Tubuh Fjola tiba-tiba lemas. Benaknya kacau. Ia menatap Barrant dengan pandangan terluka. Perasaannya campur aduk. Marah, sedih, dan kecewa menjadi satu. Ia tak tahu apa alasan Barrant berbohong. Pemuda itu begitu tega mempermainkannya. Ia benci kepadanya. Tanpa berkata-kata lagi, Fjola berbalik. Ia melangkah pergi, meninggalkan Lilija, Aguste, dan Barrant.
“Fjola!” Barrant memanggil. Tetapi, gadis itu memilih mengabaikannya. “Fjola, kumohon! Dengarkan aku!”Gadis itu menggeleng. Langkahnya goyah. Hatinya hancur. “Biarkan aku sendiri.”“Tidak, tidak! Kumohon, dengarkan aku dulu!”Air mata gadis itu mengalir. “Kau tega sekali membohongiku!”“Aku tidak bermaksud membohongimu Demi Tuhan, Fjola, dengarkan aku.” Barrant meraih lengan gadis itu.“Jangan sentuh aku!” Barrant terhenyak. Pandangannya tampak terlukRaja Valdimar masuk ke ruang makan ditemani Alexnder. Di belakangnya ada Barrant. Pemuda itu memakai pakaian formal berupa kemeja dengan kerah tinggi. Celananya yang ketat membuatnya tampak tinggi. Rambutnya yang merah disisir rapi ke belakang. Sepatu bot dengan hak dikenakannya. Aura kebangsawanannya memancar. Senyum menghiasi wajahnya yang tampan.Semua gadis yang ada di sana menatapnya tanpa berkedip, kecuali Fjola yang menunduk, memandang piring kosong di meja di depannya.Setelah duduk di kursinya—di ujung meja—Raja Valdimar menyilakan semua orang yang diundangnya makan siang duduk di tempatnya masing-masing. Alexander duduk di samping kanan Raja Valdimar. Di depan dan sampingnya duduk para selir.Barrant duduk di ujung meja satunya. Di samping kanannya ada Elisabet. Di samping Elisabet, ada Ylfa. Di depan Elisabet, di samping kiri Barrant duduk Lilija yang tersenyum manis. Fjola duduk di samping Lilija. Gadis itu masih menundu
Ishak menata gaun yang dipakai Fjola dengan teliti. Mereka tengah berada di depan cermin di kamar Fjola. Lelaki kemayu itu memastikan tak ada kain yang tertekuk, atau kotor. Sedangkan Fjola bergeming seperti patung. Wajahnya yang cantik merengut.“Untuk apa dandan cantik-cantik? Aku hanya ingin berkeliling istana,” katanya.“Kau akan berkeliling istana dengan Barrant,” sahut Ishak yang sekarang menyugar rambut Fjola yang panjang.“Lalu, apa bedanya?”“Bedanya,” kata Ishak sembari memegang kedua bahu Fjola, “dia yang akan menyelamatkanmu dari bayang-bayang kematian di luar tembok.”Fjola mendesah. “Aku sudah bilang padamu, aku tidak mau menikah, baik dengannya atau dengan pemuda lain.”“Jangan keras kepala, Fjola.” Ishak mendorong gadis itu keluar pintu kamar. “Selamat bersenang-senang.” Ia lantas menutup pintu kamar.
Fjola merengut. Ia tengah berjalan di lorong-lorong istana yang panjang dan megah. Batu-batu pualam yang kokoh menjadi dindingnya. Sebenarnya istana Raja Veggur itu amatlah menarik, tetapi Fjola tak dapat menikmatinya. Ia terganggu dengan Aguste yang berada di antara dirinya dan Barrant. Seharusnya ini merupakan kencan mereka.“Kau ingin ke mana, Putri Fjola?” tanya Aguste sopan.“Tidak. Aku tidak ingin ke mana-mana,” jawabnya sembari memelotot kepada Barrant.Pemuda itu terkikik. “Bagaimana kalau kita berkuda.”Fjola tersenyum. “Aku idak bisa berkuda. Maukah kau mengajariku, Pangeran?” dustanya.Dengan polos, Aguste berkata, “Oh, ya? Kudengar dulu ada insiden pada acara penyambutan? Raja bilang—““Ah, tidak. Jangan mengada-ada, Aguste.” Fjola kesal karena prajurit itu tidak peka.Senyum Brrant semakin lebar. “
Fjola kembali ke kamar dengan hati mendongkol. Hari sudah gelap. Makan malam akan dilaksanakan sebentar lagi. Ishak sudah bersiap dengan gaun yang akan dikenakan Fjola nanti. Saat melihat wajah gadis itu merengut, lelaki kemayu itu bertanya, “Ada apa lagi?”Fjola mendengkus. “Kau tahu bahwa Barrant harus berkencan dengan putri yang lain?”Dengan santai, Ishak menjawab, “Memang begitu peraturannya.” Dia mengulurkan gaun baru kepada gadis itu. “Buka gaunmu. Ganti yang ini.”Fjola menerimanya dengan wajah tertekuk. Ia membuka gaunnya, berganti dengan gaun yang dibawa Ishak. Ia teringat tadi, saat pulang dari danau bersama Barrant dan Aguste. Dalam perjalanan, Fjola diam saja. Hatinya kesal karena diberitahu bahwa besok, kekasihnya menghabiskan waktunya dengan gadis lain.Fjola tahu betul bahwa itulah risiko mencintai seorang pangeran. Jika nanti dia terpilih menjadi istri Barrant,
“Menurutmu, Pangeran suka wanita yag bagaimana?” tanya Lilija mengikuti Fjola masuk ke kamarnya.“Entahlah. Seharusnya kau tanya itu ke Aguste. Dia yang lebih sering bersama Pageran,” jawab Fjola.“Benar juga. Kalau begitu, aku harus bagaimana besok?”“Jadilah dirimu sendiri,” kata Fjola lembut. “Aku yakin, Pangeran pasti menyukaimu apa adanya.”“Bagaimana kalau dia tidak suka?”“Semua orang tidak suka dengan hal yang palsu, Lilija. Percayala padaku.”Gadis berambut perak itu terdiam sejenak. Ia lantas berkata, “Kau benar.” Bibirnya tersenyum, “Terima kasih, Fjola. Sebenarnya aku tak pernah berkencan. Kenal dengan laki-laki pun tidak pernah. Aku gugup.”Fjola mencoba tersenyum, tetapi tampak tak tulus. Kemudian, ia penasaran. “Aku ingin tahu, seandainya kau dipilih menjadi istri Pa
Panji-panji bergambar ranting pohon berwarna putih dengan bintang di ujungnya dan dikelilingi lingkaran tembaga berkibar menghiasi langit yang mendung. Salju turun secara ringan dan jarang. Udara berembus dingin, tetapi orang-orang tidak peduli. Mereka berhamburan keluar dari rumah yang menjadi pelindung dalam segala cuaca. Mereka berbondong-bondong pergi ke alun-alun.Setelah sampai ke sana pun, mereka harus rela berdiri berdesak-desakkan demi bisa menyaksikan lahirnya ratu mereka kelak.Prajurit-prajurit bersiaga dengan baju zirah kebesarannya. Dengan terompet dan genderang, acara pemilihan selir istana yang kini berganti menjadi pemilihan istri pangeran pun dimulai. Sorakan dan tepukan membahana. Mereka menyambut pemilihan kali ini dengan euforia. Senyum menghiasi wajah-wajah dari para hadirin yang datang. Bahkan, untuk acara ini, mereka menggunakan baju terbagus yang ada di lemari mereka.Raja Valdimar menggunakan jubah kebesarannya. Ia menge
Kaki Fjola tak bisa tenang di dalam kereta. Ia terlalu gugup. Ia menggerak-gerakkannya naik turun sehingga mengguncang kereta. Ishak yang ada di luar, dekat pintunya pun penasaran. Ia mengetuk pintu kereta itu dan bertanya, “Ada apa?Apa yang kau lakukan di dalam?”“Tidak apa-apa. Aku hanya tegang saja,” sahut Fjola cepat-cepat. “Apakah sudah selesai? Barrant sudah memilih?”“Belum. Dia sedang bercakap dengan ayahnya.”Fjola menggigit kuku jarinya. Dalam hati ia berdoa, apa pun yang terjadi semoga menjadi jalan yang terbaik yang harus dilaluinya. Suara genderang yang kembali ditabuh terdengar. Fjola penasaran, “Sudah dipilih, kah?”“Belum.” Ishak memutar bola matanya.“Sabarlah sedikit. Pangeranmu sedang menuruni tangga. Dia akan ke sini.”“Tidak. tidak. Jangan biarkan dia ke sini!” seru Fjola panik.
