"Eh, beneran?" wajah Seruni berbinar, dia senang Aji sudah mengetahui tentang kehamilannya.Arya mengangguk, tersenyum menutupi rasa cemburu yang diam-diam datang."Iya, Sayang.""Terus, Aji senang kan bakalan jadi paman?"Arya melihat Seruni sekilas, melihat binar bahagia di wajah itu, rasa cemburu Arya jelas tak beralasan. Ternyata Seruni merasa senang Aji tahu kondisinya sekarang."Ya tentu saja Aji senang. Dia juga titip salam buat kamu dan calon anak kita. Jaga baik-baik, katanya." Arya merasa bersalah karena tidak menyampaikan salam Aji waktu itu. Lupa tepatnya."Dih, Aji titip salam tapi nggak disampaikan. Dosa, loh.""Lupa, Sayang. Lagi pula waktu itu sudah malam, kamu sudah tidur." Bibir Seruni mengerucut kesal. Mengusap perutnya, Seruni berkata pada si jabang bayi."Kamu denger, Sayang? Ada salam dari paman Aji, tapi ayah lupa bilang. Hmm, pelupa ternyata ayah kamu itu." Seruni mengganti kata tua untuk sikap pelupa Arya, dia takut Arya tersinggung tepatnya. "Maaf.""Emm, p
"Gimana kehamilannya, Runi? Ngidam apa?" tanya Cahaya begitu Dhaka sudah menyusu. Seruni tampak berpikir, lalu menggeleng menjawab pertanyaan Cahaya. "Nggak ngidam apa-apa, Teh. Atau belum?" "Belum mungkin. Berepa minggu, sih?" "Enam minggu." "Belum itu. Kalau pagi-pagi mabok nggak?" "Alhamdulillah nggak, Teh." "Wah, asyik, dong. Aku waktu hamil Danu mabok. Mana lagi di Korea. Tiap pagi muntah." Seruni merasa tertarik dengan cerita Cahaya, dia memang tidak mengetahui pasti tentang kisah cinta Raja dan Cahaya, selain cerita kalau mereka bertemu di Korea. "Terus, Teh?" "Ya, seperti itu. Aku sendiri nggak nyangka kalau lagi hamil, waktu itu kan sebulan setelah kepulangan papanya Danu ke Indonesia. Aku mual muntah terus tiap pagi, lalu diajak periksa sama atasan aku di sana. Eh, ternyata lagi hamil. Kaget banget. Tapi lebih keseneng, meski bingung juga hamil tanpa suami bareng, mana di negeri orang lagi." Cahaya menerawang jauh. Mengingat saat yang sudah terlewat bertahun lamany
Beralih ke halaman belakang, Danu yang sudah mandi tampaknya harus mandi ulang nanti, karena saat ini dia tengah asyik bermain air bersama Robi. Raja memang sengaja tidak melarang, dia biarkan anaknya puas menikmati masa kecilnya. Urusan Cahaya marah? Dia tahu cara menenangkan ibu kedua anaknya itu nanti.Dan benar saja, saat Cahaya melihat itu, panggilan sayang untuk Raja menyapa disertai tatapan tajam istrinya. Raja hanya tertawa tanpa dosa, sedang Tirta dan Denni menunggu kata apa yang akan diberikan Raja, untuk alasan pada istrinya."Pa, Danu udah mandi loh, itu!""Nanti aku mandikan lagi, Sayang. Bareng sama aku habis selesai ini." Raja mengangkat tangannya yang kini sedang menusuk potongan daging kambing untuk membuat sate nanti malam."Mama!" seru Danu tanpa dosa.Cahaya menghela napas pasrah, kedua lelakinya sudah bertindak semaunya.*****Acara tak berlangsung sesuai rencana, dari selepas magrib, hujan turun membuat mereka hanya bisa pasrah. Acara pun berganti dengan membakar
Dan wajah lain tampil di layar. Seruni merasa kaget saat melihat wajah Aji bergabung kemudian."Aji!""Wah, lagi pada kumpul, ya?" Seru Aji menatap satu persatu wajah-wajah yang dikenalinya di layar. "Ada orang Turki!""Musim dingin di Turki ini. Sini yang mau lihat salju.""Syena mau ke Turki, Om Aji.""Sini, Enna. Dingin di sini.""Aji apa kabar, Nak?" Sukma menatap penuh rindu pada Aji. Sukma merasa senang anaknya itu terlihat baik-baik saja di sana."Alhamdulillah sehat, Bu. Dalam rangka apa ini ngumpul?""Liburan saja, Ji.""Eh, itu siapa yang di dekat a Arya?" tanya Aji setelah satu persatu yang terlihat di layar dia lihat. "Seruni? Masa nggak kenal?""Ih, bukan. Masa sama Teh Runi nggak kenal itu, yang duduk di bawah sama laki-laki.""Oh, itu adik kembar Seruni. Rara dan Robi," jelas Raja. "Wah, udah gede, ya?" "Dikasih makan, Ji!" suara tawa terdengar. Begitu juga dengan Aji yang langsung terbahak. "Cantik lagi, Ji." Rara yang disebut namanya tersipu, menyembunyikan waja
Seruni berkutat dengan buku yang menumpuk di depannya. Malas. Itu yang Seruni rasakan. Tapi dia harus menghapal mulai dari sekarang, untuk persiapan ujiannya nanti. Arya masuk dengan membawa segelas susu dan makanan pendamping. Jarum jam menunjuk di angka setengah sembilan malam, mata Seruni pun sudah mulai terasa berat. Namun deretan huruf masih menunggunya untuk dibaca, pahami, dan simpan dalam memorinya. Beberapa kali menguap, Seruni yakin percuma dia berusaha menahan kantuk karena pelajaran coba dia hapal, seakan mental tak mau tinggal. Sungguh menyebalkan. "Minum susu dulu," kata Arya menyimpan gelas di dekat buku. "Huwaa, pelajarannya nggak ada yang nyangkut di otak." Seruni mendengus kesal. "Sabar, Sayang. Jangan dibuat stres. Ingat bayi kita." Arya mengusap rambut Seruni, merunduk memberikan kecupan di puncak kepalanya. "Pengen cepat lulus!" rengek Seruni manja, memeluk pinggang Arya menyandarkan kepalanya di perut. "Kalau itu masih lama. Sabar, ya? Sekarang minum susuny
Satu persatu berhamburan keluar dari ruangan yang mengurungnya beberapa jam berlalu. Semua merasakan sukacita karena berhasil melewati ujian dengan baik. Tinggal menunggu hasil dari kerja keras mereka, selama setahun lamanya. Seruni menepikan diri menghindari mahasiswa lain yang tergesa, beberapa orang menyapanya sekilas, dibalas Seruni dengan senyuman juga lambaian tangan. Seruni tak menyangka akhir dari perjuangannya sudah terlewat tadi. Meski dia tidak begitu yakin nilai yang akan didapatnya akan tinggi, setidaknya Seruni sudah menjawab dengan kemampuan maksimalnya. Maya mendekat ruangan mereka memang terpisah saat ujian, dan sekarang Seruni menjemput Maya ke ruangannya. "Alhamdulillah. Selesai juga, Runi." Maya tersenyum lebar. "Iya, May. Alhamdulillah. Mudah-mudahan nilainya bagus." "Aamiin." "Maya, Runi, kalian mau ikut nggak?" Didi mendekat bersama Rizal. "Kemana?" tanya Maya pada kekasihnya. "Jalan ngerayain selesainya ujian," kata Didi menjelaskan, meski dia yakin Ser
Setelah keputusan Seruni mengajukan cuti kuliah dan membuka statusnya yang sebenarnya, Sukma berniat mengadakan resepsi pernikahan Arya - Seruni. Persiapan terus dikebut karena ibu dari Aji dan Arya itu sudah sangat tidak sabar untuk membuka siapa Seruni untuk keluarganya. Seruni dan Arya pun sudah menempati rumah mereka pribadi, tak ada lagi alasan untuk mereka tidak tinggal di sana, sebagian besar warga desa dan tetangga rumah Arya, sudah mengetahui kebenaran pernikahan keduanya.Tanggal sudah ditentukan, undangan sudah siap disebar, segala hal untuk perhelatan resepsi sudah selesai. Dengan kuasa dan uang, semua bisa diatasi meski mendadak acara tersebut diusulkan.Seruni bak calon ratu yang dimanja ibu suri, semua kebutuhan dan keinginannya dipenuhi, hanya diizinkan memantau tanpa harus melakukan apapun. Meski kadang Seruni bosan hanya dengan duduk diam, tapi alasan menjaga sang calon penerus keturunan, Sukma meminta Seruni mengikuti perintahnya.Saudara dan kerabat diminta datan
Hari yang dinanti tiba. Kemeriahan acara begitu terasa. Semua anggota keluarga memakai baju yang sama. Tersenyum penuh suka cita, menyambut para tamu yang datang silih berganti. Lokasi acara yang sengaja memakai lahan kosong milik Tirta, disulap sedemikian rupa oleh tangan-tangan ahli di bidangnya. Sebuah layar besar terpasang, menampilkan video acara akad nikah Seruni dan Arya setahun lalu. Hingga semua yang datang, tidak perlu ragu lagi dengan tulisan yang tertera dalam kartu undangan, kalau mereka sudah dipersatukan jauh hari sebelumnya. Raja dan Ratu sehari itu tak henti melemparkan senyuman, dengan perut membuncit yang bisa dengan jelas dilihat para tamu undangan, ucapan selamat pun bertambah katanya, dengan doa untuk kelancaran persalinan nanti. Seruni tampil memukau setiap mata yang memandang. Jilbab yang menutupi rambutnya, berhias mahkota kecil yang bertengger cantik di sana. Bahkan Arya sendiri, tak bisa melepas pandang saat melihat pertama kali penampilan istrinya. "Can
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"