Badan Fjola rasanya seolah tengah menjerit. Sendi-sendinya ngilu. Tangannya pegal. Pipinya berkedut karena kebanyakan senyum. Setelah dipilih sebagai pasangan oleh pangeran, dia diarak dengan kereta terbuka mengelilingi negeri. Dia harus tersenyum saat melihat orang-orang yang berdiri menunggu calon ratu mereka lewat. Dia juga harus melambai sopan.
Punggungnya harus ditegakkan. Dia tidak boleh tertawa berlebihan. Begitulah aturan pertama saat menjadi sang terpilih.
Fjola kembali ke kamarnya dan segera mengempaskan tubuh ke ranjang. Di sana, Ishak sudah menunggunya. “Selamat, Fjola! Aku bangga sekali padamu.”Fjola diam saja. Ia baru teringat tatapan Lilija yang dilihatnya tadi. Seketika, Fjola merasa bersalah. Ia duduk di tepi ranjang. “Di mana Lilija?” tanyanya.Ishak menggeleng. “Para gadis yang tidak terpilih kembali ke istana calon selir. Para pelayan sudah memindahkan peti-peti para gadis itu ke sana.&rKetukan kembali terdengar dari pintu kamar Fjola.“Apa Anda sudah siap, Yang Mulia?” prajurit wanita yang katanya ingin mengawalnya berseru.“Sebentar lagi,” balas Fjola menyelipkan belati di pinggang dalam gaunnya. Ia melangkah ke pintu, lalu membukanya. Tampak di depan kamarnya berdiri sang prajurit. Dia tak memakai helm. Meski begitu, cahaya yang minim dan rambut pendek sang prajurit membuat Fjola tak menyadari bahwa sebenarnya dia adalah perempuan. Langkahnya yang anehlah yang membuatnya merasa perlu waspada.Fjola menduga bahwa prajurit itu bukan prajurit asli yang dipekerjakan Raja untuk mengawalnya. Dia yakin bahwa prajurit itu merupakan prajurit gadungan yang akan mencelakakannya. Fjola harus berhati-hati.“Sebaiknya kita harus cepat, Yang Mulia. Raja sudah menunggu kita,” cetus sang prajurit memimpin jalan.“Aku harus menunggu Ishak dulu,” tolak Fjola.
Mata Fjola mengerjap dalam gelap. Mulutnya tersumpal. Tangan dan kakinya terikat. Meski begitu, ia merasakan goncangan. Suara derap kaki kuda terdengar mengentak-entak seiring goncangan. Ia yakin bahwa sekarang dia sedang berada di kereta. Tetapi, ia tak tahu kereta itu akan membawanya ke mana.Fjola merogoh ikat pinggangnya yang tersembunyi di dalam gaun. Dengan susah payah, ia meraba sarung belati yang terikat di sana. Gadis itu mencoba mengeluarkan belatinya. Mendadak, kereta behenti. Fjola terpaksa menghentikan apa pun yang dilakukannya. Ia melemaskan badan, berpura-pura pingsan.Tak lama kemudian, pintu kereta terbuka. “Cepat keluarkan dia!” terdengar suara pelayan Elisabet.Dua tangan menarik kaki Fjola sedangkan dua tangan lagi mengangkat badannya. Samar, Fjola dapat mencium aroma tembakau yang kuat. Dia menduga bahwa yang mengangkatnya adalah pria. Dinilai dari cengkeramannya, dia yakin bahwa mereka pria.
Barrant memacu kudanya mengikuti Aguste yang berada di depan, menuntunnya menuju ke tempat di mana kekasihnya dibawa paksa. Gelap membuat matanya menyipit. Selain mereka berdua, ada Ishak yang ikut berkuda dengan Barrant. Ia tak bisa berkuda sendiri. Dulu, waktu kecil ia trauma menghadapi kuda.Waktu itu ia yang merupakan anak lelaki paling bungsu dari keluarganya mendapat harapan paling tinggi dari ayahnya. Ayah Ishak sangat keras, apalagi terhadap putra-putranya.Akan tetapi, Ishak juga yang paling disayag ibunya. Ibunya tidak bisa melepas, walau sedikit, perhatiannya terhadap anak bungsunya itu. Sebab, dibanding anak lain, Ishaklah yang paling mengerti ibunya. Dari kecil, ia ringan tangan membantu ibunya. Ia sering menemani ibunya menyulam di kamar, karena ibunya sering bersenandung sembari menyulam. Ia senang mendengar suara ibunya yang merdu. Kadang, jika ibunya selesai menyulam, Ishak menata kain-kain yang telah disulan ibunya ke peti. Kain itu terasa halus
“Katakan! Kalian bawa ke mana Fjola?” Barrant memasuki pondok itu dengan wajah merah. Napasnya tersengal. Dadanya kembang kempis karena marah. “Aku tidak menyangka kalian bisa sekeji ini.”Margaret datang dari kamar belakang. “Well ... well ... well, Yang Mulia.” Wanita itu membungkuk. Senyum tersungging dari bibirnya. Matanya mendelik licik.Barrant mendengkus. “Jika ada kekacauan, pasti kau dalangnya.”“Kekacauan?” Margaret pura-pura terkejut. “Kekacauan apa?”“Tidak usah basa-basi, di mana Fjola?” gertak Barrant.“Fjola? Tentu saja dia ada di istana,” jawab Margaret pura-pura tidak tahu. "Kenapa?"“Jangan bohong, Margaret! Kau bawa Fjola ke mana?”Wanita tua itu mengangkat bahu. “Aku tidak membawanya ke mana-mana. Sejauh pengetahuan saya, Yang Mulia, Tuan Putri Fjola masih ada d
