Jangan lupa komen dan vote ya, terima kasih :D
Malam telah larut, Felix sudah berbaring memeluk Freyaa juga membacakannya buku cerita sebelum tidur, tapi gadis kecil itu masih membuka mata biru besarnya lebar-lebar. "Kau rindu Mumma dan Didi?" tanya Felix memandangi Freyaa yang memainkan kancing piyamanya. "Kancing piyama milik paman besar-besar seperti gigi raksasa di buku cerita." Freyaa berkata sembari menghirup aroma wangi dari tubuh paman tampannya itu. Felix menggetarkan tawa rendah melihat tingkah laku keponakan kecilnya yang sangat menggemaskan. "Kemarilah, mendekat." Felix menarik tubuh Freyaa untuk disejajarkan dengan wajahnya, lalu menggosokkan rahang berbulunya ke kulit halus leher keponakannya tersebut. Freyaa tergelak kegelian, berusaha menghindar tetapi lengan Felix melilit pinggang hingga ke perut tebalnya yang juga digelitiki. "Ampunn! Eyaa ngompol!" Freyaa terpekik dan wajahnya terlihat sangat serius sedang mengedan buang air di dalam pampers yang ia pakai. "Pampersmu harus diganti!" Felix menggendong Frey
Felix mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal namun deru suaranya sangatlah halus, tidak seperti mobil sport pada umumnya yang akan menggaung meraung di jalanan ketika dilajukan dengan kecepatan tinggi. Felix mengikuti arahan Simon yang mengirimkan rute serta jalur masuk ke dalam gedung, menghindari orang-orang yang bisa dideteksi oleh ponsel keponakannya itu. "Veronica berada di lantai dua puluh lima. Paman harus menaiki tangga dari pintu samping untuk mencapai ke sana agar tidak ketahuan." Simon berbicara di sambungan telpon yang didengarkan Felix melalui earphone-nya. "Hanya ada lima orang di dalam ruangan Veronica, Kecil 'kan buat paman?" Simon masih sempat tertawa kecil dibalas dengkusan kekehan Felix. Felix menaiki tangga yang ia lompati dua dan tiga sekaligus. Menatap nanar setiap lantai yang gelap tanpa pencahayaan sama sekali, sampai ia tiba pada lantai yang sedikit terang ada cahaya obor pada dinding luar ruangan. "Kau sudah boleh tidur sekarang." Felix berkata p
Felix terus membuai Veronica dengan ciuman lembut, menarik pinggang wanita muda itu untuk melekat rapat ke samping tubuhnya. Tanpa disadari, kini Veronica merasakan kakinya menjejak tanah. "Eh ..." Veronica refleks mendesah terkejut dan tautan pada bibirnya telah dilepaskan oleh Felix. "Nanti kita lanjutkan lagi, mari pulang." Felix berkata dengan suara baritonnya, kembali mengangkat sedikit pinggang Veronica untuk ia bawa cepat menuju mobil dan lengannya yang lain menekan tombol menggulung tali baja secara otomatis masuk ke dalam tas ranselnya. Felix melemparkan tali baja dan tas ranselnya ke bagian belakang mobil setelah mendudukkan Veronica pada kursi penumpang. "Kencangkan sabuk pengamanmu!" Felix telah duduk pada kursi pengemudi, menoleh memperhatikan sabuk pengaman yang terlihat longgar pada bagian depan tubuh Veronica.Veronica akhirnya tersadarkan jika ia tidak sedang bermimpi. Felix benar-benar datang menyelamatkannya dan tadi pria bertubuh wangi dan bersuara seksi itu me
