Belati siaga di tangannya. Matanya awas dan peka terhadap suatu gerakan, meski kemudian lega karena anginlah yang menggerakkannya. Awan kelabu tampak di atas kepalanya, mengintip di antara daun-daun pepohonan yang tinggi. Udara berembus lembap, dan dingin. Matahari pun tidak tampak, meski begitu cahayanya yang terang mampu menembus awan.
Fjola berjalan dengan cepat. Sesekali ia menoleh ke belakang. Ia dapat merasakan seseorang tengah mengikutinya, mencari jejaknya. Tetapi, ia tak tahu siapa itu. Mata-mata para hewan pengerat yang kebetulan berpapasan dengannya menatapnya seolah-olah menyuruhnya untuk segera meninggalkan hutan ini. Gaunnya yang panjang terkadang membuatnya kesulitan saat melangkah. Ia berniat merobek satu lapisan lagi, tetapi hal itu tak bisa dilakukannya. Ia bisa kedinginan nantinya.Fjola terus bergerak meski perutnya memprotes. Ia kelaparan. Sejak semalam, ia belum makan. Gadis itu tak tahu sudah berapa lama dia menelusuri hutan itu. Kakinya teraSuasana hening sejenak. Tak ada suara lain dalam ruangan itu, hanya deru napas yang saling bertautan Mata mereka memelotot, saling memandang satu sama lain. Hawa panas karena amarah menyeruak dalam balairung istana Raja Valdimar. Masing-masing orang meyakinkan bahwa pendapat merekalah yang benar. Fakta merekalah yang harus dipercaya. Bukti yang mereka tunjukan sama-sama kuat. Bantahan demi bantahan telah mereka lontarkan untuk mengikis pendapat masing-masing.Lelaki tua yang duduk di singgasana dibuatnya kebingungan. Satu sisi ada anaknya, sedangkan di sisi lain ada kakak istrinya. Dengan cermat, ia harus menelisik masalah ini. dengan hati-hati pula, dia harus memutuskan mana yang benar dan mana yang salah. Namun sayangnya, semua pendapat memiliki bukti yang sama-sama kuatnya meski berlainan. Ia hanya bisa memijat kepalanya yang pening.“Oh, ayolah!” seru Barrant memecah kehinangan. “Semua sudah jelas. Tak ada yang meragukan bahwa Fjola se
Fjola menjerit. Meski begitu, matanya tertutup. Ia menunggu rasa sakit datang, sebab hal terakhir yang dilihatnya sebelum menutup mata adalah anak panah yang melayang padanya. Namun, sekian detik menunggu, rasa sakit itu tak kunjung datang. Ia membuka matanya perlahan.Anak panah itu menancap di sebelah kepala, sangat dekat hingga seandainya ia bergeser satu centi saja ke samping, tamat riwayatnya.Gadis itu memandang sekeliling. Ia tak menemukan orang yang mengirim anak panah itu. Tak ada tanda-tanda keberadaanya.“Siapa kau?” serunya dengan suara gemetar. “Tunjukkan wujudmu!”Hening. Tak ada jawaban apa pun. Fjola berniat berlari dari tempatnya berdiri. Namun, mendadak kakinya tidak bisa digerakkan. Sesuatu membelitnya. Ia berusaha menjejak jerat yang ternyata adalah batang tanaman merambat.Gadis berambut panjang itu mencoba melepaskan diri. Namun, semakin ia berusaha, jeratan itu semakin mel
Raja Erik tengah menikmati sore yang mendung di istananya ketika seorang prajurit tergopoh-gopoh menghampirinya. Ia meletakkan cangkir yang berisi teh hangat kesukaannya. Di sampingnya duduk putri kesayangannya, Briet. Mereka memandang hamparan jalan putih dari salju yang belum mencair sejak hujan tadi pagi.“Yang Mulia,” panggil prajurit bertubuh jangkung itu. Baju zirahnya berwarna perak. Helmnya dikepit di bawah ketiak, sedangkan tangan satunya mengenggam surat dengan segel dari Negri Penguasa Tembok.Raja Erik mengangkat tangannya, menghentikan tangan sang prajurit yang akan terulur. “Aku sudah tahu,” katanya sembari tersenyum. “Lihat anginnya, Briet,” tambahnya kepada sang putri. “Angin kali ini membawa hal bagus dari negeri seberang.”Briet tak menyahut. Ia mengangkat cangkirnya ke bibir, menyesap teh sedikit.“Yang Mulia, ini—“ ucapan sang prajurit kembali ter