Pandangan Lilija terasa kosong. Ia tak tahu perasaan apa yang berkecemuk dalam hatinya. Sedih, marah, tidak percaya, dan kecewa menjadi satu. Tetapi, yang jelas dia merasa terkhianati.Selama ini, ia memang sering dihina. Ia sering diremehkan. Ia juga sering tak diacuhkan. Terutama oleh ayahnya. Ia tidak diterima siapa pun di negerinya. Ia berharap dengan pergi ke negeri lain, ia dapat diterima. Ia dapat dihormati sebagai layaknya seorang putri. Dan, harapannya terkabul.Di sini dia merasa ada orang yang menghargainya. Dia merasa ada orang yang pada akhirnya menerimanya sebagai mana adanya. Dia merasa memiliki seorang sahabat yang mau bersusah payah melindunginya, membantunya. Namun, itu hanyalah sebentar.Kini, sahabat itu telah pergi dengan meninggalkan luka menganga di hatinya. Awalnya dia percaya bahwa Fjola merupakan orang yang Tuhan kirimkan untuk menjadi pelindung, teman, dan kakaknya. Namun, sekarang ia telah mengkhianatinya. Fjol
Malam itu Fjola dan Ylfa tidur sangat nyenyak. Udara dari api yang menyala di dalam gua membuat mereka hangat. Untuk beberapa waktu mereka terhanyut dalam mimpi indah. Mereka tak sadar akan bahaya yang rupanya tengah mengintai mereka. Bahaya itu berasal dari kelompok pemburu yang menemukan kedua rekan mereka mati. Mereka berbicara dengan bahasa yang tak seorang pun dari dalam tembok mengerti. Namun, dilihat dari raut mereka, semua orang pasi tahu bahwa ada kemarahan yang besar dalam diri para pemburu itu. Jumlah mereka hampir setengah lusin. Mereka mengendarai kuda, dengan persenjataan yang lengkap. Busur, pedang, belati, dan lai sebagainya, diikatkan dalam pelana. Memakai mantel sewarna, cokelat kayu, dengan tudung menutupi kepala membuat mereka tampak mengerikan. Salah satu pemburu itu turun dari kuda. Ia membaui sesuatu dari salju, mengikuti jejak yang sudah ditinggalkan selama sehari penuh namun tampak jelas di matanya. Ia menunjuk arah ke mana Fjola dan Ylfa pergi. Ia bahkan tah
Kaki mereka lecet ketika melihat sebuah mulut gua yang tertutup semak tak jauh dari jalan mereka. Hari sudah petang. Salju turun tambah banyak, membuat badan mereka kebas. Dada mereka sesak, rasanya seperti udara diperas habis dari paru-paru. Sendi-sendi mereka nyeri. Tubuh Elisabet semakin kaku dan dingin.“Tunggu di sini,” kata Fjola meletakkan tubuh Elisabet ke salju. Rambut pada jasadnya tertumpuk salju. Di punggungnya juga. Matanya terpejam dengan mulut mengatup. Ia bagaikan boneka porselen yang terjatuh ke kubangan.Ylfa tak membantah. Ia meletakkan rusa di dekat kakinya, kemudian berjongkok. Ia menyiagakan panahnya. Tadi, dalam perjalanan, Fjola mengajarinya cara memanah. Meski belum mengerti tentang arah angin dan sebagainya, dia pernah melihat prajurit memanah. Jadi, ia meniru mereka sebisa mungkin, meski hasilnya payah. Namun, tetap saja, ia harus berusaha mulai sekarang. Ia sadar bahwa kehidupan tak sebersahabat kemarin.