Felix membawa Veronica ke kediamannya, "Bersihkan tubuhmu, akan ku carikan pakaian ganti." ucapnya setelah membukakan pintu kamar yang sebelumnya ditempati oleh Zetha bersama Luciano. Dimanapun Zetha dan Luciano tinggal, mereka menyukai pemandangan balkon kamar menghadap ke lautan atau matahari terbit. Felix berharap hal ini bisa meluluhkan hati Veronica agar jatuh cinta padanya akan perhatian kecil tersebut, dimana kamar tidur Zetha dan Luciano menghadap ke arah lautan dan matahari terbit. Bagaimanapun, Felix telah hidup dengan api dendam membara dalam rongga dadanya selama bertahun-tahun. Tidaklah mudah memadamkan api tersebut, meskipun sepertinya perjaka tua itu telah kecanduan mencium bibir Veronica. "Apakah dia terbangun?" Felix bertanya pada pelayan yang sebelumnya ia perintahkan menjaga Freyaa di dalam kamarnya. "Tidak, Tuan Muda. Nona Freyaa masih tetap tertidur pulas sejak Tuan tinggalkan tadi." Felix mengangguk samar, "Aku masih ada pekerjaan, tolong jaga keponakanku!" t
Felix terus membuai Veronica dengan ciuman bertubi-tubi juga menggigit gemas leher mulusnya. Mendapat serangan dan rangsangan seperti itu, mustahil Veronica bisa mengelak dan menolak pelukan hangat Felix. Felix si perjaka matang dari keluarga Salvatore memang benar-benar telah kecanduan menyentuh wanita yang pertama kali di dalam hidupnya. Ia terus menyodorkan berbagai macam kenikmatan yang terlihat jika Veronica juga seperti baru pertama kali disentuh oleh seorang pria. "Felix ..." Veronica mencengkeram baju kaos di bagian dada Felix yang baru melepaskan tautan ciuman panjang mereka. "Kau sudah berjanji tidak akan memasukiku." lanjut Veronica mengingatkan akan janji Felix sebelumnya."Apakah kau tidak percaya padaku?" alih-alih menjawab, Felix justru memberikan pertanyaan jebakan untuk Veronica. Veronica menatap lekat ke dalam netra Felix yang memandangnya tidak berkedip, "Aku percaya. Tapi ..." Felix kembali merunduk memberikan kecupan singkat ke atas bibir Veronica yang telah m
Matahari telah menampakkan wujudnya secara sempurna. Zeze dan Susie sedang berenang di kolam renang besar kediaman ketika Freyaa berlari-lari kecil mencari Felix di setiap ruangan yang ia perintahkan pelayan membukanya. "Silakan kembali, aku masih mau tidur lagi." Freyaa berkata tegas pada pelayan yang baru saja membukakan pintu ruangan kamar Zetha dan Luciano. Felix dan Veronica masih pulas, tidur berpelukan di atas ranjang. Freyaa menyingkap selimut dan melihat paman tampannya hanya mengenakan celana training panjang, pun juga dengan Veronica. Freyaa melepaskan atasan piyamanya sebelum ia meringkuk di belakang punggung Felix yang memeluk Veronica di depan dadanya. Ketika tubuh besar Felix bergerak hendak telentang, Freyaa langsung merengek manja namun tetap memejamkan kelopak matanya seolah sedang tertidur. "Freyaa?!"Felix langsung berbalik saat telinganya mendengar rengekan keponakan kecilnya. Freyaa membuka sedikit kelopak mata, beringsut naik untuk melilitkan lengan gempa
Veronica terbangun dari tidur ketika telinganya mendengar suara orang lain di sekitarnya, bukan suara usil Selena. Ia mengerjapkan kelopak mata, memandang syok pada pria tampan di depan wajahnya sedang tersenyum. Ya, Felix tersenyum. Senyum yang sangat manis. Sampai-sampai Veronica berpikir jika ia sedang bermimpi jika tak mendengar suara serak baritonnya. "Hei, Selamat pagi." Felix semakin melebarkan senyumnya, melihat wajah lucu Veronica yang memelototkan mata. "Kau tidak lupa 'kan, kalau siang ini kita akan menikah?" Veronica terbeliak, mengerjap beberapa kali. Refleks tangan Veronica menarik selimut untuk menutupi bagian atas tubuhnya yang ia ingat jika semalam, ralat dinihari tadi tidur tanpa atasan dalam pelukan Felix setelah cumbuan panas mereka. "Bersiaplah. Pelayan akan membantumu mandi." Felix sudah memakai kemeja lengan panjang yang ia lipat lengannya sampai siku. Sangat tampan juga wangi. "Aku tunggu di ruang kerja setelah kau berpakaian." Felix mendaratkan kecupan ke
