“Bos!”
Sebuah suara kalah oleh hingar dentuman musik begitu melenakan . Tangan pria itu menarik lengan Langit sejenak saat melepaskan ciuman ke Dara. Lampu temaram menyamarkan semuanya.
“Hei.” Dara ingin protes tapi pria itu terus merangkul dan menyeret Langit keluar dengan cepat.
“Tak perlu ganggu sahabatku lagi, Dara, ingat itu!” katanya sengit.
“Tak perlu kau urusi Langit, dia milikku,” sahutnya manja.
“Huh!”
Dara hanya tersenyum sinis, ingin mengikuti Langit, tapi Dara terhalang oleh seorang lelaki yang langsung mendekat dan meraih pinggang dengan bodi bak gitar Spanyol itu menempel di tubuhnya.
“Bersamaku saja, Honey,” kata si pria lembut, membuat Dara kehilangan jejak Langit. Dalam gerakan cepat pria itu melumat bibir Dara, menyesapnya keras, tubuhnya bergeser, melihat pria yang menyeret Langit dengan kedipan mata. Setelah itu kembali men
“Mau kemana?” Adit tergopoh mengikuti Langit.“Tempat Bumi!” sahut Langit dingin bergegas mengenakan helm yang tersemat di atas KLX yang baru saja tiba diantar pekerjanya. Tubuhnya bergerak cepat dan siap di atas KLX.“Aku ikut,” sambar Adit melotot. “Kenapa ribet gini sih, Bos? Biasanya Bos tenang.”Langit menoleh, menggeleng.“Selama urusannya sama Bumi aku nggak bakal tenang.”“Tunggu sik Bos, aku ganti baju sebentar,” sahut Adit yang memang hanya mengenakan celana kolor dan kaos.“Ini urusanku, kau di rumah saja. Stand by, sewaktu-waktu aku butuh bantuanmu.”Tanpa menunggu jawaban Adit yang masih bengong, lelaki tampan dengan rahang keras itu melajukan penuh KLX keluar pintu gerbang.“Bos, Bos!”Adit berteriak keluar dari teras.“Hei, tunggu, Bos!” Ad
“Kau baik saja?” Tanya Langit khawatir berjongkok persis di samping Bumi, setelah mendirikan motor jadul Bumi. Meskipun jalanan sepi, tetap dibantunya Bumi berdiri dan memapah ke pinggir jalan. Didudukannya di bebatuan, Bumi menurut saja. Tubuhnya masih gemetaran hebat. Untung tidak masuk selokan. Di samping jalan itu ada selokan lumayan tinggi. Kalau sampai masuk ke sana, duh, tak bisa membayangkan.“Mana yang sakit?” tanya Langit melihat tubuh Bumi dari atas sampai bawah. “Tanganmu?” dipegangnya tangan Bumi.“Nggak pa pa.”“Kaki?” Langit berjongkok memandang kaki Bumi. Diangkatnya kain pantai yang dikenakan gadis eksotis itu. Sedikit memar di pergelangan kaki, lecet sedikit. Pelan, dipegang lalu digerakkan.“Aw...!” Bumi menjerit pelan.“Sakit?” tanya Langit menengadahkan wajah.“I... i... ya, aw
Selamat membaca, jangan lupa tap love, kasih bintang dan follow @elangayu22“Mas....”“Keras lagi, Bumi.”“Ah...,” gadis eksotis itu tak mampu lagi hanya diam dan menikmati. Ia memejamkan mata, mulai merespon perlakuan lembut Langit. Dengan cepat, diloloskannya handuk seputih susu itu dari tubuh semampai dan eksotis milik Bumi. Hanya beberapa saat, karena Bumi segera menarik kembali handuk tersebut menutup tubuh. Tubuhnya bergeser, menghindari pelukan Langit yang mengencang.“Mas...,” mata Bumi terbuka, menatap Langit penuh kabut. Gerakan tiba-tiba Bumi menghentikan aktivitas Langit.“Bagaimana kalau kita lanjutkan, Bumi? Kewarasanku sudah hilang dari tadi,” kembali didekatinya Bumi, menyambar bibir ranum di hadapannya penuh gai***. Tubuh eksotis itu benar-benar mengunci seluruh persendian. Demikian pula dengan Bumi, ia hanya melilitkan handuk se
Menarik diri dari Langit, Bumi merengganggkan pelukan lelaki tampan itu.“Nggak,” tolaknya cepat.“Semakin kau menjauh handukku bisa lepas, sengaja?”“Apa?”Langit menatap raut muka Bumi dengan mata horor ke bawah. Tampak cuek dan tetap mengeratkan pelukannya.Beda dengan Bumi, mendengar kalimat Langit, membuatnya berpikir kotor. Benar saja, semakin ia merenggangkan diri dari pelukan Langit, lilitan handuk yang telah terlepas itu bakalan lolos ke lantai apabila ia menjauh. Handuk masih di tempatnya dengan bagian yang tinggal limit karena tubuhnya dan tubuh Langit menyatu di pinggang ke bawah. Tonjolan yang begitu dirasakannya, dan hal lain yang mendadak muncul begitu saja berseliweran mengganggu keremangan yang tadi sudah lenyap. Langit selalu mampu menghidupkan gai*** yang ia tahan setengah mati.“Sengaja ingin melihatku polos, hmmm?” tanya Langit makin tak
“Terus Bumi, lebih cepat.”Masih memejamkan mata, Langit makin menyesap leher jenjang Bumi mendalam, hangatnya air kolam menyatukan keduanya. Rasa nikmat menghinggapi Bumi, ia rasakan tonjolan keras dalam genggamannya mampu mendirikan keremangan tersendiri. Bagaimana kalau memasuki area intimnya? Hah? Segera dihempaskannya pikiran kotor itu jauh-jauh, tapi tetap tak mampu menolak kenyataan.Apakah ia sudah berpikiran bodoh? Hanya beberapa saat, setelah Bumi membuka mata dan menatap Langit dengan mata berkabut. Rasa nyeri itu muncul begitu saja, gadis manis itu menghentikan gerakannya. Di depannya, Langit menatap Bumi penuh hasrat.“Bumi, tak bisakah kita....”“Kakiku nyeri.”Semua menjadi terhenti, Langit menghela nafasnya dalam-dalam. Mungkin ia bakal melepaskannya sendiri kalau dari tadi adanya adalah tanggung terus. Rasa nyeri juga ia rasakan di bawah. Bagaimana tidak dengan
“Ga!” desah Bumi, lirih, memundurkan tubuh.Lelaki jangkung di hadapannya itu tersentak, wajah keduanya benar-benar tanpa jeda. Saling menetralisir hati, menghilangkan kecanggungan yang muncul tanpa disadari.“Apa-apaan kau Raga!”Sebuah suara mengagetkan Raga, juga Bumi, mereka menoleh ke asal suara.“Mas!” suara Bumi tertahan.“Langit!” Raga segera melepaskan rangkulannya, demikian juga Bumi. Keduanya terlihat aneh.“Bumi,” suara Langit penuh tekanan, menatap tajam keduanya bergantian. Langkah ditujukan untuk Raga, segera menarik Raga menjauh dari Bumi. Bumi terdiam.“Masih punya nyali ke sini?” tanya Langit ketus, matanya nyalang menatap keseluruhan tubuh lelaki di hadapan sinis.“Nggak ada yang bisa melarangku ke sini!” tuka Raga tak kalah ketus.“Ada, aku!&
“Dear,” desahan Dara makin menggeramkan Langit yang masih bergeming.Makin maju ke depan, bibir seksi itu mendekati bibir sang Langit yang segera memundurkan wajah.“Tak bisakah kau duduk dengan manis, Dara?” Geraman pertanyaan Langit sontak membuat Dara terbahak.“Seperti ini?” Segera Dara naik ke pangkuan Langit, dengan kaki mengapit kanan dan kiri tubuh Langit. Semakin jelas geraman lelaki tampan itu bagi Dara, semakin ia mengerahkan segala cara untuk menakhlukkan. Kedua tangan Langit dipaksanya memeluk pinggang ramping wanita berbodi gitar Spanyol tersebut.Dengan gerakan cepat, bibir Dara menyambar bibir Langit penuh nafsu. Langit semakin menggeram, sungguh ia berusaha mati-matian menolak semua kenikmatan yang tersaji tanpa batas ini.“Hei, tak bisakah kita kayak dulu lagi, Dear?” tanya Dara di sela ciuman tanpa balasan dari Langit tersebut. “
