"Kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di sini?"
Mata elangnya menyorot tajam ke arah ruang gelap. Bola mata hitam kecokelatan beredar ke seluruh lapang, di mana banyak pohon pinus menjulang tinggi. Telinga dan matanya bak burung hantu yang sedang mengidentifikasi mangsa. Meski gelap, namun semua terasa jelas. Tajam bak pedang yang siap menghunus, membabat habis musuhnya."Menurut informasi yang aku dapat, mereka akan mengadakan transaksi di sini.""Di hutan pinus ini?""Ya."Deru napas mereka terdengar sangat halus, mungkin karena sudah terbiasa dan mahir dalam menyelinap hingga keduanya pandai memperhalus suara napas mereka hingga tak mampu terdeteksi oleh musuh. Bahkan suara obrolan mereka pun sangat lirih, semut saja hampir tidak bisa mendengar."Tuan." Sembari mencekal lengan Astin.Astin mengarahkan mata elangnya pada tangan Marlin di lengannya, lalu beralih pada wajah khawatir Marlin. Dari sorot mata mengisyaratkan agar Marlin tidak perlu khawatir."Hati-hati!" lirih Marlin berpesan sembari melepaskan cekalan tangannya.Berlahan Astin melangkah dengan tubuh sedikit membungkuk untuk lebih bisa melacak keberadaan musuh. Pakaian serba hitam dengan sepatu kulit yang senada layaknya seorang mafia terhebat. Sikap waspada selalu menjadi nomor satu untuk menyelesaikan misi.Sesekali Astin menoleh pada Marlin. Meski begitu, dia tetap fokus menguasai ruang dan waktu. Astin sama sekali tidak mau lengah sedikit pun karena nyawa sebagai taruhan. Dengan tangan siap menggenggam benda yang selalu menjadi andalannya, Astin siap melumpuhkan target."Tuan!" Marlin kembali mencekal pergelangan tangan Astin saat melihat seseorang berjalan dengan sikap waspada.Astin segera mengarahkan kedua bola mata elangnya menghujam sosok pria bertubuh kekar yang ditunjuk oleh mata Marlin. Keduanya bersembunyi di balik pohon pinus dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari pria itu.Meski gelap, mereka bisa melihat garis wajah tegas dan menyeramkan pria itu. Terlebih saat pria itu menyalakan layar ponsel. Wajahnya terlihat lebih jelas lagi. Gerak-geriknya cukup mencurigakan dengan sikap waspada."Kita serang sekarang?" ucap Marlin siap menerima perintah."Jangan sekarang! Kita tunggu yang lain! Percuma hanya menangkap satu tikus saja."Kening Marlin mengernyit."Tuan, kita hanya berdua. Bagaimana kalau anggota mereka lebih banyak dari kita?" ucapnya khawatir."Hey! Apa kamu sudah bodoh? Bukankah aku memintamu untuk menyiapkan 'Giustizia' bersama kita?" Nada marah membuat matanya yang hitam menyalakan bara api."Mereka masih dalam perjalanan.""Kalau begitu, kenapa harus khawatir?" Voltase kemarahan Astin menurun."Tapi-" Marlin tampak ragu."Why?" Mata Astin kembali tajam menuntut jawaban dan penjelasan."Seharusnya mereka tidak terlambat."Astin mendengus kesal disertai helaan napas panjang. Marah pun rasanya percuma karena mereka sudah berada dalam lingkaran panas dan bahaya. Sudah masuk ke dalam sarang harimau, maka apa pun yang terjadi harus mereka hadapi."Semoga saja anggota mereka tidak banyak," desis Astin mencoba menenangkan diri dan Marlin.Bukan takut, hanya saja tidak mau mengorbankan orang lain dalam misinya. Bukan nyawanya sendiri yang harus dia lindungi, ada Marlin bersamanya. Dia juga tidak ingin mati sebelum misi dan tujuannya tercapai.Belum juga bibir tertutup rapat setelah berbicara, tampak beberapa pria kekar berjalan mendekati pria yang pertama dengan senjata lengkap di tangan mereka. Hal itu jelas saja membuat mata Astin dan Marlin terbuka