"Kau tidak ingin menambahkan beberapa poin lagi?"Felix bertanya setelah Veronica memutar layar komputer untuk ia perlihatkan, telah selesai memasukkan poin-poin keinginannya yang membuat posisinya setara sebagai istri Felix, jika mereka memang benar-benar harus menikah. "Tidak. Itu sudah cukup!" Veronica menuliskan jika Felix tidak boleh menyakitinya, dirinya juga bukan budak yang tidak boleh menolak keinginan aneh Felix serta poin lainnya seandainya mereka memiliki anak dan keadaan menuntut mereka bercerai, Veronica tetap memiliki hak bertemu anaknya sebagai ibu yang melahirkan. Felix mengganti judul surat perjanjian yang sebelumnya adalah perjanjian nikah kontrak menjadi 'Perjanjian Cinta Felix dengan Veronica'. Terdengar ironis, karena Felix masih menolak mengakui perasaannya pada Veronica. Meski ia terkesan sengaja memanipulasi agar cantik itu mau menikah dengannya. Bahkan, batangnya tadi malam sudah separuh masuk ke dalam celah lembut Veronica. "Oke, itu bagus!" tanggap Vero
"Sister ...!" Felix berteriak terkejut mendapati ruangan tengah kediamannya terang benderang, ada tujuh ranjang portable tersusun dengan tubuh anak buahnya di atasnya, sementara Zetha dan Simon masih belum selesai melakukan operasi darurat mengeluarkan peluru dari John.Hvitserk sudah dipindahkan ke dalam ruangan perawatan yang dijaga oleh ketat beberapa pelayan wanita.Luciano, Billy yang sudah terbiasa melihat tindakan perawat di rumah sakit Siniy Dom, Nyaksimvol, Rusia, serta para pelayan lainnya di kediaman ikut membantu membebat lengan, perut, menghentikan pendarahan para anak buah Felix yang terluka menunggu giliran ditangani oleh Zetha dan Simon,Charles di bagian dapur tidak bisa diam. Ia memerintahkan pelayan bawahannya menyiapkan bubur, minuman serta makanan besar untuk Zetha, Luciano, Simon serta Felix, juga pria itu bolak balik memastikan air hangat serta kain lap tersedia untuk membantu melancarkan pekerjaan Zetha serta Simon.&
"Kau pemlik gallery lukisan!" Felix masih ingat lukisan yang ia pinta John membelinya untuk di dalam ruangan kerja Veronica memiliki kamera tersembunyi. Felix sebenarnya sudah pernah bertemu dengan pria pemilik gallery lukisan tersebut yang mengadu tentang perusahaan supplier milik keluarganya terancam bangkrut karena Alfred Mussolini terus meminta upeti.Sang pria sudah berdiri, membungkukkan tubuhnya hormat pada Felix, "Ikutlah denganku, maka keponakan Anda akan aman." Entah berapa banyak informasi yang didapatkan oleh pria di depannya, tapi bibir Felix menyeringaikan senyuman tipis dengan tatapan berkilat kejam memindai sang pria pemilik gallery lukisan."Kau tau tentang keponakanku?" pancing Felix seraya tersenyum seakan mengendorkan kewaspadaannya. "Keponakan Anda menjadi inang racun The Queen. Bukankah Anda sedang mencari keberadaannya saat ini?" jawab sang pria ditanggapi anggukan samar Felix. "Racun dalam tubuh Anda bisa memanggil inang The Queen kembali. Karena itu Anda h