Ia berjalan dengan tergesa di lorong kastil. Pengawal yang senangtiasa mengikutinya diusirnya. Ia ingin sendiri. Raja Erik memasuki kamarnya dengan hati gelisah.“Ayah!” Anak gadisnya mengikuti. “Apa yang kau lakukan?”Raja bercambang lebat itu meraup wajahnya frustrasi. Ia duduk di tepi ranjangnya yang besar. “Aku tidak bisa.”Briet menghampirinya. Ia berdiri tepat di hadapan ayahnya. “Kenapa Ayah membiarkan Master Killi menyelidiki Fjola? Ini bisa berbahaya! Bagaimana kalau—““Ssst!” Sang raja bangkit. Ia beranjak ke pintu dan menutupnya rapat-rapat. Ia juga menutup jendela kamarnya, memasang tirai supaya apa pun yang akan dia katakan tidak ada yang mendengar.“Dengar, Briet,” katanya berbisik. “Kau harus pergi.”“Apa?” mata sang putri melebar. “Kenapa?”“Semuanya kacau!&rd
Pohon semakin menelan gadis yang tengah tak sadarkan diri itu. Tepi gaunnya sudah terkoyak. Sulur melilitnya dengan kencang. Belati yang digenggamnya jatuh. Bunyi tulang yang berderak membuat lelaki yang berusaha membebaskannya semakin panik.“Fjola!” panggil Aguste. “Bangunlah!” Ia memotong sulur yang menjerat tubuh gadis itu. Tetapi, semakin dia memotong, sulur itu malah semakin terjalin kuat dan banyak. “Tidak, tidak!”Sebuah panah tertancap di pohon dekat Pohon Pembunuh itu. Anak panahnya menancap kuat di sebuah bonggol batang. Aguste menatapnya dengan heran. Ia berhenti sejenak dari usahanya. Pikirannya berkelana ke waktu saat dia masih kecil, saat gurunya menjelaskan sesuatu tentang Hutan yang Hidup.Ia teringat gurunya pernah berkata alasan hutan itu dikatakan hidup. Salah satunya karena dihuni banyak Pohon Pembunuh. Tetapi, saat itu gurunya pernah bilang untuk tidak terlalu takut kepada pohon itu, jik
Hari sudah malam ketika Fjola dan Aguste sampai ke kota terdekat. Kaki mereka pegal menempuh perjalan yang dilakukan dengan kaki. Salju yang turun menghalangi langkah mereka. Meski sudah memakai berlapis-lapis kain, tetap saja mereka masih kedinginan. Bahkan, syal yang diikatkan ke leher mereka hingga mencapai bawah mata tak mampu menahan dingin. Tangan Fjola sampai mati rasa.Setelah keluar dari Hutan Hidup dan mengisi perut dengan roti basi dan anggur, mereka berjalan ke pondok satunya milik Margaret. Mereka mencuri pakaian dan mantel, dan syal, dan apa pun yang dapat menahan hawa dingin. Mereka berjalan ke luar pondok, mencari desa terdekat. Meski mebawa uang, Aguste merasa percuma. Sebab, tak ada orang lain yang menjual apa pun ditemuinya.Sekian lama mereka berjalan hingga tungkai rasanya seperti terbakar, akhirnya mereka menemukan sebuah bar dengan penginapan di atasnya. Dengan langkah gontai, mereka membuka pintu bar. Suara gemericing dari lonceng ya
Picingan mata yang diterimanya dari pengawal kamar membuat jantung Aguste berdegup lebih kencang. Tangannya turun perlahan, meraih senjata yang tersimpan. Ia bersiap menyerang pengawal itu kalau memang terpaksa. Namun, sebelum itu terjadi, tangan Pangeran menyentuh lengannya, mencegah niatnya.“Dia dari Negeri Vor. Mungkin kau pernah bertemu dengannya dulu,” dusta sang Pangeran kepada pengawal itu.Sang pengawal menunduk. Ia lantas undur diri. “Maaf, Pangeran.”Setelah menyaksikan pengawal itu turun, Barrant dan Aguste segera ke kamar. Aguste yang sudah tidak sabar menuntut penjelasan pun bertanya ketika pintu berayun menutup. “Apa yang terjadi? Kenapa mereka memburuku dan Putri Fjola?”Barrant mondar mandis gelisah di depan perapian yang tidak menyala. “Margaret,” jawabnya. “Semua gara-gara ulahnya.”“Tolong jelaskan,” pinta Aguste.B
“Sebelum kujawab,” ucap Ishak duduk di kursi di kamarnya, di dekat perapian, “maukah Anda berjanji padaku?”Barrant yang diduduk di depan lelaki kemayu itu pun mengernyit. Ia memajukan tubuhnya untuk mendengar penjelasan lelaki yang dikenalnya sebagai pelayan Fjola itu. “Janji apa?”“Anda tidak akan merubah perasaan Anda terhadap gadis itu. Sebab, aku tahu persis, Yang Mulia, bahwa Fjola benar-benar mencintai Anda.”Barrant menelengkan kepalanya. Ia mengamati lelaki di depannya dengan serius. “Apakah kau meragukan cintaku terhadap Tuan Putri-mu?”“Tidak. Bukan begitu. Tetapi, aku ingin tahu sebera besar Anda mencintainya?”Barrant tersenyum sekilas. “Melebihi nyawaku, Ishak, kalau kau ingin tahu.” Ia lantas melanjutkan. “Dan, seandainya kau masih ragu, akan kukatakan ini padamu. Apapun status Fjola, aku tidak peduli. Bahkan
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu