirnya pun tersenyum."Tidak masalah. Aku akan minta Nancy menjahit dan memberiku obat setelah kita kembali ke markas," sahutnya menenangkan Marlin."Kalau begitu kita harus segara pergi dari sini. Jangan sampai mereka mengejar kita." Marlin bangkit berdiri dan mengulurkan tangan membantu Astin."Tunggu!" Astin menahan tangan Marlin.Astin menoleh ke arah kanan, di mana pertempuran mereka tadi berlangsung. Bukan tanpa sebab, saat hendak berdiri tidak sengaja ekor matanya menangkap bayangan seorang wanita dengan rambut diikat ekor kuda di antara beberapa pria lainnya."Siapa mereka?" tanyanya dengan sorot mata ingin tau.Astin dapat melihat jelas bayangan mereka dan bayangan wanita itu ketika wajah cantiknya tersorot oleh senter yang lain.Marlin segera mengarahkan pandangnya ke arah pandang Astin. Matanya tajam meneliti wanita yang dimkasud oleh Astin. Beberapa saat kemudian setelah memperhatikan wajah wanita itu dan juga rombongan lainnya, dia baru menyadari bila orang-orang yang datang sepertinya bukan komplotan dari para pria tadi."Dari pakaian dan cara mereka beroperasi, aku rasa mereka polisi," jawab Marlin setelah mengawasi dan mencermati gerak-gerik mereka."Apa komplotan ini juga sudah menjadi incaran polisi?"Marlin tertawa kecil."Mereka komplotan besar, sudah pasti polisi akan mengejar mereka.""Itu artinya mereka juga melakukan pengintaian. Apa mereka tau keberadaan kita?""Seharusnya tidak," jawab Marlin yakin bila keberadaan mereka tidak akan pernah diketahui polisi."Aku rasa juga begitu," sahut Astin setuju dengan pemikiran Marlin.Astin berdiri sendiri tanpa bantuan Marlin."Aah!" Astin mendesah kesakitan."Astin!"Marlin terkejut melihat Astin memegangi perutnya waktu berdiri. Lebih terkejut lagi saat melihat ada darah keluar dari luaknya."Lukamu terbuka lagi?""Aku rasa begitu," ucapnya di antara sakit yang hebat."Kita ke rumah sakit." Marlin memapah Astin."Jangan bodoh! Kita kembali ke markas saja!""Tapi lukamu parah, Astin?" Marlin semakin khawatir.Astin semakin terlihat kesakitan saat berjalan."Rumah sakit juga pasti akan bertanya tentang luka ini, lalu aku menjawab, terkena luka sabet saat aku bertempur?" Astin marah sembari menyeringai kesakitan"Tapi Astin?""Nancy dokter bedah. Dia mengobati lukaku."Dia memang tidak takut mati dan sakit. Saat beradu jotos pun, dia tidak takut dan tidak merasakan sakit terkena hantaman musuh. Bahkan luka gores itu sudah biasa menyakiti tubuhnya. Untung dia sering memakai pakaian khusus untuk menahan sabetan senjata tajam. Kalau tidak, mungkin tubuhnya akan penuh dengan codet.Nancy adalah seorang dokter, dia selalu memberikan krim pada Astin agar luka sisa pertarungan tidak membekas pada kulitnya. Sebenarnya Astin sendiri tidak terlalu peduli dengan penampilannya, tapi Nancy, sangat peduli."Kalau tau begini, aku tidak akan membiarkanmu datang," gerutu Marlin sembari memapah Astin masuk ke dalam mobil.Luka itu dia dapat saat bertempur beberapa hari lalu saat merebut menggagalkan penyelundupan senjata api. Saat itu Astin lalai. Dia terlalu hanyut dalam tangisan seorang anak kecil. Konsentrasinya memudar. Dengan mudah musuh menusuk perutnya. Untung Marlin langsung menghabisi si penusuk dan langsung membawanya pergi dari tempat itu.Marlin membagi konsentrasinya pada jalan dan Astin. Dia juga terus menghubungi nomor Nancy menceritakan kondisi Astin saat ini sehingga saat mereka tiba di markas, Nancy langsung menyambut mereka, menyambut Astin."Astin!" Nancy tampak khawatir melihat kondisi Astin."Sepertinya kamu perlu menjahit kembali lukaku," ucap Astin sembari merebahkan tubuhnya dengan bantuan Marlin dan Nancy."Kenapa lukamu?"Dengan cekatan dan terampil Nancy mulai membuka pakaian Astin dan memeriksa lukanya, lalu membersihkan dan mengoleskan obat."Seharusnya pertanyaan itu tidak kamu tanyakan," sahut