SETELAH berdebat panjang lebar dengan Pradnya terkait isi perjanjian pernikahan kontrak mereka tadi, akhirnya rencana makan siang mereka gagal total.Pradnya harus terburu-buru berangkat bekerja karena sudah memasuki jamnya. Sementara Antasena dikejar deadline laporan sialan akhir bulannya.Antasena menghela napas panjang. Sampai akhirnya pria itu hanya duduk termenung di depan layar monitornya, sambil sesekali melirik ponselnya yang tak kunjung menyala. Baru beberapa menit yang lalu, Antasena mengirimkan pesan kesekiannya kepada Pradnya. Terdengar konyol memang, tapi anehnya pria itu ingin sekali bertemu dengan perempuan itu. Padahal jelas-jelas baru beberapa jam yang lalu Pradnya duduk di hadapannya.[Nya… lagi apa?]Jika seandainya keempat sahabatnya itu melihat tingkah kekanak-kanakannya kali ini, mereka pasti sudah tertawa terpingkal-pingkal karenanya.[Nya, saya pengen americano buatan kamu. Bisa nggak, sih kamu anterin ke sini?]Dan pesan itu lagi-lagi diabaikan.Menghela napa
"Nya?""Ya, Ra?""Kamu… masih kadang-kadang berhubungan sama Mbak Priya?" tanya Lyra penasaran.Pradnya mengernyit. Sebelum kembali menoleh ke depan. "Kenapa tiba-tiba tanya begitu?""Aku penasaran aja. Kali aja, kan?""Kali aja kenapa?"Lyra mengedikkan bahu. "Secara kalian kan partner kerja, Nya. Dari mana dulu kamu bisa kenal sama Mbak Priya, sih? Dia artis, kan Nya? Dan nggak mungkin semudah itu berhubungan sama rakyat jelata macam kita gini.""Em, dari Mbak Laura. Kebetulan dulu aku sering banget nganterin pesanan kopi buat mereka, kan? Nah, semakin ke sini aku kenal akrab sama Mbak Laura. Termasuk dikenalin sama Mbak Priya saat itu.""Terus mereka tahu soal kondisi ayah kamu. Kamu cerita soal kondisinya atau gimana?""Beberapa tahun yang lalu, aku nggak sengaja ketemu sama Mbak Laura di rumah sakit, Ra. Waktu itu aku lagi nganter ayah periksa. Nah, terus katanya waktu itu Mbak Priya juga dirawat di sana. Cuma akunya nggak mau tanya lebih banyak, sih. Sampai akhirnya aku cerita s
"Gue nggak yakin masih bisa menetap bersama Priya lagi, Ra. Gue memang pernah berjanji untuk menjaganya, tapi Priya sudah lebih dulu menghancurkan segalanya."Laura mengangguk kecil, tahu apa yang dirasakan oleh pria itu. "Gue tahu, Sen. Apapun keputusan lo, gue bakalan dukung lo sepenuhnya."Sejak semalam mereka terjaga untuk menemani Priya yang kini tengah terbaring di atas tempat tidur. Perempuan itu mencoba untuk bunuh diri setelah mengalami kekacauan bertubi-tubi."Gue titip Priya, ya Ra. Setelah semua selesai, sorry, gue nggak bisa selalu ada lagi buat dia.""Tapi boleh gue minta permintaan dari lo?""Apa?""Sebaiknya jangan sekarang, ya Sen. Kondisi Priya yang lagi nggak stabil, ditambah masalah sama lo, dan masalah di luar sana, gue nggak yakin dia akan baik-baik saja."Antasena mengangguk. "Oke. Kabarin aja kalau ada apa-apa. Gue akan mengusahakan apapun selagi gue bisa.""Oke. Thank you, Sen." Laura menatap lekat ke arah Antasena yang tampak kelelahan. "Thank you karena lo
