Dari arah lain, mobil yang dikemudikan Raja mulai memasuki desa Tirta. Sulung dari Trah Subrata itu terus meremas lembut tangan Mukta, meminta dukungan mental atas berita kehilangannya pagi itu. Sedang di kursi depan Cahaya dan Raja juga lebih banyak diam, si kecil Dhaka pun seakan mengerti dengan pasti, saat ini keluarganya tengah dalam kondisi bersedih. Danu tidak ikut karena sudah pergi sekolah. Mobil Raja terus memasuki jalan ke rumah Tirta, melihat siapa yang berada di dalam mobil tersebut, petugas yang mengatur membiarkan mobil tersebut terus mendekat ke rumah duka, tidak seperti Lee yang tadi diminta turun di tempat yang sudah ditentukan. "Kita sudah sampai, Pak," kata Raja begitu juga mobil berhenti di pinggir jalan. Sedang Denni menatap nanar rumah adiknya. Dua hari yang lalu dia pulang, adiknya itu masih tersenyum sambil melambaikan tangan melepas kepergiannya, berkata kalau mereka akan secepatnya bertemu kembali. Memang benar mereka bertemu lagi dengan cepat, tapi dalam
Hidup terus berjalan, yang pergi membawa kenangan, yang hidup melanjutkan kehidupan. Tangis, tawa akan terus mewarnai sampai habis masa waktu kita hidup di dunia. Meski kadang terasa sangat berat, tapi yakin ada hikmah yang tersimpan di dalamnya. Membuat kita semakin kuat, semakin dewasa, juga memahami bahwa semua yang ada di dunia hanya sementara. Persinggahan untuk mencapai tujuan pasti setelahnya. Kehidupan setelah mati. Rara dan Robi berpamitan saat jarum jam masih menunjuk di angka lima pagi, mereka harus berlomba dengan waktu, agar tidak sampai terlambat sampai di tempat kerja. Meski masih ingin bersama dengan keluarga dan kerabat, juga menghibur Sukma yang masih sangat berduka, kehidupan mereka jelas bukan tertulis di sana, melainkan di kota kabupaten yang sudah menjadi pilihan mencari sen demi sen rupiah untuk masa depan lebih indah. Menyalami satu persatu anggota keluarga yang sudah terbangun, Rara dan Robi pun berpamitan. "Hati-hati di jalan, jangan ngebut!" pesan Lastr
Rara memasuki ruang loker, kembali dia menjadi pusat perhatian, oleh sebab photonya dengan Robi yang diambil diam-diam karyawan di depan perusahaan tadi. Mereka saling berbisik dan mulai menganggap Rara seorang pemain handal, tapi memakai topeng berwajah lugu. Mengingat Robi juga mempunyai wajah tak kalah tampan, juga terlihat begitu menawan dari kakinya yang panjang, serta motor sport yang menjadi tunggangannya menambah nilai plus. Mengira mereka yang melihatnya hanya karena penasaran sebab dia dekat dengan Lee, Rara meninggalkan ruang loker lalu menuju ke ruangan QC. Ada lima belas menit lagi sampai masuk kerja, Rara melupakan yang terjadi kemarin pagi dengan bersikap seolah tidak ada kejadian apa-apa. Saat dia masuk, Nurul melihat padanya, lalu memalingkan muka tak ingin melihat Rara. Rasanya masih sakit melihat Rara dan Lee yang menunjukan kemesraan di depannya. "Assalamua'aikum," salam Rara seperti biasa, lalu melangkah ke meja kerja yang biasa ditempatinya. Ada Ida yang sedan