Astin sembari menyeringai kesakitan ketika Nancy sedikit menekan lukanya."Seharusnya kamu istirahat beberapa hari lagi dan membiarkan Marlin menangani semuanya."Nancy menunjukkan wajah kesal dan marah karena Astin tidak menuruti perintahnya untuk istirahat demi kesembuhan lukanya."Aku harus segera menemukan mereka?" ucap Astin sembari menarik tubuhnya untuk bersandar setelah Nancy selesai."Apa kamu pikir orang yang kamu cari ada di antara mereka?" Nancy semakin kesal. "Mereka itu hanya tikus kecil yang haus uang. Mana mungkin orang itu ada di antara mereka?"Astin terdiam. Meski yang dikatakan Nancy benar, namun tidak menuntut kemungkinan tikus-tikus kecil itu bisa saja berhubungan dengan orang yang dicarinya selama ini."Kenapa kamu membiarkan dia melakukannya?" Kali ini Nancy menumpahkan kekesalannya pada Marlin karena telah membawa Astin bertarung saat lukanya belum pulih"Maafkan aku. Aku pikir Marlo dan yang lain segera datang tepat waktu, tapi nyatanya tidak.""Sepertinya kedatangan Marlo telah diketahui musuh, makanya perjalan mereka dihadang sebelum sampai tempat.""Bodoh!" maki Marlin. "Sekarang di mana Marlo?""Belum kembali. Mungkin dia mencari kalian," jawab Nancy mengedarkan pandang antara Marlin dan Astin.Mendengar hal itu, Marlin segera mengambil ponsel dan menghubungi Marlo. Bagaimanapun Marlo dan rombongannya tidak boleh datang ke sana karena di tempat itu pasti masih banyak polisi."Bagaimana?" tanya Astin setelah Marlin kembali menemuinya."Mereka akan segera kembali.""Baguslah!"Astin bisa bernapas lega.Meski kehidupan mereka penuh dengan resiko dan bertaruh nyawa, tapi dia berharap tidak ada anggotanya yang gugur atau mati dalam pertempuran, terlebih Marlin, Marlo dan Nancy. Ketiga orang itu sudah seperti keluarga baginya."Marlin, kamu mengenal wanita tadi?" Rupanya Astin masih penasaran dengan wanita yang dilihatnya.Nancy ikut menatap mata Marlin, dia juga penasaran dengan wanita yang ditanyakan Astin."Dia ...." Marlin ragu menyebutkan namanya karena dia sendiri tidak yakin, namun pernah mendengar sedikit tentang wanita itu."Marlin?" Sekarang malah Nancy yang tidak sabar mendengar jawaban Marlin."Aku tidak yakin. Tapi kalau kamu mau, aku akan mencari tau tentang wanita itu," jawab Marlin tidak mau memberikan informasi yang belum sepenuhnya diketahui dengan jelas dan benar."Untuk apa kita di sini? Membuang waktu saja," gerutu Astin.Astin merasa Marlin telah membuang waktunya malam ini. Marlin memaksanya pergi ke cafe tanpa alasan yang jelas. Padahal kehidupan cafe bukanlah suasana yang disenangi. Sangat jarang Astin datang dan nongkrong di cafe, apalagi tidak ada tujuan yang jelas."Sesekali hibur dirimu!" ucap Marlin sembari menyodorkan cangkir berisi kopi pada Astin."Aku tidak butuh hiburan semacam ini, Marlin. Hanya mengotori mataku saja."Marlin tersenyum mendengar jawaban Astin."Bagaimana kalau salah satu orang yang kamu cari ada di sini?" Tubuh Marlin condong mendekati Astin.Mata Astin membulat tajam menatap Marlin.Marlin sendiri tersenyum tipis melihat Asin tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak lagi menyalahkan dirinya. Keduanya kembali menikmati minuman yang telah mereka pesan."Lihat!" ucap Marlin menunjuk ke arah kanan menggunakan sorot mata.Astin langsung menoleh mengikuti arah pandang Marlin."Bukankah kamu ingin tau tentang wanita m
