Mobil terparkir sempurna, Rara menoleh pada Lee dengan wajah yang terlihat sangat gugup. Beberapa kali dia menarik dan menghembuskan napas panjang, hingga Lee yang baru menyadari itu terkekeh antara lucu dan kasihan."Kenapa, Sayang? Ini baru di tempat parkir, loh," goda Lee mematikan mesin mobilnya."Rara gugup. Perut Rara jadi mules," aku Rara jujur, dia nyengir sambil mengusap perutnya."Ya ke kamar mandi kalau mules," kekeh Lee semakin menggoda."Ih, Oppa, Rara emang suka gitu kalau gugup. Suka mendadak mules.""Nanti juga enggak. Itu karena kamu terlalu stres, Sayang. Udah mikirin yang enggak-enggak. Santai saja, ya? Rileks. Kan sudah aku bilang, kalau kamu belum siap, kita tidak akan melakukan apapun. Paling ... cium*n," lirih Lee dengan suara menggoda. Mendengar itu Rara semakin merinding, baru dipeluk dan dikecup lehernya oleh Lee saja, dia sudah panas dingin. Apalagi .... Duh, kok makin takut, ya? "Turun, yuk?! Mudah-mudahan sudah selesai kamarnya. Hmm, sudah tidak sabar,"
Bait kata tak perlu menjabarkan apa yang tengah terjadi di dalam sana, karena saat cinta bicara, kalimat seindah apapun tidak bisa menjelaskan betapa indah, dan syahdu malam yang tengah dilewati sepasang manusia, yang sudah terikat ikatan halal dari Pemilik Dunia. Keduanya saling memberikan yang terbaik yang mereka bisa. Si pemain handal, juga si gadis polos yang siap memberikan apa yang sudah dijaganya, hingga saat si pemilik yang tepat akan mengambilnya dia masih suci, hingga pekik tertahan juga titik air mata menjadi bukti, bahwa penyatuan itu ... telah terjadi. Lee memetiknya, mengambil dengan lembut meski tetap Rara harus menangis dan merasakan sakit. "Maaf," ujarnya tanpa penyesalan, tapi kepuasan juga rasa bahagia yang tidak terkira. Rara sudah menjadi miliknya utuh, tanpa ada bagian lain dari diri wanita itu yang tidak terjamah olehnya. Lee abaikan goresan kuku yang melukai leher juga punggung atas balasan ulahnya, dia justru bangga. Bahagia. Bulan tersenyum malu, bintang
"Gila!""Shit!""What?!" Segala umpatan terdengar, bahkan kaleng susu murni yang sedang diteguk Choi terjatuh keatas meja, dan menghamburkan isinya membasahi penutup meja tersebut. Rara mengeratkan pelukannya pada lengan Lee, sedang Lee menatap bosan pada ketiga temannya, yang dia anggap terlalu drama menanggapi ucapannya. "Ck! Kalian berisik sekali? Istriku jadi semakin takut." "Sia*lan, Seung Hoo! Kamu harus menjelaskan semuanya pada kami," omel Jang mengunakan bahasa ibunya, dia tak ingin Rara tersinggung kalau menggunakan bahasa indonesia. "Keterlaluan memang! Pergi pagi-pagi tanpa mengatakan mau kemana, pulang pagi lagi sambil bawa anak gadis orang, ngakuin istrinya pula. Kamu tidak gila, kan?" berondong Kim menumpahkan kekesalannya. "Hei! Dia sudah tidak gadis lagi. Dia istriku!" Lee menjawab sambil menoleh pada Rara. "Kami sudah menikah, kemarin. Betul kan, Sayang?!" tanya Lee dengan tatapan lembut mematikan. Rara tersenyum lalu mengangguk perlahan, ketiga orang teman su
Desi memasuki ruangan QC dan mencari keberadaan Rara, dia merasa sangat kaget mendengar gosip baru yang tersebar saat di ruang loker tadi. "Rara sudah datang?" tanya Desi pada Santi yang sedang bertukar informasi dengan Nurul. "Eh, belum kayaknya. Ya?" Santi bertanya sambil menoleh pada anak buah Nurul. "Iya belum, Teh." Ida menjawab karena dia yang paling dekat posisinya dengan Santi. "Oh, belum," desah Desi, dia melihat pada jam, lima menit lagi bel berbunyi, tidak biasanya Rara belum sampai. Apa benar Rara seperti yang dia dengar tadi di ruang loker? "Ada apa, Teh?" tanya Santi, Nurul yang masih malu atas perlakuannya, memilih menyimak saja. "Nggak. Ada kabar yang nggak mengenakan saja," kilah Desi tidak ingin menjadi penyebar gosip selanjutnya, karena rupanya Santi belum mengetahui hal yang dia dengar tadi. "Assalamua'aikum," sapa orang yang sedang Desi cari terdengar setelah pintu dibuka. "Wa'alaikumussalam," jawab mereka yang dalam ruangan itu serempak. "Tumben baru dat
Desi menatap Rara yang dibawa masuk ke ruang kerja Lee, setelah pintu ruangan itu tertutup rapat, barulah Desi bisa bernapas dengan lega. Satu kebenaran lagi terbuka, Lee dan Rara ternyata sudah menikah. Sungguh sangat mengejutkan buatnya yang sejak Rara masuk kerja non shift, gadis itu selalu bersamanya. Lalu kapan Lee dan Rara tepatnya menikah? "Teh, beneran oppa dan Rara sudah menikah?" tanya seorang anak buah Santi memberanikan diri bertanya. Dia sama terkejutnya dengan kepala leader-nya itu. "Aku nggak bisa jawab. Aku juga sama kagetnya dengan kamu." Desi menggeleng memberikan jawaban. "Tapi kenapa ada yang bilang Rara dan oppa kencan di hotel, ya?" "Kamu denger gosip itu juga?" Desi menatap Erin. "Denger, Teh. Tadi pas di ruang loker." "Sebenarnya siapa sih yang lihat oppa sama Rara di hotel pertama kali? Ini kalau oppa mau usut, bisa bahaya tuh orang. Dipecat pasti," geram Desi. "Katanya sih anak bagian perakitan yang lihat, Teh." "Apa? Beneran?" "Iya." "Cewek apa cow
Obrolan sambil makan, menyebarkan berita baru tentang Rara dan Lee yang masuk ke hotel semalam, mereka mencibir Rara dengan kata-kata yang pasti akan membuat Rara kembali menangis, saat mendengarnya. Desi saja sampai panas kupingnya juga gemas, mendengar berita tidak benar yang sudah terlanjur beredar. Dia lantas membalikkan badannya menghadap ke meja di belakangnya, di mana ada Julia yang waktu itu membahas tentang siapa gadis misterius di video Lee. "Eh, Jul! Emang kamu yakin si Rara sama oppa berbuat yang nggak bener di hotel?" pancing Desi kesal. "Ya, pasti dong! Ngapain coba berduaan pergi ke hotel malam-malam kalau bukan buat nganu? Bukannya mereka pacaran kan? Cuma nggak nyangka aja aku, kalau si Rara yang kelihatan polos begitu mau diajak 'ngamar' sama oppa. Eh, pasti mau lah, ya? Kan si oppa ganteng, kesempatan emas dong. Iya, nggak?!" Julia terkekeh disambut oleh yang lainnya. Pembicaraan Desi dan Julia membuat sebagian penghuni kantin yang mejanya dekat dengan mereka, m
Mobil sudah berbaur dengan kepadatan lalu lintas sabtu siang. Lee tadi sempat menggoda istrinya untuk melanjutkan apa yang sudah mereka mulai, nanggung, katanya. Lee mengajak Rara untuk mampir ke kamarnya, tentu saja Rara menolak dan menjanjikan, "Nanti pas nyampe di rumah, Oppa bebas apa-apain Rara!"Dan Lee pun tersenyum lebar, barulah dia melepaskan genggaman tangannya."Kita belum hubungi Robi loh, Oppa," ujar Rara sambil menoleh."Ya Allah, benar! Sampai lupa. Coba kamu hubungan, Sayang. Mumpung dia sedang istirahat juga pastinya," usul Lee, dia membayangkan apa saja yang akan adik iparnya itu proteskan, saat mereka baru ingat untuk memberinya kabar."Si Robi pasti misuh-misuh deh, soalnya kita baru menghubungkan dia, hihihi," kikik Rara sambil memencet nomor Robi. "Aku juga berpikir begitu, Sayang," kekeh Lee dengan fokus tetap pada jalan yang akan dilalui. "Hmm, baru ingat sama aku, ya?" ujar Robi saat dia menerima panggilan Rara. Rara terkekeh sambil melihat pada Lee. "Loa
"Ini si Robi kemana, sih? Telponnya masih nyambung tapi malah ngobrol sama orang," gerutu Rara karena Robi malah terdengar sedang menenangkan anak kecil, dan terpaksa dia putus telponnya. Lee sedang memilih beberapa baju koko. "Sudah dapat?" tanya Rara mendekat. "Ini, ambil lima saja," tunjuk Lee pada baju pilihannya. "Bagus nggak?" Rara mengambil dan mengamati satu persatu baju pilihan Lee. "Bagus. Oppa pasti tambah ganteng pakai baju-baju ini," puji Rara membuat Lee tersenyum lebar. "Istriku pandai menggombal juga rupanya," kekeh Lee menarik hidung Rara. "Hihihi, Rara juga bingung kenapa jadi gini." Rara terkikik geli. "Nggak apa-apa, asal buat aku saja gombalannya." "Oh, pasti dong. Terkhusus untuk Oppa Ali tersayang. Spesial!" Lee semakin bahagia saja. "Ra!" suara Robi terdengar memanggil. "Ya, ampun. Abis ngapain dulu sih, Bi? Tadi nelpon masih nyambung tapi malah ngobrol sama siapa itu," omel Rara pada kembarannya. Lee hanya tersenyum menyambut adik iparnya. "Tadi ng
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"