Felix berhasil menarik tubuh besar Hvitserk keluar dari mobil dan membawanya menjauh sebelum van meledak dengan api membubung tinggi. "Perintahkan yang lain menangkap mereka semuanya, Knox! Jangan ada satupun yang lolos!" titah Felix pada Knox yang sudah melompat melindungi bosnya itu dari tembakan dengan membidik tepat sasaran menjatuhkan anak buah Alfred yang bersembunyi di dalam gedung, atas atap serta gang-gang gelap. Tangan Hvitserk menggapai mencengkeram bagian depan pakaian Felix yang memeluknya, "Temukan istrimu sebelum Edward membunuhnya dalam kecelakaan." "Simpan tenagamu, jangan banyak bicara!" Felix berusaha memapah Hvitserk menuju mobilnya. "Edward, dia adalah sepupunya Veronica dan pria itu ingin istrimu mati dalam kecelakaan." Hvitserk tidak menghiraukan teguran Felix, ia tetap menyampaikan info dengan lancar dalam satu tarkan napasnya sebelum semuanya terlambat. Felix membolakan netranya memandang Hvitserk yang menggerakkan kepala membuat anggukan dan susah payah
"Mister Salvatore ..." Lorenza menyentuh lembut lengan Felix, karena tiba-tiba bos tampannya itu terdiam setelah mendengar perkataannya. "Aku harus pergi. Jaga dirimu, Lo!"Felix bangkit berdiri dari duduknya, menoleh sekilas pada Lorenza ketika mengucapkan perkataannya, kemudian beralih menatap lurus ke netra Hvitserk yang reflek mengikuti bangkit dari kursinya dengan tetap tidak melepaskan lengan dari pinggang Erika. "Arkada menyuntikkan racun modifikasi pada Zee," bisik Felix ke Hvitserk yang refleks mengeratkan pelukan lengannya ke pinggang Erika. Erika tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi melihat wajah tegang Felix dan Hvitserk yang semakin mengeratkan lengan, gadis itu tdak banyak berkata, refleks mengikuti Hvitserk. "Ku pikir kalian sibuk menggoda wanita, tak akan pernah tau jika Zeze sedang kritis!" sebuah suara bergema masuk melalui headset mini dalam telinga Felix dan Hvitserk. "Ku pikir kau mencintai Veronica ..." ejek Luca terdengar sinis di telinga Felix. San
Mengetahui Zeze pergi menghilang membawa Veronica dan Freyaa bersamanya, Zetha, Luciano Sky dan Simon langsung meninggalkan pekerjaan mereka pada team dokter Siniy Dom, terbang menggunakan jet tempur menuju Amalfi membawa Billy, asisten Felix. Bagaimanapun, Zetha dan Luciano berharap, Freyaa yang jenius bisa meninggalkan 'pesan' diam-diam untuk mereka di kediaman Felix. Zetha dan Lucano hanya tidak menduga, Freyaa sama sekali belum mengetahui keadaan Zeze yang keracunan. Jika tidak, tak mungkin gadis jenius itu tidak akan bertindak meninggalkan remah nasi agar ditemukan oleh Luca, Simon, dan kedua orangtua mereka. "Apa kau tak bisa makan lagi? Ada apa denganmu? Kenapa kau masuk anginnya lama sekali?!" Freyaa menghampiri Zeze yang duduk termenung di balkon kamar, menatap kegelapan malam yang sengaja gadis itu matikan beberapa lampu, membuat cahaya sangat redup.Sebelumnya Zeze meninggalkan Freyaa dan Veronica di meja makan dengan alasan buang air. namun sebenarnya memuntahkan cairan
"Owh ...?!" telinga Arkada masih mendengar gumaman Hvitserk yang seolah pria itu maklum karena ada anak buahnya mengelilingi. Tapi ...Arkada si pemuda sombong lagi picik yang hanya peduli akan kebutuhan sela pahanya, sama sekali tidak menduga jika akan mendapat serangan secepat kilat dari Hvitserk.Hvitserk memberikan totokan ke urat nadi Arkada, menjalar ke siku bagian dalam dan pundaknya serta leher samping yang mengantarkan dorongan sesak ke rongga dada Arkada karena pasokan oksigen seakan terhenti selama beberapa detik sehingga otomatis genggamannya pada jemari Erika terlepas begitu saja. "Kau?" bibir Arkada berdesis emosi melihat Erika mengulum senyum memandang Hvitserk, dimana pinggang gadis itu sudah berada dalam rangkulan lengan Hvitserk. "Aku apa?" ejek Hvitserk menyeringaikan senyum sinis, "Sudah ku peringatkan, jangan coba-coba mendekati wanitaku. Ini kedua kalinya kau ku lepaskan, tapi tidak untuk ketiga kali!" tambah Hvitserk seraya membawa Erika pergi dari hadapan Ar