"Lepaskan wanita itu, Tuan!"Bukan hanya perhatian Alard yang berpindah dan kaget mendengar perintah itu, Karely yang sedang berusaha melepaskan diri pun ikut mengarahkan mata pada pemilik suara. Dia tidak menyangka ada pengunjung cafe yang berani ikut campur dan beurusan dengan Alard, makanya Karely terkejut.Alard menyeringai sombong dan angkuh."Mau jadi pahlawan untuk wanita ini?" Alard meremehkan.Astin tertawa kecil. Meski Alard memasang wajah galak, bengis dan bossy, juga beberapa pria siap dengan tinju mengepal, Asin tetap berdiri dengan tenang. Sedangkan Marlin tetap duduk dengan tenang memperhatikan. Meski begitu, dia juga telah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila keselamatan Astin terancam."Bukan pahlawan, Tuan. Mana berani aku melawan Anda?" Astin berlagak bodoh dan polos berjalan mendekati Alard."Tuan, orang seperti Anda memperlakukan wanita dengan kasar, rasanya hanya akan merusak reputasi Anda saja," ucap Astin menepuk pundak Alard, tapi ekor matany
"Bagaimana pria itu? Apa sudah kamu bereskan?""Sesuai dengan perintahmu," jawab Marlin menyambut kedatangan Astin di markas mereka.Setelah semalam terjadi keributan di cafe dan Astin membiarkan Karely pergi begitu saja, baru siang ini dia datang mengunjungi markas. Bahkan dalam kepalanya tidak ada lagi nama Karely. Dia tidak lagi memikirkan untuk mengenal wanita itu."Tuan."Semua orang membungkuk saat Astin berjalan memasuki rumah besar dikelilingi tembok tinggi setelah seseorang membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Pintu pagarnya pun terbuat dari bahan yang tangguh dan tertutup rapat dengan penjagaan ketat. "Apa dia sudah buka mulut?" tanyanya sembari terus berjalan."Sepertinya pria ini memilih mati.""Kita lihat, setelah bertemu denganku, apakah dia masih tutup mulut," ucapnya dengan seringai kejam"Sepertinya orang ini hanya tikus kecil saja," ucap Marlin terus berjalan beriringan dengan Astin.Astin menghentikan langkah, lalu membagi pandang pada beberapa pria di belakang
"Ada apa ke sini?" "Apa aku tidak boleh datang menemuimu?" Nancy menanggapi dengan santai, lalu merebahkan diri di atas sofa.Respon Astin dingin saat Nancy datang ke rumah menemuinya tanpa dia undang. Padahal rencananya hari ini dia ingin istirahat. Bukan hanya istirahat dari pengejar tikus-tikus pengganggu saja, melainkan istirahat juga dari aktifitas pekerjaan kantornya.Astin hanya melihatnya menggunakan ekor mata. Dia masih tetap duduk malas bergeming."Aku sedang turun jaga, makanya aku ke sini," jawab Nancy melakukan hal yang sama, menjawab dengan malas dan santai."Kenapa tidak istirahat? Bukankah pekerjaan sebagai dokter bedah cukup melelahkan?" Kali ini mata dan pandangan Astin penuh ke arah Nancy.Terdengar tawa kecil dari bibir mungil Nancy. Wanita cantik itu berprofesi sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Saat waktu senggang atau setelah selesai dengan tugasnya, Nancy akan lebih banyak menghabiskan waktu di marka
"Marlin, kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di tempat seramai ini?" Astin mengedarkan pandang ke sekitar.Dia merasa tidak yakin ada transaksi gelap dalam keramaian, di sekitar pasar swalayan. Terlebih saat itu adalah siang hari, di mana banyak orang melakukan aktifitas.Mendengar pertanyaan Astin dan juga melihat keramaian tempat itu, tiba-tiba Marlin pun merasa tidak yakin. Hanya saja info yang dia dapat tidak akan salah."Aku rasa ada tempat rahasia yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi itu. Mungkin juga mereka memilih tempat ramai untuk meminimalisir kecurigaan polisi," ucap Marlin sembari terus mengedarkan pandang juga."Tapi sejak tadi kita berada di sini, aku tidak melihat ada gerak-gerik mencurigakan di antara pengunjung pasar."Sudah hampir satu jam mereka menunggu sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kedai. Keduanya terus waspada. Mata mereka terus mengawasi, tidak pernah berhenti mencari pergerakan mencurigakan di sekitar.Bar