"Ehem! Pagi-pagi seger amat, ya? Digombalin oppa," ejek Desi setelah Lee masuk ke dalam ruangannya. Suara kekehan terdengar, namun Rara bersikap seolah jumawa, tersenyum lebar membuat Desi semakin tertawa. "Iya, dong. Seger banget malah. Teteh mau?" ujarnya balas menggoda Desi. "Nggak. Takut diabetes!" Suara tawa pun terdengar. Dari dalam ruangannya, Lee membuka sebentar laptopnya untuk memeriksa CCTV. Terlihat Rara mendongak menatap kamera dua kali tertanggal hari ini. Yang pertama saat dia belum datang, yang kedua barusan setelah dia berbicara dengannya. Lee mengusap gambar itu, lalu kembali fokus pada apa yang akan dikerjakannya. Menghubungi seseorang yang bisa membantunya memenuhi persyaratan pengakuan atas Tuhan. Lee[Saya datang sekitar jam sepuluhan, Pak. Apa Bapak ada di tempat?] Tulis Lee pada pesannya dari nomor ponsel yang dia dapat di internet. Tangannya sudah semakin membaik, hingga dia sudah dengan lincah bisa mengetikan banyak kata di ponsel pintarnya. Meski mas
Bel istirahat berbunyi, Desi yang akan memanggil Rara yang baru terlihat santai setelah tadi sibuk bekerja, teralihkan fokusnya pada dering telepon yang ada di meja kerjanya. Dengan cepat dia mengangkat, takutnya dari bagian pemasaran yang akan menanyakan barang yang harus dikirim segera. "Halo?" "Teh Desi, ada kiriman buat Rara, nih, di pos. Kurirnya suruh masuk sampai ke pintu bagian produksi atau mau diambil ke pos?" tanya seorang petugas Satpam yang menerima kedatangan kurir, dengan membawa dua box pizza berukuran sedang, juga satu box spageti dalam plastik yang jelas menuliskan dari mana makanan itu dikirim "Wah, suruh ke pintu produksi aja, Pak. Nanti Desi sama Rara tunggu di sana. Makasih, ya?" ujar Desi melambai pada Rara yang menoleh saat namanya disebut Desi. "Oh, baik kalau begitu. Sekarang saya mau minta kurir pergi ke bagian gedung produksi saja." "Iya, Pak." Desi menutup telpon, dengan semangatnya dia menarik Rara yang baru sampai di dekatnya. "Ih, apaan sih, Teh?"
Lee kembali dua jam berselang, tadi dia sempat membeli satu set perhiasan yang tentu saja dipersiapkan untuk Rara. Tak ada rencana, namun saat melewati pertokoan dengan laju kendaraan yang sedikit tersendat, Lee melihat satu toko yang begitu banyak diserbu calon pembeli, karena penasaran Lee pun bertanya toko apa itu. Dari jawaban Kustiwa, Lee jadi tertarik untuk membeli perhiasan di sana. Jadilah sekarang Lee mempunyai satu set perhiasan yang cantik untuk dia berikan pada Rara nanti. Lee menyimpan dulu perhiasan itu ke asrama, lalu baru kembali ke perusahaan begitu jarum jam hampir berada di angka dua. Nanti malam Lee berencana akan menghubungi ustaz Bumi, untuk mengatakan persiapannya menjadi mualaf sudah semakin matang. Memasuki ruangan QC, mata Lee langsung mencari sosok si pujaan hati yang kembali tidak terjangkau oleh penglihatannya. Entah di mana Rara, hanya ada Desi dan Santi yang menoleh ke ambang pintu yang dibukanya. "Sudah pulang, Oppa?" sapa Desi. Lee mengangguk dan m
Waktu terus bergulir, waktu bekerja sebentar lagi berakhir, Lee juga sudah selesai mengerjakan pekerjaannya. Ratna sudah masuk ke ruangan, lalu bertukar informasi dengan Santi. Saat matanya menangkap kotak pizza yang ada di dekat Rara, gadis itu memekik senang lantas mendekat. "Pizza! Mau dong, Rara. Masih ada?" tanya Ratna menatap penuh harap. "Eh, si Ratna, belum beres ini," omel Santi pada temannya. "Bentar, Ti. Malak dulu," ujar Ratna dengan cengiran khasnya. "Ambil aja, Teh. Ada tiga lagi, kok," ujar Rara. "Asyik, makasih ya, Ra. Tapi, ini ada dua loh, Ra." Ratna menunjukan isi kotak pada Rara. "Eh, perasaan tadi tiga lagi? Ya sudah, ambil aja, Teh. Abisin juga boleh." "Beneran?" Ratna memekik girang. "Iya, ambil aja." "Makasih, Cantik!" Ratna memeluk Rara yang sedang duduk dari belakang, bertepatan dengan pintu ruangan Lee yang dibuka dari dalam. Rara menoleh kaget, karena dari keterangan Desi dan Santi tadi Lee belum kembali, tapi kenyataannya Lee sudah ada di sana en
"Terima kasih, Sayang," ujar Lee setelah beberapa detik keduanya saling pandang, dengan Rara yang kemudian mengakhiri suasana syahdu di antara mereka. Rona merah jelas terlihat di pipinya, Lee sangat gemas melihat itu, ingin rasanya Lee mengusapnya agar warna itu segera memudar. 'Ah, Rara kamu sungguh membuat aku tidak sabar!' jerit Lee dalam hati. "Apa kita bisa pulang sekarang?" tanya Rara kemudian. "Ah, tentu. Tapi sebentar." Lee meraih sesuatu dari balik bajunya, seuntai kalung panjang ternyata selama ini dipakai Lee, ada bandul cincin cantik tergantung di sana. Lee melepas pengaitnya, lalu cincin bermata biru itu meluncur jatuh ke telapak tangannya yang lebar. "Ini ... adalah cincin keluarga. Cincin yang akan diberikan kepada menantu dari anak laki-laki pertama setiap generasinya. Setelah ibuku tiada, nenek menyimpan cincin ini, tapi dia memberikan cincin ini saat aku bilang akan pergi ke Indonesia." Lee menatap sendu cincin itu, membayangkan si pemilik terakhir yang terpaks
Menuju meja yang kosong, Oppa lalu menarik kursi untuk aku duduk. Sungguh sejak bersama dia, aku serasa jadi pemeran drama korea atau sinetron yang pernah aku tonton! Segala keromantisan dalam tayangan televisi, aku rasakan dari perlakuan Oppa. Iya, suamiku seromantis itu. Kalian bisa bayangin kan gimana? "Mau pesan apa?" tanyanya tanpa duduk di kursi kosong di depanku. "Apa aja, Rara ikut," sahutku cepat. Sekilas aku lihat menunya sama saja. Kalau tidak burger, ya ayam goreng. Jadi aku pasrahkan saja pilihan padanya. "Ayam goreng sama kentang saja, ya?" usulnya. Aku mengangguk. "Emm, burger juga," tambahnya, sambil menunjuk pada menu yang ada dibawah kaca meja. Lagi-lagi kepalaku bergerak ke bawah. "Ini, mau juga nggak?" tanyanya menunjuk pada satu menu. "Apa ini?" "Hotdog," jelasnya. Matanya kini menatapku lekat, menunggu jawaban atas tawarannya. "Oppa mau? Rara itu aja cukup. Takut nggak habis nanti," tolakku yakin. "Ya sudah, itu nggak perlu. Minumnya cola saja, ya?"
Menatap ke luar jendela dari lantai tiga kamar Lee, Rara menikmati suasana malam negeri asal suaminya. Belum terlalu larut, tapi keheningan sudah menyelimuti tempat tinggal yang kini ditempatinya. Dari daun yang bergoyang dihempas angin, Rara bisa menebak kalau di luar sana sang bayu sedang bertiup cukup kencang. Lambaian helaian daun yang berguncang, meliuk indah dari bias terang lampu yang terpasang di setiap sudut di bawah sana. Satu dekapan hangat terasa, disusul dengan kecupan di belakang kepalanya. "Lihat apa?" tanya Lee, setelah perlakuan romantis yang dia berikan. "Lihat luar, sepertinya di sana sangat dingin. Angin juga kayaknya bertiup kencang," sahut Rara, dengan bersandar nyaman pada tubuh kekar suaminya. "Memang dingin. Tertarik untuk pergi keluar malam?" tanya Lee, dia pun turut melihat ke bawah sana. "Boleh?" tanya Rara dengan harapan bisa keluar menikmati tempat barunya. "Kenapa tidak? Baru jam delapan. Kalau mau kita bisa pergi." "Kemana?" Rara menoleh, hingga
Arya keluar dari kamar setelah bertukar kabar dengan Lee, sudah dipastikan mereka harus berangkat ke Korea besok lusa, menggunakan pesawat sewaan bersama ketiga teman Lee. "Zahra, Aruna sudah bangun?" tanya Arya saat melihat Zahra datang dari arah dapur. "Eh, tadi sih belum, A. Ini baru mau Zahra lihat," sahut Zahra dengan sungkan, meski Arya sudah menganggapnya seperti saudara, tak serta merta gadis itu bisa bersikap lebih akrab. "Nanti siapkan keperluan Aruna, terus bantuin teh Runi untuk mengepak keperluan Arash dan Aisha. Kita akan berangkat ke Korea besok lusa. Jangan lupa, siapkan keperluan kamu juga," titah Arya membuat Zahra terdiam untuk beberapa saat. Pikiran Zahra sontak teringat pada Ji Hun, sejak kepulangan lelaki baik itu, Ji Hun seakan telah melupakan Zahra. Tak sekalipun seseorang yang sudah mengatakan kalau dia adalah calon suaminya, mengirim pesan alih-alih menelpon. Dia seolah dilupakan, sedang untuk menghubungi lebih dulu Zahra juga malu. Bisa saja semua yang
Rara[Assalamua'aikum, apa kabar semuanya?] Sapa Rara di grup percakapan keluarga. Seruni [Wa'alaikumussalam. Cieee, pengantin baru baru nongol di grup? Gimana, Ra?] Balas Seruni yang kebetulan sedang memegang ponsel jadi langsung membalas. Rara[Apanya, Teh? Dingin di sini.] Rara menambahkan emot menggigil di akhir kata. Seruni [Kan ada penghangat, Ra. Tinggal peluk!] Rara terkekeh sendiri, dia menoleh ke arah Lee yang masih terlelap imbas pertempuran mereka tadi. Rara [Idih, Teteh ….] Robi [Wa'alaikumussalam. Duh, emak-emak lagi bahas apaan, sih? Pake ngobrolin penghangat segala. Kompor bukan, sih? Salju udah turun belum, Ra?] Seruni [Jomblo masih polos @Robi.] Robi tertawa membaca balasan kakaknya, belum tahu saja Seruni kalau adiknya baru bertemu dengan seseorang. Rara[Dia pura-pura polos, Teh. Hihihi!] Robi [@Rara aku beneran polos loh, belum ternodai apapun otakku, jadi nggak paham yang dibahas sama emak-emak seperti kalian.] Seruni [Iya, deh @Robi biar cepe
Rapat sudah selesai, besok Rara dan Lee akan meninjau gedung yang akan dipakai untuk pesta nanti. Awalnya keluarga pihak ibu Lee heran, mengapa pesta dirayakan saat musim dingin. Namun setelah mendengar penjelasan nenek Han, mereka pun langsung paham. "Besoknya kita akan latihan dansa, Sayang," kata Lee begitu mereka sudah kembali ke kamar, Rara melepas penutup kepalanya, dan menyimpannya di pinggir tempat tidur. "Latihan dansa? Untuk apa?" tanya Rara, "Rara nggak bisa," lanjutnya. "Ya makanya latihan dulu, belajar." Lee mencolek ujung hidung Rara. "Harus, ya? Nggak bisa tidak? Apa Rara tidak akan membuat malu nanti?" tanya Rara sudah ketakutan, merasa dirinya memang bukan dari kelas yang sama dengan Lee. "Ngomong apa sih istriku ini? Mana ada bikin malu? Kan nanti belajar dulu," balas Lee sambilan mendekap Rara, mengecup pipinya. "Takut nggak bisa," elak Rara. "Kan belajar, Sayang. Apa mau coba sekarang?" tanya Lee melepas pelukannya, menatap Rara yang terlihat kembali tak per
Lee terus mengejar Ji Hun, keduanya seperti mengulang masa kecil mereka, saling mengejar tanpa peduli kelakuan itu membuat kursi dan meja bergeser. Suara tawa memenuhi ruangan, para pelayan yang melihat, apalagi yang mengabdi sejak kedua pangeran itu masih kecil, merasa terharu. Mereka tersenyum sambil menggelengkan kepala, turut bahagia kehangatan juga keceriaaan di keluarga majikannya akhirnya kembali setelah sekian tahun tidak terasa.Rara yang menunggu Lee kembali tapi tidak mendapatkan sang suaminya menampakkan diri, dengan ragu melangkah menuju pintu, tangannya terulur menekan pegangan pintu. Dia pasti masih asing di sana, tapi tentunya harus membiasakan diri juga, bukankah ini adalah rumahnya juga sekarang?Sungguh Rara tidak akan menyangka, akan menjadi salah satu penghuni rumah seperti layaknya istana tersebut.Seorang pelayan yang Lee tugaskan untuk menemani Rara, segera bangun dari duduknya begitu mendengar suara pintu yang dibuka. Dengan membungkukan badan, dia menyapa nyo