"Fells? Ada apa?"Hvitserk yang sedang memperhatikan para artis di agency Mussolini memberikan pertunjukan penyambutan untuk para tamu di atas panggung, merasakan firasat tidak nyaman, langsung menoleh pada Felix di sebelahnya. "Perhatikan sekeliling, segera tangkap Ivar dan Bobby begtu mereka menampakkan diri." ucap Felix dengan nada bergetar sembari satu telapak tangan menekan dada kirinya yang terasa sangat sesak. Sebuah firasat juga dirasakan oleh Felix. Firasat yang membuatnya kesulitan bernapas sehingga harus menekan dadanya sedikit lebih kuat. "Kau ...kau kenapa? Apakah ada sesuatu dalam minuman itu?" Hvitserk mengerutkan keningnya kuatir melihat reaksi wajah Felix yang terlihat sedikit pucat. Felix menggelengkan kepalanya samar, "Fokus pada apa yang ku sebutkan tadi."Beberapa saat lalu, ketika Hvitserk sedang asyik mengedarkan pandangannya memindai para artis Mussolini, mencari keberadaan Erika yang sudah berjanji jika malam ini adalah hari terakhirnya ia berada di bawah
Luca kembali memutar ulang rekaman dari bandul kalung Zeze, "Aku keracunan dan tidak berselera makan ..." keningnya semakin berkerut dalam. Siapapun di keluarga Salvatore tahu jika Simon, Zeze dan Freyaa menuruni bakat kedua orangtua mereka, Zetha dan Luciano Sky yang kebal terhadap berbagai jenis racun. Namun kini, Zeze keracunan. Luca bisa memastikan itu bukanlah racun biasa yang alami melainkan sudah dimodifikasi. "Racun apa yang bisa membuat darahmu tercemar dan kekebalan tubuh kalian hancur?" Luca mengirimkan pesan pada Simon yang sudah berulang kali menghubungi Zeze, tetapi tidak tersambung. "Racun yang sudah dimodifikas dengan darah murni seperti penelitian Efka Reager dahulu." balas Simon menghubungi Luca dengan panggilan video, "Paman bisa menghubungi Zeze? Didi dan Mumma sudah menelponnya, tapi ponselnya tidak aktif." Sudah menjadi kebiasaan bagi Luciano akan menghubungi kedua putrinya setiap hari, entah sedang berada dimanapun ia, Zetha dan Simon berada. "Zeze bersama F
Hvitserk sudah menyiapkan tempat tinggal pribadinya di luar kediaman Felix, kini pria itu membawa Erika ke apartemen pribadinya tersebut. "Ini, tempat tinggalmu?"Erika mengikuti Hvitserk memasuki ruangan apartemen type studio yang hanya memiliki satu ruang kamar tidur menghadap laut tenang jauh dari hiruk pikuk peselancar ataupun pantai penuh turis. "Ya. Kau bisa tinggal di sini." Hvitserk yang berada di depan Erika menjawab cepat, lalu menoleh ke belakang, menangkup wajah Erika yang kini tepat berada di depannya tersebut dengan kedua tangan, "Arkada tidak akan tinggal diam sampai pria bajingan itu melecehkanmu." Erika bukan tipikal wanita yang mudah percaya pada pria, tetapi kini hatinya merasa nyaman tanpa keraguan pada Hvitserk yang sudah menarik satu pergelangan tangannya, membuka satu-satunya pintu kamar dalam unit apartemen tersebut. Melihat tatapan ragu dari Erika yang bahasa tubuhnya juga jelas terlihat sangat kikuk, Hvitserk memegangi kedua pundak gadisnya, "Aku tidak t