"Kalian nggak sekurangkerjaan ini sampai-sampai datang ke rumah gue, kan?"Tatapan Antasena tertoleh ke arah kedua sahabatnya. Ada Bayusuta dan Arjuna yang tengah duduk di sofa. Menunggu penjelasan dari mereka."Sembarangan! Mohon maaf gue sibuk, by the way.""Terus? Kalian ngapain ke sini?""Mau numpang makan, Babi. Ini jam makan siang kalau lo lupa. Bi Ummi katanya lagi masak buat makan siang, kata nyokap gue, rezeki nggak boleh ditolak. Bukan begitu, J?""Betul!""Kalian berdua udah macam homo aja tahu, nggak!" Antasena menghela napas panjang. Memilih untuk tidak mendebat perkataan Bayusuta."Katanya Anya sakit?" tanya Bayusuta penasaran."Hm-mm.""Sakit apa?""Demam.""Terus sekarang kondisi dia gimana?""Gue nggak tahu. Dia nggak ngebolehin gue ke kamarnya. Jadi sejak tadi pagi, cuma Bi Ummi yang gue mintain tolong ngecek kondisinya dia."Bayusuta sontak tertawa. "Lo habis ngapain, sih Nyet? Lo habis bikin kesalahan sampai-sampai bini lo nggak mau ketemu sama lo?""Hm-mm." Antase
ANTASENA baru saja menuruni anak tangga lantai dua, kemudian menoleh saat tatapannya kini tertuju ke arah seseorang yang tengah sibuk bersama Bi Ummi di dapur."Anya?""Selamat pagi, Mas Sena."Pradnya terlihat baik-baik saja pagi ini. Bahkan senyum cerianya terlihat mengembang di wajahnya, tidak seperti sebelum-sebelumnya."Udah baikan?" tanya Antasena dengan keningnya yang mengerut.Pradnya tersenyum kecil. "Udah. Mas Sena mau dibuatin kopi?""Boleh." Pria itu lantas menarik kursi yang ada di hadapannya, kemudian mendudukkan diri di sana. Sementara Pradnya berjalan menuju ke dapur untuk membuatkan kopi suaminya."Ini, Mas.""Kamu yakin sudah sembuh?""Yakin, kok. Malah saya hari ini masuk kerja," jawab perempuan itu dengan tenang."Nggak boleh!" ujar Antasena cepat, secepat itu pula pria itu mengutuk dalam hatinya. "Em, maksud saya… kamu baru saja sembuh dari sakit, Anya. Apa nggak sebaiknya kamu istirahat sehari lagi di rumah? Saya akan telepon manajer kamu, dan bilang kalau kamu b
"Nya, ngapain sih senyum-senyum sendiri?"Pradnya yang sejak tadi sibuk membuat kopi pesanan pelanggannya, lantas menoleh. Perempuan itu tersenyum."Apaan sih, Ra?""Kamu yang apaan? Nggak jelas banget. Kemarin kamu habis ngomel-ngomel nggak jelas kalau kamu lupa. Dan sekarang kamu kelihatan bahagia. Habis diapain sama Mas Sena?" cibir Lyra dengan curiga."Kemarin kami habis nonton bareng," aku Pradnya dengan wajahnya yang merona. Mengingat apa yang terakhir kalinya mereka lakukan di dalam bioskop saat itu."Jangan-jangan Mas Sena ada rasa sama kamu, Nya?" tembak Lyra penasaran.Pradnya tak langsung menjawab. Sempat perempuan itu berpikir demikian, tapi dia tidak berani menyimpulkan."Nggak usah ngaco, deh Ra. Udah, ah nggak usah ngebahas dia lagi. Aku nganterin kopi ke meja depan dulu, ya."Lyra mengangguk. Membiarkan Pradnya keluar dari area bar dengan kedua tangannya yang membawa sebuah nampan berisikan kopi."Selamat datang di Despresso Coffe. Selamat—"Belum Pradnya melanjutkan u
ANTASENA mengembuskan napasnya dengan pelan saat melihat ada banyak tumpukan laporan-laporan yang harus ditandatanganinya.Sesekali dia melirik jam yang melingkar di tangannya, sebentar lagi seharusnya dia sudah tiba di rumah, kan? Antasena ingin makan malam bersama Pradnya malam ini. Setidaknya pukul enam nanti, dia sudah tiba di rumah.Namun sepertinya pekerjaan-pekerjaan ini tidak bisa membiarkannya lolos begitu saja. Pria itu membenarkan letak kacamata yang bertengger di batang hidungnya, bersamaan dengan suara ketukan dari luar terdengar.Antasena mengangkat wajahnya, dan mendapati Julia berdiri di ambang pintu ruangannya."Permisi, Pak.""Ya, Julie. Ada apa?""Ada tamu buat Bapak. Beliau menunggu di lobi."Antasena mengerutkan keningnya. Dia yakin sore ini tidak memiliki janji temu dengan siapapun."Siapa?""Pak Satya. Adiknya Bapak."Antasena mengingat-ingat kembali. Terakhir pertemuan mereka adalah ketika Satya mengantar pulang istrinya, dan mereka sama sekali tidak memiliki u