Panah mereka melesat di udara, bagaikan burung yang menukik mengincar mangsa. Fjola menyadarinya saat terakhir sehingga panah itu luput mengenai kepalanya. Sebagai ganti, beberapa helai rambutnya terpotong. Ia menunduk. Kedua gadis yang bersamanya tertegun. Mulut mereka mendadak kelu. Sendi mereka kaku untuk bergerak. “Lari!” seru Fjola menyadarkan mereka. Ia menarik lengan Elisabet yang terdekat kemudian menyeretnya supaya ikut berlari. Gaun yang panjang membuat mereka kesusahan. Mereka hanya mampu berlari dalam lima langkah sebelum ambruk. Panah melesat lagi sehingga membuat Fjola terpaksa menunduk. Ia menoleh ke belakang dan mendapati satu pemburu berlari ke arah mereka. “Bersembunyi di belakangku!” Sang pemburu mengacungkan busurnya. Ia mengankat satu kepalan tangan ke udara untuk memberi tanda kepada kawannya yang di belakang untuk tidak mendembak lagi. Langkahnya hati-hati ketika mendekati tiga orang gadis yang tengah ketakutan. “Si‘ach tiamo!” katanya dalam bahasa luar tembo
Mata Ylfa dan Elisabet terbelalak ngeri melihat panah yang tiba-tiba menancap di pohon tempat kawannya bersembunyi. Mereka tidak berani bergerak. Bahkan, sekadar menoleh pun tidak bisa. Otot-otot mereka mendadak kaku. Mata mereka melirik. Dari ekor mata, mereka melihat lelaki pemburu itu berjalan ke arah mereka, membawa panah yang diacungkan ke depan.“Apa yang harus kita lakukan?” bisik Elisabet. Jantungnya berdebar lebih kencang. Napasnya tertahan. Jemarinya mengenggam erat. Ia menahan getaran yang menggunjang tubuhnya karena takut.“Tidak tahu. Aku takut,” balas Ylfa jug berbisik.Fjola yang melihat kedua gadis itu ketakutan, memnggali salju secara diam-diam, meraih kerikil yang tertanam di sana. Tangannya kebas karena dingin. Namun, ia harus melakukannya. Ia takut lelaki pemburu itu memergoki mereka. Dari pengalaman ayahnya, para pemburu di luar tembok merumakan makhluk yang tak memiliki ampun. Mereka akan membunuh s
“Ayo, Ylfa!” seru Elisabet mengajak menyeret lengan kawannya. “Aku tidak mau!” kata Ylfa. “Katamu kau ingin melarikan diri?” tanya Elisabet membujuk. “Sudah terlambat! Aku tidak mau mati.” “Kalau kau tetap di sini, kau akan mati. Sekarang, Fjolalah satu-satunya harapan kita. Setidaknya dia membawa senjata.” “Meski kita lari, tetap saja kita akan kedinginan dan kelaparan. Akhirnya kita akan mati juga.” Elisabet menampar Ylfa dengan keras. Dadanya naik turun. Napasnya memburu. Matanya memelotot. “Dasar bodoh!” jeritnya. Ia terisak. “Aku tidak mungkin meninggalkanmu di sini. Aku mohon, ayo kita pergi.” Mata Ylfa nanar menatap Elisabet. Air matanya merebah. Bibirnya gemetar. “Aku takut, Eli. Aku takut.” “Aku juga,” Fjola menghambur ke hadapan Ylfa. “Kita semua takut. Tetapi, jangan menyerah. Kita harus bersama, mencari jalan keluar.” Setelah diam sesaat, Ylfa mengusap air matanya. Ia pun bangkit. Mereka berjalan bersama, menembus hutan mencari tempat perlindungan. Beberapa langkah