dengan sangat lebar."Tuan." Marlin merasa sangsi akan keberhasilan mereka.Ini adalah kebodohannya. Benar yang dikatakan Astin, mereka hanya akan mengantarkan nyawa dengan suka rela saja bila nekad melawan tanpa ada bala bantuan. Marlin tidak meragukan kehebatan dan kekuatan Astin, hanya saja saat ini tubuh Astin sedang tidak baik-baik saja. Beberapa hari lalu saat menangkap penyelundup senjata, dia terluka.Astin tidak menghiraukan kegalauan dan kekhawatiran Marlin. Matanya masih saja fokus pada rombongan pria bertubuh kekar yang sedang melakukan perundingan."Kita akan menyerang mereka setelah ketua mereka tiba," ucap Astin lirih tanpa mengalihkan tatapan elangnya.Tangannya begitu erat mencengkeram benda yang ada di tangan, sedangkan tangan lainnya mencengkeram pohon pinus yang mereka jadikan penghalang. Hawa tubuhnya mulai panas dan gelora jiwanya mulai meronta. Bau anyir telah tercium dan melekat pada indera penciumannya. Baginya bau itu adalah aroma yang sedap dan telah menjadi candu baginya.Sesungguhnya, tidak pernah terpikir dalam hidupnya akan menjadi pemburu dan pembunuh yang bengis. Keadaan dan situasi yang memaksanya seperti ini."Hati-hati!" lirih Astin sembari melangkah mencoba lebih mendekat untuk mendengar dengan jelas apa yang mereka bicarakan setelah mengenakan topeng.Tanpa menjawab, Marlin mengekor dan melakukan hal yang sama. Setiap pergerakan, mereka akan selalu menggunakan topeng wajah.Astin kembali menahan penyerangan dan memilih memperhatikan apa yang mereka lakukan sembari menunggu bala bantuan datang saat melihat beberapa pria lagi datang.Meski samar, namun mereka dapat mendengar apa yang dibicarakan para pria itu."Di mana barangnya?" tanya salah seorang dari pria kekar yang datang terlebih dulu."Anda jangan khawatir! Kami tidak pernah menipu klien kami.""Perlihatkan pada kami!""Tidak semudah itu, Tuan. Tunjukkan dulu uangnya pada kami!""Ini." Seseorang mengangkat koper. "Uangnya ada di dalam koper ini sesuai dengan jumlah yang Anda minta.""Buka!"Terdengar tawa mencibir."Mari saling menunjukkan!""Apa Anda tidak percaya padaku, Tuan?"Pria pertama kembali menurunkan koper yang tadi dia angkat."Aku bukan tidak percaya, tapi aku hanya ingin memastikan bahwa di dalam itu isinya asli.""Ho ... ho ... kamu pikir aku akan menipu dengan uang palsu? Aku bukan orang licik sepertimu."Marah karena rekan bisnisnya tidak mempercayai, pria itu memberi kode pada anak buahnya, lalu meletakkan koper itu di atas punggung salah satu anak buahnya. Dengan cekatan pula jemarinya membuka kunci koper. Pria pertama itu memutar posisi pintu koper ke arah pria berjas menunjukkan isi di dalamnya."Apa Anda masih belum percaya?" ucapnya sembari memperlihatkan isi koper yang dia buka.Senyum bahagia dan puas terlihat dari wajah pria berjas hitam di hadapannya."Eits! Aku tidak suka barangku disentuh tanpa ada barternya!" ucapnya kembali menutup koper saat tangan pria berjas hendak menyentuhnya. "Tunjukkan padaku mana barang yang akan Anda berikan pada kami sebagai barternya!"Pria itu kembali mengunci koper miliknya dan memberikan pada anak buahnya.Pria berjas itu memberi kode juga pada anak buahnya yang membawa koper hitam yang sama. Pria bercodet itu maju dan memberikan koper itu pada pria berjas.Keduanya saling bertukar koper. Dengan tatapan tajam saling menerkam, dua pria itu bersiap untuk melakukan barter. Sayangnya, transaksi mereka terhambat dan terancam gagal setelah mendengar suara pergerakan dari sisi lain. Kedua kelompok saling mengamankan barang