"Bagaimana, Pak?" tanya Lee saat melihat baik Robi dan Soleh hanya diam. "Apa boleh saya menikahi Rara secara agama dulu, setelah saya mengikrarkan keislaman saya?" ulang Lee penuh harapan. "Ehem!" Robi melihat pada Soleh yang mencoba mengusir rasa kaget imbas perkataan 'Ali'. "Tapi, bagaimana dengan keluarga Nak Lee? Apa mereka akan bisa menerima Rara? Lagi pula, Bapak juga ingin mengenal keluarga Nak Lee dulu. Maaf, bagaimana pun kamu seorang warga asing, Bapak hanya ingin memastikan memberikan Rara pada orang dan keluarga yang tepat," jelas Soleh, dia tidak ingin terburu-buru. Setidaknya dia tahu, seperti apa keluarga lelaki yang sedang mengusahakan anaknya, untuk menjadi pendamping hidup lelaki itu. Apa Lee anak orang kaya atau hanya orang yang sederhana seperti dirinya. Meski bukan patokan harta yang menjadi bahan pertimbangan, setidaknya Rara tidak akan sengsara di negeri orang, saat Lee sudah mengucapkan janji pada Tuhan atas diri Rara, dan berencana membawanya tinggal di sa
[Nganter Nyonya pengen makan bakso, nyuap biar marahnya udahan. Semoga aja sultan Oppa paham.] tulis Robi membuat status, meski status itu dia bagikan hanya untuk Lee saja. Di depannya Rara dengan semangat mengaduk bakso yang sudah dicampur dengan sambal dan saus, yang membuat Robi bergidik. Sudah bisa dia bayangkan akan sepedas apa makanan itu nanti. Diam-diam Robi pun mengambil photo Rara dan dibuat status private itu. [Apa nggak kepedesan itu bakso?] Robi menyimpan ponselnya setelah menuliskan itu. Lalu menyedot teh botol yang menjadi pilihannya menemani Rara makan bakso. "Mau?" tawar Rara meski tahu itu hanya tawaran kosong saja. Robi menggeleng. "Emang cuma becanda nawarinnya juga. Emm, enak!" dengan gaya menyebalkan. Robi kembali menggeleng, namun pendar ponselnya yang disimpan di meja mengalihkan perhatian, apalagi melihat nama Lee yang mengirimnya pesan. Lee. [Kalian sedang di mana? Bukannya tadi kamu bilang Rara tidur?] Robi. [Tadi pas masuk setelah kita telponan,
Sesampainya di asrama, Lee mendapat umpatan dari ketiga temannya, karena gurihnya bakso yang dijanjikan Lee, datang hampir satu jam setelah kepergian lelaki itu. "Kamu beli bakso di mana? Di Jakarta?" sindir Jang seraya memindahkan olahan daging sapi giling itu ke mangkuk, yang sudah disiapkan tak lama setelah Lee pergi tadi. "Ke Afrika." Lee menjawab sekenanya. "Sudah, makan saja. Aku mau ke kamar dulu," lanjutnya lalu pergi ke kamar. Lee merogoh saku celananya, mengeluarkan sendok yang tadi dipakai Rara dan juga dipakai olehnya. Dia sampai membeli sendok tersebut dengan uang lima puluh ribu rupiah, agar si penjual tidak banyak tanya. Lee benar-benar sudah gila! Lee merasakan ponselnya bergetar, awalnya dia mengira itu Robi, namun saat melihat siapa yang berkirim pesan, Lee langsung tersenyum lebar. Kekasihku. [Jangan ngebut kalau bawa motor, Oppa. Bahaya! Aku ngeri membayangkan kamu bawa motor tadi. Jangan diulangi, ya?] Rasanya Lee ingin berguling-guling saking senangnya mem
Di tempat yang berbeda, orang yang tengah menjadi bahan pembicaraan Soleh juga yang lainnya, tengah berlatih mengucapkan ijab kabul bila nanti jawaban Soleh atas permintaannya disetujui, menikahi Rara. Lee mengabaikan tumpukan kertas yang harus dia periksa dan tanda tangani demi terus menghapal. Bahkan dengan Rara pun Lee sedikit acuh, karena hatinya semakin tak sabar menunggu esok hari, juga menghitung waktu yang akan membuat Soleh menjawab semua permintaannya. Suara ketukan pintu membuat Lee menghentikan kegiatannya, tanpa beranjak Lee mengizinkan siapapun yang ada di balik bingkai kayu itu untuk membuka pintu. "Masuk!" Rara yang dipaksa Desi untuk menanyakan pada Lee lembar kerja yang harus segera keluar, semakin gugup saat suara Lee terdengar. Dia merasa heran dengan Lee yang bersikap tak acuh padanya sejak pagi. Namun untuk bertanya pun Rara tak berani melakukannya. "Masuk, Ra!" kata Desi mendorong pelan pundak Rara. "Bareng sama Teteh." Rara merajuk. "Ih, kamu mah disuruh
Rara, Desi, Santi, dan dua orang lainnya yang ada di ruangan QC, saling pandang saat mendengar suara pekikan dari dalam ruangan Lee. Apalagi Rara, bayangan Lee melakukan lagi hal gila di dalam sana tiba-tiba melintas.Beberapa hari lalu Lee menyakiti dirinya sendiri dengan menghantam tembok, karena sudah lancang menyentuhnya. Apa sekarang pun Lee kembali melakukan itu, karena tadi sudah menyentuh tangannya? Rara dengan cepat berlari ke arah pintu ruangan Lee, tak peduli dengan Desi dan yang lain menatapnya kaget. "Oppa!" seru Rara dengan kasar membuka pintu, serta pikiran yang semakin tak menentu membayangkan Lee tengah memukul tembok saat ini. Namun kekhawatiran Rara langsung lenyap seketika, saat orang yang dia cemaskan justru tengah berdiri sambil mengangkat tangannya, lalu menariknya ke bawah beberapa kali sebagai tanda merayakan sesuatu. Lee pun mendadak kaku, tangannya berhenti bergerak begitu saja, matanya menatap horor pada Rara yang tengah berdiri di ambang pintu. "Oppa?
Malam tak terasa berganti, suara alarm dari ponsel Rara membangunkan gadis yang tidak mengetahui sedang ada rencana besar yang dirancang orang-orang yang disayanginya, untuk masa depannya. Satu perubahan status dari seorang gadis lajang, menjadi istri orang bila memang Tuhan merestui semua. Menggariskan takdir cintanya, kalau memang tertulis dengan Lee sebagai teman hidupnya. Siap berlayar dengan Lee sebagai nakhoda, yang akan membawanya mengarungi samudra hidup berumah tangga. Rara keluar kamar, dan melihat ke ruang tamu untuk membangunkan Robi seperti biasa. "Bi, bangun subuh." Rara menggoyangkan tubuh adiknya yang bertelanjang dada, kebiasaan Robi sejak tinggal jauh dari desa. Panas katanya. "Heem," jawab Robi berat. Rara mengabaikan Robi, dia pergi ke kamar mandi, setelah mandi dia akan kembali membangunkan Robi seperti hari-hari sebelumnya. Karena Robi memang sangat susah dibangunkan, itulah sebabnya Rara membangunkan kembarannya dalam beberapa sesi. Setelah selesai mandi,
Rara berusaha mengalihkan perhatian dengan kesibukan, meski tetap hati dan pikiran terfokus pada Lee ... Ali, tepatnya nama baru untuk Lee yang resmi di sandang olehnya --sebagai nama kedua-- setelah dia berikrar sebagai seorang muslim, di hadapan keluarga Rara dan Trah Subrata beberapa menit yang lalu. Rara juga sempat bertemu dengan Jang, teman baik Lee itu menyempatkan diri menyapa, menyampaikan pada Rara apa yang Lee titipkan pesan padanya, begitu keluar dari asrama dengan penampilan yang membuat dia, Choi, dan Kim membuka mulut lebar tidak percaya. Meski tidak mengatakan secara gamblang, Jang mengatakan pada Rara kalau Lee saat ini tengah berjuang untuk menyatukan cinta mereka, tinggal Rara yang tersipu mendengar perkataan Jang itu. Di tempat yang tadi telah mengantarkan Lee menjadi sosok baru, Lee menerima ucapan selamat juga doa dari ustaz Bumi, Soleh, Denni, Arya, dan Robi. Setelah bersalaman, mereka mendekat pada para perempuan yang menyaksikan acara sakral tersebut dalam
"Wah, nekat kamu, Lee. Bawa uang segini banyaknya ditaruh di mobil? Gimana kalau ada yang maling!" seru Robi tak habis pikir, bagaimana bisa Lee sesantai itu menyimpan uang yang katanya untuk mahar Rara dalam dus, dan disimpan di jok belakang? "Hehehe, kan ada Allah yang bakalan jagain, Bi," jawab Lee sambil terus mengemudi. "Nggak gitu juga konsepnya, Aliii!" ujar Robi gemas, "kita tetap harus berusaha melindungi harta kita juga. Diharuskan itu, wajib malah. Nanti kamu minta penjelasan sama aa Bumi biar lebih pas, deh. Aku takut salah memberikan contoh." Robi mendesah pasrah. "Iya, nanti aku tanyakan sama aa." Mobil Lee beriringan dengan dua mobil yang dikendarai Arya juga Ade di depan mobilnya. Hingga menjelang jam sepuluh mereka sudah kembali ke desa, dan langsung menuju rumah Soleh di mana Seruni sudah menunggu di sana. Ada ketua RT juga yang sudah diminta datang oleh Soleh, untuk menjadi saksi pernikahan Rara dan Lee sesaat lagi. Lee segera turun bersama Robi yang membawa m
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"