Ji Hun tersenyum tipis, jelas sudah tak ada sisa cinta untuk Eun Sook di hati Lee, perlakuan lembut Lee pada Rara menyiratkan begitu banyak cinta di sana. Semoga saja hal itu tetap akan berlaku, saat Lee bertemu dengan wanita di masa lalu mereka nantinya. Nenek Han berdiri, memeluk Rara yang sudah mencium punggung tangannya penuh hormat. "Nenek apa kabar?" ujar Rara meski hatinya masih belum tenang. Terdengar Min Ra mengartikan perkataan Rara. "Nenek sehat, baik, sangat baik. Kamu baik-baik saja, kan? Anak nakal itu tidak membuat kamu kelelahan kan, Sayang?" nenek Han melirik pada Lee yang sedang bersalaman dengan kerabatnya yang lain, saling menanyakan kabar dengan air mata haru yang keluar. Si anak hilang sudah kembali ke pelukan keluarga. Bahkan datang tak sendiri, ada wanita yang sudah dia ikat dalam ikatan suci. Rara tertawa pelan, menggeleng dengan rona merah yang menjalari pipi. "Tidak, Nenek. Rara baik. Oppa memperlakukan Rara dengan sangat baik juga," jelas Rara dengan
Mobil yang saat ini sedang ditungganginya, jelas bukan mobil biasa. Mobil ini sangat mewah, tempat duduknya sangat nyaman, hawa hangat sangat terasa, berbeda dengan cuaca di luar sana yang menggigit tulang. "Sayang, Khumaira Nisa. Aku suamimu, lelaki yang memintamu menjadi istriku pada keluargamu, pada Tuhanmu. Ini aku Ali. Lee Seung Hoo. Kenyataan tentang siapa aku di negaraku, tak merubah apapun tentang cintaku padamu. Ini lah aku di sini. Kamu akan mengetahui semuanya sebentar lagi. Kumohon jangan bersikap seperti ini. Maaf kalau aku tidak jujur sepenuhnya, karena aku pikir tak perlu mengatakan semuanya tanpa ada bukti nyata. Jangan berubah, Sayang. Aku tidak nyaman," lirih Lee, dia menghadapkan dirinya pada Rara, menatap lekat wajah yang sudah dengan mudah membuatnya melupakan luka cinta. Dia sedih saat melihat sorot tak semangat di binar mata Rara, mata indah itu tak bersinar seperti sebelumnya. "Allah, Rara seperti sedang bermimpi. Rara belum mengenalmu ternyata." Rara menggel
"Kamu sudah pergi meninggalkan kakakku, kamu bahkan mengabaikan perasaan aku demi kakakku. Kamu tolak aku, karena lebih memilih Seung Hoo. Kamu tidak peduli dengan kedekatan kita selama dua tahun lamanya. Kamu berpaling. Kamu abai dengan hatiku. Lalu setelah kamu dapatkan kakakku, kamu pun mencampakkan dia. Kamu pergi dengan lelaki lain. Lalu tiba-tiba kamu bilang hamil anak kakakku? Kamu tidak mabuk kan? Siapa yang akan percaya?" bentak Ji Hun setelah empat bulan kepergian Eun Sook dan wanita itu lalu kembali. Sedang saat itu Lee sudah menetap di Indonesia, melupakan semua kepedihan dengan memilih mengabdikan diri di perusahaan cabang keluarga yang baru dibangun di sana. "Tapi ini anak Seung Hoo, Oppa. Anak sepupumu!" "Aku tidak percaya. Sekali jal*ng, kamu akan tetap jal*ng! Semudah itu kamu lemparkan dirimu padaku, lalu kamu pun melemparkan diri pada kakakku. Siapa yang akan percaya kalau anak dalam kandunganmu adalah anak Seung Hoo, kalau kamu pergi dengan lelaki lain akhirnya?"