masing-masing"Siapa itu?" teriak salah satu dari mereka.Semua orang bersikap siaga dan waspada, bahkan siap menyerang bila ada serangan dadakan. Tangan-tangan mereka telah siap dengan senjata masing-masing. Bola mata mereka bergerak-gerak mencari sumber suara. Bahkan beberapa pria mulai memeriksa sekitar.Bukan hanya mereka yang kaget, Astin dan Marlin yang sedang menyimak dan mengawasi mereka pun turut kaget karena suara itu."Apa kamu siap?" tanya Astin saat derap langkah kaki terdengar mendekati tempat persembunyian mereka."Siap."Astin dan Marlin telah siap dengan kuda-kuda yang kuat. Kedua tangan mereka semakin mencengkeram erat senjata masing-masing. Tidak bisa mengelak atau menghindar lagi. Tidak juga bisa menunggu bala bantuan karena para pria itu semakin dekat."Tuan, awas!!!" teriak Marlin menarik tubuh Astin ketika kilau pedang panjang mengayun ke arah mereka."Terima kasih."Dalam kelebat cepat, Astin masih sempat mengucapkan terima kasih atas penyelamatan Marlin untuknya sehingga lolos dari sabetan musuh.Dengan cepat Astin telah berdiri dengan aksinya yang memukau. Marlin berdiri tepat di belakangnya. Mereka saling beradu punggung dengan sikap siap menyerang dan menangkis semua kemungkinan yang akan terjadi."Tuan, jangan pergi jauh dariku!" Marlin berharap Astin tidak menjauh agar dia bisa tetap melindunginya. Karena bagaimanapun kondisi tubuh Astin belum optimal."Aku tidak butuh ocehanmu! Musuh kita tidak sedikit," balas Astin dengan penekanan agar pria itu tidak terlalu khawatir padanya. "Lukamu belum sembuh," balas Marlin di antara kesibukannya menangkis dan menyerang musuh."Jangan banyak bicara!" ucap Astin kesal sembari menangkis sebuah serangan yang hampir saja menghantam kepalanya.Menurutnya, ocehan Marlin membuat kosentrasinya sedikit buyar. Dia juga yakin Marlin tidak terlalu fokus pada musuh karena mengkhawatirkan diriny
"Sial! Malam ini aku gagal," ucap Astin dengan nada kecewa dan marah.Mereka berhasil lolos setelah Marlin memaksa dan menyeretnya pergi karena melihat bayangan beberapa orang datang ke arah mereka."Maafkan aku." Marlin masih merasa kegagalan ini adalah ulah bodohnya. Astin menegakkan wajah menatap pria yang terlihat kacau dan lelah. Perlahan mendekat dan menepuk pundak Marlin dengan cukup keras, lalu tersenyum di antara napas terengah dan cepat."Ini pilihan yang tepat," ucapnya tidak menyalahkan Marlin."Tapi kita gagal. Kita tidak bisa mendapatkan informasi tentang ketua mereka. Kita juga tidak berhasil membawa salah satu dari mereka untuk kita siksa. Crico juga tidak mendapatkan makanan gratis hari ini." Marlin menatap mata Astin dengan rasa bersalah."No. Siapa bilang kita tidak mendapatkan apa-apa? Kita dapat ini." Astin mengangkat koper hitam yang berhasil dia bawa lari."Wow! Kau mendapatkannya?" Mata Marlin terbelalak senang."Ya, biarpun kita tidak mendatangkan mainan untu
"Untuk apa kita di sini? Membuang waktu saja," gerutu Astin.Astin merasa Marlin telah membuang waktunya malam ini. Marlin memaksanya pergi ke cafe tanpa alasan yang jelas. Padahal kehidupan cafe bukanlah suasana yang disenangi. Sangat jarang Astin datang dan nongkrong di cafe, apalagi tidak ada tujuan yang jelas."Sesekali hibur dirimu!" ucap Marlin sembari menyodorkan cangkir berisi kopi pada Astin."Aku tidak butuh hiburan semacam ini, Marlin. Hanya mengotori mataku saja."Marlin tersenyum mendengar jawaban Astin."Bagaimana kalau salah satu orang yang kamu cari ada di sini?" Tubuh Marlin condong mendekati Astin.Mata Astin membulat tajam menatap Marlin.Marlin sendiri tersenyum tipis melihat Asin tidak dapat berkata-kata lagi dan tidak lagi menyalahkan dirinya. Keduanya kembali menikmati minuman yang telah mereka pesan."Lihat!" ucap Marlin menunjuk ke arah kanan menggunakan sorot mata.Astin langsung menoleh mengikuti arah pandang Marlin."Bukankah kamu ingin tau tentang wanita m