“Ah...,” tak kuasa, lolos juga lenguhan lelaki tampan itu.Di depannya, netra Bumi terus terpejam. Langit tak kuasa untuk menyentuh setiap inci tubuh eksotis itu dengan nafas makin memburu. Tangan Bumi kembali ke atas, mengalungkannya ke leher lelaki di depannya.“Bumi,” desahnya dengan tangan terus meremas gunung kembar gadis madu di hadapannya. Disentuhnya setiap inci leher jenjang milik Bumi menjadi sasaran yang makin membutakan akal kewarasannya.“Ah....”“Sebut namaku, Bumi.”“Mas....”Kali ini gantian bibir lelaki tampan itu melumat pucuk coklat nan menggoda. Digigitnya, disesapnya dan memberikan tanda di sana. Tangan yang satunya tak tinggal diam, terus meremas dengan sentuhan lembut. Kadang sedikit kasar, memutarnya, menekan.Setelah puas, gantian yang sebelahnya. Sentuhan itu menciptakan rasa aneh, ditambah kenikmatan tanpa batas. Bumi makin memej
“Lagi hmmm?” tanya Langit dengan suaranya yang masih parau di telinga Bumi. “Mau?” tanya Bumi menggoda dan melirik Langit yang memeluk tubuh polosnya erat. Tanpa banyak kata, Langit mengecup bibir eksotis itu dalam-dalam lalu melepasnya sekejap. “Nggak capek?” Bumi terdiam, meraba lembut bibir Langit dan memandangnya penuh kasih. “Hmmm, aku lapar,” sahut Bumi tak menjawab pertanyaan Langit. Mendengarnya, Langit terkekeh, lalu mengecup kening Bumi dan keluar dari selimut yang menyelubungi mereka berdua.
“Mas,” pekik Bumi kaget mendadak diangkat Langit. Langit terkekeh, lalu menempelkan hidung bangirnya ke hidung Bumi dengan sedikit menunduk. Digerakkannya perlahan dan cewek eksotis tersebut kegelian, ia mengelakkan wajahnya agak ke belakang. “Nggak berat?” tanya Bumi mengeratkan rangkulannya ke leher lelaki di hadapannya. “Berat? Segini aja?” “Segini kata Mas Langit?” sahut Bumi melotot. “Haha,” Langit terbahak. Cepat, dibawanya gadis itu masuk ke dalam, melewati dapur, dan menuju ruang tengah. Masih menggendong Bumi, Langit duduk di sofa. Sekarang, Bumi berad
“Apa yang kau lakukan?” tanya lelaki itu masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya, terlihat Dara masih dengan baju tak karuan di atas pangkuan Langit. Roknya tersingkap ke atas, asetnya masih terlihat jelas dengan warna merah hati di bagian dalam. Mulut Dara melongo, ia sama sekali tak menduga lelaki itu akan ke sini, ke tempatnya Langit. Secepat kilat, Langit melepaskan diri dari lengan Dara, ia berdiri sehingga mau tidak mau Dara turun dari pangkuan. Dara membetulkan letak roknya, kemudian kemeja yang sudah hampir memperlihatkan gunung kembar itu secara keseluruhan. Mata Langit menatap Dara tak habis pikir, lalu ke lelaki yang masih berdiri mematung. Ia menahan kemarahannya, tapi lebih dari itu, melihat ke Langit tak percaya. Begitu juga dengan Langit, menatap lelaki di hadapannya masih tak percaya.
Bab 60Sang Penggoda “Mas...,” desahan demi desahan keluar dari bibir mungil gadis manis itu. Tanpa disadari, ia menekan kepala Langit yang tengah mencium lembut aset yang dicandui Langit itu. Tangan Langit mulai bergerilya, wajahnya mendongak menatap mata Bumi yang penuh kabut. Dilepaskannya kancing kemeja teratas, lalu kancing kedua. Dari situ saja, sudah terlihat aset memikat yang masih tertutup b** warna merah. Tangan Langit menekan ujungnya, menatap lembut mata Bumi yang terpejam. “Aku ingin memilikimu, Bumi, seutuhnya,” desis Langit lirih, sangat lirih. Namun, Bumi mampu mendengarnya, membuka mata, dan menggigit bibir bawahnya pelan. Pemandangan yang mampu meluluhkan kewarasan Lang
Pagi masih berkabut, Langit dan Bumi berjalan di jalan setapak dengan kanan dan kiri tumbuhan pinus menjulang. Terkadang, mereka melewati kebun mawar yang makin ke atas makin menipis dan tersisa hanya pinus dengan aroma khasnya. “Nah, itu tempatnya, Mas,” seru Bumi kegirangan melihat ke sebelah kiri. Ada tempat landai dengan bagian atas tanaman pinus. Tapi di depannya terlihat seperti jurang menganga. Langit hanya tersenyum, ia ikuti arah jalan Bumi yang tak sabar sampai di tempat tersebut. Ada batu besar di sana, Bumi segera duduk dan merenggangkan kedua tangan ke atas. “Huh, capeknya,” serunya dengan memutar pandangan ke seluruh area berhawa sejuk itu. Belakangnya pinus rimbun menghijau dan depannya jurang, sejauh mata memandang terlihat r
“Mati lampu,” bisik Bumi. Byar! Langit menyalakan senter ponsel bersamaa hujan deras mengguyur bumi. “Ada lampu emergency?” tanya Langit menyapu seluruh ruangan. Hanya gelengan kepala dari Bumi. “Aku jarang ke sini.” “Lha ini ke sini.” “Hmmm....” Meskipun senter Langit membantu penerangan, tetap saja kurang maksimal. Beranjak dari sofa, Bumi menuju ke dalam.&nb
Tok tok tok... “Bumi, aku...” Tok tok tok. “Ga, ma... maaf,” kata Bumi menarik tubuh dari pelukan Raga. Mundur ke belakang, menyisakan tatapan Raga yang masih tetap penuh kabut. “Bumi, aku masih menginginkanmu,” ujar Raga mengabaikan kalimat yang keluar dari mulut Bumi. Tok rok tok. “Bentar Ga, ada yang ketuk pintu,” kata Bumi lagi lalu meminggirkan tubuhnya dari hadapan Raga yang terus menatapnya intens. Ia membungkukkan badan, menyambar kemeja dan memakainya dengan tergesa tanpa mengancingkan kanci
Menghela nafas dalam-dalam, Bumi memandang ke depan. Tak boleh terpengaruh Dara, tak boleh! “Minggir Dara, aku mau pergi.” “Aku nggak akan pergi sebelum kau janji tak akan mengganggu Langit!” Mengedikkan bahu, Bumi tersenyum tipis. “Maumu apa?” “Mauku, aku nggak mau lihat kamu ganggu Langit,” ucap Dara dengan tekanan penuh, telunjuknya menunjuk wajah Bumi dengan pongah. “Ganggu? Nggak salah denger aku?” Tanya Bumi melirik Dara yang masih berada di samping mobilnya.&nbs
Dara melengos.“Aku nggak ada urusan sama kamu!” katanya sombong.Mendengar jawaban Dara yang tak mengenakkan hati, muka Adit berubah.“Eh apa kau bilang?”“Aku nggak ada urusan sama kamu!” seru Dara dengan tangan bertolak pinggang.Mengabaikan kata-kata Dara, Adit bergegas melewati dengan sengaja menyenggol bahunya. Kelakuan yang membuat Dara naik pitam.“Apaan, sih?”“Nggak apa-apa, aku cuma ngak mau Bos tambah sakit dengan kedatanganmu!”“Huh, siapa bilang?”“Aku!”Dara menatap Adit dengan mata membola.“Denger, ya, bilang ke bosmu, aku akan mendapatkannya!” kata Dara bernada serius. Tanpa menunggu jawaban Adit, Dara menghentakkan kaki untuk menunjukkan kemarahannya lalu berjalan cepat. Melewati ruang tengah, ruang tamu dan keluar rumah.Melihat itu, Adit hanya menggelengkan kepala beberapa kali.