Lee terbengong melihat ada hampir tiga puluhan anak-anak yang sudah menunggunya, entah dari mana Aruna bisa mengumpulkan banyak anak-anak dalam waktu yang cepat. "Ini Aruna dapat dari mana teman-temannya? Banyak sekali," ujar Lee melihat pada Aruna yang digendongnya. "Kan tadi Aruna minta mereka yang kasih tahu yang lain," jawab Aruna jujur. Arya, Seruni, Soleh, Lastri, dan Robi, juga ikut terkejut saat melihat banyak anak-anak di pekarangan rumah. "Lee, emang udah siap koin sama permennya?" tanya Arya mendekat pada iparnya. "Belum, maksud aku nanti Aruna bagikan saja uangnya seperti Aa waktu itu," kekeh Lee terlihat bingung. "Hmm, bisa jadi masalah ini." Arya terkekeh, "Maunya Aruna kan berebut kayak waktu itu." Namun Lee tak kehabisan akal. "Arun, untuk sekarang, Aruna bagikan uang dulu sama mereka, ya? Soalnya Om belum beli permennya. Nanti setelah sholat Jum'at, mereka suruh datang lagi buat saweran. Lebih banyak juga boleh. Gimana?" Arya tersenyum melihat cara Lee mengamb
Rara mencoba mengulang panggilan, tapi ponsel Seruni malah tidak aktif. Mencoba menghubungi nomor ibunya pun nihil tak dijawab. Karena kedua pemilik nomor yang dia hubungi, sedang saling pandang dengan hati cemas, takut Rara mendengar dengan jelas siapa yang tadi berbicara dengan Aruna."Assalamua'aikum," salam Soleh begitu masuk belum ada yang menjawab salamnya. "Ini nggak ada yang jawab salam?" tegurnya pada Lastri dan Seruni. "Eh, wa'alaikumussalam. Maaf, tadi lagi teleponan sama Rara, Pak." Lastri beranjak berdiri, menghampiri Soleh, dan menyalaminya. Empat orang yang datang bersama Soleh pun bergantian menyalami Lastri, juga Seruni yang tetap duduk karena sedang memangku Aisha, Lee hanya menangkupkan tangan di dada pada kakak iparnya. "Teleponan sama siapa emang?" tanya Soleh lagi karena tadi kurang mendengar apa yang Lastri katakan. "Rara, Pak," jawab Lastri sedikit kencang, seraya melirik suami dari orang yang baru dia sebut namanya. "Eh, kenapa dengan Rara, Bu?" tanya Lee
Jantung Rara semakin riuh, saat lagi satu photo yang Lee unggah, jelas memperlihatkan kotak dengan isinya satu set perhiasan juga uang yang ditata sedemikian rupa, tertulisakan nama lengkapnya bersanding dengan nama yang masih asing. KHUMAIRA NISSA ❤ ALI AHMAD YUSUF 28 September 2030Mata Rara langsung berkabut, dadanya mendadak sesak, tanggal yang tertulis adalah hari ini. Air mata Rara sudah menuruni pipi, segala sangkaan sudah memenuhi kepalanya saat ini. Namun dia belum berani berpikir terlalu indah dan jauh. Lagi dia melihat status photo Lee yang lain. Kamarnya, Lee berphoto di depan photo dirinya dengan bibir tengah mencium pipinya di photo itu. [Menunggu saat bertemu kamu, aku rindu, Sayang.] Tangis Rara pun pecah, dia menangis tersedu dengan satu jawaban pasti akan satu hubungan baru antara dirinya dan Lee. Semua status Lee, juga pertanyaan kakak dan ibunya siang tadi, sudah menjelaskan semua yang sebenarnya terjadi. Dia dan Lee sudah menikah bukan? "Oppa ...." lirih Rar
Rara menjauhkan tubuhnya saat mendengar suara khas orang lapar dari perut suaminya. Lee merutuki pesan alami tubuhnya yang datang tidak tepat waktu. Baru juga nyaman pelukan. "Oppa lapar?" tanya Rara dengan pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. "Hehehe, iya. Aku belum makan dengan benar dari sejak pagi. Hanya makan kue saja, karena fokusku terus terfokus pada dua acara sakral dan bersejarah hari ini." "Harusnya jangan begitu, harus jaga kesehatan juga. Kalau Oppa sakit gimana?" omel Rara sedikit kesal. Lee tersenyum mendengar omelan pertama Rara setelah menjadi istrinya. "Aku ingin makan bareng istriku," lirihnya. Rara terdiam, lalu rona merah kembali menghiasi wajahnya. "Mau romantis kok nyiksa diri," cibirnya. Lee meringis, benar juga yang Rara katakan. "Kan cinta," elaknya. Rara menghembuskan napas panjang. "Tapi tidak ada makanan, Rara tidak masak." Rara berdiri, Lee pun mengikuti. "Ibu bawain banyak makanan tadi, buat anak menantu katanya." Lee terkekeh, menyadari ki
"Aku sempat takut, Sayang," kata Lee, dia menatap mata Rara lekat. "Takut? Kenapa?" Rara terlihat bingung dengan perkataan suaminya. Lee meraih tangan Rara, mengusapnya, lalu mengecup penuh cinta. Rara yang baru merasakan semua romansa bersentuhan dengan lawan jenis, merasakan hatinya terus riuh dengan kebahagiaan, wajahnya sedari tadi terus merona. Kontak fisik Lee membuat bulu halus di tubuhnya meremang. "Aku takut tadi kamu akan menjawab, kalau kamu tidak bahagia menikah denganku," jujur Lee. Rara tersenyum lalu bertanya, "Memangnya, kalau Rara bilang aku tidak bahagia, Oppa mau melakukan apa? Membatalkan pernikahan kita?" Mata Lee membulat tak percaya, dengan sedikit gemas dia menarik tubuh Rara lalu didekapnya erat. "Jangan bicara seperti itu! Tidak akan pernah aku melakukan. Entah kalau kamu. Apa kamu akan membatalkan pernikahan kita?" tanya Lee dengan nada kesedihan dalam suaranya, padahal Rara hanya menggodanya. Rara mengusap dada Lee yang ternyata sangat nyaman menjadi
Mobil terparkir sempurna, Rara menoleh pada Lee dengan wajah yang terlihat sangat gugup. Beberapa kali dia menarik dan menghembuskan napas panjang, hingga Lee yang baru menyadari itu terkekeh antara lucu dan kasihan."Kenapa, Sayang? Ini baru di tempat parkir, loh," goda Lee mematikan mesin mobilnya."Rara gugup. Perut Rara jadi mules," aku Rara jujur, dia nyengir sambil mengusap perutnya."Ya ke kamar mandi kalau mules," kekeh Lee semakin menggoda."Ih, Oppa, Rara emang suka gitu kalau gugup. Suka mendadak mules.""Nanti juga enggak. Itu karena kamu terlalu stres, Sayang. Udah mikirin yang enggak-enggak. Santai saja, ya? Rileks. Kan sudah aku bilang, kalau kamu belum siap, kita tidak akan melakukan apapun. Paling ... cium*n," lirih Lee dengan suara menggoda. Mendengar itu Rara semakin merinding, baru dipeluk dan dikecup lehernya oleh Lee saja, dia sudah panas dingin. Apalagi .... Duh, kok makin takut, ya? "Turun, yuk?! Mudah-mudahan sudah selesai kamarnya. Hmm, sudah tidak sabar,"
Bait kata tak perlu menjabarkan apa yang tengah terjadi di dalam sana, karena saat cinta bicara, kalimat seindah apapun tidak bisa menjelaskan betapa indah, dan syahdu malam yang tengah dilewati sepasang manusia, yang sudah terikat ikatan halal dari Pemilik Dunia. Keduanya saling memberikan yang terbaik yang mereka bisa. Si pemain handal, juga si gadis polos yang siap memberikan apa yang sudah dijaganya, hingga saat si pemilik yang tepat akan mengambilnya dia masih suci, hingga pekik tertahan juga titik air mata menjadi bukti, bahwa penyatuan itu ... telah terjadi. Lee memetiknya, mengambil dengan lembut meski tetap Rara harus menangis dan merasakan sakit. "Maaf," ujarnya tanpa penyesalan, tapi kepuasan juga rasa bahagia yang tidak terkira. Rara sudah menjadi miliknya utuh, tanpa ada bagian lain dari diri wanita itu yang tidak terjamah olehnya. Lee abaikan goresan kuku yang melukai leher juga punggung atas balasan ulahnya, dia justru bangga. Bahagia. Bulan tersenyum malu, bintang
"Gila!""Shit!""What?!" Segala umpatan terdengar, bahkan kaleng susu murni yang sedang diteguk Choi terjatuh keatas meja, dan menghamburkan isinya membasahi penutup meja tersebut. Rara mengeratkan pelukannya pada lengan Lee, sedang Lee menatap bosan pada ketiga temannya, yang dia anggap terlalu drama menanggapi ucapannya. "Ck! Kalian berisik sekali? Istriku jadi semakin takut." "Sia*lan, Seung Hoo! Kamu harus menjelaskan semuanya pada kami," omel Jang mengunakan bahasa ibunya, dia tak ingin Rara tersinggung kalau menggunakan bahasa indonesia. "Keterlaluan memang! Pergi pagi-pagi tanpa mengatakan mau kemana, pulang pagi lagi sambil bawa anak gadis orang, ngakuin istrinya pula. Kamu tidak gila, kan?" berondong Kim menumpahkan kekesalannya. "Hei! Dia sudah tidak gadis lagi. Dia istriku!" Lee menjawab sambil menoleh pada Rara. "Kami sudah menikah, kemarin. Betul kan, Sayang?!" tanya Lee dengan tatapan lembut mematikan. Rara tersenyum lalu mengangguk perlahan, ketiga orang teman su
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"