Barrant pulang dengan hati mendongkol. Margaret telah mepermainkan mereka. Ia benci kepada wanita tua itu. Dari kecil, Margaret bertindak seolah dia ibunya. Padahal, Margaret hanya pengasuhnya.Saat Ratu Elnora dibunuh, Bartang yakin Margaret ada di sana tetapi, orang lain tidak percaya bahwa dia ada di sana. Padahal, waktu itu Barrant jelas melihat wanita itu ada istana.Margaret adalah kakak Ratu. Maka dari itu, dia selalu dihormati sang Raja. Tak hanya itu, segala pendapatnya selalu diamini Raja Valdimar. Hal itulah yang membuat Barrant enggan pulang ke istana setelah ibunya meninggal. Ia lebih suka berkelana.Ketika ditinggal oleh Margaret di pondok tengah hutan, Barrant meminta Aguste memeriksa pondok. Namun, kebakaran membuatnya tak bisa menemukan apa-apa. Dia hanya bisa memastikan bahwa memang ada seseorang yang pernah diikat di sana.Barrant memerintahkannya menyusuri hutan, mencari tanda apakah Fjola berhasil melarik
Barrant mengamati surat yang diulurkan ayahnya padanya. Surat yang menjadi bukti bahwa Fjola bukannya diculik, tetapi meninggalkannya. Keningnya berkerut saat membaca isinya. Surat itu memang benar tulisan Fjola. Barrant tahu karena huruf s yang tertera di sana melenggok janggal. Dia mengenali tulisan itu dari surat-surat yang ditulis Fjola padanya dulu.Setelah membaca singkat isinya, Barrant tersenyum. Senyumnya berubah menjadi tawa. Ia mengulurkan surat itu kepada Ishak yang sedang mengernyit menatapnya. Dan, saat matanya terserobok pada surat itu, wajah yang tadinya tegang berubah lega.Lelaki kemayu itu mendesah. “Maaf, Yang Mulia, ini surat cinta Tuan Putri Fjola, bukan surat yang pernyataan penolakan cinta.”Margaret mendengkus. “Itulah bukti bahwa Fjola tidak mencintai Pangeran. Dia memiliki kekasih. Dan, dia melarikan diri karenanya.”Tawa Barrant semakin keras. Ia menghapus sudut mata
Belati siaga di tangannya. Matanya awas dan peka terhadap suatu gerakan, meski kemudian lega karena anginlah yang menggerakkannya. Awan kelabu tampak di atas kepalanya, mengintip di antara daun-daun pepohonan yang tinggi. Udara berembus lembap, dan dingin. Matahari pun tidak tampak, meski begitu cahayanya yang terang mampu menembus awan.Fjola berjalan dengan cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang. Ia dapat merasakan seseorang tengah mengikutinya, mencari jejaknya. Tetapi, ia tak tahu siapa itu. Mata-mata para hewan pengerat yang kebetulan berpapasan dengannya menatapnya seolah-olah menyuruhnya untuk segera meninggalkan hutan ini. Gaunnya yang panjang terkadang membuatnya kesulitan saat melangkah. Ia berniat merobek satu lapisan lagi, tetapi hal itu tak bisa dilakukannya. Ia bisa kedinginan nantinya.Fjola terus bergerak meski perutnya memprotes. Ia kelaparan. Sejak semalam, ia belum makan. Gadis itu tak tahu sudah berapa lama dia menelusuri hutan itu. Kakinya tera
Suasana hening sejenak. Tak ada suara lain dalam ruangan itu, hanya deru napas yang saling bertautan Mata mereka memelotot, saling memandang satu sama lain. Hawa panas karena amarah menyeruak dalam balairung istana Raja Valdimar. Masing-masing orang meyakinkan bahwa pendapat merekalah yang benar. Fakta merekalah yang harus dipercaya. Bukti yang mereka tunjukan sama-sama kuat. Bantahan demi bantahan telah mereka lontarkan untuk mengikis pendapat masing-masing.Lelaki tua yang duduk di singgasana dibuatnya kebingungan. Satu sisi ada anaknya, sedangkan di sisi lain ada kakak istrinya. Dengan cermat, ia harus menelisik masalah ini. dengan hati-hati pula, dia harus memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Namun sayangnya, semua pendapat memiliki bukti yang sama-sama kuatnya meski berlainan. Ia hanya bisa memijat kepalanya yang pening.“Oh, ayolah!” seru Barrant memecah kehinangan. “Semua sudah jelas. Tak ada yang meragukan bahwa Fjola se
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu