Rara menatap pantulan dirinya yang menggunakan kebaya putih gading dengan roncean bunga melati, dan siger yang sudah terpasang dengan cantik di kepalanya yang tertutup kerudung. Ini impian pernikahannya dulu, saat melihat betapa cantiknya pengantin dengan pakaian adat daerahnya. Seruni dan Lastri yang ada di kamar bersama Rara, turut mengagumi kecantikan putri bungsu dari Lastri dan Soleh tersebut. Meski sudah akad nikah, tapi ketegangan menunggu Lee yang akan datang bersama rombongan keluarga Subrata, membuat perut Rara kembali terasa mulas. Robi datang menggunakan beskap lengkap dengan blankon juga keris yang terselip di pinggangnya, sepintas terlihat seperti Robi-lah pengantin lelakinya kalau bukan warna bajunya yang membedakan. Lastri menatap kagum ketiga putra-putrinya, rasa syukur terus dia haturkan pada Sang Pemilik Alam, telah diberikan anak-anak yang mempunyai kerupawanan rupa, keelokan budi, juga kecerdasan ilmu. Memeluk si bungsu yang tingginya bahkan paling menjulang, S
Satu persatu prosesi pernikahan dilaksanakan, Lee disertai canda tawa mengikuti semuanya. Huap lingkung, Nincak endog, Pabedol bakakak, dan yang lainnya, membuat suasana semakin riuh oleh gelak tawa. Para tamu undangan dipersilahkan menikmati semua jamuan yang ada, anak-anak sudah Aruna kumpulkan agar saat saweran nanti, mereka siap di tempat yang sudah disediakan. Meski tak semewah pernikahan Seruni dan Arya, atau Aji dan Aylin karena yang punya hajatan adalah orang penting di desa tersebut, resepsi pernikahan Rara dan Lee pun tak pelak manarik perhatian dari warga desa, umumnya mereka datang selain sebagai tamu undangan, juga ingin melihat orang-orang asing yang menjadi keluarga pengantin lelakinya. "Selamat ya, Rara, Lee," ucap Denni yang kini menyalami Rara dan Lee. "Semoga menjadi keluarga sakinah, mawwadah, warrohmah. Selalu bahagia dan cepat diberi momongan," doanya menepuk pundak Lee yang mengangguk sopan. "Terima kasih, Bapak. Terima kasih sudah menyempatkan waktunya untu
"Panggilan untuk Teteh Zahra. Teteh Zahra dipanggil oleh Raden Arya untuk segera membawa Aruna ke panggung pelaminan." suara panggilan dari pengatur acara menjeda pak RT yang akan menjelaskan maksud kedatangannya menemui Zahra.Mereka menoleh ke arah pelaminan, di mana saat ini sesi photo pengantin dengan keluarga sedang berlangsung. "Sekali lagi untuk Teteh Zahra, diminta untuk segera mendekat ke pelaminan. Ditunggu oleh Raden Arya untuk diphoto bersama. Yang mana ya Teteh Zahra itu?" lagi suara lelaki dengan tuksedo biru tua dan dasi putih itu terdengar, Zahra pun segera mengangkat tangan agar lelaki yang sedang mengedarkan pandangan mencari keberadaannya, berhenti menyebut namanya lewat pengeras suara. "Oh, itu rupanya. Cantik, ya?! Mangga, Teteh, ditunggu di pelaminan untuk di photo keluarga," tambahnya dengan pujian yang lalu dia sesalkan, saat melihat sosok Ji Hun turut berdiri begitu Zahra beranjak dari duduknya. "Ah, rupanya ini juga pasangannya oppa Korea ternyata. Maaf ya
Keesokan harinya, Robi membantu Soleh dan Lee membereskan sisa hajatan kemarin di pekarangan, merapikan lagi pot-pot bunga kembali ke tempatnya, sedang Rara dan Lastri menyiapkan makanan untuk para lelaki yang sejak pagi mulai terang, sudah bekerja sama membersihkan pekarangan depan, kemudian berpindah ke bagian belakang rumah yang sama memerlukan perhatian.Peluh mengucur dari kening Lee, kulit putihnya memerah tertimpa sinar Matahariku yang perlahan meninggi. Kaos tanpa lengan yang dipakainya sudah basah, begitu juga rambutnya yang terlihat lepek. Robi terkekeh melihat penampilan suami kembarannya itu, muka Lee terlihat matang dengan basah simbahan keringat."Istirahat, Lee! Muka kamu sudah merah gitu, bentar lagi kulit putihmu jadi hitam itu," kekeh Robi menertawakan.Lee menegakkan badan, menghalau sinar matahari yang menyilaukan mata."Capek juga, ya?" keluhnya sambil mengusap kening."Biasa di depan meja, pegang pulpen. Ini sekarang malah bantuan kerja berat, ya iya capek." Roby
Ji Hun teringat dengan kedatangan pak RT kemarin di pesta pernikahan Rara-Lee, dan sampai saat ini dia belum mengetahui apa tujuan dari pak RT datang menemui Zahra, dia yakin kedatangan lelaki itu bukan sekedar ingin menghadiri pesta tersebut, terlihat dari gestur tidak nyaman saat berbicara dengan Zahra. Tak ingin meninggalkan Zahra dengan masalah lain sebelum dia kembali ke Korea, Ji Hun mengambil ponselnya dan berjalan ke luar rumah agar bisa lebih leluasa menelpon Zahra. Namun sadar kalau Zahra bertugas mengasuh Aruna, dia tentu harus menanyakan sedang apa gadis itu sekarang. Mengirim pesan adalah pilihannya, sebelum dia menelponnya. Ji Hun [Pagi, Angel. Apa kamu sedang sibuk?] Ji Hun menyimpan lagi ponselnya, di pekarangan rumah dia memperhatikan Bara yang sedang menyiangi rumput, andai tidak terkendala bahasa, dia ingin bercakap-cakap dengan lelaki yang setia menemani selama mereka ada di negara ini. Merasa diperhatikan, Bara menoleh dan mengangguk sopan saat melihat Ji Hu
Gadis kecil itu merengut kecewa, sampai malam beranjak, tamu yang ditunggunya tiada menampakkan muka, bahkan nomor ponselnya pun langsung tidak bisa dihubungi. Meski ada pesan yang dikirimkan yang mengabarkan, kalau pertemuan mereka ditunda sampai waktu yang tidak bisa ditentukan.Biana menatap iba, Nida terlihat murung karena Robi seakan menghidar bertemu mereka. Namun dia coba paham, mungkin Robi memang terlalu sibuk sekarang."Om Robi bohong," lirih Nida, menatap photo profil Robi yang menampakkan wajahnya dari samping."Bukan bohong, mungkin memang sedang sibuk. Nida harus paham dong," bujuk Biana mengusap rambut Nida, gadis kecil itu mencebik."Tapi tadi siang kan bilang bisa, Bunda," sanggah Nida atas pernyataan Biana."Bisa saja kan ada kepentingan mendadak?"Nida menghela napas cepat. "Iya. Orang dewasa memang suka ada kepentingan mendadak. Aneh," gerutunya melangkah masuk ke kamar, mengabaikannya Biana yang menggeleng melihat tingkahnya.Biana[Iya, A Robi, Nida paham, kok. S
Mereka berkumpul di rumah Tirta, saat perpisahan semakin dekat, nenek Han mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan keluarga Tirta pada mereka, pada Aji dan Aylin yang sudah mengizinkan rumahnya ditempati selama mereka tinggal di Indonesia. Paman Lee membuka koper yang isinya enam buah tas bermerek terkenal juga jam tangan mewah, untuk diberikan pada para orang-orang baik yang sudah sudi direpotkan olehnya dan keluarga. Sengaja melebihkan jumlahnya, menjaga kalau ternyata ada yang terlewatkan. "Ibu Sukma, Aa Arya, Aa Aji. Ini adalah hadiah tidak seberapa dari kami, mohon diterima. Kami tidak bisa membalas semua kebaikan anda sekeluarga. Hanya kami dengan kerendahan hati, mengundang anda semua pada resepsi pernikahan Rara dan Lee bulan depan," ujar paman Lee yang diartikan oleh Min Ra. Lee mengangguk puas dengan apa yang diberikan oleh keluarganya sebagai hadiah pada keluarga Subrata itu. "Rara, tolong berikan hadiah itu pada mereka," titah nenek Han pada cucu menantunya, Lee men
Negeri asing. Hawa dingin menyelusup, meski tinggal di daerah bersuhu dingin, jelas ini berbeda dengan cuaca di tempatnya dilahirkan dan tumbuh besar. Hembusan napasnya mengepulkan uap, tangannya berbalut kaos tangan untuk mengurangi gigil yang menusuk tulang. Rara tersenyum, dia sangat bersyukur bisa menjamah negeri ini, dua hari sudah dia menjejakan kaki di atas tanahnya, bernaung di bawah biru langitnya, langit yang saat ini sedang tidak secercah negara asalnya, cenderung mendung dengan semilir angin dingin yang berhembus.Lee membuktikan omongannya, sehari dua malam suaminya itu mengurungnya dalam kamar, menghabiskan waktu hanya dengan terus mencecap manis madu pernikahan, andai hari ini dia tidak melayangkan protes ingin menikmati indahnya pulau yang sedang didatangi, pasti Lee masih membuatnya mendesah terus-terusan.Sementara keluarganya turun di Seoul waktu itu, Lee dan Rara langsung melanjutkan perjalanan ke pulau Jeju untuk berbulan madu. Nenek Han sempat menggoda sepasang p
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"