ANTASENA membelokkan mobilnya menuju kediaman rumahnya begitu waktu sudah menunjuk angka sebelas malam.Lampu rumah terlihat sudah dipadamkan, hanya ada satu lampu di dapur yang kini masih menyala. Menjadi satu-satunya penerangan yang ada di sana.Pria itu berjalan menuju ke dapur. Setelah melepaskan jas yang sejak pagi tadi membalut tubuhnya, dia menaruhnya di kursi lalu berjalan membuka lemari pendingin di sana.Antasena lantas mengambil satu botol minuman dingin di sana, lalu meneguknya dengan perlahan.Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Bahkan sejak tadi ponselnya menyala-nyala, tapi diabaikan olehnya begitu saja. Siapa lagi jika bukan panggilan dari Priya. Dia sudah tidak terlalu peduli lagi.Mulai dari Satya yang sudah mengetahui sandiwaranya sejak awal, dan dia tahu lebih banyak tentang Pradnya dibandingkan dirinya yang notabene adalah suaminya, sejenak membuatnya semakin kalut. Meskipun dia tidak tahu jelas apa yang membuatnya kalut sekarang."Mas?"Antasena membalikkan ba
“Mas, bangun. Udah pagi ini!”Antasena menggeliat di atas tempat tidurnya, saat dia bisa merasakan sentuhan di lengannya. Matanya mengerjap, samar-samar dia menatap langit kamarnya yang kini masih gelap.“Masih gelap, Sayang. Aku ngantuk banget.” Tentu saja Antasena mengantuk. Bagaimana tidak, jika Flavia semalaman suntuk mengajaknya begadang sampai pagi?“Mas ini udah jam enam. Ayo bangun! Aku buka gordennya, ya?”Antasena mengerjapkan matanya sekali lagi. Dia menoleh ke arah Pradnya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. Lalu dalam sekali sentak, pria itu sudah lebih dulu menarik perempuan itu agar bisa bergabung bersamanya.“Mas Sena!”“Apa sih, Sayang? Ini masih pagi, jangan teriak-teriak bisa, nggak? Kalau Bi Ummi dengar, bisa mikir yang nggak-nggak nanti.”“Habisan kamu sih! Hari ini adalah hari penting buat kamu, Mas. Kamu nggak mau mempersiapkan diri?”“Jas sama pakaian aku udah kamu siapkan semalam, kan? Aku tinggal mandi, pakai baju itu, dan langsung berangkat ke kantor.
PRADNYA terbangun saat dia menyadari tidak ada Antasena di sampingnya. Dia sangat yakin jika semalam bahkan mereka sempat berpelukan, lalu memutuskan untuk terlelap.Beberapa hari terakhir ini, siklus tidurnya tidak teratur. Flavia yang masih sering terbangun tengah malam membuat perempuan itu harus menahan rasa kantuknya demi menemani bayinya.Setelah memastikan jika bayinya masih tertidur pulas, Pradnya menata bantal-bantal di sekitarnya. Baru setelahnya perempuan itu turun dari tempat tidur, lalu keluar dari kamar untuk mencari keberadaan suaminya."Mas? Lagi ngapain?"Antasena tengah sibuk di dapur dengan apron hitam yang menggantung di lehernya. Pria itu tersenyum kecil ke arahnya."Hai, udah bangun?"Pradnya menganggukkan kepalanya. Dengan wajahnya yang masih mengantuk dia melangkah mendekati Antasena yang tampak sibuk di dapur."Mas lagi masak? Masak apa? Kenapa nggak bangunin aku aja, sih?"Antasena tersenyum, lalu menarik Pradnya agar mendekat kemudian melingkarkan kedua tang
TIDAK ada percakapan apapun selama menit demi menit yang telah berlalu. Flavia masih berada di dalam gendongan Pradnya, tengah menikmati ASI eksklusif yang diberikan perempuan itu untuknya.Sementara Antasena tak henti-hentinya takjub melihat betapa pemandangan yang ada di hadapannya sekarang, membuat hatinya seketika menghangat. Pria itu sama sekali tidak pernah menyangka jika dia bisa bertemu kembali dengan Pradnya.“Surat perceraian itu masih belum aku tanda tangani.” Perkataan Antasena membuat Pradnya lantas mengangkat wajahnya. “Kamu masih mau tetap bercerai sama aku?” tanyanya memastikan.Pradnya menggigit bibirnya bagian dalam. Kali ini dia merasa seperti sedang diinterogasi oleh petugas berwajib.“Selama tiga bulan ini… Mas sibuk apa aja?” Alih-alih menjawab pertanyaan Antasena, perempuan itu justru melontarkan pertanyaan lain. Setidaknya dengan mendengar jawaban darinya, Pradnya baru bisa menjawab pertanyaan Antasena sebelumnya.“Kesehatan Mama sempat drop,” kata Antasena den
“Tak lelo, lelo, lelo ledung.”“Cep meneng ojo pijer nangis.”“Anakku sing ayu rupane.”“Yen nangis ndak ilang ayune.”Pradnya menatap bayinya dengan mata berkaca-kaca. Bayi yang baru saja berusia beberapa hari itu, terlihat begitu tenang mendengarkan suara ibunya yang tengah bersenandung lirih.Senyumnya merekah lebar. Pemandangan hijaunya persawahan yang ada di hadapannya terasa begitu menenangkan."Hangat, ya Sayang? Iya?" Bayi mungil itu menggeliat di atas pangkuan Pradnya, sambil sesekali mengedipkan mata.Nismara Flavia Sahira, nama yang disematkan beberapa hari yang lalu ketika sang bayi lahir ke dunia."Mbak!"Pradnya kemudian menoleh, lalu mendapati Pramitha berjalan menghampirinya. “Ya, Tha?”“Belum selesai juga jemurin Dede?”“Belum, Tha. Kayaknya dia suka banget aku ajak berjemur gini. Ngerasa hangat kali, ya? Tahu sendiri gimana cuaca di sini.”“Iya juga. Tapi juga jangan lama-lama, Mbak. Dede bisa item nanti kulitnya,” kekeh perempuan itu.“Kamu tuh!” Pradnya terkekeh. “
Sudah seminggu lebih Antasena tak kunjung menunjukkan tanda-tanda sadar dari koma. Pun begitu dengan Satya yang mulai kebingungan mencari keberadaan kakak iparnya, Pradnya.Berbagai cara sudah dilakukannya. Bahkan pria itu sudah mencoba menghubungi pihak bandara, pihak stasiun, hanya untuk memastikan nama Pradnya terdaftar dalam daftar penumpang. Namun kenyataannya nihil. Tidak ada nama Pradnya Sahira dari daftar penumpang."Mama tega banget sama Anya, ya? Dia lagi hamil cucunya Mama, tapi Mama justru menyuruhnya pergi. Di mana nuraninya Mama, hah?" sengal Satya tak terima."Dia nggak pantas jadi bagian dari keluarga kita. Hubungan yang diawali dari sebuah kesalahan nggak akan berakhir baik!" elak Shinta tak terima. "Lagipula dia menerima cek yang Mama berikan. Apa menurutmu dia nggak mengincar harta Abangmu?""Apa Mama nggak sadar kalau yang mengawali kesalahan itu adalah Abang dan Priya? Anya hanya menuruti kegilaan mereka, Ma!" Satya meraup wajahnya dengan gusar. "Kalau sampai terj
"Soal pelaku penusukan itu, kami belum menemukan bukti siapa pelakunya. Tapi kamu jangan khawatir, ya? Kami sedang mengurusnya. Kamu lebih baik fokus di sini.""Makasih, Mas."Jeda sesaat keduanya saling berdiaman. Mereka baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.“Aku berharap ketika kamu berpikiran untuk menyerah pada keadaan, kamu akan mengingat Sena. Dan kamu nggak perlu memiliki alasan lainnya untuk tetap tinggal di sisinya.”Pradnya terdiam selama beberapa saat. Tampak kebingungan menanggapi perkataan Arjuna. “Saya butuh waktu, Mas Arjuna. Saya harus menjalani semua ini sendirian. Jadi sepertinya saya butuh waktu untuk memikirkan apakah bertahan akan membuat keadaan jadi lebih baik, atau justru sebaliknya.”“Kamu mau pergi ke mana? Tante Shinta minta kamu pergi, kan?”Pradnya mengangkat wajahnya, apakah semudah itu rautnya terbaca oleh Arjuna? Perempuan itu menggigit bibirnya bagian kecil, lalu mendesah pelan. “Mas Arjuna tau, kan kalau saya sudah mengacaukan segalanya?”“