"Tuan, awas!" Karely berteriak pada Astin ketika melihat salah satu dari dua pria itu menghunus pisau ke arah Astin hendak menikam perutnya. Karena teriakan inilah, Astin yang sedang bertarung dengan pria satunya kaget dan langsung menghindar. Namun naas, gerakannya kurang gesit sehingga pisau itu berhasil menggores lengannya."Tuan!" Marlin terkejut dan khawatir melihat lengan Astin terluka.Marlin yang sejak tadi was-was memperhatikan Astin melakukan perlawanan terhadap dua perampok demi menyelamatkan Karely dan ibunya, akhirnya angkat suara. Sebenarnya sejak tadi dia ingin membantu, tapi Astin telah melarang dan menyuruhnya diam tanpa ikut campur.Langkah Marlin kembali terhenti saat Astin memberinya tatapan penuh arti untuk tetap diam."Polisi!" teriak Marlin. Meski Astin melarangnya membantu, Marlin tidak bisa membiarkannya terluka.Teriakan ini bukan omong kosong saja. Teriakan Marlin disusul suara sirine mobil polisi dan beberapa polisi berlari ke ara
"Tante, aku bisa tidur di sofa," ucap Astin merasa tidak enak hati melihat wajah tidak rela Karely."Apa yang kamu katakan?" Teresa menunjukkan wajah marah atas perkataan Astin.Perbincangan keduanya membuat Karely menghentikan langkah dan membagi pandang ke arah mereka secara bergantian. "Karely!"Karely menghela napas mendalam dan menghempaskan panjang, lalu melanjutkan langkahnya. Ada rasa tidak ikhlas membiarkan Astin menempati kamar yang selama ini dijaga dan tidak dibiarkan orang lain masuk.Karely membuka pintu dengan rasa enggan. Berdiri di ambang pintu dengan mata beredar memperhatikan setiap ruang dan sudut. Lagi-lagi dadanya terasa sesak, napasnya melambat dan berat."Maaf, aku harus membiarkan orang lain masuk dan tinggal di sini beberapa hari," ucapnya sembari melangkah masuk.Karena kamar itu akan digunakan oleh orang lain, dia harus membereskan barang-barang yang seharusnya tidak boleh dilihat orang lain, termasuk Astin."Untuk sementa
"Pakaian ini?" Astin mengangkat salah satu kaos yang diberikan Karely padanya, membentangkan untuk memperhatikan. Ukuran, model dan kualitas bukanlah merupakan kaos yang biasa atau murah. Bisa dikatakan kaos bermerek yang memiliki harga tinggi. Astin bukan tidak tau pakaian bermerek karena dia pun menggunakan pakaian bermerek juga.Sedangkan Karely, dia masih terdiam dengan tatapan menunggu apa yang akan dikatakan Astin tentang pakaian itu. Sungguh, dalam hati ada rasa tidak ikhlas memberikan pakaian itu pada pria lain, termasuk Astin. Rasanya sebuah luka kembali mengangga dalam hati. Sebuah kenangan kembali terkuak dan melintas dalam kepalanya."Bila kamu keberatan, aku tidak akan memakainya," ucap Astin kembali melipat pakaian yang tadi dia bentangkan, lalu membalas tatapan Karely. "Ini terlalu mahal untukku," sambungnya.Salah satu sudut bibir Karely berkedut dan tertarik."Harganya tidak bisa dibandingkan dengan pakaianmu," sahut Karely mencebik.Dia bukan wanita bodoh yang tidak
“Marlin, kita cari tempat makan sebelum pulang,” ucap Astin ketika mereka telah berada di dalam mobil.“Bolehkah aku memintamu langsung mengantar aku pulang saja? Aku sangat lelah,” ucap Karely.Karely sebenarnya buka wanita lemah. Bahkan saat dia harus lembur bekerja dan tidak tidur semalaman saja, dia masih bisa terlihat segar dan kuat. Kali ini, melakukan sesi foto prewedding ternyata membuatnya merasa lelah dan tidak bertenaga. Mungkin bukan karena kehabisan tenaga, melainkan pikiran dan hatinya yang lelah. Bukan juga karena Astin. Ada hal lain yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata dan pada siapa pun juga. Perlahan Astin memutar leher menoleh dan memperhatikan Karely dengan seksama. Melihat wajah lelah dan redup Karely, dia pun merasa iba dan kasihan. Ada rasa bersalah juga karena telah mmebuat Karely harus mengulang foto berkali-kali karena dia.“Aku akan mengantarmu pulang, tapi kita makan dulu sebelum pulang,” jawab Astin.Karely membalas tatapan Astin.“Aku rasa tidak p
"Tuan, letakkan tangan Anda pada pinggang nona Karely!" minta fotograper pada Astin.Beberapa kali fotograper meminta Astin bergaya natural, namun terlihat lebih mesra. Sayangnya, setiap kali diarahkan, Astin terlihat sangat kaku dan canggung. Bahkan tampak enggan melakukannya. Alhasil, dia pun harus menuntun tangan Astin dan meletakkan pada tubuh Karely sesuai dengan gaya yang diinginkan agar terlihat lebih mesra sebagai pasangan kekasih."Begini?" tanya Astin.Astin tampak sangat gugup dan canggung. Ini kali pertama dia sangat dekat dengan seorang wanita. Astin tidak pernah memegang pinggang wanita, apalagi bersikap mesra seperti sekarang ini. Jelas saja hal ini membuat dadanya berdebar hebat dan jantungnya berdegub sangat cepat. Bahkan tubuh Astin sampai gemetar."Lebih dekat lagi!" mintanya lagi saat Astin mulai memegang pinggang ramping Karely.Astin sedikit melangkah maju mendekatkan diri pada Karely sesuai dengan perintah fotograper. Seiring langkahnya mendekat, saat itu juga d
"Karely?" Astin kaget melihat Karely masih belum mengenakan pakaian pengantinnya.Karely sendiri juga kaget melihat pintu terbuka dan tiba-tiba Astin telah berdiri melihatnya, sedangkan dia sendiri baru mau beranjak dari duduk setelah bersedih karena mengingat kenangan bersama Ben, tunangannya."Karely, ada apa? Apa gaunnya tidak kamu sukai?" Astin melihat ada yang aneh dari Karely. Meski dia belum mengenalnya secara penuh, namun wajah murung Karely tidak bisa menipunya. Dia pikir karena Karely tidak menyukai model gaun yang dipilih oleh Yoselin."Oh, tidak. Aku menyukainya."Cepat-cepat Karely menampik pemikiran Astin. Dia juga segera berjalan mendekati salah satu gaun yang akan dia coba.Astin mengernyitkan kedua ujung alis, tidak mudah percaya mendengar jawaban Karely. Bagi mata Astin yang sudah terbiasa membaca hal kecil dari gestur tubuh musuh dan juga aura wajah, cara Karely menghindar sangat mudah terbaca."Aku hanya bingung, gaun mana yang harus
"Kenapa kamu tidak membiarkan aku menghajar pria brengsek itu?" Astin menatap tajam Karely.Karely semakin bingung. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Astin."Kamu mengenalnya?" Karely tidak bisa menahan untuk tidak bertanya. Dia ingin tau alasan Astin tiba-tiba memukul Deo, bahkan ingin menghajarnya. Tidak mungkin alasannya adalah cemburu karena dia tau dengan jelas Astin tidak mungkin memiliki perasaan padanya. Meskipun mereka akan menikah, apa yang dilakukan Astin tidak masuk akal.Astin membalas tatapan Karely. Cukup lama pandangan mereka saling beradu hingga akhirnya Astin menyugar wajahnya sendiri menggunakan kedua tangan sembari menghela napas panjang."Maafkan aku," ucapnya lirih, lalu berjalan dan duduk dengan kepala menunduk meredam emosi.Astin mulai bisa menguasai dirinya. Dia sendiri tidak tau kenapa tiba-tiba merasa marah melihat seorang pria tiba-tiba ingin memeluk Karely. Mungkin bila wajah dan ekspresi Karely biasa saja atau senang saat p
“Masuklah terlebih dahulu! Aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusulmu," ucap Karely saat Astin mengajaknya keluar dari mobil.Astin terdiam menatapnya lekat dan menghentikan gerakan tubuhnya yang siap untuk keluar."Ingat! Kita ini calon suami-istri, jadi bersikaplah sedikit romantis dan manis padaku! Aku tidak mau orang tau kalau kita hanya sandiwara. Pernikahan kita pernikahan sungguhan, meski kontrak," balas Astin tidak suka mendengar perkataan Karely.Karely tertawa kecil mendengar perkataan Astin yang memintanya bersikap romantis dan manis."Ada yang lucu?" tanya Astin.Tawa Karely semakin terlihat jelas."Kamu yang lucu," jawabnya, lalu menghentikan tawa."Aku?" Astin menampakkan wajah binggung."Ya, kamu yang lucu. Sangat lucu!"Astin semakin bingung. Bahkan sesaat kemudian menunjukkan wajah sedikit kesal."Kamu menyuruh aku bersikap romantis dan manis? Bukankah dari kemarin kamu sendiri yang bersikap datar dan cuek padaku? Kena