"Lepaskan wanita itu, Tuan!"Bukan hanya perhatian Alard yang berpindah dan kaget mendengar perintah itu, Karely yang sedang berusaha melepaskan diri pun ikut mengarahkan mata pada pemilik suara. Dia tidak menyangka ada pengunjung cafe yang berani ikut campur dan beurusan dengan Alard, makanya Karely terkejut.Alard menyeringai sombong dan angkuh."Mau jadi pahlawan untuk wanita ini?" Alard meremehkan.Astin tertawa kecil. Meski Alard memasang wajah galak, bengis dan bossy, juga beberapa pria siap dengan tinju mengepal, Asin tetap berdiri dengan tenang. Sedangkan Marlin tetap duduk dengan tenang memperhatikan. Meski begitu, dia juga telah siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi bila keselamatan Astin terancam."Bukan pahlawan, Tuan. Mana berani aku melawan Anda?" Astin berlagak bodoh dan polos berjalan mendekati Alard."Tuan, orang seperti Anda memperlakukan wanita dengan kasar, rasanya hanya akan merusak reputasi Anda saja," ucap Astin menepuk pundak Alard, tapi ekor matany
"Bagaimana pria itu? Apa sudah kamu bereskan?""Sesuai dengan perintahmu," jawab Marlin menyambut kedatangan Astin di markas mereka.Setelah semalam terjadi keributan di cafe dan Astin membiarkan Karely pergi begitu saja, baru siang ini dia datang mengunjungi markas. Bahkan dalam kepalanya tidak ada lagi nama Karely. Dia tidak lagi memikirkan untuk mengenal wanita itu."Tuan."Semua orang membungkuk saat Astin berjalan memasuki rumah besar dikelilingi tembok tinggi setelah seseorang membuka pintu mobil dan berjalan keluar. Pintu pagarnya pun terbuat dari bahan yang tangguh dan tertutup rapat dengan penjagaan ketat. "Apa dia sudah buka mulut?" tanyanya sembari terus berjalan."Sepertinya pria ini memilih mati.""Kita lihat, setelah bertemu denganku, apakah dia masih tutup mulut," ucapnya dengan seringai kejam"Sepertinya orang ini hanya tikus kecil saja," ucap Marlin terus berjalan beriringan dengan Astin.Astin menghentikan langkah, lalu membagi pandang pada beberapa pria di belakang
"Ada apa ke sini?" "Apa aku tidak boleh datang menemuimu?" Nancy menanggapi dengan santai, lalu merebahkan diri di atas sofa.Respon Astin dingin saat Nancy datang ke rumah menemuinya tanpa dia undang. Padahal rencananya hari ini dia ingin istirahat. Bukan hanya istirahat dari pengejar tikus-tikus pengganggu saja, melainkan istirahat juga dari aktifitas pekerjaan kantornya.Astin hanya melihatnya menggunakan ekor mata. Dia masih tetap duduk malas bergeming."Aku sedang turun jaga, makanya aku ke sini," jawab Nancy melakukan hal yang sama, menjawab dengan malas dan santai."Kenapa tidak istirahat? Bukankah pekerjaan sebagai dokter bedah cukup melelahkan?" Kali ini mata dan pandangan Astin penuh ke arah Nancy.Terdengar tawa kecil dari bibir mungil Nancy. Wanita cantik itu berprofesi sebagai dokter bedah di sebuah rumah sakit yang cukup besar di kota. Saat waktu senggang atau setelah selesai dengan tugasnya, Nancy akan lebih banyak menghabiskan waktu di marka
"Marlin, kamu yakin mereka akan melakukan transaksi di tempat seramai ini?" Astin mengedarkan pandang ke sekitar.Dia merasa tidak yakin ada transaksi gelap dalam keramaian, di sekitar pasar swalayan. Terlebih saat itu adalah siang hari, di mana banyak orang melakukan aktifitas.Mendengar pertanyaan Astin dan juga melihat keramaian tempat itu, tiba-tiba Marlin pun merasa tidak yakin. Hanya saja info yang dia dapat tidak akan salah."Aku rasa ada tempat rahasia yang mereka gunakan untuk melakukan transaksi itu. Mungkin juga mereka memilih tempat ramai untuk meminimalisir kecurigaan polisi," ucap Marlin sembari terus mengedarkan pandang juga."Tapi sejak tadi kita berada di sini, aku tidak melihat ada gerak-gerik mencurigakan di antara pengunjung pasar."Sudah hampir satu jam mereka menunggu sembari menikmati secangkir kopi di sebuah kedai. Keduanya terus waspada. Mata mereka terus mengawasi, tidak pernah berhenti mencari pergerakan mencurigakan di sekitar.Bar
"Tuan, awas!" Karely berteriak pada Astin ketika melihat salah satu dari dua pria itu menghunus pisau ke arah Astin hendak menikam perutnya. Karena teriakan inilah, Astin yang sedang bertarung dengan pria satunya kaget dan langsung menghindar. Namun naas, gerakannya kurang gesit sehingga pisau itu berhasil menggores lengannya."Tuan!" Marlin terkejut dan khawatir melihat lengan Astin terluka.Marlin yang sejak tadi was-was memperhatikan Astin melakukan perlawanan terhadap dua perampok demi menyelamatkan Karely dan ibunya, akhirnya angkat suara. Sebenarnya sejak tadi dia ingin membantu, tapi Astin telah melarang dan menyuruhnya diam tanpa ikut campur.Langkah Marlin kembali terhenti saat Astin memberinya tatapan penuh arti untuk tetap diam."Polisi!" teriak Marlin. Meski Astin melarangnya membantu, Marlin tidak bisa membiarkannya terluka.Teriakan ini bukan omong kosong saja. Teriakan Marlin disusul suara sirine mobil polisi dan beberapa polisi berlari ke ara
“Marlin, kita cari tempat makan sebelum pulang,” ucap Astin ketika mereka telah berada di dalam mobil.“Bolehkah aku memintamu langsung mengantar aku pulang saja? Aku sangat lelah,” ucap Karely.Karely sebenarnya buka wanita lemah. Bahkan saat dia harus lembur bekerja dan tidak tidur semalaman saja, dia masih bisa terlihat segar dan kuat. Kali ini, melakukan sesi foto prewedding ternyata membuatnya merasa lelah dan tidak bertenaga. Mungkin bukan karena kehabisan tenaga, melainkan pikiran dan hatinya yang lelah. Bukan juga karena Astin. Ada hal lain yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata dan pada siapa pun juga. Perlahan Astin memutar leher menoleh dan memperhatikan Karely dengan seksama. Melihat wajah lelah dan redup Karely, dia pun merasa iba dan kasihan. Ada rasa bersalah juga karena telah mmebuat Karely harus mengulang foto berkali-kali karena dia.“Aku akan mengantarmu pulang, tapi kita makan dulu sebelum pulang,” jawab Astin.Karely membalas tatapan Astin.“Aku rasa tidak p
"Tuan, letakkan tangan Anda pada pinggang nona Karely!" minta fotograper pada Astin.Beberapa kali fotograper meminta Astin bergaya natural, namun terlihat lebih mesra. Sayangnya, setiap kali diarahkan, Astin terlihat sangat kaku dan canggung. Bahkan tampak enggan melakukannya. Alhasil, dia pun harus menuntun tangan Astin dan meletakkan pada tubuh Karely sesuai dengan gaya yang diinginkan agar terlihat lebih mesra sebagai pasangan kekasih."Begini?" tanya Astin.Astin tampak sangat gugup dan canggung. Ini kali pertama dia sangat dekat dengan seorang wanita. Astin tidak pernah memegang pinggang wanita, apalagi bersikap mesra seperti sekarang ini. Jelas saja hal ini membuat dadanya berdebar hebat dan jantungnya berdegub sangat cepat. Bahkan tubuh Astin sampai gemetar."Lebih dekat lagi!" mintanya lagi saat Astin mulai memegang pinggang ramping Karely.Astin sedikit melangkah maju mendekatkan diri pada Karely sesuai dengan perintah fotograper. Seiring langkahnya mendekat, saat itu juga d
"Karely?" Astin kaget melihat Karely masih belum mengenakan pakaian pengantinnya.Karely sendiri juga kaget melihat pintu terbuka dan tiba-tiba Astin telah berdiri melihatnya, sedangkan dia sendiri baru mau beranjak dari duduk setelah bersedih karena mengingat kenangan bersama Ben, tunangannya."Karely, ada apa? Apa gaunnya tidak kamu sukai?" Astin melihat ada yang aneh dari Karely. Meski dia belum mengenalnya secara penuh, namun wajah murung Karely tidak bisa menipunya. Dia pikir karena Karely tidak menyukai model gaun yang dipilih oleh Yoselin."Oh, tidak. Aku menyukainya."Cepat-cepat Karely menampik pemikiran Astin. Dia juga segera berjalan mendekati salah satu gaun yang akan dia coba.Astin mengernyitkan kedua ujung alis, tidak mudah percaya mendengar jawaban Karely. Bagi mata Astin yang sudah terbiasa membaca hal kecil dari gestur tubuh musuh dan juga aura wajah, cara Karely menghindar sangat mudah terbaca."Aku hanya bingung, gaun mana yang harus
"Kenapa kamu tidak membiarkan aku menghajar pria brengsek itu?" Astin menatap tajam Karely.Karely semakin bingung. Dia tidak mengerti apa yang dikatakan Astin."Kamu mengenalnya?" Karely tidak bisa menahan untuk tidak bertanya. Dia ingin tau alasan Astin tiba-tiba memukul Deo, bahkan ingin menghajarnya. Tidak mungkin alasannya adalah cemburu karena dia tau dengan jelas Astin tidak mungkin memiliki perasaan padanya. Meskipun mereka akan menikah, apa yang dilakukan Astin tidak masuk akal.Astin membalas tatapan Karely. Cukup lama pandangan mereka saling beradu hingga akhirnya Astin menyugar wajahnya sendiri menggunakan kedua tangan sembari menghela napas panjang."Maafkan aku," ucapnya lirih, lalu berjalan dan duduk dengan kepala menunduk meredam emosi.Astin mulai bisa menguasai dirinya. Dia sendiri tidak tau kenapa tiba-tiba merasa marah melihat seorang pria tiba-tiba ingin memeluk Karely. Mungkin bila wajah dan ekspresi Karely biasa saja atau senang saat p
“Masuklah terlebih dahulu! Aku ada urusan sebentar, nanti aku akan menyusulmu," ucap Karely saat Astin mengajaknya keluar dari mobil.Astin terdiam menatapnya lekat dan menghentikan gerakan tubuhnya yang siap untuk keluar."Ingat! Kita ini calon suami-istri, jadi bersikaplah sedikit romantis dan manis padaku! Aku tidak mau orang tau kalau kita hanya sandiwara. Pernikahan kita pernikahan sungguhan, meski kontrak," balas Astin tidak suka mendengar perkataan Karely.Karely tertawa kecil mendengar perkataan Astin yang memintanya bersikap romantis dan manis."Ada yang lucu?" tanya Astin.Tawa Karely semakin terlihat jelas."Kamu yang lucu," jawabnya, lalu menghentikan tawa."Aku?" Astin menampakkan wajah binggung."Ya, kamu yang lucu. Sangat lucu!"Astin semakin bingung. Bahkan sesaat kemudian menunjukkan wajah sedikit kesal."Kamu menyuruh aku bersikap romantis dan manis? Bukankah dari kemarin kamu sendiri yang bersikap datar dan cuek padaku? Kena
“Tante, nanti kalau Tante tidak ikut dengan kami, terus aku harus bertanya pada siapa untuk mengetahui apakah gaun pengantin itu cocok untukku atau tidak?"“Ada Astin. Dia bisa memberi penilaian. Dia juga yang akan memberimu pujian.” Yoselin melemparkan pandang pada Astin.“Aku tidak yakin dengan seleranya, Tante,” ucapnya memberi lirikan remeh pada Astin.Tatapan Karely disambut dengan tatapan menyepelekan dan tajam oleh Astin."Kalau begitu, kamu tidak perlu bertanya padaku. Asal kamu tidak sedang tidur, bukankah seleramu lebih bagus, Nona?" sahut Astin menatap kesal atas sikap Karely yang meremehkan seleranya. "Kecuali bila kamu dalam keadaan tidur, aku tidak yakin," sambungnya memberikan sindiran. Bahkan terhias senyum tipis pada bibir Astin.Karely langsung terdiam. Sindiran yang diberikan Astin mengingatkan tentang kejadian semalam. Semalam kalau bukan karena Astin meninggalkannya untuk menjawab panggilan telepon dan membiarkan sendirian di ruangan sepi itu, tidak mungkin Karel
"Astin!" Karely menatap lekat Astin dengan tatapan kesal, namun berharap Astin bisa merayu dan berbicara pada Yoselin tentang hal ini."Tante atur saja!" ucap Astin mengabaikan Karely. Kembali pria itu bersikap tenang, bahkan sama sekali tidak melakukan bantahan atau protes."Baiklah. Kalau begitu aku dan Evan akan mengatur semuanya," balas Yoselin tersenyum senang. Dan kali ini benar-benar meninggalkan Astin berdua dengan Karely."Astin!" Karely mengepalkan tinju geram.Karely geram dan bergidik membayangkan rencana bulan madu yang Yoselin katakan. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan mereka lakukan saat bulan madu. Bahkan tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk melakukan hubungan intim dengan pria yang tidak dia cintai, apalagi mereka hanya menikah kontrak saja."Astin, kenapa kamu diam saja? Kenapa kamu?" Karely benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Astin. "Atau jangan-jangan kamu?" Lagi-lagi Karely tidak menyelesaikan perkataannya kar
"Nona Karely, nyonya Yoselin telah menunggu Anda untuk makan malam."Suara panggilan dan ketukan pintu membuat lamunan Karely buyar.Setelah terpuruk beberapa saat dalam kenangan bersama Ben dan papanya, akhirnya Karely bangkit dari tempat tidur dan merapikan diri, bersiap menemui Yoselin.Alangkah terkejutnya Karely saat berjalan mendekati ruang makan, ternyata di sana bukan hanya ada Yoselin saja, melainkan ada Astin.Astin baru sampai di mension beberapa menit lalu. Sebenarnya dia tidak ada rencana untuk datang ke tempat itu, tapi karena desakan Yoselin, mau tidak mau dia datang juga. Sebenarnya malam ini ada sebuah penggerebekan transaksi barang terlarang yang harus dia pimpin."Karely, cantik sekali!" puji Yoselin kagum melihat penampilan Karely.Karely berdiri beku. Bola matanya bergerak ke arah pria yang duduk dengan diam dan tenang, namun memiliki mata tajam nan dingin yang digunakan untuk menatapnya lekat. Bahkan bisa dikatakan tidak berkedip. Tiba-t
"Tante, itu makam siapa?"Yoselin mengarahkan pandang mengikuti arah tangan Karely. Bibirnya yang merah menyunggingkan sedikit senyum, lalu kembali melihat Karely."Makam itu masih kosong," jawab Yoselin."Oh ...." Bibir Karely membulat dengan anggukan kecil.Meski tidak paham, namun dia tidak akan memaksa Yoselin untuk menjelaskan. Karely menjaga sikap untuk tidak terlalu terlihat ingin tau dan ikut campur.Yoselin kembali meraih tangan Karely."Karely, suatu saat bila aku dan Astin meninggal nanti, kelak makam itu tepat istirahat kami yang terakhir," ucap Yoselin sembari membawa Karely berjalan meninggalkan makam.Karely dibuat terkejut mendengar perkataan Yoselin. Matanya membola menatap wanita di sampingnya.Melihat keterkejutan Karely, Yoselin hanya tersenyum."Bukankah setiap manusia akan meninggal?" sambung Yoselin. "Aku dan Astin tidak memiliki keluarga lain lagi selain mereka, maka selama kami masih hidup, tidak ada salahnya kami mempers