Keduanya duduk berhadapan dengan minuman masing-masing yang tersaji di atas meja. Pradnya menundukkan wajah, menghindari tatapan Shinta yang tajam ke arahnya.Sudah bermenit-menit berlalu, mereka bahkan membiarkan keheningan menemani. Pradnya memilih untuk diam, tidak tahu harus mengatakan apa untuk mencairkan suasana canggung yang ada di antara mereka."Pergi dari hidup anakku. Berapapun yang kamu minta, aku akan memberikannya. Asal kamu menjauh dari hidup anakku setelah ini."Pradnya mengangkat wajahnya untuk membalas tatapan Shinta. Dengan tatapan angkuhnya, sang ibu mertua mengangsurkan secarik cek kosong ke arah Pradnya."Lalu tanda tangan berkas perceraian ini," ujarnya menambahkan.Pradnya tertegun mendengar perkataan Shinta. Dia ingin sekali menganggap semua yang terjadi terhadapnya kini hanyalah mimpi, namun rasa sesak di dada yang kini dirasakannya, terlalu menyesakkan untuk dikatakan bahwa semua ini bukan hanya mimpi belaka."Apa Mama pikir uang bisa menggantikan perasaan y
PRADNYA tak henti-hentinya meneteskan air matanya. Rasa takutnya akan bagaimana keadaan Antasena kini membuat perempuan itu tidak tahu harus berbuat apa selain menangis."Nya, Sena pasti baik-baik saja. Kamu harus kuat, ya?"Itu hanya kalimat penghiburan. Karena kenyataannya Bayusuta sama sekali tidak yakin dengan ucapannya.Ketika Antasena dibawa oleh ambulance tadi, dia mengalami pendarahan hebat. Pria itu kehabisan banyak darah dan membutuhkan banyak darah saat itu."Saya goloran darah AB, Dok.""Tapi Anda dalam kondisi hamil, Bu. Anda tidak diizinkan untuk melakukannya.""Tapi, Dok. Suami saya—" Pradnya semakin terisak. Jika biasanya dia akan memeluk Antasena disaat dia sedang kacau. Tapi orang yang memberinya penenangan justru tengah sekarat di dalam ruangan sana."Saya golongan darah A, Dok. Saya bisa mendonorkan darah saya untuk pasien.""Baik kalau begitu, Pak. Mari langsung ke ruangan PMI. Karena pasien membutuhkan darah segera."Bayusuta menatap ke arah Pradnya, lalu menghel
“Beredar Video Syur, Netizen: Bisnis Prostitusi?”“Potret Priya Zaneeta Setelah Video Syur, Netizen: Jago Kimpoy, Say?”“Tak Kunjung Memberikan Klarifikasi, Netizen: Ngeri Kehidupan Selebriti.”Dan masih ada banyak lagi headline news tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama yang kini tersebar di seluruh media tanah air. Namun hal itu tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Antasena kali ini.Pradnya meringis iba ketika baru saja melihat tayangan berita tentang Priya Zaneeta dan Tomi Nanditama.Antasena yang baru saja menuruni anak tangga, lantas berjalan menghampiri Pradnya. Lalu meraih remote yang ada di atas meja, kemudian mematikan tayangan berita yang ada di depan sana."Kalau nggak kuat buat melihatnya, nggak usah dilihat, Sayang."Pradnya yang sempat terkejut, lantas menoleh ke arah Antasena. "Mas…""Ya, Sayang?"Pria itu berjalan menghampiri Pradnya yang kini tengah duduk di sofa. Bahkan dia belum mengganti pakaiannya sejak mereka tiba di rumah."Mas baik-baik saja?" tanya pe