“Apa yang akan kita lakukan?” tanya Elisabet. Ia menengadah, memandang langit yang kelam. Meski belum malam, langit di luar tembok tampak suram dan mengancam. Angin dingin menerbangkan helai-helai rambutnya yang panjang.Ylfa melangkah ke sisa kereta yang patah. Ia membuka pintunya dan masuk ke sana, duduk meringkuk dengan menekuk dua kakinya ke depan. “Aku tak mau ke mana-mana.” Ia menggeleng. Air mata membasahi wajahnya.“Oh, jangan bodoh Ylfa. Kau bisa mati kalau tetap di sini.” Elisabet berjalan ke sisi pintu kereta.“Lebih baik mati kelaparan dari pada menjadi santapan entah makhluk apa yang menghuni hutan ini,” sahutnya. Bibir bawahnya bergetar. “Aku mengikutimu, Elisabet, hanya karena kau bilang jika aku membantumu mendapatkan hati raja aku akan selamat. Aku tidak akan dibuang ke sini. Kau mengenal orang yang mau menyembunyikanku. Tapi, ini apa?”Elisabet memutar bo
Mata Fjola mengerjap. Badannya kaku dan sakit. Perutnya mual. Ia tak tahu berapa lama dia pingsan, atau tertidur. Yang ia tahu hanyalah bahwa Lilija mengkhianatinya.Lantai kayu tempatnya tertidur kini berguncang. Guncangannya cukup keras sehingga membuat kepalanya terantuk beberapa kali. Fjola berusaha bangkit. Ia berada di ruangan yang sempit. Tak ada apa-apa di sana selain dirrinya. Samar-samar ia mendengar bunyi derak roda yang menggilas jalan tak rata. Fjola menduga bahwa dia bukan berada di ruangan sempit, melainkan di sebuah kereta yang tengah melaju.Meski begitu, kereta itu tak ubahnya seperti peti. Kosong, tanpa jendela. Ada pintu yang tertutup. Di depan, ada sekat untuk mengintip tempat duduk sang kusir. Sesuatu menabrak sisi kereta hingga tubuh Fjola miring sesaat, tetapi kemudian kembali tegak lagi. Dari guncangan yang dirasakannya, ia tahu kecepatan kereta itu cukup tinggi.Dengan sendi yang ngilu, Fjola berusaha bangkit, duduk de
Rupanya, itu adalah tabib yang merawat Fjola. Tabib itu sudah tua. Matanya cemerlang di antara keriput yang mengelilingi kelopak, menandakan pengetahuannya yang tidak main-main dalam bidangnya. Rambutnya yang putih disanggul kecil ke belakang. Bibirnya berkerut ketika menumbuk ramuan berwarna kuning di lesung kecil di atas meja. Dengan tangan keriput dia meracik sebuah ramuan. Gerakannya begitu luwes ketika mengganti kain pembebat lengan pasiennya yang terluka. Darah Fjola sudah berhenti keluar. Lukanya pun sudah membaik. Tidak ada peradangan, maupun bengkak. Bahkan kulitnya pun sudah menutup.“Apa ada orang lain yang mengikutimu ke sini?” tanya Lilija khawatir.“Tenang saja, Nona. Saya tahu harus berbuat apa,” jawab tabib itu tanpa menoleh ke arah Lilija.“Apa kau dari istana?” Melihat cara tabib itu mengobatinya membuat Fjola penasaran.“Dulu, sayalah yang merawat Ratu,” jawabnya si
Dengan menarik gaunnya hingga ke lutut, Lilija berlari. Di belakangnya ada Fjola yang mengikuti. “Cepat, cepat!” serunya berbelok dari gang. Ia menuntun Fjola ke jalan. Orang-orang masih ramai memadati alun-alun. Ia menyibak kerumunan. Ia menoleh ke belakang sebentar, memastikan bahwa Fjola masih mengikutinya.“Ke kereta yang itu!” serunya sembari menunjuk kereta di ujung jalan. “Masuklah ke sana dan tunggu aku. Aku akan menghalangi para prajurit itu.”Fjola bergegas ke arah kereta yang ditunjuk oleh Lilija sementara gadis itu memungut kayu dan bersembunyi di tikungan Dia menunggu kedua prajurit yang mengejar mereka lewat. Pada saat yang tepat, ia berhasil mengayunkan kayu itu tepat di kepala mereka hingga terjengkang. Bergegas, ia berlari menyusul Fjola.Prajurit lain yang melihat tahu arah yang dituju buronannya adalah kereta. Mereka bergegas melaju ke sana. Sementara itu sang kusir bersiap melecutkan kekang untu