Mobil sudah berbaur dengan kepadatan lalu lintas sabtu siang. Lee tadi sempat menggoda istrinya untuk melanjutkan apa yang sudah mereka mulai, nanggung, katanya. Lee mengajak Rara untuk mampir ke kamarnya, tentu saja Rara menolak dan menjanjikan, "Nanti pas nyampe di rumah, Oppa bebas apa-apain Rara!"Dan Lee pun tersenyum lebar, barulah dia melepaskan genggaman tangannya."Kita belum hubungi Robi loh, Oppa," ujar Rara sambil menoleh."Ya Allah, benar! Sampai lupa. Coba kamu hubungan, Sayang. Mumpung dia sedang istirahat juga pastinya," usul Lee, dia membayangkan apa saja yang akan adik iparnya itu proteskan, saat mereka baru ingat untuk memberinya kabar."Si Robi pasti misuh-misuh deh, soalnya kita baru menghubungkan dia, hihihi," kikik Rara sambil memencet nomor Robi. "Aku juga berpikir begitu, Sayang," kekeh Lee dengan fokus tetap pada jalan yang akan dilalui. "Hmm, baru ingat sama aku, ya?" ujar Robi saat dia menerima panggilan Rara. Rara terkekeh sambil melihat pada Lee. "Loa
"Ini si Robi kemana, sih? Telponnya masih nyambung tapi malah ngobrol sama orang," gerutu Rara karena Robi malah terdengar sedang menenangkan anak kecil, dan terpaksa dia putus telponnya. Lee sedang memilih beberapa baju koko. "Sudah dapat?" tanya Rara mendekat. "Ini, ambil lima saja," tunjuk Lee pada baju pilihannya. "Bagus nggak?" Rara mengambil dan mengamati satu persatu baju pilihan Lee. "Bagus. Oppa pasti tambah ganteng pakai baju-baju ini," puji Rara membuat Lee tersenyum lebar. "Istriku pandai menggombal juga rupanya," kekeh Lee menarik hidung Rara. "Hihihi, Rara juga bingung kenapa jadi gini." Rara terkikik geli. "Nggak apa-apa, asal buat aku saja gombalannya." "Oh, pasti dong. Terkhusus untuk Oppa Ali tersayang. Spesial!" Lee semakin bahagia saja. "Ra!" suara Robi terdengar memanggil. "Ya, ampun. Abis ngapain dulu sih, Bi? Tadi nelpon masih nyambung tapi malah ngobrol sama siapa itu," omel Rara pada kembarannya. Lee hanya tersenyum menyambut adik iparnya. "Tadi ng
"Waow! Kejutan!" kekeh Lee setelah melihat penampakan kamar yang akan mereka tempati, seperti kata perintah dari Lastri. "Sepertinya ibu bilang kamar Rara bocor bohong deh, Oppa. Mereka sebenarnya sedang menyiapkan kejutan untuk kita," kekeh Rara sambil mengusap sudut mata, merasa terharu mendapatkan kejutan seperti itu. "Iya, keluargamu memang manis sekali, Sayang. Mereka tahu kalau begitu kita datang, kita memang hanya membutuhkan ranjang," bisik Lee, lalu menarik lembut tangan Rara, untuk masuk ke kamar yang sudah dihias khas kamar pengantin. "Duh, bagaimana mereka bisa kepikiran buat kejutan seperti ini?" Rara tertawa, Lee merengkuh pinggang istrinya sambil melangkah, mendekat ke arah pembaringan yang berhias kelopak mawar. "Ini serasa mengulang hal semalam, Sayang. Hanya bedanya, ini sore. Boleh aku hancurkan hiasan bunga itu, dengan mengganti kamu sebagai penghias ranjang?" Rara mengerjap saat dengan cepat Lee menariknya dalam dekapan. Mata keduanya lalu tertaut, dengan waj
"Den Arya, itu di depan ada yang nyari mister Lee katanya," ujar Asep setelah tadi ada yang memberitahunya ada yang mencari pemilik rumah, dan menanyakan tentang Lee. "Mencari Lee? Di mana?" tanya Arya berdiri, lalu berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. "Iya, Den. Katanya dari perusahaan tempat kerja mister Lee. Ada keluarganya dari Korea," terang Asep yang membuat Arya semakin menderap langkahnya. Begitu tiba di depan, di antara para bapak-bapak yang akan mendoakan kepergian Tirta, seseorang yang baru Arya lihat berdiri lalu mengangguk sopan. "Selamat malam, Aa. Maaf, saya mencari mister Lee. Waktu hari wafatnya bapak Tirta, kebetulan saya yang mengantarnya kemari." Umar mengatakan maksud kedatangannya. "Oh, iya. Jadi sekarang ini mau nyari Lee, begitu?" tanya Arya meyakinkan. "Betul, Aa. Itu, keluarganya yang baru datang dari Korea sekarang ada di mobil depan rumah." Umar menunjuk pada minibus yang terparkir di pinggir jalan sana. "Apa? Keluarga Lee dari Korea?"
Hari baru, Rara bangun saat merasakan tepukan lembut di pipi. Lagi, dia terbangun telat karena malam panas yang lagi-lagi diminta suaminya sebelum tidur, berbeda dengan Lee yang terlihat justru sangat segar, Rara merasakan tubuhnya lelah sekujur badan. Apa semua pengantin baru akan seperti ini melewati malam-malam mereka di awal pernikahan? Pasti saja jawabannya, iya! "Bangun, Sayang," ujar Lee saat mata tertutup Rara bergerak terbuka. "Ngantuk," rengek Rara saat dia melihat suaminya sudah terlihat tampan di pagi yang masih buta. Penampakan Lee dengan baju koko hitam dan peci putih yang bertengger di kepalanya, membuat Rara semakin jatuh cinta, suaminya itu terlihat semakin tampan saja. "Sholat dulu, udah jam lima. Tadi ibu sudah manggil-manggil," ujar Lee terus menggoda Rara dengan telunjuknya yang mengusap alis Rara. "Hah? Ngetok pintu maksudnya?" Rara memaksa matanya kembali terbuka. "Tidak, hanya teriak saja. 'Rara, bangun sudah jam lima. Sholat dulu!' gitu katanya," ujar Le
Rara menoleh pada Lee. "Itu Ara kan, Oppa?" tanya Rara untuk lebih meyakinkan penglihatannya, namun sayang lalu lalang orang di sana membuat Lee tidak bisa mengikuti arah pandang Rara."Ara?" Lee menoleh lagi pada Rara setelah tidak melihat siapa yang Rara maksud."Iya, Ara. Zahra," jelas Rara menegaskan. "Tadi ada yang mirip Zahra, tapi sedang ditarik paksa sama seseorang. Zahranya menolak," lanjut Rara disertakan Rasa khawatir, dia yakin yang dilihatnya itu benar Zahra, kekasih saudara kembarnya."Masa, sih?""Iya.""Mau dilihat?" usul Lee sambil melindungi Rara dari desakan orang yang kebetulan bersenggolan dengan mereka. "Boleh lah. Yuk, kita coba lihat," Rara menarik tangan Lee, menuju bagian pintu lain di mana tadi dia melihat Zahra ditarik tangannya, oleh orang yang tidak dikenalnya. Lee mengikuti langkah Rara, hingga pintu yang tadi di lewati Zahra kini mengantar mereka ke bagian selatan bangunan tersebut. Rara menegaskan penglihatan, mencari sosok Zahra yang sudah dibawa k
Terpaan angin dingin nan sejuk khas pegunungan menerpa, meski sinar matahari mampu sedikit menghangatkan tubuh dari deraan dingin hembusan angin. Rara terus mengarahkan Lee menuju tempat tujuan mereka, hingga sepuluh menit kemudian penjual nasi uduk yang biasa Rara datangi saat ingin sarapan di sekolah, terlihat gerobaknya. Beberapa orang menoleh begitu Rara sudah ikut mengantri, Lee berdiri di samping Rara dengan tanpa melepas genggaman tangannya sama sekali. Giliran Rara tiba, si penjual yang sejak tadi sibuk melayani pelanggannya, kini baru bisa dengan jelas melihat siapa yang sedang menunggu giliran dia layani. "Neng Rara?" sapanya ragu, apalagi melihat Lee yang datang bersama Rara sekarang. "Iya, Ceuceu. Apa kabar? Ceu Mima makin ramai saja jualannya," sapa Rara terkekeh. "Ya Allah, tadi takut salah. Soalnya baru sekarang datang sama lelaki selain si ganteng Robi." Mima dan Rara menyempatkan berpelukan, meski tetap tangan Lee tidak melepas sebelah tangan Rara yang bebas. "Me
Umar datang, namun tidak sendiri, ada tiga orang yang membersamainya mengunjungi kampung halaman Rara. Mereka meminta ikut karena ingin bertemu dengan nenek Han dan juga paman Lee. Suasana rumah Aji jadi ramai oleh orang asing yang menarik perhatian warga sekitar, serasa sedang ikut menyaksikan satu adegan drama, dengan orang-orang berkulit putih juga bermata sipit seperti yang mereka lihat di layar kaca. Lee berdecak pura-pura sebal melihat kedatangan ketiga sahabatnya, sedang tiga orang yang datang tanpa diundang itupun berlaku sama, dengan berpura-pura tidak menganggap Lee ada di sana, mereka fokus menyapa dan bercengkrama dengan para tamu, yang membuat mereka serasa bertemu dengan keluarga. "Kenapa Nenek datang tidak bilang-bilang?" ujar Jang begitu sudah duduk melantai, dengan alas karpet bulu yang sangat nyaman. Choi dan Kim mengangguk mengiyakan. "Iya, betul." Nenek Han terkekeh, dia menoleh pada Lee yang memasang wajah datar, seakan tidak menyukai kedatangan teman-temannya
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"