“Tante, nanti kalau Tante tidak ikut dengan kami, terus aku harus bertanya pada siapa untuk mengetahui apakah gaun pengantin itu cocok untukku atau tidak?"“Ada Astin. Dia bisa memberi penilaian. Dia juga yang akan memberimu pujian.” Yoselin melemparkan pandang pada Astin.“Aku tidak yakin dengan seleranya, Tante,” ucapnya memberi lirikan remeh pada Astin.Tatapan Karely disambut dengan tatapan menyepelekan dan tajam oleh Astin."Kalau begitu, kamu tidak perlu bertanya padaku. Asal kamu tidak sedang tidur, bukankah seleramu lebih bagus, Nona?" sahut Astin menatap kesal atas sikap Karely yang meremehkan seleranya. "Kecuali bila kamu dalam keadaan tidur, aku tidak yakin," sambungnya memberikan sindiran. Bahkan terhias senyum tipis pada bibir Astin.Karely langsung terdiam. Sindiran yang diberikan Astin mengingatkan tentang kejadian semalam. Semalam kalau bukan karena Astin meninggalkannya untuk menjawab panggilan telepon dan membiarkan sendirian di ruangan sepi itu, tidak mungkin Karel
"Astin!" Karely menatap lekat Astin dengan tatapan kesal, namun berharap Astin bisa merayu dan berbicara pada Yoselin tentang hal ini."Tante atur saja!" ucap Astin mengabaikan Karely. Kembali pria itu bersikap tenang, bahkan sama sekali tidak melakukan bantahan atau protes."Baiklah. Kalau begitu aku dan Evan akan mengatur semuanya," balas Yoselin tersenyum senang. Dan kali ini benar-benar meninggalkan Astin berdua dengan Karely."Astin!" Karely mengepalkan tinju geram.Karely geram dan bergidik membayangkan rencana bulan madu yang Yoselin katakan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan saat bulan madu. Bahkan tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk melakukan hubungan intim dengan pria yang tidak dia cintai, apalagi mereka hanya menikah kontrak saja."Astin, kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu?" Karely benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Astin. "Atau jangan-jangan kamu?" Lagi-lagi Karely tidak menyelesaikan perkataannya kar
"Nona Karely, nyonya Yoselin telah menunggu Anda untuk makan malam."Suara panggilan dan ketukan pintu membuat lamunan Karely buyar.Setelah terpuruk beberapa saat dalam kenangan bersama Ben dan papanya, akhirnya Karely bangkit dari tempat tidur dan merapikan diri, bersiap menemui Yoselin.Alangkah terkejutnya Karely saat berjalan mendekati ruang makan, ternyata di sana bukan hanya ada Yoselin saja, melainkan ada Astin.Astin baru sampai di mension beberapa menit lalu. Sebenarnya dia tidak ada rencana untuk datang ke tempat itu, tapi karena desakan Yoselin, mau tidak mau dia datang juga. Sebenarnya malam ini ada sebuah penggerebekan transaksi barang terlarang yang harus dia pimpin."Karely, cantik sekali!" puji Yoselin kagum melihat penampilan Karely.Karely berdiri beku. Bola matanya bergerak ke arah pria yang duduk dengan diam dan tenang, namun memiliki mata tajam nan dingin yang digunakan untuk menatapnya lekat. Bahkan bisa dikatakan tidak berkedip. Tiba-t
"Tante, itu makam siapa?"Yoselin mengarahkan pandang mengikuti arah tangan Karely. Bibirnya yang merah menyunggingkan sedikit senyum, lalu kembali melihat Karely."Makam itu masih kosong," jawab Yoselin."Oh ...." Bibir Karely membulat dengan anggukan kecil.Meski tidak paham, namun dia tidak akan memaksa Yoselin untuk menjelaskan. Karely menjaga sikap untuk tidak terlalu terlihat ingin tau dan ikut campur.Yoselin kembali meraih tangan Karely."Karely, suatu saat bila aku dan Astin meninggal nanti, kelak makam itu tepat istirahat kami yang terakhir," ucap Yoselin sembari membawa Karely berjalan meninggalkan makam.Karely dibuat terkejut mendengar perkataan Yoselin. Matanya membola menatap wanita di sampingnya.Melihat keterkejutan Karely, Yoselin hanya tersenyum."Bukankah setiap manusia akan meninggal?" sambung Yoselin. "Aku dan Astin tidak memiliki keluarga lain lagi selain mereka, maka selama kami masih hidup, tidak ada salahnya kami mempers